67 Sementara secsra nyata sertifikasi lebih dibutuhkan untuk individu atau unit
manajemen yang melakukan perdagangan internasional.
6.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML
Dampak penerapan ekolabel dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan dibahas oleh Daniyati 2009 dan Simula
et al 2005 yang secara umum memaparkan hasil penelitian mengenai dampak-dampak yang terjadi dengan adanya
penerapan sertifikasi ditinjau dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Berdasarkan dari studi pustaka yang dilakukan maka dibuat beberapa indikator yang diperdalam
dengan wawancara kepada key person dan pemberian kuesioner kepada 90 orang
petani hutan rakyat sertifikasi.
6.3.1 Dampak Sosial pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML
Ada lima kriteria yang digunakan untuk melihat adanya dampak sosial dari penerapan sertifikasi, diantaranya adalah 1 klarifikasi hak milik lahan dan solusi
konflik, 2 partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat dari pengelolaan hutan, 3 penguatan kelembagaan, 4 peningkatan kapasitas petani hutan rakyat, dan
5 peningkatan peran serta dalam pengelolaan hutan lestari akibat dari adanya peningkatan pengetahuan. Hasil dari penelitian terhadap empat kriteria terhadap
petani di tiga unit manajemen ditunjukkan dalam Lampiran 2 sedangkan hasil
penelitian mengenai kriteria dampak sosial berupa penguatan kelembagaan dilakukan dengan
depth interview kepada key person unit manajemen dan hasilnya ditunjukkan
dalam Lampiran 3.
68
Indikator dampak sosial pertama adalah aspek klarifikasi hak milik lahan dan solusi konflik
. Berdasarkan hasil penelitian semua anggota unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi sudah mempunyai kejelasan status hak milik lahan mereka
dengan memegang surat-surat resmi untuk melegalkan kepemilikan lahan mereka. Seluruh responden di tiga unit manajemen menyatakan bahwa hak milik lahan
mereka sudah jelas sebelum sertifikasi dan sudah memiliki surat resmi hak milik lahan sebelum sertifikasi. Hal ini terjadi karena peran serta pemerintah mendorong
masyarakat untuk mengesahkan kepemilikan lahannya melalui program sertifikasi tanah masal. Kejelasan status hak milik lahan ini selain membantu kemudahan proses
sertifikasi juga membantu meminimalisir konflik. Tetapi, secara legitimate, dua orang
responden di PPHR Catur Giri Manunggal malah mengalami konflik berebut batas lahan dengan tetangga dan sampai lima tahun sertifikasi PHBML di PPHR Catur Giri
Manunggal berjalan, kedua responden ini tidak menemukan solusi dari konflik lahan yang mereka hadapi. Padahal unit manajemen PPHR Catur Giri Manunggal memiliki
peta penyelesaian sengketa dan konflik berebut batas ini seharusnya ditangani oleh KPHR selaku unit manajemen level dusun yang paling dekat dengan anggota. Tetapi
sampai sekarang tidak ada soluso konflik yang dapat dicapai karena unit manajemen pusat level kecamatan yakni PPHR juga vakum dan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.
Indikator dampak sosial kedua adalah aspek partisipasi dan kesadaran komunitas
. Aspek partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat pengelolaan hutan dilihat dari seberapa sering petani menghadiri pertemuan rutin unit manajemen
yang terkadang membahas masalah pengelolaan hutan dengan mendatangkan
69 penyuluh PKL Petugas Kehutanan Lapang. Pada ketiga unit manajemen, diketahui
bahwa 96,67 petani FKPS Selopuro, 93,33 petani FKPS Sumberejo, dan 56,67 petani PPHR Catur Giri Manunggal sering menghadiri pertemuan rutin kelompok
tani. Diantara ketiga unit manajemen, frekuensi partisipasi petani dalam menghadiri pertemuan rutin yang paling rendah adalah di PPHR Catur Giri Manunggal. Hal ini
terjadi karena tidak berjalannya unit manajemen bahkan saat dikonfirmasi kepada key
person maupun responden, pertemuan rutin kelompok tani ini sudah tidak ada lagi. Satu-satunya yang masih berjalan adalah program pembelian pupuk dengan harga
murah lewat kelompok tani. Tetapi program tersebut juga tidak ditangani langsung oleh PPHR, melainkan dilimpahkan sesuai dengan kebijakan masing-masing desa dan
dusun.
Indikator dampak sosial ketiga adalah aspek peningkatan kapasitas petani hutan rakyat
. Aspek peningkatan kapasitas petani hutan rakyat diteliti melalui semakin mudah atau tidaknya kemudahan mengakses informasi harga dan bertambah
atau tidaknya pengetahuan mengenai hutan rakyat setelah sertifikasi. Apabila peningkatan akses informasi mengenai harga semakin tinggi maka hal ini
mengindikasikan semakin bertambahnya kapasitas petani dalam proses pemasaran karena sudah mengetahui harga-harga kayu di pasaran. Pada FKPS Selopuro
100,00 responden petani hutan menyatakan setelah sertifikasi semakin mudah mendapatkan informasi mengenai harga dan pasar kayu, sedangkan di FKPS
Sumberejo 86,67 responden menyatakan semakin mudah mengakses informasi, dan di PPHR Catur Giri Manunggal 66,67 responden menyatakan semakin mudah
mengakses informasi. Tingginya persentase peningkatan akses informasi ini
70 diakibatkan oleh semakin canggihnya teknologi dan peran bakul sebagai pembawa
informasi. Kecanggihan teknologi memperluas akses informasi yang tadinya hanya lewat mulut ke mulut sekarang mulai disebarkan melalui
Short Message Services SMS ataupun telepon. Peningkatan akses informasi ini juga disebabkan oleh peran
serta bakul yang aktif menginformasikan mengenai semakin naiknya harga kayu untuk mempersuasi mereka agar mau menjual kayu. Tetapi sayangnya peningkatan
kapasitas petani dalam pemasaran melalui peningkatan akses informasi tidak disertai dengan simetrisnya informasi harga yang beredar di kalangan petani dan bakul.
Ketimpangan informasi ini menurut Djogo et al 2003 menyebabkan ketimpangan
pembangunan dan kesejahteraan; ketidakmerataan penguasaan atas bisnis dan perdagangan; dan eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain.
Selain aspek peningkatan kapasitas informasi, kapaistas pengetahuan petani juga mengalami peningkatan. Pada aspek ini, 100 responden petani FKPS Selopuro
dan FKPS Sumberejo serta 63,33 responden petani PPHR Catur Giri Manunggal menyatakan ada peningkatan pengetahuan mengenai hutan rakyat. Pengetahuan hutan
rakyat yang meningkat ini juga disebabkan oleh semakin banyaknya penyuluhan- penyuluhan setelah sertifikasi dan hal ini juga dikonfirmasi kebenarannya oleh salah
satu responden yang juga merupakan ketua KPS dan perangkat desa.
Indikator keempat dampak sosial adalah aspek peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari
. Pada aspek ini dilakukan penelitian dengan melihat bagaimana tanggapan masyarakat mengenai perlu atau tidaknya hutan
dijaga agar tetap lestari dan darimanakah masyarakat memperoleh pengetahuan terkait dengan manfaat hutan apabila dijaga kelestariannya. Dengan persentase yang
71 tinggi, responden di ketiga unit manajemen menyatakan bahwa hutan perlu dan
sangat perlu dijaga agar tetap lestari dan perolehan pengetahuan mengenai manfaat hutan agar perlu dijaga agar tetap lestari diperoleh dari penyuluhan dan pertemuan
rutin dengan persentase sebesar 96,67 untuk FKPS Selopuro dan Sumberejo serta 46,67 untuk PPHR Catur Giri Manunggal. Persentase terendah ditemukan di PPHR
Catur Giri Manunggal karena pertemuan rutin sudah tidak pernah diadakan dan banyak petani yang merasa kelompok tani tidak membantu peningkatan pengetahuan
mereka.
Indikator terakhir untuk melihat dampak sosial adalah ada atau tidaknya penguatan kelembagaan
. Untuk kriteria terakhir ini, penelitian dilakukan melalui
depth interview kepada key person dan hasilnya direpresentasikan pada Lampiran 3.
Berdasarkan hasil dari penelitian diketahui bahwa ketiga unit manajemen hutan yang ada sangat potensial untuk didorong dan dibimbing untuk bekerjasama dalam bidang
ekonomi secara berkelompok karena terdiri dari anggota-anggota yang saling mengenal dan memiliki visi dan misi yang sama. Tetapi selama ini pelatihan untuk
menimbulkan kemandirian belum efektif dan belum menjangkau semua anggota. Hal ini dikarenakan saat ada pelatihan hanya beberapa anggota saja yang mengikuti dan
dilakukan secara bergiliran bergantian. Oleh karena itu perlu adanya pendampingan yang lebih intensif dan merata agar unit manajemen yang ada lebih mandiri dan
anggota dapat bekerja secara berkelompok. Disamping itu, penumbuhan gabungan kelompok masyarakat yang ada selama ini hanya dalam bentuk kelompok tani dan
belum ada usaha untuk membentuk gabungan kelompok masyarakat yang aktif dalam industri hutan rakyat. Rencana pengembangan skala usaha sudah dilakukan beberapa
72 unit manajemen, misalnya FKPS Sumberejo yang mengkursuskan salah satu
anggotanya dan PPHR Catur Giri Manunggal yang memasarkan kayu sertifikasi dan berusaha untuk meningkatkan posisi tawar melalui kerjasama dengan PT. Jaring Akar
Ranting. Usaha untuk mengembangkan jalinan kemitraan baik kemitraan bisnis, kemitraan bantuan, maupun kemitraan pelatihan sudah dilakukan tetapi belum ada
perkembangan berarti. Sulitnya mencapai kesepakatan antara perusahaan dengan pihak petani terkait harga, kuota kayu yang harus dipasok, dan kualitas menjadi
penyebab sulit berkembangnya kemitraan bisnis. Pada awal pendampingan, kelembagaan yang ada difasilitasi pelatihan khusus
dan pengembangan usaha untuk meningkatkan nilai jual kayu dengan mengubah kayu yang tadinya hanya sebagai
raw material sudah mulai diproses menjadi handicraft. Ketiga unit manajemen ini bahkan memiliki satu bengkel
handicraft lengkap dengan mesin-mesinnya namun hanya beberapa orang saja dari petani kompeten dan
mengikuti pelatihan khusus. Namun pelatihan dan keberadaan bengkel handicraft
yang terletak di Desa Selopuro belum mampu membuat ketiga unit manajemen hutan rakyat untuk mempunyai unit usaha yang independen. Hal ini terbukti dengan fakta
bahwa bengkel handicraft yang ada jarang terpakai karena hanya berfungsi saat ada
pesanan dari mitra bisnis untuk membuat handicraft misalnya pot kayu, frame, dan
kursi. Handicraft yang telah dibuat oleh unit manajemen sertifikasi ditunjukkan pada
Gambar 8 .
73
Gambar 8. Hasil Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Dibuat oleh Petani-Petani Unit Manajemen Hutan Rakyat
Selain itu, unit manajemen yang ada tidak mengalami perbaikan sistem administrasi. Administrasi unit manajemen yang lengkap hanya terdapat awal proses
pendampingan sertifikasi dilakukan perbaikan sistem administrasi berupa pencatatan potensi tegakan, kepemilikan lahan dan status lahan, serta data keanggotaan. Namun
sistem administrasi yang baik berupa pencatatan potensi tegakan tidak dilanjutkan lagi oleh petani hutan rakyat sehingga administrasi dan data yang lengkap hanya
tersedia di awal pengajuan sertifikasi saja. Padahal pencatatan potensi tegakan secara rutin dapat membantu pengontrolan penebangan legal yang berlebihan.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan belum ada penguatan kelembagaan setelah adanya sertifikasi berdasarkan dari hasil penelitian mengenai aspek penguatan
kelembagaan dan pengembangan kelembagaan ekonomi. Tidak berfungsinya unit manajemen secara optimal, tidak adanya pelatihan yang intensif dan merata, tidak
berjalannya pasar sertifikasi, dan kurangnya modal merupakan alasan mengapa unit manajemen yang ada sulit berkembang. Namun adanya sertifikasi berhasil
membentuk kelembagaan yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut,
74 memberikan peningkatan kapasitas pengolahan hasil hutan dari
raw material menjadi handicraft melalui pelatihan dan fasilitas pengembangan aktivitas usaha yakni mesin
handicraft dan pengembangan kemitraan antara petani dengan institusi lain baik dalam segi kemitraan bisnis, bantuan, maupun pelatihan.
6.3.2 Dampak Ekonomi pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML