18 cukup  tinggi  tetapi
tariff  barrier  tidak  menjadi  fokus  utama  lagi.  Dilain  hal  terjadi peningkatan  penggunaan
non  tariff  barrier  dimana  pada  produk  kayu  dan  produk berbasis kayu diberlakukan adanya
phytosanitary, restriksi kuantitatif, dan sertifikasi. Persyaratan  sertifikasi  ekolabel  berpotensi  menjadi  hambatan  perdagangan  terutama
jika  masing-masing  negara  memberlakukan  spesifikasi  dan  standar  yang  berbeda- beda.  Pada  beberapa  bukti  mengkonfirmasi  bahwa  skema  sertifikasi  juga  digunakan
sebagai  alat  proteksi  perdagangan  pada  beberapa  negara  Alavi,  2007.  Disamping itu, menurut  Direktorat  Jenderal  Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian
2009,  adanya  tuntutan  sertifikasi  ekolabel  menjadi  hambatan  non  tarif  yang termasuk  dalam  permasalahan  utama  industri  furnitur.  Industri  furnitur  kayu
Indonesia  disinyalir  menggunakan  bahan  baku  ilegal  dengan  harga  relatif  murah sehingga  beberapa  negara  tujuan  ekspor  menuntut  adanya  sertifikasi  ekolabel  bagi
produk-produk furnitur Indonesia.
2.4 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Simula et  al  2005  mengemukakan  bahwa  dari  adanya  sertifikasi  dapat
memberikan  manfaat  ekonomi  yang  termasuk  dalam  manfaat  langsung  dan  manfaat sosial  dan  lingkungan  yang  termasuk  dalam  manfaat  tidak  langsung
non-monetary. Adanya  sertifikasi  dapat  memberi  dampak  pada  tambahan  manfaat  langsung
finansial,  yakni  adanya premium  price  dan  adanya  tambahan  volume  penjualan.
Dampak  sertifikasi  pada  manfaat  ekonomi  tidak  langsung  adalah  adanya  penurunan biaya  akibat  dari  efisiensi  produksi  dan  menghindarkan  dari  kerugian  pendapatan
penjualan  ke  pasar  yang  mewajibkan  adanya  sertifikasi.  Manfaat  lingkungan
19 diperoleh dari berkembangnya mitigasi dari efek lingkungan dari pemanfaatan hutan
dan  adanya  peningkatan  pengukuran  dari  konservasi  biodiversitas,  fungsi  ekologis, seperti  tanah  dan  air.  Selain  itu,  manfaat  sosial  dari  adanya  sertifikasi  ini  salah
satunya adalah adanya klarifikasi dari land right dan resolusi konflik.
2.5 Kelembagaan
Menurut Djogo et al 2003, secara umum kelembagaan adalah pola hubungan
antara  anggota  masyarakat  atau  organisasi  yang  saling  mengikat  yang  dapat menentukan  bentuk  hubungan  antar  manusia  atau  antara  organisasi  yang  diwadahi
dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat  berupa  norma,  kode  etik,  aturan  formal  dan  informal  untuk  pengendalian
perilaku  sosial  serta  insentif  untuk  bekerjasama  dan  mencapai  tujuan  bersama. Beberapa unsur penting dari kelembagaan diantaranya adalah institusi, norma tingkah
laku  yang  mengakar  dalam  masyarakat  dan  diterima  secara  luas  untuk  melayani tujuan  bersama  yang  mengandung  nilai  tertentu  dan  menghasilkan  interaksi  antar
manusia  yang terstruktur, peraturan dan penegakan aturan, aturan dalam masyarakat yang  memfasilitasi  koordinasi  dan  kerjasama  dengan  dukungan  tingkah  laku,  hak,
dan  kewajiban  anggota,  kode  etik,  kontrak,  pasar,  hak  milik property  rights  atau
tenureship,  organisasi,  serta  insentif  untuk  menghasilkan  tingkah  laku  yang diinginkan.
Kelembagaan  yang  dikembangkan  oleh  petani  Wonogiri  merupakan kelembagaan  yang  menerapkan  sistem  penanaman  agroforestri  dimana  pola
penanaman  tanamannya  terdiri  dari  tanaman  hutan  atau  tanaman  kayu  dan  tanaman
20 pangan  misalnya  tanaman  semusim.  Menurut  Djogo
et  al  2003,  pengembangan kelembagaan  ini  dapat  terjamin  jika  ada  insentif  bagi  orang  atau  organisasi  untuk
melaksanakannya,  sasaran  pengembangan:  siapakah  yang  diuntungkan,  ada keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi, kepemilikan dan akses atas
sumberdaya  terjamin,  ada  usaha  pengendalian  atas  tingkah  laku  opportunistik  serta ada aturan yang ditegakkan dan ditaati.
Menurut Hindra 2006, untuk menjamin kelestarian hutan rakyat, diperlukan penguatan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga terbentuk adanya aturan
internal  yang  mengatur  sistem  penebangan  yang  disepakati  oleh  setiap  anggotanya. Dalam  rangka  penguatan  kelembagaan  hutan  rakyat,  tahapan  yang  harus  dilalui
adalah  identifikasi  kelembagaan,  aturan  dan  kesepakatan,  pengembangan  rencana aksi, dan monitoring dan evaluasi partisipatif.
2.6      Penelitian Terdahulu