5
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dampak keberadaan TPAS
“Namo Bintang” terhadap masyarakat sekitar. Berdasarkan rumusan pertanyaan masalah yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan tujuan dari
penelitian, yaitu: 1.
Mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap keberadaan TPAS “Namo
Bintang ”.
2. Mengestimasi dampak positif dan eksternalitas negatif yang timbul dari
adanya TPAS “Namo Bintang”.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas
lingkungan akibat keberadaan TPAS “Namo Bintang”.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini fokus pada responden masyarakat yang tinggal di Desa Namo Bintang karena lokasi ini dekat TPAS
“Namo Bintang”. Sampel penelitian yang digunakan adalah tenaga kerja yang bekerja di kantor TPAS
“Namo Bintang”, supir Dinas Kebersihan Kota Medan, dan masyarakat yang bekerja baik sebagai pemulung dan non pemulung. Dampak positif dapat dilihat
adanya sumber pendapatan rumah tangga di TPAS “Namo Bintang” dan adanya
nilai tambah dari hasil pengolahan sampah, sedangkan eksternalitas negatif dapat dilihat dari penurunan kualitas lingkungan seperti biaya pengobatan, biaya
pengganti, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan yang diukur dari biaya pengganti responden masyarakat terhadap air bersih akibat
tercemarnya air sumur dengan keberadaan TPAS “Namo Bintang”.
6
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir Sampah TPAS
Notoatmodjo 2007 menjelaskan bahwa sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang
sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah menjelaskan bahwa “Sampah adalah sisa kegiatan sehari- hari manu
sia danatau proses alam yang berbentuk padat”. Berdasarkan definisi sampah di atas maka dapat dikatakan bahwa sampah adalah bahan-bahan hasil
dari kegiatan masyarakat yang tidak digunakan lagi dan umumnya berupa benda padat, baik yang mudah membusuk maupun yang tidak mudah membusuk,
kecuali kotoran yang keluar dari tubuh manusia, yang ditinjau dari segi sosial ekonomi sudah tidak berharga, dari segi keindahan dapat mengganggu dan
mengurangi nilai estetika dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian lingkungan.
Tujuan utama penimbunan akhir adalah menyimpan sampah padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin keamanan lingkungan, menstabilkan sampah
mengkonversi menjadi tanah, dan merubahnya kedalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari segi teknis, proses ini merupakan pengisian tanah dengan
menggunakan sampah. Lokasi penimbunan harus memenuhi kriteria, yaitu: ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan, mudah dicapai oleh
kendaraan-kendaraan pengangkut sampah, dan aman terhadap lingkungan
sekitarnya Sudrajat 2009.
Pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir TPA sampah merupakan salah satu program nasional di daerah, yang berkaitan dengan penyediaan tempat
penampungan akhir sampah. UU No 18 Tahun 2008 menyatakan pada BAB XVI Ketentuan Peralihan Pasal 44 bahwa “Pemerintah daerah harus membuat
perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 satu tahun terhitung sejak berlakunya
Undang- Undang ini”. Hal ini mengakibatkan masing-masing kota atau kabupaten
wajib untuk merencanakan TPA yang berbasiskan sanitary landfill atau controlled
7 landfill terhitung 1 tahun sejak undang-undang ini diberlakukan Undang-undang
No. 18, 2008. Mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan oleh adanya tempat
pembuangan akhir sampah maka tempat tinggal penduduk harus memliki jarak tentu ke TPA. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BKLH mengenai
AMDAL bahwa tidak ada pemukiman penduduk yang boleh berjarak kurang dari satu kilometer Bujangusti 2009.
Dinas Kebersihan Kota Medan memaparkan bahwa dalam menciptakan kualitas kebersihan kota memiliki kendala dalam pelaksanaan operasional sampah
seperti meningkatnya volume timbulan sampah, dimana setiap tahunnya volume sampah Kota Medan mengalami peningkatan. Banyak fasilitas perumahan
pemukiman di Kota Medan yang tidak dilengkapi dengan TPS. Adanya tong sampah komunal karena tidak tertibnya masyarakat dalam pembuangan sampah
lewat dari jadwal yang telah ditentukan Dinas Kebersihan Kota Medan 2010. 2.2 Pengelolaan dan Pengolahan Sampah
Sudrajat 2009 menjelaskan model pengelolaan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu urugan dan tumpukan. Urugan atau model buang dan pergi
merupakan cara yang paling sederhana dengan membuang sampah di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan, umunya dilakukan untuk kota yang
menghasilkan volume sampah tidak terlalu besar. Pengelolaan sampah yang kedua yang biasanya diterapkan di kota besar, yaitu tumpukan yang perlu dilakukan
secara lengkap dengan teknologi aerobik yang memenuhi prasyarat kesehatan lingkungan.
Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah terdiri atas:
1. Sampah rumah tangga berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga,
tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. 2.
Sampah sejenis sampah rumah tangga berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan
fasilitas lainnya. 3.
Sampah spesifik meliputi:
8 a. Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.
b. Sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun. c. Sampah yang timbul akibat bencana.
d. Puing bongkaran bangunan. e. Sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; danatau
f. Sampah yang timbul secara tidak periodik Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah. Pengolahan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan
memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengolahan sampah
dianggap baik jika sampah yang diolah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak menjadi perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat
lain yang harus dipenuhi adalah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak menimbulkan bau, dan tidak menimbulkan kebakaran Azwar 1990.
Sudradjat 2009 menjelaskan bahwa pengolahan sampah di TPA yang ada di kota-kota besar mengalami masalah keterbatasan lahan, polusi, masalah sosial,
dan lain-lain, sehingga harus memenuhi prasyarat seperti memanfaatkan lahan TPA yang terbatas dengan efektif, memilih teknologi yang mudah, murah, dan
ramah lingkungan. Hal itu juga didukung dengan pemilihan teknologi yang dapat memberikan produk yang dapat dijual dan memberi manfaat yang besar kepada
masyarakat. Naria 1999 menyatakan pengelolaan sampah semakin berkembang seiring
dengan perkembangan terhadap jenis sampah yang akan dikelola. Terdapat beberapa cara pengelolaan akhir sampah yang dilakukan oleh masyarakat, seperti
pengomposan, pembakaran, penghancuran, pemanfaatan ulang, controlled landfill, sanitary landfill, dan open dumping. Metode open dumping adalah
metode yang melakukan penimbunan sampah di lokasi TPA tanpa aplikasi teknologi yang memadai. Metode ini memungkinkan adanya perembesan air lindi
atau cairan yang timbul karena pembusukan sampah, melalui kapiler-kapiler air dalam tanah hingga mencemari sumber air tanah terlebih pada saat musim hujan.
4
4
http:kompasiana.commetode-pengelolaan-sampah-kota diakses tanggal 9 November 2013
9 SNI 19-2454-2002 tentang Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan
menyatakan bahwa metode controlled landfill merupakan sistem penimbunan dan pengalihan open dumping dan sanitary landfill dengan penutupan sampah dengan
lapisan tanah yang dilakukan setelah TPA penuh hingga mencapai periode tertentu, sedangkan metode sanitary landfill adalah sistem pembuangan akhir
sampah yang dilakukan dengan cara sampah ditimbun dan dipadatkan, kemudian di tutup dengan tanah sebagai lapisan penutup yang dilakukan setiap hari pada
akhir jam operasi. Kompos adalah bahan-bahan organik sampah-sampah organik yang telah
mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme bakteri pembusuk yang bekerja didalamnya Deddy 2005. Bintoro 2008
menyatakan salah satu sistem pengomposa adalah sistem anaerob dimana pengolahan kompos mirip dengan sistem penambangan dan sistem aerob.
Persamaannya membuat tumpukan sampah pile, perbedaannya pile-pile tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada proses pembalikan pile. Dikarenakan tidak ada
pembalikan, maka dekomposisi berlangsung lama dengan suhu pile maksimum 40° C, sehingga benih-benih gulma tidak mati. Setelah matang, kompos diayak.
Dalam keadaan anaerob, gas yang keluar adalah gas methane.
2.3 Penelitian Terdahulu