Jumlah Penduduk Hubungan antara Titik Panas dengan Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kepadatan Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005 - 2011

Satelit NOAA-AVHRR dan MODIS pada periode 2005 sampai 2011 7 tahun dapat merekam kemunculan titik panas di Kabupaten Kapuas dengan kepadatan yang berbeda setiap tahunnya seperti terlihat pada Gambar 3. Gambar 3 Jumlah titik panas tahun 2005-2011 Jumlah titik panas tahunan yang dapat diidentifikasi oleh satelit NOAA- AVHRR pada tahun 2005 sebanyak 200 titik, tahun 2006 meningkat cukup drastis menjadi 835 titik. Tahun 2007 mulai mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 kembali menunjukan adanya peningkatan, turun kembali tahun 2010 dan tahun 2011 sedikit meningkat. Sementara titik panas yang teridentifikasi oleh satelit MODIS jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan NOAA-AVHRR, namun masih menunjukan pola yang tidak jauh berbeda. Tahun 2005 tercatat 748 titik, meningkat drastis di tahun 2006 dan tahun 2007 mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 titik panas meningkat drastis kembali, tahun 2010 menurun kembali, dan tahun 2011 menunjukan adanya peningkatan meskipun jumlahnya tidak sebanyak tahun 2006 dan 2009. Pada kedua satelit terlihat bahwa kemunculan titik panas maksimum terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari fenomena anomali iklim, yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan panjang, sehingga intensitas dan frekuensi kebakaran meningkat seperti pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 Suwarsono et al. 2010. Titik panas di Kabupaten Kapuas banyak ditemukan di bagian selatan, dimana daerah tersebut merupakan dataran rendah, daerah pesisir, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut. Berdasarkan kemiringan lereng bagian selatan memiliki lereng 0-8. Wilayah ini merupakan kawasan budidaya dengan penggunaan lahan utama perkebunan dan pertanian termasuk Ex Proyek Lahan Gambut 1 juta Ha tempo dulu yang sekarang mulai dimanfaatkan kembali. Sebagian masyarakat Kapuas juga masih melakukan sistem pertanian lokal, dimana penyiapan lahan untuk pertanian atau perkebunan cenderung dilakukan dengan pembakaran lahan karena dianggap lebih mudah, murah, dan cepat, sehingga pada lokasi ini banyak teridentifikasi titik panas. 200 835 408 38 621 78 143 748 2 406 406 183 2 603 44 622 1000 2000 3000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Ju m lah T it ik P an as Tahun NOAA-AVHRR MODIS 24

5.2 Perubahan PenutupanPengggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2011

Pada penelitian ini dilakukan pemetaan penutupanpenggunaan lahan Kabupaten Kapuas dalam rentang waktu 7 tujuh tahun 2005-2011 yang diperoleh dari interpretasi citra Landsat tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011. Berdasarkan hasil interpretasi, Kabupaten Kapuas memiliki 20 kelas penutupanpenggunaan lahan, yaitu air, belukar,belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, tambak, dan transmigrasi Tabel 6. Selama tahun 2005 sampai 2011, penutupanpenggunaan lahan di Kabupaten Kapuas didominasi oleh hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa, dan belukar. Hutan lahan kering sekunder selalu mengalami penurunan dari 34.81 tahun 2005 menjadi 32.09 tahun 2011. Disusul oleh hutan rawa sekunder yang juga selalu mengalami penurunan dari 18 tahun 2005 menjadi 14.57 tahun 2011. Sementara belukar rawa berubah secara fluktuatif dengan luasan tertinggi pada tahun 2008 15.27 dan terendah pada tahun 2005 13.92 yaitu mengalami peningkatan hingga tahun 2008, dan tahun 2009 mengalami penurunan hingga tahun 2011. Lahan belukar juga berubah secara fluktuatif dengan luasan tertinggi tahun 2011 13.35 dan terendah tahun 2005 12.83. Tahun 2006 luas belukar sedikit meningkat, namun tahun 2007 mengalami penurunan dan meningkat kembali tahun 2008 hingga tahun 2011. Penutupanpenggunaan lahan lainnya, seperti air, hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, tambak, dan transmigrasi luasanya kurang dari 10 dari total luas wilayah Kabupaten Kapuas. Pola pemukiman pada kabupaten ini umumnya menyebar dan luasannya hanya 0.13 dan 0.18 masing-masing pada tahun 2005 dan 2011 atau hanya meningkat 807 ha 36.71. Penggunaan lahan belukar, belukar rawa, dan lahan terbuka ditemukan secara menyebar, berbeda dengan hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, dan tambak yang hanya ditemukan di wilayah pesisir. Lahan air merupakan penutupan lahan dengan luasan yang tetap. Peta penutupanpenggunaan lahan di Kabupaten Kapuas pada tahun 2005 hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Lampiran 2 dan luas masing-masing penutupanpenggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 6. Perubahan penutupanpenggunaan lahan dapat dideteksi dengan perbandingan pascainterpretasi, dimana untuk memperoleh hasil perubahan penggunaan lahan, peta penutupanpenggunaan lahan masing-masing tahun dilakukan tumpang tindih, yaitu tahun 2005 dengan 2006, tahun 2006 dengan 2007, tahun 2007 dengan 2008, tahun 2008 dengan 2009, tahun 2009 dengan 2010, dan tahun 2010 dengan 2011. Dari proses ini diperoleh matrik transisiperubahan lahan dalam 6 enam periode tahun. Matriks perubahan lahan yang menunjukkan perubahan penutupanpenggunaan lahan yang terjadi dari satu tahun ke tahun berikutnya.