8 Cara kedua terdiri dari serangkaian pengujian yang dirancang kontekstual
contextual algorithm
untuk mengidentifikasi piksel titik panas yang kurang jelas, dan untuk memperkecil piksel titik panas palsu. Persamaannya adalah:
∆T ∆ Ť + 3.5δ
∆T
2 ∆T ∆
Ť + 6 K 3
T
4
Ť
4
+ 3 δ
4
4 T
11
Ť
11
+ δ
11
– 4 K 5
δ ′
4
5 K 6
Dimana : ∆T
= T
4
- T
11
∆ Ť = mean ∆T
Ť
4
= Mean suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm, yaitu suhu kecerahan dari pixel-pixel sekitarnya 21 x 21 pixel
Ť
11
= Mean suhu kecerahan latar belakang saluran 11 µm, yaitu suhu kecerahan dari pixel-pixel sekitarnya 21 x 21 pixel
δ
4
= Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm δ
11
= Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 11 µm δ
∆T
= Standard deviasi ∆T
δ ′
4
= Standard deviasi suhu kecerahan latar belakang saluran 4 µm yang dieliminasi
Faktor 3.5 dalam persamaan 2 lebih sesuai dari faktor 3 di persamaan 4 untuk membantu menyesuaikan korelasi parsial antara 4 µm dan 11 µm.
Persamaan 5 dibatasi untuk piksel siang hari, terutama digunakan untuk menolak piksel awan panas yang dapat muncul hangat di saluran 4 µm karena pantulan
sinar matahari namun dingin di saluran saluran termal 11µm. Selanjutnya, pixel titik panas sementara ini pada siang hari akan diklasifikasikan sebagai pixel titik
panas jika:
{tes 1 is true } Or
{tests 2 – 4 are true and [test 5 or tes 6 is true]}, otherwise = non-hotspot
Pada malam hari pixel api akan diklasifikasikan sebagai kebakaran jika: {tes 1 is true}
Or {tests 2 – 4 are true},
otherwise = non-hotspot
Jika suatu daerah terpantau oleh satelit memiliki suhu diatas ambang batas tersebut, maka areal tersebut terdeteksi sebagai titik panas. Suhu kecerahan dari
saluran 21, 22, dan saluran 31, didapat dengan algoritma sebagai berikut :
9 T =
�
2
λ ⁄
ln
�
1
λ
5
∙B+1
Dimana : T
= Brightness temperature K C
1
= Konstanta radiasi pertama = 2 hc
2
= 1,1910439 x 10
-16
Wm
-2
C
2
= Konstanta radiasi kedua = hck
-1
= 1,4387686 x 10
-2
mK B
= Radiance W ·m
-2
·sr
-1
·m
-1
λ = Median panjang gelombang dari saluran m
h = Konstanta Plank Joule second
c = Kecepatan cahaya ms
k = Konstanta Boltzman JouleKelvin
Perhitungan nilai radiasi spektral dilakukuan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Bi = αi x DNi - βi
Dimana: Bi
= Radiasi spektral saluran ke i W ·m
-2
·sr
-1
·m
-1
αi = Nilai gain saluran ke i W
·m
-2
·sr
-1
·m
-1
·count
-1
βi = Nilai offset saluran ke i W
·m
-2
·sr
-1
·m
-1
DNi = Nilai digital saluran ke i count
Hasil pengolahan data citra satelit yang diperoleh masih memiliki ketidakakuratan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kelemahan satelit. Kelemahan dari
satelit NOAA-AVHRR salah satunya yaitu sensor tidak mampu menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan pada satelit MODIS yaitu sensornya tidak dapat
menembus awan, asap dan kanopi tajuk, sehingga akan sangat merugikan apabila kebakaran besar terjadi karena wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian ini sering
terjadi pada musim kebakaran, sehingga jumlah titik panas yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Kedua satelit tersebut juga memiliki
kelemahan dalam keakuratan posisi sudut saat melintas dengan stasiun penerima.
Dikarenakan adanya kelemahan-kelemahan pada kedua satelit tersebut, maka adanya analisis lanjutan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi apakah
titik panas merupakan kebakaran atau pembakaran, atau terletak di wilayah yang beresiko tinggi mengalami kebakaran, seperti pada lahan gambut. Analisis dapat
dilakukan dengan melakukan overlay antar data titik panas dan data peta penggunaan lahan atau data penutupan lahan dengan Sistem Informasi Geografis.
Biasanya titik panas yang terletak di areal permukiman atau transmigrasi hanya merupakan pembakaran untuk penyiapan ladang. Dalam hal ini, titik panas hanya
mengidentifikasikan terjadinya panas atau bila titik panas terjadi di wilayah seperti HPH Hak Pengusaha Hutan, HTI Hutan Tanaman Industri, atau
perkebunan, maka kemungkinan besar kebakaran dengan asumsi, perusahaan tidak melakukan pembakaran karena dilarang Fire Fight South East Asia 2002
dalam Heryalianto 2006.
10
2.2 Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian
ekonomis dan atau nilai lingkungan PERMENHUT No. P. 12Menhut-II2009 pasal 1 angka 2.
Peningkatan kebakaran hutan dan lahan sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia dalam mengelola hutan dan lahan. Teknik tebang bakar slash
and burn merupakan metode yang telah umum digunakan dalam pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, karena dianggap sebagai metode yang
murah, cepat, dan praktis dibanding dengan teknik tanpa bakar. Masyarakat juga masih menilai bahwa abu sisa pembakaran dapat meningkatkan kesuburan tanah.
Namun di sisi lain, hal tersebut beresiko tinggi karena dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan yang meluas. Selain itu, faktor iklim berperan dalam
menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan, meskipun bukan sebagai penyebab utama terjadinya kebakaran.
Menurut Purbawaseso 2004 faktor yang menimbulkan kebakaran hutan adalah bahan bakar, cuaca, waktu, dan topografi.
2.2.1 Bahan Bakar
a. Ukuran Bahan bakar Ukuran bahan bakar berkaitan dengan kelakuan sifat kebakaran yang terjadi.
Semakin halus bahan bakar, akan semakin mudah mengering, namun akan mudah pula dalam menyerap air. Api akan lebih cepat menjalar bila luas permukaan
bahan bakar semakin besar. Oleh karena itu, bahan bakar yang lebih halus apabila terbakar akan lebih cepat meluas, tetapi akan cepat padam. Bahan bakar kasar,
kadar air yang terkandung lebih stabil, tidak cepat mengering, sehingga sulit terbakar. Namun, apabila terbakar tidak mudah padam. Misalnya rumput kering,
rumput kering akan lebih mudah terbakar namun akan lebih cepat mati dibandingkan dengan tunggak pohon.
b. Susunan Bahan Bakar Bahan bakar yang terdapat di alam tersusun secara horizontal maupun
vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran kebakaran, sementara susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan
kemampuan menyalanya api. Susunan bahan bakar horisontal misalnya, bahan bakar yang letaknya terpisah jauh-jauh akanterbakar lebih lambat dan penjalaran
apinya juga akan lebih lambat. Sementara susunan bahan bakar secara vertikal, yaitu bahan bakar yang tersusun bersambung mulai permukaan tanah sampai
ujung tajuk pohon yang dapat menimbulkan gejala “mengobor”, yang artinya pohon itu dapat terbakar secara individual mulai dari pangkal batang sampai ke
ujung tajuk pohon.
c. Volume Bahan Bakar Volume bahan bakar dalam jumlah besar akan menyebabkan nyala api lebih
besar, temperatur sekitar lebih tinggi, sehingga api lebih sulit dipadamkan. Begitu pula sebaliknya, volume bahan bakar sedikit maka nyala api yang dihasilkan lebih
kecil dan lebih mudah dipadamkan.
11 d. Jenis Bahan Bakar
Bahan bakar berasal dari berbagai macam komponen vegetasi, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Komponen tersebut dikelompokkan
menjadi rumput, semak-belukar, pohon-pohon atau tegakan, dan sisa-sisa sisa limbah eksploitasi kayu atau sisa limbah kayu dari hasil land clearing dalam
rangka penyiapan lahan. Jenis bahan bakar bisa digunakan untuk memprediksi intensitas kebakaran yang terjadi. Tumbuhan yang berdaun jarum misalnya:
pinus akan lebih mudah terbakar dibandingkan dengan tumbuhan berdaun lebar.
e. Kandungan Air Bahan Bakar Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar
menyala serta kecepatan menyebarnya api.
2.2.2 Cuaca
a. Angin Angin akan menurunkan kelembapan udara, sehingga mempercepat
pengeringan bahan bakar dan memperbesar ketersediaan oksigen, sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat. Angin juga dapat mengarahkan lidah api ke
bahan bakar yang belum terbakar.
b. Suhu Suhu yang tinggi akan menyebabkan bahan bakar lebih cepat mengering,
sehingga lebih rawan kebakaran. Pada siang hari, suhu lebih tinggi karena adanya sinar matahari, sehingga kebakaran akan lebih mudah terjadi dibandingkan pada
malam hari. Awal kebakaran hutan biasanya mulai siang hari terutama antara jam 10.00 – 15.00 dengan puncak pada pukul 14.00 - 15.00.
c. Curah Hujan Curah hujan akan berpengaruh terhadap kelembaban udara dan kadar air
bahan bakar. Curah hujan tinggi akan menyebabkan bahan bakar memiliki kandungan kadar air tinggi serta kelembaban udara tinggi, maka akan sulit terjadi
kebakaran.
d. Keadaan Air Tanah Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut.
Pada musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan permukaan air tanah juga menurun. Turunnya permukaan air tanah menyebabkan
lapisan permukaan atas gambut menjadi kering, sehingga lebih rentan terjadi kebakaran.
e. Kelembapan Nisbi Kelembaban Udara Relatif Kelembapan udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan
bakar, dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar.
2.2.3 Waktu
Waktu terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Pada waktu siang hari, umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembaban udara rendah, suhu
udara tinggi dan angin bertiup kencang. Sementara, pada waktu malam hari
12 kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembapan udara tinggi, suhu
udara rendah dan angin bertiup lebih tenang.
2.2.4 Topografi
a. Kemiringan Faktor ini merupakan faktor yang mempengaruhi tingkah laku api. Pada
lereng curam api akan cepat ke arah puncak dan melambat ke arah bawah. Semakin curam kemiringannya akan semakin cepat pula api menjalar.
b. Arah Lereng Arah lereng yang langsung menghadap matahari akan mengeringkan bahan
bakar lebih cepat, sehingga menyebabkan kondisi yang rentan terhadap kebakaran dibandingkan dengan wilayah yang arah lerengnya tidak menghadap matahari.
c. Medan Medan merupakan kondisi lapang, yang bersifat khas. Kondisi medan
berperan dalam sebagai penghalang yang mampu mengendalikan aliran angin.
2.3 Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek tersebut Estes dan Simonett, 1975 dalam
Sutanto, 1986. Kegiatan interpretasi ini terdiri atas 3 tahap, yaitu deteksi, identifikasi, dan klasifikasi. Deteksi merupakan pengamatan atas keberadaan
suatu objek pada citra. Identifikasi merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup yang dapat dilakukan
dengan memperhatikan unsur interpretasi citra. Klasifikasi merupakan proses deleniasi untuk membatasi dan membagi kelas penutupanpenggunaan lahan.
Teknik penafsiran citra penginderaan jauh diciptakan agar penafsir dapat melakukan pekerjaan penafsiran citra secara mudah dengan mendapatkan hasil
penafsiran pada tingkat keakuratan dan kelengkapan yang baik. Menurut Sutanto 1986, teknik penafsiran citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan
komponen penafsiran yang meliputi data acuan, kunci interpretasi citra, metode pengkajian, penerapan konsep multispektral.
1. Data Acuan Data acuan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kecermatan
seorang penafsir, data ini bisa berupa laporan penelitian, monografi daerah, peta, dan yang terpenting di sini data di atas dapat meningkatkan local knowledge
pemahaman mengenai lokasi penelitian.
2. Kunci Interpretasi Citra Kunci interpretasi citra mempunyai sembilan unsur yaitu ronawarna,
ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, asosiasi. - Rona, menunjukkan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada foto udara
hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara logaritmik antara hitam dan putih dengan berpedoman skala keabuan.
- Warna, dapat dipresentasikan terhadap 3 unsur hue, value, chroma, dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas. Perbedaan warna pada kertas