Kitin Recovery glukosamin hidroklorida dari cangkang udang melalui hidrolisis kimiawi sebagai bahan sediaan suplemen osteoartritis

yang dapat disintesis dari kulit udang serta dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan glukosamin.

2.4 Kitin

Kitin merupakan polisakarida yang paling banyak terdapat di alam setelah selulosa dan keberadaannya di alam terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam mineral Chang et al. 2001. Kitin umumnya banyak dijumpai pada eksoskeleton krustasea, seperti udang, lobster, dan kepiting. Kitin tidak hanya ditemukan pada hewan, tetapi juga ditemukan pada dinding sel tumbuhan misalnya pada dinding sel jamur dari genus Mucor, Phycomycetes, dan Saccharomyces Knorr 1991; No et al. 1999; Knaul et al. 1999. Beberapa jenis krustasea mengandung 15-20 kitin berat kering. Kandungan kitin pada berbagai organisme krustasea dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan kitin pada berbagai jenis krustasea Jenis Organisme Limbah Kulit Kandungan Kitin bk Kerang 3-6 Kepiting: Collinectes sapidus Chinoecetes opilio 13,5 26,6 Udang: Pandalus borealis Crangon crangon Penaeus monodon 17,0 17,8 40,4 Crawfish 29,8 Prawn 33,0 Squid pen 20-40 Sumber: Synowiecki Al-Khateeb 2003; Kurita 2006 Kitin adalah suatu produk alami yang terdiri dari unit N-asetil-D- glukosamina yang dih ubungkan melalui ikatan glikosidik 1→4-2-deoksi-d- glukosapiranosa Kumirska et al. 2008. Kitin adalah polimer dengan berat molekul tinggi dan memiliki sekitar 1000±3000 unit N-acetyl-D-glucosamine NAG Lower 1984. Bentuk molekul kitin hampir sama dengan selulosa, yaitu polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul gula sederhana, namun pada kitin, gugus hidroksi pada C-2 digantikan oleh gugus asetil amino -NHCOCH 3 Bastaman 1989. Knoor 1984 memyampaikan bahwa kitin berbentuk kristal dengan berat molekul lebih dari 1,2 x 10 5 dalton Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik [α] D 18+22º pada konsentrasi asam metanosulfat 1,0. Sebagai biopolimer kristalin, kitin terdapat dalam tiga bentuk kristal di alam, yaitu α, , dan Muzzarelli 1999. Kitin-α berbentuk kristal ortomorbik dengan setiap unit selnya mengandung 4 cincin N-asetil-D-glukosamin GlcNAc yang ditautkan dengan β ikatan glikosidik 1-4 dan tertata secara parallel, rapat, dan kompak. Kitin- berbentuk kristalin monoklin dan setiap unitnya terdiri atas β cincin N-asetil-D-glukosamin GlcNAc dan 2 molekul air yang tertata secara paralel. Sedangkan Kitin- diduga dalam β penataan, yaitu β rantai parallel dan 1 antiparalel Erika et al. 2006. Struktur bentuk kitin dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Struktur kimia kitin Mojarrad et al. 2007. Sifat kitin yang dapat terdegradasi secara ilmiah menunjukkan bahwa kitin bersifat ramah lingkungan, dapat didaur ulang menjadi sumber nitrogen dan karbon, dan juga dalam produksinya sangat berguna sebagai pereaksi bahan kimia Gooday et al. 1992. Kitin tidak dapat larut dalam air dan juga pelarut organik lainnya. Kitin merupakan polimer yang dapat diaplikasikan pada berbagai bidang industri, seperti kromatografi, kertas, tekstil, makanan dan nutrisi, pertanian, farmasi, dan sebagainya Kurita 2006. Sebuah penelitian membuktikan bahwa senyawa ini tidak mengakibatkan alergi dan tidak beracun, jadi tubuh tidak akan menolak senyawa ini sebagai material asing yang membahayakan Rasmussen Morrissey 2008. Secara umum, isolasi kitin terdiri dari tiga proses utama, yaitu proses penghilangan mineral demineralisasi Ca 2 CO 3 dengan perendaman dalam larutan HCl dan proses penghilangan protein dengan perendaman dalam larutan NaOH ataupun secara enzimatis menggunakan enzim protease atau mikroorganisme, dan penghilangan pigmen dekolorisasi menggunakan etanol atau aseton absolut Venugopal 2009. Shadidi dan Synowiecki 1991 mengemukakan bahwa faktor terpenting dalam tahap penghilangan mineral adalah jenis dan jumlah asam yang digunakan. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain seperti H 2 SO 4 pada kondisi tertentu Johnson dan Peniston 1982. Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10 lebih tinggi daripada H 2 SO 4 Knoor 1984. Menurut No et al. 1989 kondisi optimum demineralisasi dapat diperoleh dengan ekstraksi menggunakan HCl 1 N selama 30 menit pada suhu kamar dengan nisbah larutan sebesar 1:5 bv. Kondisi ini dapat menurunkan kadar abu kitin hingga 99,5. Deproteinisasi kitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam atau basa. Lazimnya, hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan NaOH 2-3 pada suhu 63-65°C selama 1-2 jam Johnson dan Peniston 1982: Knorr 1984. Menurut No et al. 1989, deproteinisasi optimum dicapai pada kondisi ekstraksi menggunakan larutan NaOH 3,5 bb selama 2 jam pada 65°C dengan pengadukan tetap dan nisbah padatan-pelarut 1:10 bv. Kondisi optimum No et al. 1989 dapat menurunkan kadar nitrogen menjadi 6,86 mendekati nilai teoritisnya, yaitu 6,9 dalam kitin murni. Efisiensi deproteinisasi tidak hanya bergantung pada konsentrasi basa dan asam, tetapi juga spesies serta kondisi sumber kitin yang digunakan. Aye dan Stevens 2004 mengemukakan bahwa perlakuan pendahuluan fisika seperti pembersihan, pengeringan, penghancuran, dan penyaringan memberikan penampakan yang menarik untuk proses pemanfaatan kembali 50 protein cangkang udang sebagai protein hidrolisat. Perlakuan pendahuluan cangkang dengan mencampurkannya ke dalam air asam dapat menghilangkan protein sebesar 60 dan mereduksi mineral tanpa menurunkan produksi kitin. Kedua metode perlakuan pendahuluan tersebut akan memudahkan penerapan teknologi bersih untuk produksi kitin, sehingga sangat memungkinkan untuk menurunkan pemakaian bahan kimia dengan memanfaatkan protein terbuang dan mengurangi kontaminasi lingkungan. 3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat