Analisis FTIR glukosamin hidroklorida GlcN HCl Stuart 2004 Pengujian toksisitas glukosamin hidroklorida GlcN HCl dengan metode

termodifikasi. Penentuan konsentrasi dengan HPLC dilakukan dengan teknik kromatografi partisi terbalik, yaitu dengan fase diam bersifat nonpolar, sedangkan fase gerak bersifat polar. Proses pemisahan kromatografi fase normal berjalan dengan mengeluarkan komponen-komponen yang nonpolar terlebih dahulu, sementara komponen lainnya yang lebih polar akan tertahan lebih lama dalam kolom. Laju alir fase gerak yang digunakan isokratik, yaitu nisbah volume fase gerak selalu tetap sama selama proses pemisahan. Detektor yang digunakan dalam pengujian HPLC adalah refraksi indeks. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa gugus primer dan sekunder pada glukosamin, sehingga perlu dilakukan derivatisasi Zhu et al. 2005 akan tetapi proses ini memerlukan biaya yang cukup tinggi Saharty Bary 2002. Crespo et al. 2006 menyatakan bahwa refraksi indeks merupakan detektor yang dapat mengidentifikasi hampir seluruh komponen non-ionik yang tidak dapat diserap oleh detektor lainnya seperti UV-Vis dan fluorescence. Metode ini menggunakan kolom Waters Bondapak NH 2 3,9 x 300 mm dengan pompa Waters 1525 Binary Pump. Fase gerak yang digunakan adalah asetonitril HPLC grade dan air HPLC grade 60:40 dengan sistem eluen isokratik. Laju alir 1 mlmenit dengan volume penyuntikan 50 µl, dan suhu kolom 40 o C. Deteksi dilakukan menggunakan detektor Refractive Index RI Waters 2414. Konsentrasi glukosamin hidroklorida standar dan hasil hidrolisis yang digunakan sebesar 1000 ppm 1 mgml.

3.4.4 Analisis FTIR glukosamin hidroklorida GlcN HCl Stuart 2004

Analisis FTIR merupakan salah satu teknik spektroskopi inframerah yang dapat mengidentifikasi kandungan gugus kompleks, struktur kimia, pita serapan, serta informasi ikatan polimer pada suatu senyawa dengan spektra infra merah yang terdapat pada range 400-4000 cm -1 Kauppinen Partanen 2001. Spektrofotometer inframerah dispersif menggunakan monokromator sebagai pemilah panjang gelombang yang pada FTIR digantikan dengan interferometer. Teknik ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu relatif cepat, sampel uji tidak perlu murni, dan tingkat ketelitian tinggi Stuart 2004. Padatan glukosamin hidroklorida hasil hidrolisis dan standar masing- masing dicampur dengan KBr dengan nisbah 1:100 lalu digerus sampai rata dengan menggunakan mortar. Campuran ini ditempatkan dalam alat pengepresan dan dilakukan pengepresan pada tekanan 800 kg. kepingan hasil pengepresan diukur absorbansinya menggunakan FTIR. Kisaran scanning yang digunakan antara 450 cm -1 hingga 4000 cm -1 . 3.4.5 Uji titik leleh AOAC 1995 Padatan glukosamin hidroklorida sintetik dimasukkan dalam tabung kapiler melalui ujung tabung yang terbuka. Agar padatan turun ke dasar tabung, tabung diketuk dengan dasar tertutup di bagian bawah atau dijatuhkan melalui sebuah tabung sempit yang panjang. Cara ini dilakukan berulang kali untuk mendapatkan contoh padat dalam tabung setinggi 1-2 mm. Tabung kapiler dimasukkan ke pemanas listrik untuk penetapan titik leleh. Alat dinyalakan dan suhu dinaikkan perlahan sampai titik leleh tercapai.

3.4.6 Pengujian toksisitas glukosamin hidroklorida GlcN HCl dengan metode

brine shrimp lethal toxicity BSLT Meyer et al. 1982. Brine Shrimp Lethality Test BSLT merupakan salah satu metode skrining yang dapat digunakan sebagai tahapan awal dalam menentukan ketoksikan suatu ekstrak ataupun senyawa Metode BSLT memiliki beberapa keunggulan yaitu, perkembangbiakan hewan uji cepat, harganya murah, metode percobaannya mudah, sampel yang diperlukan sedikit, tidak memerlukan laboratorium yang khusus dan hasilnya dapat dipercaya Indiastuti et al. 2008. Menurut Meyer et al. 1982, suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC 50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai LC 50 30 -1000 ppm dan dianggap tidak toksik bila nilai LC 50 di atas 1000 ppm. Tahapan awal adalah penetasan telur Artemia salina Leach dalam gelas piala ukuran 1 liter yang telah berisi air laut kemudian diletakkan di bawah lampu neon 40 watt dan diberi aerasi. Setelah 48 jam telur menetas menjadi naupilus dan siap untuk diujicobakan. Larutan uji dibuat dengan konsentrasi 1000 ppm, 100 ppm, dan 10 ppm. Uji bioaktivitas dilakukan dengan cara memasukkan 2 ml air laut yang berisi 10-12 ekor Artemia salina Leach yang telah berumur 48 jam ke dalam vial uji. Selanjutnya, ke dalam vial uji ditambahkan 2 ml larutan uji untuk masing-masing konsentrasi akhir pada tiap-tiap lubang vial uji adalah 1000 ppm, 100 ppm, dan 10 ppm kemudian disimpan di bawah lampu neon 40 watt. Sebagai kontrol dipakai 4 ml air laut yang berisi 10 -12 ekor larva udang tanpa penambahan larutan uji. Perhitungan jumlah larva udang yang mati dilakukan setelah 24 jam dan dianalisis menggunakan metode Sam Colegate et al. 1993 berdasarkan perhitungan jumlah larva yang mati dan yang masih hidup, dan tingkat kematian atau mortalitas diperoleh dengan membandingkan antara jumlah yang mati dibagi dengan jumlah total larva. Nilai LC 50 diperoleh dengan cara menghitung menurut rumus y = a+bx. Harga y yang dimasukkan adalah 50 setelah masa inkubasi 24 jam. Nilai a dan b diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus regresi linear berdasarkan data dari tiga titik konsentrasi yang digunakan. Harga x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian pada 50 larva. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Fisik dan Kimia Kulit Udang Putih Penaeus