persaingan monopolistik dan pada tahun 1990-2000 berbentuk pasar oligopoli. Selanjutnya, struktur pasar pada perdagangan udang segar adalah oligopoli
untuk periode 1984 sampai dengan 1999 dan pasar persaingan monopolistik pada periode 1997-2000. Dalam hal ini, posisi Indonesia adalah market
follower. Cai dan Leung 2006 menyebutkan bahwa tingkat persaingan di ketiga
pasar utama makin kompetitif pada tahun 2000 dibandingkan 1990. Market power makin kurang terkonsentrasi di ketiga pasar tersebut. Udang di pasar
Jepang didominasi oleh pengekspor dari negara-negara Asia Fasifik, di pasar AS oleh Amerika Latin, sedangkan untuk UE tidak nampak adanya dominasi
regional. Ringkasnya, faktor penentu tingkat keunggulan komparatif dari negara
produsen di Asia adalah biaya oportunitas dari biaya operasional dan harga yang diterima di pasar internasional. Keunggulan komparatif dapat
ditingkatkan melalui perbaikan pajak, pinjaman pada tingkat bunga rendah, pengurangan tarif impor tepung ikan, dan bahan pembuat pakan lainnya. Selain
itu, penting melakukan koordinasi dibidang ekspor dan pemasaran terkait aturan internasional, pengembangan produk, informasi pasar karena fluktuasi
harga udang di pasar internasional.
5.2. Constant Market Share Analysis
Analisis RCA selanjutnya dilengkapi dengan menggunakan model CMSA dan hasilnya disajikan pada Tabel 19 nilai ekspor dan Tabel 20
kuantitas ekspor. Berdasarkan Tabel 19, perubahan nilai ekspor Indonesia dan Thailand bernilai positif. Hasil dekomposisi tahap pertama udang
Indonesia berdaya saing, tercermin dari nilai efek kompetitif yang bernilai positif. Nilai efek kompetitif yang positif menunjukkan perubahan ekspor
terkait dengan perubahan daya saing negara pengekspor. Sebaliknya Thailand bernilai negatif. Kontribusi negatif efek kompetitif menunjukkan menurunnya
kinerja ekspor suatu negara karena turunnya daya saing.
Tabel 19. Dekomposisi CMSA Perubahan Nilai Ekspor Indonesia dan Thailand, Tahun 1989-2003 dan 2004-2008
Unsur Dekomposisi Indonesia
Thailand Nilai US
Nilai US
Perubahan Nilai Ekspor 172 197 247
100.0 153 853 341
100.0 Dekomposisi Tahap-Pertama
- Efek Struktural 34 553 428
20.1 1 651 252 275 1073.3
- Efek Kompetitif 4 791 940
2.8 -769 637 350
-500.2 - Efek Ordo-kedua
132 851 879 77.2
-727 761 584 -473.0
Dekomposisi Tahap-Kedua - Efek Pertumbuhan
528 002 487 306.6
1 300 436 483 845.2
- Efek Distribusi Pasar -329 564 173
-191.4 59 092 810
38.4 - Efek Komposisi Komoditas
-90 981 960 -52.8
357 282 544 232.2
- Efek Interaksi -72 902 925
-42.3 -65 559 562
-42.6 - Efek Kompetitif Umum
-214 576 312 -124.6
-691 472 621 -449.4
- Efek Kompetitif Spesifik 219 368 252
127.4 -78 164 729
-50.8 - Efek Orde Kedua Murni
3 153 939 1.8
-506 556 652 -329.2
- Struktural Dinamik 129 697 940
75.3 -221 204 932
-143.8
Akan tetapi apabila dilanjutkan dengan dekomposisi tahap pertama dan tahap kedua, nampak perbedaan. Hasil dekomposisi tahap kedua, menunjukkan
bahwa efek struktural Indonesia yang positif tersebut disebabkan oleh efek pertumbuhan perdagangan dunia. Artinya, negara Indonesia mendapat manfaat
dari pertumbuhan impor dunia. Sebaliknya, efek komposisi komoditas dan efek
distribusi pasar bernilai negatif. Artinya, Indonesia kurang memperhatikan komposisi produk segar, beku, olahan karena mayoritas ekspor didominasi
udang beku. Efek distribusi pasar yang negatif menunjukkan bahwa Indonesia mengekspor ke negara-negara yang pertumbuhan impor rendah.
Meskipun terjadi penurunan di pasar Jepang, hal positif dari pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname adalah bahwa Indonesia masih
berada pada posisi sebagai eksportir utama udang di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan pangsa pasar di Jepang maka perlu mendorong
pengembangan budidaya udang windu dengan menyiapkan benur unggul dan induk bermutu. Implikasinya, broodstock center dan riset perlu didorong dan
didukung anggaran memadai. Menggunakan model Constant Market Share Analysis CMSA, daya
saing ekspor Indonesia ternyata lebih disebabkan karena efek daya saing spesifik, yaitu mengekspor spesifik produk udang beku ke spesifik pasar
Jepang dan AS. Implikasi dari ketergantungan yang tinggi pada produk dan tujuan ekspor tertentu akan berbahaya jika terjadi guncangan pada produk
udang yang diekspor dan ketidakstabilan pasar tersebut. Thailand mempunyai keunggulan komparatif pada ketiga produk udang
yang diekspor di ketiga pasar. Berdasarkan nilainya angka indeks RCA Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka indeks RCA Indonesia.
Selain itu, Thailand memiliki efek komoditas dan distribusi pasar yang lebih baik. Meskipun demikian, indeks daya saing Thailand mengalami penurunan,
artinya persaingan sesama produsen udang makin ketat
Efek daya saing khusus Indonesia nilainya lebih besar dibandingkan efek daya saing umum. Efek daya saing umum yang negatif menunjukkan
bahwa perubahan pangsa pasar Indonesia terhadap total ekspor produk udang dalam pasar dunia mengalami penurunan. Efek daya saing spesifik udang
Indonesia yang bernilai positif, artinya bahwa keunggulan daya saing udang Indonesia lebih karena mengekspor produk spesifik udang beku ke pasar
spesifik AS dan Jepang. Implikasi dari ketergantungan yang tinggi pada satu produk dan pada
pasar tertentu berpotensi mengancam capaian target ekspor jika terjadi terjadi gangguan di pasar tersebut. Delgado et al., 2003 menambahkan bahwa
diversifikasi tujuan pasar diperlukan karena kecenderungan perdagangan udang akan bergeser dari South ke North menjadi South ke South.
Berbeda dengan Indonesia, Thailand mempunyai efek distribusi pasar dan efek komposisi komoditas yang bernilai positif. Artinya diferensiasi
produk dan diversifikasi pasar telah dilakukan dengan baik oleh Thailand. Kondisi di atas didukung oleh hasil studi Aisya et al., 2006 yang
menggunakan metode CMSA, efek pasar dari udang segar bertanda negatif, artinya terdistribusi pada jenis-jenis komoditas yang permintaannya relatif
lambat di negara tujuan ekspor utama, dan sebaliknya udang olahan. Ditinjau dari efek daya saing udang segar tandanya positif, artinya memiliki daya saing
yang kuat. udang olahan SITC 37 mempunyai tanda positif. Artinya, naiknya pertumbuhan dunia mengakibatkan ekspor komoditas udang olahan Indonesia
meningkat. Udang olahan yang nilai tambahnya lebih tinggi, efek pertumbuhan dan daya saingnya menguntungkan, akan tetapi masih kalah dibanding dengan
udang segar. Hasil agak berbeda apabila analisis didasarkan pada perubahan kuantitas ekspor seperti ditunjukkan oleh Tabel 20.
Tabel 20. Dekomposisi CMSA Perubahan Kuantitas Ekspor Indonesia dan Thailand, Tahun 1989-2003 dan 2004-2008
Unsur Dekomposisi Indonesia
Thailand Kuantitas ton
Kuantitas ton Perubahan Ekspor
39675499 100 99 326 184
100 Dekomposisi Tahap-Pertama
- Efek Struktural 41 940 756
106 109 249 436
110 - Efek Kompetitif
15 169 375 38
157 403 127 158
- Efek Ordo-kedua -17 434 633
-44 -167 326 379
-168 Dekomposisi Tahap-Kedua
- Efek Pertumbuhan 84 143 254
212 157 836 616
159 - Efek Distribusi Pasar
-31 653 744 -80
-80 152 673 -81
- Efek Komposisi Komoditas -8 047 058
-20 -44 618 368
-45 -
Efek
Interaksi -2 501 696
-6 76 183 861
77 - Efek Kompetitif Umum
-25 245 845 -64
-33 218 347 -33
- Efek Kompetitif Spesifik 40 415 221
102 190 621 474
192 - Efek Orde Kedua Murni
11 549 796 29
119 845 017 121
- Struktural Dinamik -28 984 430
-73 -287 171 397
-289
Berdasarkan Tabel 20, hasil dekomposisi tahap pertama, Indonesia dan Thailand mempunyai efek kompetitif yang bernilai positif, namun Thailand
mempunyai nilai lebih tinggi. Terjadinya perbedaan hasil analisis berdasarkan nilai ekspor dan berdasarkan kuantitas terutama untuk Thailand
mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan komposisi ekspor. Semula, mayoritas yang diekspor adalah udang windu menjadi udang vaname yang
rata-rata berukuran relatif lebih kecil, sehingga dari sisi kuantitas meningkat dan dari sisi nilai relatif stabil.
5.3. Rangkuman