6.2.1. Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak Indonesia
Hasil estimasi pada persamaan permintaan faktor produksi penggunaan pakan dan benur disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil Estimasi pada Persamaan Permintaan Faktor Produksi Udang Tambak
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas
Prob [ t ]
Endogen Eksogen
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Jumlah pakan yang
digunakan QPAKN
Intersep
454.8623 0.0001
Harga pakan
-75.7553 -2.1594
0.0002
Selisih harga udang segar domestik
2.782065 0.0176
0.0146
Tren waktu
15.76608 0.0001
R2 = 88.28 F
hitung
0.0001 DW= 0.739925
Jumlah benur yang
digunakan QBENR
Intersep
3.26316 0.4580
Harga benur
-0.20077 -0.1318
-0.1548 0.2807
Harga pakan
-2.31852 -0.5598
-0.6573 0.3514
Harga udang segar domestik
0.378539 0.5933
0.6966 0.1500
Trend waktu
1.911489 0.0769
Jumlah benur beda kala
0.148305 0.2940
R2 = 74.50 F
hitung
0.0015 Durbin-h stat tidak ada kesimpulan
Berdasarkan Tabel 21, jumlah pakan yang digunakan dipengaruhi secara nyata dan responsif oleh harga pakan. Rata-rata tiap peningkatan harga
pakan 1 akan menurunkan penggunaan pakan sebesar 2.1594, ceteris paribus. Hal tersebut mengindikasikan bahwa harga pakan yang berlaku
dewasa ini relatif mahal sehingga kurang mendukung pengembangan usaha budidaya. Kenaikan harga pakan tersebut akan menurunkan penggunaan pakan,
dan pada akhirnya menurunkan produksi udang tambak. Tingginya harga pakan tersebut antara lain disebabkan sebagian besar
bahan baku masih impor. Prosentase bahan baku impor tersebut yaitu tepung ikanMeat and Bone MealMBM 100, bungkil kedelaiSBM 100, Rape
Seed meal 100 Corn Gluten MealCGM 100, Calcium phosphate 100,
Feed additive 100, dan Vitamin 100. Selain itu, beberapa bahan baku masih dikenakan tarif bea masuk seperti untuk fish oil 5, rape seed 5,
Lysine 5, dan DDGS 5. Selain itu, lokasi tambak yang umumnya di daerah remote area
menyebabkan tingginya biaya transaksi. Jumlah perusahaan pakan udang pada tahun 2010 mencapai 27 perusahaan, akan tetapi masih didominasi oleh
beberapa perusahaan besar yang tergabung dengan perusahaan ternak. Implikasi dari kondisi di atas, perbaikan infrastruktur yang akan mengurangi
biaya produksi dan upaya penurunan harga pakan udang merupakan hal penting dalam rangka peningkatan daya saing.
Kedua, pengaruh harga pakan terhadap jumlah penggunaan benur tidak responsif, akan tetapi pengaruh harga pakan lebih besar dibandingkan dengan
pengaruh harga benur. Rata-rata peningkatan harga benur 1 menurunkan penggunaan benur sebesar 0.1318, sedangkan peningkatan harga pakan 1
akan menurunkan penggunaan benur 0.5598, ceteris paribus. Pakan dan benur merupakan barang komplementer. Kondisi di atas juga sejalan dengan
fenomena di tingkat lapang, bahwa pabrik pakan cenderung meningkatkan harga jual pakan jika terjadi kenaikan harga udang, dibandingkan pengusaha
pembenihan hatchery. Ketiga, pengaruh harga udang segar domestik terhadap penggunaan
benur nilainya lebih besar dibandingkan terhadap penggunaan pakan. Artinya bahwa kenaikan harga output tersebut lebih mendorong penggunaan benur
dibandingkan penggunaan pakan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas tambak yang ada dikelola secara non-intensif. Hal tersebut diduga
karena risiko kegagalan pada budidaya intensif udang masih tinggi. Implikasinya pemerintah perlu meyakinkan pembudidaya udang apabila akan
melakukan intensifikasi. Meskipun demikian, perlu kehati-hatian apabila akan melakukan intensifikasi karena berisiko tinggi terhadap agroekologis.
6.2.2. Pertumbuhan Total Factor Productivity
Kemajuan teknologi merupakan pendorong peningkatan produksi. Dalam analisis ini kemajuan teknologi diproxy oleh pertumbuhan TFP dan
dihitung menggunakan angka indeks Tornqvist Theil. Berdasarkan definisi, TFP merupakan pertumbuhan output yang tidak disebabkan oleh pertumbuhan
faktor produksi atau dikenal dengan pengaruh residual. Pada Model yang dibangun, TFP diduga dipengaruhi oleh variabel produktivitas tenaga kerja
yang diproxy dari tingkat pendidikan dan anggaran irigasi melalui APBN untuk menambah ketersediaan air. Variabel lain seperti anggaran riset tidak
diamsukan ke dalam model karena keterbatasan data. Hasil estimasi selengkapnya disajikan pada Tabel 22.
Berdasarkan data pada Tabel 22, pengaruh tingkat pendidikan bersifat responsif dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan TFP dibandingkan
peningkatan anggaran irigasi melaui APBN. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka ruang untuk peningkatan kualitas SDM dalam rangka
meningkatkan produktivitas. Hasil survey Sosek Perikanan Tahun 2005 menunjukkan bahwa secara umum mayoritas pembudidaya udang
berpendidikan dibawah SLTA yaitu tidak tamat sekolah sebanyak 3.2, tamatan SD sebanyak 43.6 dan hanya 7.7 yang merupakan lulusan
perguruan tinggi DJPB, 2005. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan di
Thailand, Sriwichailamphan 2007 melakukan studi mencakup 350 orang pembudidaya udang menemukan 28.7 responden berpendidikan S-1 dan
sebanyak 2.6 berpendidikan S-2. Tabel 22. Hasil Estimasi pada Persamaan Pertumbuhan Produktivitas TFP
Udang Tambak
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas
Prob [ t ] Endogen
Eksogen Jangka
Pendek Jangka
Panjang
Pertumbuhan Produktivitas
Faktor Total TFPIN
Intersep
-0.44853 0.3900
Tingkat pendidikan pembudidaya
0.152959 1.3921
0.1933
Jumlah anggaran irigasi dari Pemerintah
5.89E-07 0.0173
0.2303
R2 = 14.08 F
hitung
0.2969 DW = 2.696481
Kedua, infrastruktur berupa pembangunan irigasi juga penting dalam mendukung ketersediaan air sehingga mendorong pembudidaya untuk
meningkatkan padat tebar intensifikasi. Namun demikian, hasil studi ini menunjukkan bahwa pengaruh anggaran irigasi APBN tersebut tidak responsif
terhadap pertumbuhan TFP. Hal tersebut diduga karena anggaran untuk infrastruktur melalui APBN selama ini terbatas.
6.2.3. Produksi Udang Tambak Indonesia
Hasil estimasi pada persamaan produksi udang tambak disajikan pada Tabel 23. Berdasarkan Tabel 23 dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, penggunaan pakan bersifat responsif dan signifikan pada taraf 1. Setiap kenaikan penggunaan pakan udang rata-rata 1 akan meningkatan
produksi udang tambak 1.0035, ceteris paribus. Berdasarkan nilai elastisitas tersebut, berarti untuk memproduksi satu kg udang diperlukan jumlah pakan
sebanyak 0.99 kg atau Feed Convertion Ratio FCR mencapai 0.99. Nilai FCR
dibawah satu tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas tambak dikelola secara
non-intensif semi-intensif dan ekstensif. Budidaya udang
menggunakan teknologi intensif umumnya mempunyai nilai FCR sekitar 1.7 sampai dengan 2.5.
Tabel 23. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Tambak
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas
Prob [ t ] Endogen
Eksogen Jangka
Pendek Jangka
Panjang
Produksi udang
tambak Indonesia
QTAMB Intersep
-6.30814 0.2921
Harga udang segar domestik
0.001025 0.0002
0.4958
Selisih harga BBM
-0.002400 -0.0015
0.1663
Jumlah pakan
0.990892 1.0035
.0001
Selisih jumlah benur
0.087033 0.0009
0.1742
Selisih tingkat suku bunga
-0.01254 -0.0003
0.4502
Dummy serangan penyakit
-1.80744 0.1863
Pertumbuhan TFP
5.599316 0.0290
0.2980
R2 = 99.91 F
hitung
0.0001 Dw= 1.802372
Kedua, hasil dugaan parameter harga BBM energi terhadap produksi udang tambak bernilai negatif. Peningkatan harga BBM akan menurunkan
produksi udang tambak yang pada gilirannya berpengaruh negatif terhadap daya saing. Kontribusi BBM terhadap biaya produksi pada tambak intensif dan
semi-intensif sekitar 13. Penggunaan BBM terutama untuk kincir, pompa, dan penerangan. Intensitas penggunaan BBM akan meningkat dengan
meningkatnya padat penebaran. Pembudidaya di beberapa daerah seperti di Jawa Timur memperoleh solar dengan harga subsidi, sedangkan daerah lain
seperti Lampung, menggunakan solar harga industri. Implikasinya, pemerintah perlu memperhatikan harga BBM agar industri udang dapat berkembang.
Ketiga, faktor lain yang berperan penting dalam rangka meningkatkan daya saing dari sisi biaya yaitu tingkat suku bunga pinjaman karena usaha
tambak udang termasuk padat modal. Hasil estimasi tingkat suku bunga pinjaman berpengaruh negatif, namun tidak signifikan dan tidak responsif. Hal
tersebut sejalan dengan studi Raharjo 2001 yang memperoleh nilai elastisitas
untuk tingkat suku bunga terhadap produksi 0.0678. Studi Irwan 1997 untuk periode pengamatan 1974-1995 menunjukkan bahwa produksi udang
dipengaruhi oleh harga udang domestik, tingkat suku bunga, dan jumlah produksi beda kala.
Keempat, hal lain yang tidak bisa diabaikan dan merupakan salah satu kendala terbesar dalam budidaya udang adalah terjadinya serangan penyakit
Devi dan Prasad, 2006. Hasil dugaan parameter dari dummy serangan penyakit yang bernilai negatif dan signifikan pada tarf 20. Serangan penyakit
akan menurunkan kuantitas produksi udang dibandingkan dengan periode tidak adanya serangan penyakit. Upaya mengatasi serangan penyakit melalui
penggunaan varietas udang vaname yang relatif tahan penyakit belum berhasil. Namun demikian, penggunaan udang vaname telah mendukung capaian
produksi udang nasional sehingga pangsa ekspor Indonesia di tingkat dunia relatif tetap.
Serangan penyakit berdampak pada pembudidaya yang menggunakan teknologi intensif, tetapi juga non intensif, serta tidak hanya pada tingkat usaha
skala kecil juga terhadap perusahaan terintegrasi. Salah satu perusahaan terintegrasi di Lampung terkendala juga serangan penyakit IMNV.
Produktivitas per kolam menurun bahkan ada yang mencapai 72.71 antara
lain produktivitas per kolam ukuran 5 000 m menurun dari 8 405 ton kolam atau 16 810 tonha pada tahun 2008 menjadi 2 294 kgkolam atau 4 586 tonha
pada kuartal kedua tahun 2010 Gambar 26. Perusahaan tersebut telah mengupayakan pengendalian yaitu dilaksanakannya Standard Operating
Procedure SOP yang baru menyangkut polyculture udang dengan ikan, pengurangan padat tebar, peningkatan frekuensi pergantian air, dan
penambahan kincir untuk meningkatkan sirkulasi oksigen.
6798 8405
6819
2407 2063
2370 1922
2294 6209
7136 6486
5892 6691
7170 5790
5316
335 533
2393 1253
1458 2080
1845 1529
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
2007 2008 2009 Q.1
2009 Q.2
2009 Q.3
2009 Q.4
2010 Q.1
2010 Q.2
CPB WM
AWS
Gambar 26. Dampak Serangan Penyakit terhadap Produktivitas Udang PT XYZ di Lampung Periode 2007-2010
Data lain terkait penyakit yaitu hasil survey oleh Global Aquaculture Alliance GAA tahun 2001 yang menemukan bahwa diperkirakan 22 dari
produksi udang tahun 2001 hilang akibat penyakit. Sebanyak 60 penyakit disebabkan virus dan 40 oleh bakteri. Kerugian ditaksir mencapai US 1
milyar, dan mencapai US 6 milyar untuk periode 2001 sampai dengan 2008.
Kelima, peningkatan daya saing dapat diupayakan melalui peningkatan produktivitas. Akan tetapi, produktivitas yang diukur dengan pertumbuhan TFP
sebagai proxy dari kemajuan teknologi pada studi ini tidak berpengaruh signifikan meningkatkan produksi. Artinya, penambahan produksi terutama
lebih karena penambahan faktor produksi. Pembahasan mengenai faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan TFP disajikan pada Bab VII.
6.2.4. Produksi Udang Hasil Tangkapan
Udang hasil tangkapan berperan penting dalam menambah ketersediaan bahan baku. Hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi udang
hasil tangkapan disajikan pada Tabel 24. Berdasarkan kriteria statistik, produksi udang hasil tangkapan secara signifikan pada taraf 5 dipengaruhi
harga output udang segar domestik dan jumlah penggunaan alat tangkap pukat udang. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa dalam jangka pendek
rata-rata peningkatan harga BBM 1 akan menurunkan produksi sekitar 0.0005, ceteris paribus. Artinya penting juga upaya pengurangan biaya BBM.
Tabel 24. Hasil Estimasi pada Persamaan Produksi Udang Hasil Tangkapan
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas
Prob [ t ]
Endogen Eksogen
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Produksi udang Hasil
Tangkapan QTNKP
Intersep 109.5602
0.0166 Harga riil udang segar
domestik 2.296985
0.3998 0.0079
Jumlah Alat Tangkap Pukat Udang
0.005401 0.1057
0.0142 Harga BBM beda kala
-0.00401 -0.0005
0.3980
R2 = 39.68
F
hitung 0.0499 DW = 1.226172
6.2.5.
Harga Udang Domestik dan Permintaan Bahan Baku
Hasil estimasi pada persamaan harga udang segar, harga udang beku domestik, permintaan udang segar oleh industri udang beku, dan permintaan
udang beku oleh industri udang segar disajikan pada Tabel 25. Pertama, Berdasarkan data pada Tabel 25, harga udang segar domestik secara signifikan
lebih dipengaruhi oleh jumlah ekspor dibandingkan pengaruh dari permintaan udang segar domestik. Kondisi tersebut dapat dimaklumi karena udang
merupakan komoditas ekspor, dan relatif mahal bagi konsumen domestik. Kedua, pada Model Daya Saing Udang Indonesia ini, permintaan udang
domestik merupakan persamaan identitas sehingga perilakunya tidak diamati. Akan tetapi berdasarkan data Susenas terjadi peningkatan konsumsi udang
domestik. Peningkatan konsumsi udang segar domestik dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, hal tersebut merupakan keberhasilan kampanye Gerakan
Memasyarakatkan Makan Ikan Gemarikan untuk mengkonsumsi udang. Kedua, kemungkinan lain adalah karena ukuran udang yang dihasilkan kurang
layak ekspor. Terkait dengan kemungkinan kedua, mengacu pada pengalaman di
Philipina, menurut Salayo 2000 udang lebih banyak dijual ke pasar domestik disebabkan produk tersebut tidak memenuhi persyaratan ekspor dalam hal
ukuran dan kualitas produk karena udang terserang penyakit. Akibatnya industri pengolahan dalam kondisi problematik. Demikian halnya di Thailand,
55 produk udang Thailand tahun 1987 dikonsumsi domestik, dan setelah dilakukan peningkatan mutu, maka pada tahun 1997 konsumsi domestik
menurun menjadi 35. Sebanyak 90 udang hasil budidaya diekspor, sisanya dikonsumsi domestik dan umumnya berukuran kecil. Rendahnya konsumsi
udang domestik di Thailand disebabkan harga udang lebih mahal dibandingkan harga daging ayam dan daging babi.
Tabel 25. Hasil Estimasi pada Persamaan Harga Udang Segar Domestik, Harga Udang Beku Domestik, Permintaan Udang Segar oleh Industri
Udang Beku, dan Permintaan Udang Beku oleh Industri Udang Olahan
Variabel Parameter
Dugaan Elastisitas
Prob [ t ]
Endogen Eksogen
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Harga udang segar domestik
PUSDOM Intersep
16.47634 0.2245
Permintaan udang segar domestik
beda kala 0.039417
0.4056 0.7530
0.2880 Jumlah ekspor
udang segar Indonesia ke AS
38.02945 0.2737
0.5081 0.0149
Tren waktu -2.00702
0.0342 Harga riil udang
domestik beda kala 0.461299
0.0286
R2 = 73.123
F
hitung= 0.0006 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
Harga udang beku domestik
PUBDOM
Intersep 6.045446
0.0502 Harga udang beku
dunia 0.142017
0.1274 0.1881
0.1305 Permintaan udang
beku domestik 0.003386
0.0101 0.0150
0.4468 Tren Waktu
-0.00116 0.4930
Harga udang beku domestik beda kala
0.322836 0.1110
R2 = 58.73
F
hitung= 0.0104 Durbin-h stat tidak terdefinisikan
Permintaan udang segar oleh
industri udang beku QDUSB
Intersep 30.22418
0.4653 Selisih harga udang
segar domestik -0.14723
-0.0004 0.4538
Harga riil udang beku domestik
6.985118 0.3461
0.4055 Trend waktu
10.71337 0.0001
R2 = 75.96
F
hitung=0.0001 DW=2.620788
Permintaan udang beku oleh industri
udang olahan QDUBO
Intersep -0.24292
0.0821 Selisih harga udang
beku domestik -0.00035
0.0000007 0.4959
Produksi udang Olahan Indonesia
2.00169 1.0021
.0001 Harga udang
olahan dunia 0.017416
0.0065 0.0948
R2 = 99.99
F
hitung= 0.0001 DW = 2.073017
Produki udang Olahan Indonesia
PruOI
Intersep 9.561422
0.3175 Harga udang
olahan dunia 0.574953
0.4269 0.2007
Harga udang beku domestik
-1.42308 -1.1228
0.2137 Jumlah ekspor
udang olahan Indonesia ke dunia
1.251376 1.1091
.0001 Tingkat suku
bunga 0.003228
0.0010 0.4779
R2 = 94.00
F
hitung= 0.0001 DW = 2.262889
Ketiga, bahwa pengaruh harga output lebih besar dibandingkan pengaruh harga input untuk persamaan permintaan udang segar oleh industri
udang beku. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh UPI dalam menentukan harga lebih dominan. Kasusnya berbeda untuk udang olahan,
produksi udang olahan Indonesia dipengaruhi secara responsif oleh harga input udang beku. Dengan demikian bahwa ketersediaan bahan baku menjadi
penting. Fluktuasi harga yang tinggi menurut Suryana 1989 menunjukkan bahwa sistem pemasaran yang ada tidak mampu mengendalikan sumber
interdependensi seperti surplus produksi. Fluktuasi harga antara lain disebabkan ekspor terkonsentrasi ke negara tertentu dan exportir sebagai
pembeli membentuk suatu kekuatan yang monopolistik. Keempat, mengingat tidak tersedianya data harga udang olahan
domestik, maka dalam Model ini dipilih penggunaan produksi udang olahan dipilih daripada penggunaan harga udang olahan domestik. Permintaan udang
beku oleh industri udang olahan secara responsif dipengaruhi oleh produksi udang olahan. Produksi udang olahan secara responsif dipengaruhi oleh harga
udang beku domestik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku berupa udang segar untuk industri udang beku, dan udang beku untuk
industri udang olahan berperan penting. Terkait bahan baku, apabila hasil budidaya dengan hasil tangkapan
ditambahkan maka jumlahnya cukup memadai. Diduga yang menjadi permasalahan adalah akibat penawaran yang tergantung musim maka pada
musim-musim tertentu melimpah dan pada musim lainnya kekurangan. Akibatnya disatu sisi, UPI mengalami kekurangan bahan baku sehingga
diperlukan impor, dilain pihak pembudidaya udang yang diwakili oleh Shrimp Club Indonesia SCI menyatakan bahwa bahan baku mencukupi sehingga
impor tidak diperlukan. Implikasi dari hal tersebut adalah perlunya keakuratan mengenai data perikanan.
Salah satu strategi yang dilakukan UPI dalam menjaga kesinambungan ketersediaan bahan baku yaitu dengan memiliki tambak sendiri. Akan tetapi,
ketika udang terkena serangan penyakit, kondisi tersebut akan mempengaruhi keberlanjutan usaha. Menurut Adriyadi 2009, hanya beberapa UPI yang
dikelola dengan baik. Beberapa penyebab tutupnya UPI adalah: over investment yaitu kapasitas besar kemampuan penawaran udang kurang
memadai, terjebak dalam kebijakan pembelian penjualan udang yaitu beli mahal jual murah, dan modal kerja pembelian udang ekspor digunakan untuk
membiayai tambak yang gagal panen. Kelima, pada studi ini, pengaruh tingkat suku bunga pinjaman terhadap
produksi udang olahan relatif kecil. Dengan demikian disamping penurunan tingkat suku bunga perlu juga upaya lain untuk mendorong industri pengolahan.
Upaya tersebut antara lain kemudahan investasi, pembangunan infrastruktur, dan memberikan insentif pada perusahaan yang membuat produk udang
bernilai tambah. Selain itu, perlu mengupayakan agar industri udang olahan lebih dekat dengan penyediaan bahan baku. Pengaruh hal-hal tersebut tidak
tertangkap pada Model yang dibangun.
6.2.6. Perbandingan dengan Thailand
Perbandingan dengan Thailand pada aspek produksi hanya didasarkan studi pustaka. Secara umum, Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan
Thailand. Pengembangan udang di Thailand dengan di Indonesia relatif sama, akan tetapi Thailand lebih maju. Nilai industri udang Thailand mencapai 1,1
dari GDP Thailand pada tahun 2006, memberi lapangan pekerjaan bagi lebih dari 1 juta orang dengan devisa sekitar US 2 milyar. Dari jumlah tersebut
sebanyak 90 berasal dari input lokal Institute for Management Education for Thailand Foundation, 2002.
Berikut disajikan beberapa hal terkait biaya produksi, penyakit, dan lainnya yang menyebabkan Thailand lebih maju dibandingkan negara lain.
Dalam upaya mempertahankan daya saing perhatian utama yang dilakukan Thailand adalah terhadap kualitas produk dan keamanan pangan. Thailand
menjadi pemimpin dalam ekspor udang dan memperoleh keunggulan kompetitif melalui tingginya produktivitas tambak Wyban, 2007a.
Pertama, key success faktors usaha tambak di Thailand yaitu penerapan teknologi pada semua level mulai hatchery, tambak, pabrik pakan, UPI, dan
perusahaan pemasaran internasional. Dukungan dari sisi keuangan tidak lepas dari peran dari Charoen Pokphan Feed, dan Thai Union Frozen Food.
Pemerintah dan universitas mendukung melalui riset dan penyuluhan. Thailand’s Mahachai Shrimp Auction juga menyediakan kesempatan
pembudidaya melakukan lelang yang kompetitif. Selain itu, perusahaan Thailand juga mempunyai perusahaan pemasaran di Jepang, EU, dan AS.
Dilain pihak, biaya produksi untuk beberapa komponen relatif sama. Hasil studi Ling et al., 1999 yang meneliti perbandingan biaya produksi
berdasarkan survey tahun 19941995 pada berbagai tingkat teknologi, mengungkapkan bahwa pada biaya tetap Indonesia lebih mahal untuk tingkat
suku bunga yaitu US 0.16kg atau mencapai 3.6 dibandingkan Thailand yang hanya US 0.11 atau 2.6 Gambar 27.
Sumber: Ling et al., 1991
Gambar 27. Perbandingan Biaya Produksi Udang Tambak Indonesia dengan Thailand
Berbeda dengan di Indonesia, Thailand relatif lebih berhasil dalam mengatasi serangan penyakit hasil dari program bioteknologi melalui National
Center for Genetic Engineering and Biotechnology BIOTEC. Hasilnya, tingkat kerugian akibat penyakit hanya 29 pada tahun 1990, sementara
negara lain mengalami kerugian sampai dengan 80 China merugi 120.000 ton senilai US 400 M dan Equador merugi senilai US 350 milyar. Waktu
pemulihan dari serangan penyakit juga lebih cepat Tanticharoen et al., 2008. Menurut Szuster 2003 dalam Sriwichailamphan 2007, kunci keberhasilan
dalam mengatasi permasalahan penyakit adalah pelaksanaan biosecurity Wyban, 2007a. Upaya yang dilakukan antara lain deteksi pathogen pada
benur sebelum ditebar menggunakan Polymere Chain Reaction PCR dan Real Time-Polymere Chain Reaction RT-PCR. Upaya lain antara lain
penggunaan metode diagnostik penyakit yang mudah dikerjakan oleh pembudidaya, penggunaan probiotik, dan imunostimulan.
Thailand sukses mempertahankan sebagai eksportir udang utama karena: berubahnya peran pemerintah, kebijakan publik, dan dukungan lainnya,
khususnya melalui pendekatan kluster. Pemerintah mengkoordinasikan dan mengintegrasikan semua aktifitas industri, termasuk aspek ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk menunjang dan mengembangkan produksi dan pemasaran. Beberapa studi menyarankan bahwa “a cooperative cluster” merupakan
pendekatan terbaik untuk pengembangan industri. Semua pihak ada perwakilan baik dari pemerintah, pembudidaya sampai dengan eksportir. Pemerintah
memperkuat kelembagaan koperasi. Manfaatnya terasa yaitu makin efektifnya pengelolaan budidaya melalui sistem manajemen terpadu.
Pemerintah Thailand berubah peran dari “strong” regulator menjadi fasilitator dalam membantu industri udang menciptakan peluang pasar dan
meningkatkan daya saing melalui penelitian dan pengembangan. Selain itu, Thailand mampu bersaing dengan China dan Vietnam karena
pengolah udang memiliki peralatan tercanggih dan kualitas SDM yang tinggi. Termasuk didalamnya berupa transfer teknologi dari Jepang. Pembudidaya di
daerah memiliki asosiasi dan umumnya adalah koperasi. Asosiasi ditingkat pengolah berfungsi untuk tukar menukar informasi, bantuan dari konsultan
independen perusahaan, dan the Thai Industrial Standards Institute mendukung pengembangan produk Sriwichailampan, 2007.
Pemerintah Thailand juga telah berupaya mengembangkan udang windu, namun kurang berhasil. Guna mengurangi penurunan produksi akibat
lambatnya pertumbuhan udang windu yang menyebabkan capaian produksi hanya 260 ribu dari 300 ribu ton, maka dilakukan impor induk dan domestikasi
P. monodon. Pertimbangannya, udang tersebut mempunyai pasar khusus, kurang tersaingi, dan mempunyai harga tinggi. Pada periode 2003-2007
tersebut kebutuhan dana mencapai sekitar US 18 juta. Menurut Lebel et al, 2010 industri udang Thailand diuntungkan
dengan pergantian dari udang windu ke udang vaname. Selain itu, dukungan dari perusahaan multi-nasional PT CP, izin untuk impor induk, penanganan
penyakit melalui penyiapan benur Specific Pathogen Free SPF dan biaya produksi lebih rendah. Pengaruh udang vaname terhadap lingkungan yaitu
membutuhkan lebih sedikit sumberdaya dan menghasilkan lebih sedikit limbah. Sebagai contoh, untuk menghasilkan satu ton udang vaname hanya dibutuhkan
51 000 benur udang putih, sedangkan udang windu 128 000 ekor, air yang dibutuhkan sebanyak 2 540 m3, sedangkan udang windu sebanyak 9 240 m3,
udang putih membutuhkan energi 4 610 kWh, sedangkan udang windu 8 100 kWh, kebutuhan pakan udang vaname 1 620 kg, sedangkan windu sebanyak 2
420 kg. Kunci sukses Thailand dengan vannamei adalah dengan mengontrol
induk udang impor untuk menjamin kecukupan suplai dari induk vaname yang benar-benar SPF. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan ijin dari
Departemen Perikanan dengan dua tahun tahun perkembangan benur yang dihasilkan SPF, dan memerlukan sertifikasi dari pemerintah AS yaitu berasal
dari Oceanic Institute di Hawaii Otoshi et al., 2007.
Kunci sukses usaha budidaya berada pada induk udang dan benur bersertifikat. Revolusi budidaya udang Thailand terutama diuntungkan oleh
domestikasi dan breeeding P. vannamei SPF oleh perusahaan AS. Perusahaan Thailand Thai Union Feed MillTFM produsen pakan terbesar yang
merupakan bagian dari Thai Union Frozen Food Ltd TUF bekerjasama dengan High Health Aquaculture HHA. Join venture tersebut diberi nama
High Health Thailand dengan biaya US 11 juta mulai tahun 2005. Hatchery dibangun di pantai Khao Pilai di Phang Nga mulai tahun 2006 dan selesai April
tahun 2007. Kapasitas produksi 300 juta PLbulan menggunakan induk GxTVR tm bebas penyakit, cepat tumbuh, dan resisten terhadap Taura Virus
Syndrome yang berasal dari HHA di Hawaii dan ditangani oleh personil dari HHA.
Kebijakan Pemerintah Thailand lainnya termasuk subsidi, infrastruktur dan riset merupakan faktor penting tumbuhnya industri Goss et al., 2009;
Sagheer et al., 2007. Keberhasilan blue revolution atau intensifikasi budidaya ikan, tidak terlepas karena impor udang putih di Thailand secara ilegal dari
China pada tahun 1998. Udang putih yang dibudidayakan tersebut sebagian berhasil panen dan sebagian terkena penyakit. Pada tahun 2001 banyak
perusahaan melakukan impor sehinggga pada tahun 2002 Pemerintah Thailand mulai memberi izin dan mendata perusahaan yang diperbolehkan mengimpor
induk vananme SPF Sitimung, 2004. Izin impor makin mudah setelah terjadinya penyakit MSG Monodon Slow Growth dengan importir utamanya
yaitu Charoen Pokphan CP. Dengan kondisi tersebut, CP memperoleh kesempatan strategi baru yaitu untuk menjual pakan udang dan benur sekaligus.
Pemerintah Thailand juga memberikan dukungan terutama riset bidang penyakit. Ketergantungan pada komponen impor dikurangi, semula sekitar 25-
50 berkurang menjadi 25 untuk komponen pakan, peralatan tambak, dan BBM. Pengalaman pembudidaya juga ditingkatkan melalui training secara
langsung, penyuluhan melalui CD, dan penyuluhan melalui internet dan kelembagaan CORIN, 2000. Dari sisi SDM, produktivitas tenaga kerja dan
produktivitas bahan baku Thailand lebih baik dari China danVietnam karena pengalaman dan keahlian tenaga kerja Thailand, termasuk transfer teknologi
dari Jepang. Akan tetapi, industri udang di Vietnam dan China mempunyai pertumbuhan yang tinggi karena rendahnya biaya produksi, baik upah tenaga
kerja maupun bahan baku. Pemerintah Thailand juga membuat tambak percontohan dempond,
dan Code of Conduct dikembangkan ke 22 provinsi. Pemerintah melakukan sertifikasi hatchery, distributor, dan unit pengolah ikan. Promosi ekspor
dilakukan untuk mempersepsikan bahwa produk udang Thailand bermutu tinggi, aman, dan ramah lingkungan. Unit Pengolah Ikan menerapkan HACCP,
dan traceability dilaksanakan. Pemerintah pusat bekerjasama dengan daerah, perusahaan swasta utama seperti CP Group dan universitas Kasetsart, Mahidol
and Sri Nakarindharaviroj Tanticharoen, 2002. Terkait peran swasta, CP Grup mempunyai 14 pusat penyuluhan
technical extension center yang dilengkapi dengan fasilitas laboratorium kimia dan biologi, serta menyediakan pelatihan secara bebas, analisis kualitas
air. Untuk daerah yang padat budidaya disediakan juga laboratorium keliling.
Thailand juga concern dengan pembangunan tambak berkelanjutan. Kriteria usaha budidaya berkelanjutan sebagai tambak yang mempunyai
produktivitas tinggi, low problem cost, berdampak rendah terhadap lingkungan. Hasilnya adalah tambak yang mempunyai luas kecil, usaha keluarga dengan
dengan tandon, kolam pemeliharaan dengan kedalaman 1.5 m - 1.7 m dan kolam pengolah limbah. Pembudidaya menggunakan pakan komersial buatan
Thailand, penggunaan kapur sebelum ditanam, rendah FCR, ada periode pengeringan kolam, menerima penyuluhan dari petugas penyuluh. Berlokasi di
daerah mangrove, sehingga permasalahan dengan sedimen, salinitas, dan air relatif rendah.
6.3. Blok Perdagangan Udang Segar
Hasil studi Keefe 2002 menunjukkan bahwa dalam perdagangan udang dunia terjadi substitusi antar satu produk segar, beku, olahan dengan
produk lainnya pada tingkat substitusi berbeda-beda. Udang segar umumnya diperdagangkan untuk diekspor kembali. Belanda, contohnya, mere-ekspor
udang segar dalam rangka memperoleh nilai tambah. Dari total impor senilai US 459 juta pada tahun 2010. Belanda merupakan importir utama dunia
dengan nilai US 52 juta, disusul Belgia US 45 juta, dan Perancis US 35 juta. Di Asia, importir utama yaitu Singapura dengan nilai US 46 juta.
Eksportir utama juga diduduki oleh Belanda dengan nilai US 133 juta, disusul China US 110 juta, dan Malaysia US 47 juta.
Salah satu bentuk udang segar yang diekspor yaitu udang organik yang dikembangkan di beberapa daerah seperti di Sidoarjo dan di sekitar Delta
Mahakam Kalimantan Timur dengan tujuan ekspor ke Jepang. Dewasa ini,
pengembangan udang organik masih belum optimal. Berikut disajikan pembahasan kondisi penawaran dan permintaan berdasarkan tujuan ekspor
yaitu pasar Jepang, AS, dan UE-27.
6.3.1. Pasar Jepang
Hasil pembahasan pada Bab V, Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor udang segar ke pasar Jepang pada periode 2004-
2008. Hasil estimasi pada persamaan penawaran, harga, dan permintaan impor udang segar dicantumkan pada Tabel 26. Berdasarkan Tabel 26 hal tersebut
diindikasikan oleh penurunan jumlah ekspor, penurunan harga ekspor, dan penurunan permintaan. Terjadi tren penurunan jumlah ekspor dan signifikan
pada selang kepercayaan 7. Harga ekspor juga menurun yang nilainya lebih besar dibandingkan tren penurunan harga ekspor udang segar Thailand.
Pengaruh harga ekspor Indonesia kurang responsif dibandingkan dengan pengaruh harga ekspor Thailand ke Jepang. Indonesia hanya market follower
dalam perdagangan udang segar sehingga eksportir perlu memantau perkembangan harga dunia.
Pertama, pengaruh harga ekspor udang segar Indonesia jangka pendek dan jangka panjang tidak responsif terhadap jumlah ekspor. Jumlah ekspor
udang segar Indonesia juga dipengaruhi oleh selisih harga udang segar Thailand di pasar Jepang.