Menata kebijakan dan infrastruktur diplomasi

63 Pemerintah sendiri memiliki aspirasi untuk memperluas ruang bagi partisipasi masyarakat di dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Di dalam salah satu prioritas yang dicanangkan dalam Nawa Cita, partisipasi masyarakat dipandang sangat penting untuk mewujudkan dan merumuskan politik luar negeri yang berbasis kepentingan bangsa dan rakyat.

C. Perangkap Rencana Strategis

Di dalam visi-misi pemerintah, terdapat beberapa perangkap pitfalls yang mungkin membuat rencana strategis untuk pembangunan atau pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dalam lima tahun ke depan terhambat. Perangkap ini perlu diidentifikasi dan dikaji sejak awal agar dapat dihindari sehingga pelaksanaan diplomasi dan pembangunan politik luar negeri Indonesia dapat menjadi pilar yang mampu menopang pembangunan nasional. Perangkap-perangkap yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan jargon yang menimbulkan citra yang tidak diinginkan

Penggunaan jargon di dalam pernyataan resmi seringkali diperlukan agar mudah merujuk pada kebijakan politik luar negeri tertentu. Dalam politik luar negeri dikenal jargon- jargon seperti “Look-East Policy”, “Sunshine policy”, “Nordpolitiek”, “Pivot to Asia” dan sebagainya. Di dalam politik luar negeri Indonesia, beberapa ungkapan juga digunakan seperti “rowing between two reefs”, “a thousand friends, zero enemy”, dan akhir-akhir ini kita diperkenalkan dengan konsep “global maritime axis”. Dalam konteks pemerintahan saat ini, jargon “global maritime axis” sering diungkapkan. Maksud dari poros maritim dunia tersebut adalah pembangunan infrastruktur dan konektivitas di kawasan nusantara sehingga dapat menopang pembangunan nasional dan meningkatkan konektivitas dengan kawasan Indo- Pasifik. Beberapa negara menyatakan mendukung aspirasi Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia. Namun mereka memberi catatan khusus, bahwa yang dimaksud dengan gagasan poros maritim dunia adalah peningkatan konektivitas, infrastruktur dan keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Di luar catatan tersebut tampak dalam beberapa analisis bahwa konsepsi “poros maritim dunia” dipandang sedikit memiliki perbedaan pengertian dibandingkan dengan tujuan dan agenda aksi yang dicanangkan. Konsep tersebut 64 tampaknya dipandang sebagai konsep yang ambisius dan asertif dalam hubungan internasional, sedangkan agenda aksi yang terkait dengan konektivitas, pembangunan infrastruktur dan peningkatan keamanan maritim domestik. Karena perbedaan makna tersebut, maka kecenderungan para analis menilai bahwa yang menjadi aspirasi Indonesia sebenarnya bukan untuk menjadi “poros maritim dunia”, akan tetapi sebagai salah satu kekuatan maritim yang unggul di kawasan Asia. Apalagi di kawasan tersebut terdapat Tiongkok dan Jepang sebagai dua negara dengan kekuatan maritim yang relatif unggul, ditambah dengan AS yang masih memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan di lingkungan negara- negara aliansinya di Asia Timur dan Tenggara. Untuk menjadi poros maritim dunia yang lebih unggul dari kekuatan-kekuatan maritim yang ada, bagi Indonesia tentu merupakan lompatan yang sangat besar dari segi kapital, teknologi, persenjataan dan sumber daya manusia. Akan tetapi akan berbeda halnya jika yang ingin dicapai oleh Indonesia dalam lima tahun ke depan adalah sebagai salah satu kekuatan maritim di kawasan yang turut berkontribusi membangun konektivitas dan keamanan maritim. Di dalam hubungan internasional, secara teoritis menurut paradigma realisme, ambisi geopolitik suatu negara assertiveness yang didukung oleh kapasitas militer dan ekonominya dapat mendorong negara tersebut untuk mengubah keteraturan order di dalam lingkungan internasionalnya. Negara yang asertif dan memiliki kapasitas untuk mewujudkannya seringkali dipandang menghadirkan ancaman bagi negara lainnya. Ketika suatu negara yang mencapai kapasitas tertentu a rising power ia dapat tumbuh menjadi ancaman bagi lingkungan internasionalnya jika ia memiliki kecenderungan asertif dan tidak takut resikonya. Sebaliknya meskipun suatu negara memiliki kapasitas yang tinggi, namun jika menunjukkan kecenderungan bekerjasama dengan lingkungan internasionalnya, cenderung diterima sebagai bagian dari komunitas negara- negara besar. Jika Indonesia ingin mencapai kapasitas sebagai negara kuat secara maritim dan memiliki ambisi untuk mendominasi kawasan Indo-Pasifik, dapat saja bersinggungan dengan kepentingan negara-negara besar yang sudah ada, yaitu Tiongkok, AS, Jepang dan Australia. Pernyataan kebijakan yang ambisius dan asertif dapat menimbulkan persepsi ancaman di kalangan negara-negara major powers tersebut.