Penggunaan jargon yang menimbulkan citra yang tidak diinginkan
64 tampaknya dipandang sebagai konsep yang ambisius dan asertif dalam hubungan
internasional, sedangkan agenda aksi yang terkait dengan konektivitas, pembangunan infrastruktur dan peningkatan keamanan maritim domestik. Karena
perbedaan makna tersebut, maka kecenderungan para analis menilai bahwa yang menjadi aspirasi Indonesia sebenarnya bukan untuk menjadi “poros maritim
dunia”, akan tetapi sebagai salah satu kekuatan maritim yang unggul di kawasan
Asia. Apalagi di kawasan tersebut terdapat Tiongkok dan Jepang sebagai dua negara dengan kekuatan maritim yang relatif unggul, ditambah dengan AS yang
masih memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan di lingkungan negara- negara aliansinya di Asia Timur dan Tenggara. Untuk menjadi poros maritim
dunia yang lebih unggul dari kekuatan-kekuatan maritim yang ada, bagi Indonesia tentu merupakan lompatan yang sangat besar dari segi kapital, teknologi,
persenjataan dan sumber daya manusia. Akan tetapi akan berbeda halnya jika yang ingin dicapai oleh Indonesia dalam lima tahun ke depan adalah sebagai salah
satu kekuatan maritim di kawasan yang turut berkontribusi membangun konektivitas dan keamanan maritim.
Di dalam hubungan internasional, secara teoritis menurut paradigma realisme, ambisi geopolitik suatu negara assertiveness yang didukung oleh
kapasitas militer dan ekonominya dapat mendorong negara tersebut untuk mengubah keteraturan order di dalam lingkungan internasionalnya. Negara yang
asertif dan memiliki kapasitas untuk mewujudkannya seringkali dipandang menghadirkan ancaman bagi negara lainnya. Ketika suatu negara yang mencapai
kapasitas tertentu a rising power ia dapat tumbuh menjadi ancaman bagi lingkungan internasionalnya jika ia memiliki kecenderungan asertif dan tidak
takut resikonya. Sebaliknya meskipun suatu negara memiliki kapasitas yang tinggi, namun jika menunjukkan kecenderungan bekerjasama dengan lingkungan
internasionalnya, cenderung diterima sebagai bagian dari komunitas negara- negara besar.
Jika Indonesia ingin mencapai kapasitas sebagai negara kuat secara maritim dan memiliki ambisi untuk mendominasi kawasan Indo-Pasifik, dapat saja
bersinggungan dengan kepentingan negara-negara besar yang sudah ada, yaitu Tiongkok, AS, Jepang dan Australia. Pernyataan kebijakan yang ambisius dan
asertif dapat menimbulkan persepsi ancaman di kalangan negara-negara major powers tersebut.
65 Para analis politik luar negeri di negara-negara besar tampaknya melihat
bahwa jargon ya ng digunakan oleh Indonesia, yaitu sebagai “global maritime
axis ” tidak dimaksudkan dalam pengertian literal. Yang dimaksudkan Indonesia
menurut mereka cenderung lebih rendah hati, yaitu sebagai salah satu kekuatan maritim yang unggul di kawasan Indo-Pasifik. Sejauh pengertian tersebut yang
dimaksudkan, tampaknya mereka mendukung gagasan tersebut dan menganjurkan pada pemerintahnya untuk mendukung kebijakan luar negeri Indonesia.
Namun keadaannya bisa berbeda apabila berkembang interpretasi yang berbeda. Jika pemerintah negara-negara besar atau negara-negara lain di kawasan
Indo-Pasifik menginterpretasikan jargon politik luar negeri tersebut sebagai indikasi assertiveness, sedangkan kebijakan Indonesia cenderung keras,
nasionalistik dan tidak takut resiko non-risk averse, kemungkinan dapat memunculkan persepsi mereka bahwa Indonesia adalah ancaman. Dalam kasus
seperti ini, hubungan Indonesia dengan negara-negara lain dapat memburuk. Tiongkok merupakan contoh negara yang terus meningkatkan kapasitas
militernya namun diterima oleh komunitas internasional. Seiring dengan peningkatan
kapasitas militer
dan ekonominya,
Tiongkok terus
mengkampanyekan jargon “peaceful rise” sebagai kebijakan yang menemani peningkatan kapasitasnya. Mereka berusaha meyakinkan komunitas internasional
bahwa Tiongkok lebih berorientasi damai dan bergabung dengan komunitas internasional daripada menantang tatanan politik dunia yang ada seperti yang
pernah dilakukan Jerman pada Perang Dunia II. Hingga saat ini, komunitas internasional berharap masih dapat terus memelihara engagement Tiongkok di
dalam komunitas internasional, meskipun Tiongkok saat ini telah berkembang menjadi lebih kuat secara PDB daripada Amerika Serikat.
Dalam memperkenalkan kebijakan dan intensi Indonesia di dalam kerjasama internasional, Indonesia harus berhati-hati dalam menggunakan
terminologi atau jargon politik luar negerinya. Jangan sampai niat yang baik untuk memperdalam dan memperluas kerjasama justru diinterpretasikan sebagai indikasi
ancaman oleh negara lain.