Pengantar REKOMENDASI UNTUK POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA 2015-2019

55 menunjukkan karakter high profile dengan ambisi untuk membentuk kekuatan baru di luar struktur tata dunia ketika itu. Implikasinya, Indonesia cenderung menjaga jarak dengan negara-negara Barat. Namun sebaliknya, Indonesia menjadi kurang konsisten dengan cenderung merapat kepada negara-negara Komunis. Pada masa kepemimpinan Suharto, politik luar negeri Indonesia menunjukkan politik luar negeri yang lebih low profile namun justru tetap disegani dan dipandang sebagai pemimpin di kalangan negara-negara berkembang. Indonesia dipandang sebagai the first among equals di ASEAN, serta menjadi pemimpin di kalangan negara-negara berkembang yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok GNB. Permasalahannya adalah terlepas dari keberhasilan membangun citra kepemimpinan di kawasan dan di kalangan negara berkembang dalam GNB, namun Indonesia dipandang lebih dekat dengan negara- negara Barat dan mengambil posisi anti-komunis terkait dengan sikapnya terhadap Tiongkok. Lalu bagaimana kemungkinan efek samping atau perangkap dari politik luar negeri berdasarkan visi-misi pemerintah baru dan kajian teknokratik? Lebih jauh akan dibahas pada bagian kedua Bagian C dari tulisan pada Bab ini.

B. Prioritas Pembangunan Politik Luar Negeri

Pada bab sebelumnya, kita telah membahas kesamaan dan harmonisasi perbedaan antara naskah di dalam proses teknokratik dengan Nawa Cita. Dalam lima tahun ke depan 2015-2019, pembangunan politik luar negeri Indonesia memasuki tahapan ketiga dalam RPJPN, dimana misi yang dicanangkan adalah untuk “meningkatkan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional”. Sementara itu di dalam Nawa Cita, misi yang dicanangkan adalah untuk “mewujudkan politik luar negeri bebas aktif yang berlandaskan identitas sebagai negara maritim”. Meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, namun secara substansial di dalam Nawa Cita dinyatakan beberapa agenda aksi atau sasaran prioritas pembangunan yang mengarah pada upaya untuk meningkatkan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional. Dengan demikian, visi dan misi politik luar negeri yang ditetapkan di dalam RPJMN III 2015-2019 nantinya dapat mencakup Trisakti dan Nawa Cita, serta isu-isu spesifik yang dinyatakan di dalamnya. Adapun sasaran prioritas yang direkomendasikan sebagai bentuk harmonisasi antara Nawa Cita dengan naskah teknokratik adalah sebagai berikut: 1. Memperkuat kerjasama maritim dan pertahanan 2. Meningkatkan efektivitas diplomasi perbatasan 56 3. Meningkatkan peran Indonesia dalam kerjasama di tingkat regional ASEAN, APEC dan IORA maupun global PBB, G20, reformasi IFIs, dan organisasi multilateral OKI 4. Meningkatkan peran Indonesia dalam Kersama Selatan-Selatan dan Triangular KSST 5. Menguatkan diplomasi ekonomi

6. Meningkatkan promosi demokrasi, HAM dan lingkungan hidup

7. Meningkatkan kualitas perlindungan WNIBHI 8. Menata kebijakan dan infrastruktur diplomasi Di dalam kategorisasi tersebut dimuat sasaran-sasaran utama dari naskah teknokratik yang didasarkan studi dan masukan dari kementrian maupun masyarakat, sekaligus juga mencakup agenda-agenda aksi yang dinyatakan sebagai bagian dari Nawa Cita yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden terpilih. Kategorisasi tersebut mengalami sedikit modifikasi berupa penggabungan dan penambahan agar lebih sesuai dengan amanat UU No. 17 Tahun 2007 maupun visi-misi pemerintahan baru. Adapun penjelasan lebih terperinci mengenai perubahan yang dilakukan terhadap kategorisasi sasaran-sasaran prioritas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memperkuat kerjasama maritim dan pertahanan

Kerjasama maritim dan pertahanan 4 memiliki kesalingterkaitan yang erat. Sesuai dengan visi pemerintah, yaitu “mewujudkan politik luar negeri bebas aktif yang berlandaskan identitas sebagai negara maritim”, memperkuat kerjasama maritim dan pertahanan merupakan dua hal penting yang saling terkait. Untuk menjadi “poros maritim dunia”, terdapat dua keluaran yang ingin dicapai, yaitu 1 Meningkatkan konektivitas antar pulau dan 2 Meningkatkan infrastruktur pelabuhan . Gagasan ini ingin diwujudkan melalui pembangunan “tol laut”. Dengan lima agenda aksi yang terkait dengan cita- cita menjadi “Poros Maritim Dunia” mensyaratkan pembangunan pertahanan, terutama pertahanan laut. Kelima agenda yang dimaksud adalah: 1 Membangun kembali budaya maritim 4 Butir 1 tentang memperkuat kerjasama maritim dan pertahanan di dalam draft teknokratik disatukan dengan diplomasi perbatasan. Dalam studi ini tampak bahwa visi untuk memperkuat identitas sebagai maritim mencakup lebih dari diplomasi perbatasan. Demikian juga dengan aspirasi untuk memperkuat sistem pertahanan yang mencakup juga peningkatan anggaran hingga 1,5 PDB, diversifikasi pengadaan, dan kerjasama pertahanan. Oleh karena itu di sini direkomendasikan untuk dipisahkan antara kerjasama maritim dan pertahanan dengan diplomasi perbatasan.