Global governance Background Study Bidang Politik LuarNegeri

51 Timbul pertanyaan di sini adalah model sistem internasional seperti apa yang diharapkan oleh Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan? Jika melihat perkembangan politik dan ekonomi internasional dalam lima tahun terakhir, kecenderungannya di dalam hubungan internasional mengarah kepada sistem bipolar atau non-polar. Jika Tiongkok dapat terus tumbuh sementara negara-negara rising powers lainnya mengalami stagnasi maka ketika tercapai parity dengan AS di pertengahan dekade 2020-an, sistem bipolar dapat terbangun kembali. Namun jika negara-negara lain juga tumbuh kemungkinan terbesarnya adalah sistem non-polar. Indonesia harus mempersiapkan strategi untuk mengambil peran yang aktif di dalam membentuk sistem internasional dan rejim internasional yang lebih baik.

7. Kontribusi indonesia

Di dalam sistem internasional, pada umumnya negara-negara hanya menghadapi dua pilihan, mereka turut membentuk sistem yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya, atau membiarkan sistem itu membentuk kebijakan luar negerinya. Negara-negara yang memiliki sumber daya kekuasaan yang cukup akan cenderung berusaha untuk membentuk sistem, sedangkan negara-negara yang tidak memiliki sumber daya kekuasaan yang besar, akan cenderung untuk lebih reaktif dan beradaptasi terhadap sistem yang dibentuk oleh komunitas internasional. Bagi negara-negara besar, posisi dan peran mereka di dalam sistem internasional pada prinsipnya ditentukan sendiri oleh masing-masing negara. Mereka bisa mengambil tanggung jawab sebagai suatu „responsible great power‟ untuk membentuk sistem internasional yang damai dan stabil, atau membiarkan komunitas internasional menentukan sendiri sistem yang mereka inginkan. Ada persepsi di kalangan pemimpin negara-negara besar bahwa tanggung jawab untuk menciptakan sistem yang damai dan stabil itu harus diambil oleh negara besar, karena sejarah menunjukkan bahwa bila tanggung jawab itu tidak diambil, kecenderungan hubungan internasional adalah keras dan destruktif. Jika Indonesia akan menjadi negara yang maju sesuai dengan visi pembangunan nasional 2025, maka dalam perspektif ini, Indonesia telah mengambil pilihan untuk mengambil tanggung jawab untuk membentuk dan memelihara sistem tersebut. Namun hingga visi itu tercapai, dengan pengaruh dan sumber daya yang terbatas, maka kontribusi yang bisa diberikan oleh Indonesia harus lebih rendah hati. Indonesia harus memposisikan diri dan menetapkan peran pada tingkat yang 52 lebih rendah atau memaksimalkan kontribusi sebatas pengaruh dan sumber daya yang ada. ASEAN dalam kapasitasnya yang terbatas di lingkungan negara-negara major powers, merupakan sumber daya kekuasaan yang potensial untuk mempengaruhi arsitektur sistem internasional. Dengan pengalaman mengelola ASEAN, Indonesia juga dapat memberikan kontribusi yang sama di antara negara- negara Selatan dan komunitas pasar non-tradisional.

8. Kepemimpinan internasional

Bagaimana Indonesia dapat mewujudkan kepemimpinan internasional? Inilah pertanyaan penting di dalam strategi yang akan ditetapkan di dalam RPJM III. Sebagaimana diungkapkan di atas, kepemimpinan Indonesia muncul lebih banyak dari gagasan dan inisiatif. Banyak masalah kolektif di ASEAN yang diselesaikan dengan gagasan dan inisiatif Indonesia. Hal ini membuat Indonesia memimpin di dalam institusionalisasi dan penyelesaian masalah di kawasan. Di tingkat yang lebih luas, Bali Democracy Forum merupakan contoh bagaimana inisiatif menempatkan Indonesia sebagai pemimpin di dalam forum tersebut. Dalam perspektif ini, tim diplomat Indonesia seyogyanya selalu bisa mengembangkan gagasan dan memulai inisiatif untuk melakukan sesuatu terhadap tantangan dan masalah yang datang. Namun hal yang sama bisa saja tidak berlaku di dalam penyelesaian masalah kolektif yang lain seperti misalnya konflik di Darfur, penanganan perang sipil di Suriah, atau konflik Israel-Palestina. Dalam kasus sengketa Laut Tiongkok Selatan, pada titik tertentu, kepemimpinan Indonesia relatif tidak bekerja, terutama di Pnompenh tahun 2012 ketika ASEAN tidak bersatu menanggapi kasus sengketa tersebut. Dapat disimpulkan bahwa pada titik tertentu ada keterbatasan dalam gagasan atau inisiatif di dalam mendorong peran kepemimpinan Indonesia di kawasan. Keterbatasan tersebut umumnya berasal dari keterbatasan pilihan-pilihan yang dapat ditawarkan Indonesia karena keterbatasan sumber daya kekuasaannya. Misalnya jika Indonesia bisa menawarkan kerjasama dalam energy security di kawasan dengan fokus pada pembangunan kapasitas produksi energi alternatif di negara-negara yang terlibat sengketa, atau jika Indonesia dapat menawarkan sistem keamanan laut bersama dengan partisipasi TNI AL di dalamnya yang berani mengambil tanggung jawab keamanan, tentu ini akan menjadi game changer.