48 Pengembangan kapasitas akan diperlukan bagi pelaksanaan politik luar negeri yang
visioner. Untuk  mewujudkan  visi  meningkatnya  kepemimpinan  dan  kontribusi
Indonesia  di  dalalm  pergaulan  dunia  internasional,  pengembangan  kapasitas  akan sangat  diperlukan.  Jika  di  dalam  praktik  selama  ini  koordinasi  antar-lembaga
pemerintahan  lemah,  jumlah  dan  kualitas  SDM  kurang  memadai,  anggaran  relatif terbatas, dan teknologi untuk memberikan perlindungan optimal bagi warganegara
tidak  dimiliki,  maka  jelas  bahwa  semua  indikator  menunjukkan  bahwa  Indonesia perlu meningkatkan kapasitas pemerintahannya untuk mewujudkan visi politik luar
negerinya dalam jangka panjang.
4. Diplomasi efektif
Sebagai  salah  satu  instrumen  politik  luar  negeri,  diplomasi  harus  dapat dilakukan  dengan  efektif  agar  tujuan  politik  luar  negeri  dapat  tercapai.  Diplomasi
pada  umumnya  dilakukan  untuk  membangun  kesepakatan  dan  kerjasama  antar negara.  Instrumen  politik  luar  negeri  yang  lain  adalah  kekerasan,  yang  pada
umumnya digunakan
untuk berperang,
memaksakan kesepakatan
atau menundukkan negara lain. Selain itu ada juga instrumen balancing yang ditujukan
untuk  mencegah  terjadinya  konflik  dengan  kekerasan  antara  negara-negara  karena rendahnya insentif dan besarnya biaya yang harus ditanggung. Diplomasi seringkali
tidak dapat dilepaskan dari instrumen lainnya di dalam politik luar negeri. Menurut Joseph  S.  Nye,  Jr.,  efektivitas  diplomasi  dalam  kebanyakan  kasus  perlu  didukung
dengan seni penggunaan kekuatan soft dan hard power
3
secara cermat. Salah satu permasalahan di dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia
adalah  rendahnya  keterkaitan  antara  politik  luar  negeri  dengan  kepentingan nasional. Secara umum, politik luar negeri dan pembangunan nasional dilaksanakan
secara  terpisah  sehingga  manfaat  dari  politik  luar  negeri  kurang  dapat  dirasakan secara  langsung  oleh  masyarakat  di  dalam  negeri.  Setiap  kementrian  mungkin
menjalankan tugasnya atas dasar kepentingan nasional, namun tidak ada koordinasi dan  integrasi  yang  menyatukan  arah  pembangunan,  termasuk  daya  dukung
3
Konsep hard power dan soft power diperkenalkan oleh Joseph S. Nye Jr. 2004. Pada prinsipnya, hard power merupakan suatu bentuk kekuasaan yang mudah diidentifikasikan dan dipahami dalam arti sempit.
Wujudnya  misalnya  adalah  kekuatan  ekonomi  dan  militer.  Cara  mempraktikkan  bentuk  kekuasaan  ini adalah  dengan  kekerasan,  ancaman,  sogokan  dan  transaksi.  Soft  power  merupakan  bentuk  kekuasaan
yang lebih abstrak dan bersumber pada nilai atau institusi. Cara mempraktikkannya adalah dengan daya tarik, agenda setting, diplomasi publik, institusionalisasi dan pembentukan identitas atau budaya.
49 diplomasi  untuk  mengoptimalkan  kerjasama  internasional.  Hal  ini  mengakibatkan
diplomasi  menjadi  tidak  efektif.  Agar  diplomasi  menjadi  lebih  efektif,  Indonesia perlu merancang sinergi antara diplomasi dengan pembangunan nasional di bidang
lainnya.  Diplomasi  harus  mendapatkan  dukungan  dari  sumber  daya-sumber  daya diplomasi, baik  hard maupun  soft power. Penekanan  yang perlu dicatat dalam hal
ini  adalah  arahnya  harus  jelas  dan  sinergis,  sementara  sumber  dayanya  harus dikembangkan dan dikerahkan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
5. Kemitraan strategis
Isu  kemitraan  strategis  merupakan  isu  penting  yang  di  dalam pelaksanaannya  harus  dilakukan  dengan  perhitungan  kemanfaatan  yang  cermat.
Situasi  persaingan  dan  kemitraan  di  dalam  hubungan  internasional  kerap mengalami
perubahan karena
berbagai faktor,
termasuk perhitungan
kemanfaatannya  cost-benefit  analysis .  Ungkapan  “a  thousand  friends,  zero
enemy ”  baik  untuk  membangun  citra  sebagai  negara  yang  netral  dan  bersahabat.
Dengan  citra  tersebut  kepemimpinan  dan  kontribusi  Indonesia  di  dalam  pergaulan internasional  dapat  lebih  mudah  dilakukan.  Akan  tetapi  yang  perlu  diperhatikan
adalah  bahwa  untuk  membangun  kemitraan  strategis,  terkait  dengan  bentuk kemitraan,  bidang  kerjasama,  dan  rincian  lainnya,  tidak  perlu  menggunakan
ungkapan di atas secara kaku sebagai suatu prinsip. Analisis yang dilakukan harus bersifat  kontekstual  dan mengedepankan kepentingan nasional.  Misalnya di  dalam
situasi  persaingan  di  antara  negara-negara  besar  seperti  Tiongkok  dengan  AS, Tiongkok
dengan Jepang, dan sebagainya, maka slogan “a thousand friends, zero enemy
”  perlu  diinterpretasikan  secara  kontekstual  dan  pragmatis.  Ungkapan tersebut  jangan  diinterpretasikan  secara  pasif  sebagai  kecenderungan  untuk
menghindar  dan  abai  terhadap  persaingan  karena  semuanya  adalah  „friends’. Namun  perlu  interpretasi  aktif,  bahwa  untuk  membangun  hubungan  yang  damai
dan  bersahabat,  Indonesia  aktif  berkontribusi  membangun  tatanan  regional  atau global. Hal yang sama juga berlaku bagi situasi persaingan lain. Misalnya di dalam
masalah persaingan energi. Perubahan situasi geopolitik di kawasan Timur Tengah tidak bisa diterjemahkan sebagai hubungan „friends’ dan „enemy’.
Menghadapi  masalah  dan  tantangan  global  yang  dihadapi  masyarakat internasional  saat  ini  tentunya  membutuhkan  kemitraan  strategis.  Aspirasi
Indonesia  untuk  berkontribusi  dan  memimpin  di  dalam  upaya  menjawab  berbagai