Studi Deskriptif Pengucapan Mantra Dalam Konteks Upacara Mandalabhisekam Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan

(1)

STUDI DESKRIPTIF PENGUCAPAN MANTRA DALAM KONTEKS UPACARA

MANDALABHISEKAM PADA MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI

BALAJI VENKATESHWARA KOIL MEDAN SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

SANDRO BATUBARA

NIM: 080707019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI SARJANA

Judul:

STUDI DESKRIPTIF PENGUCAPAN MANTRA DALAM KONTEKS UPACARA

MANDALABHISEKAM PADA MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI

BALAJI VENKATESHWARA KOIL MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

SANDRO BATUBARA NIM : 080707019

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Heristina Dewi, M.Pd Drs. Bebas Sembiring, M.Si. NIP: 196605271994032010 NIP: 195703131992031001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Pengucapan Mantra Dalam Konteks Upacara Mandalabhisekam Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan . Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan perekaman. Informan yang yang didapat di lapangan berjumlah empat orang,

terdiri dari satu orang pendeta dan tiga orang merupakan pengurus kuil yang mengetahui dan aktif mengikuti upacara di kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan.

Penelitian difokuskan kepada Mantra yang diucapkan pada saat upacara. Mantra dalam upacara Mandalabhisekam ini diucapkan dengan cara dinyanyikan dengan kata lain

yaitu tehknik chanting. Chanting merupakan tekhnik pengucapan doa atau mantra yang diucapkan dengan bernyanyi.

Proses pentranskripsian musik dilakukan dengan program Sibelius dan cakewalk yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok. Skripsi ini mendeskripsikan upacara

Mandalabhisekam dan dituliskan dengan sistematis.

Kata kunci : Upacara Mandalabhisekam, Shri balaji Venkateshwara koil Medan, mantra.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena berkat dan

kemurahan-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Terima kasih Ya Bapa... atas

kebaikan-Mu kepada penulis. Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Pengucapan Mantra Dalam Konteks Upacara Mandalabhisekam Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-1 dan memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen

Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berisikan hasil

penelitian mengenai deskripsi upacara Mandalabhisekam, transkripsi ritem dan melodi mantra, serta

membahas fungsi dan tujuan dari upacara dan mantra dalam upacara Mandalabhisekam.

Selama proses penyusunan skripsi, penulis memperoleh bantuan yang luar biasa banyak dan

baik dari Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd, selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Bebas Sembiring,

M.Si., selaku pembimbing II. Kedua pembimbing ini sangat membantu penulis selama penyelesaian

skripsi. Mereka juga memberikan banyak pelajaran kepada penulis terutama hal kesabaran,

keberanian dan kepandaian dalam penulisan skripsi ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis

semakin termotivasi dan semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan

Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan Sekretaris Departemen Etnomusikologi, serta seluruh dosen-dosen

dan pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, yang telah

memberikan peluang, kesempatan dan kemudahan hingga sampai kepada tahap penyelesaian skripsi

ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Gopala Krishna Naidu yang

telah bersedia menjadi informan pangkal di saat penulis melakukan proses penelitian lapangan.

Ucapan terima kasih juga kepada informan pokok yaitu Bapak V. Hanumacharyulu yang memberikan

kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Kuil dan juga sudah memberikan waktunya


(5)

Ucapan terima kasih kepada kedua orangtua saya tercinta, Bapak R. Batubara dan Mama E.

Silalahi. Terimakasih buat segala kerja keras dan kebaikan kalian sehingga saya bisa seperti

sekarang, terimakasih buat perhatian yang tak pernah putus-putus khususnya selama pengerjaan skripsi ini, terimakasih buat motivasi-motivasi yang kalian berikan sehingga saya tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih buat doa-doa yang kalian panjatkan sehingga saya mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Penulis bangga

memiliki orangtua yang care seperti mereka. Secara khusus terima kasih buat doa-doa Bapak dan

Mama terutama kepada mama yang selalu setia mendoakan penulis. Mungkin sudah banyak

berlinang airmata di pipi mereka sepanjang membesarkan penulis hingga saat ini, tapi biarlah itu

semua dicukupkan ole Tuhan kepada mereka. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada

saudara-saudaraku yang ku sayangi yaitu lae dan kakakku Kel. Reynaldi Tambunan dan Haulian M K

Batubara, lae dan kakakku kel. Rizky Tambunan dan Doris K.H Batubara, lae Riko Aritonang dan

Roma S Batubara, kakakku Jojor M Batubara, kakakku Jelly E Batubara dan adikku Friska Batubara.

Terima kasih buat doa dan perhatian kalian semua sehingga membuat semangat bagi penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini. Kalian adalah bagian dari hidupku yang takkan pernah tergantikan sampai

kapanpun.

Terima kasih terkhusus juga buat dedek yang penulis sayangi dan cintai Reny Yulyati

Lumbantoruan yang selalu mengingatkan bahkan memotivasi penulis untuk mengerjakan skripsi ini.

Terima kasih de, walaupun terkadang merasa kesal melihat tingkahku yang aneh-aneh jika disaat

penat mengerjakan skripsi ini, tetapi dia tetap sabar dan selalu ikut membantu. Terima kasih juga buat

doa-doanya, perhatian dan pengertiannya selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kelompok kecilku yang sampai sekarang

belum ada nama, tetapi tetap kompak dan solid yaitu K Rina, Andro dan Pardon. Terima kasih buat

perhatian dan doa-doa kalian. Sampai kapanpun kalian tidak bisa terlupakanku karena melalui

kelompok inilah pengetahuan rohani penulis dapat semakin berkembang dan berkembang. Walaupun


(6)

seperjuangan yang sudah saya anggap keluarga selama proses perkuliahan yaitu angkatan 2008 yaitu

Augusman Tafonao S.Sn., Yudhistira Siahaan S.Sn., Andro Hutabarat S.Sn., Pardon Simbolon S.Sn.,

Brian Harefa S.Sn., Marini Pratiwi Sinaga, Marliana Manik, Medina Hutasoit, Daniel Zai, Daniel

Sianturi, Mahyar Pane, Mario Sianipar, Nielson Sihombing, dan Rudi Silitonga. Terima kasih telah

menjadi saudara buatku. Tidak terasa sudah 4,5 tahun kita merasakan susah senang selama duduk

dibangku perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepeda teman-teman satu kos yaitu

Daniel Sianturi, Zani Marbun, Bonggud Sidabutar, Erwin Simbolon, Erwin Sijabat, Reny

Lumbantoruan, dan Frita Pakpahan. Mereka adalah saudara seperjuangan merasakan bagaimana

enaknya anak kos. Terima kasih buat kalian semua.

Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf apabila ada kata yang kurang berkenan dalam hati.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu penulis dalam

penyusunan skripsi ini, dan mohon maaf apabila ada nama yang lupa penulis cantumkan. Semoga

hasil penelitian dari skripsi ini dapat berguna bagi kebudayaan masyarakat Hindu Tamil, bagi

pembaca dan juga kepada peniliti berikutnya. Shalom!!!

Medan, Desember 2012


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... ... 6

1.4 Konsep dan Teori ... ... 7

1.4.1 Konsep . ... ... 7

1.4.2 Teori ... ... 8

1.5 Metode Penelitian ... ... 11

1.5.1 Studi Kepustakaan ... ... 12

1.5.2 Penelitian Lapangan ... ... 12

1.5.3 Kerja Laboratorium ... ... 14

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian ... ... 15

1.7 Pemilihan Nara Sumber ... ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KOTA MEDAN 2.1 Asal Usul Orang Tamil ... ... 17

2.2 Kedatangan Orang Tamil ke Kota Medan dan Sekitarnya ... ... 18

2.3 Masyarakat Hindu Tamil ... ... 20

2.4 Agama Hindu ... ... 21

2.5 Veda, Kitab Suci Umat Hindu ... ... 24

2.5.1 Pengertian Veda ... ... 24


(8)

2.8 Aspek Kesejarahan Kuil Shri Balaji Venkateshwara di Kota Medan ... 27

2.9 Kuil Shri Balaji Venkateshwara ... ... 31

2.9.1 Aturan Sebelum Masuk ke Kuil ... ... 35

2.9.2 Larangan di Dalam Kuil ... ... 36

BAB III DESKRIPSI UPACARA MANDALABISHEKAM 3.1 Pengertian Upacara Mandalabhisekam ... ... 37

3.2 Latar Belakang dan Tujuan Pelaksanaan Upacara ... ... 38

3.3 Tempat Pelaksaan Upacara ... ... 40

3.4 Komponen Upacara ... ... 44

3.4.1 Saat Upacara ... ... 44

3.4.2 Benda-benda dan Bahan-bahan Upacara ... ... 44

3.4.2.1 Benda-benda Yang Digunakan Saat Upacara ... ... 44

3.4.2.2 Bahan-bahan Yang Digunakan Saat Upacara ... ... 48

3.5 Pendukung Upacara ... ... 52

3.5.1 Aiyere Swamy (Pendeta) ... ... 52

3.5.2 Panitia dan Bhakta ... ... 53

3.6 Kronologis Upacara ... ... 54

3.6.1 Tahap Persiapan Upacara ... ... 54

3.6.2 Upacara 108 Kalasa Thirumanjana ... ... 55

3.6.3 Upacara Kalyana Mohotsava ... ... 66

3.7 Fungsi Mantra Dalam Upacara Mandalabhisekam ... ... 74

3.7.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... ... 75

3.7.2 Fungsi Perlambangan ... ... 75

3.7.3 Fungsi Komunikasi ... ... 76

3.7.4 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ... ... 76

3.7.5 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Keagamaan ... 77

3.7.6 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ... ... 77

3.7.7 Fungsi Hiburan ... ... 78

BAB IV ANALISIS MUSIKAL PENGUCAPAN MANTRA PADA UPACARA MANDALABHISEKAM 4.1 Analisis Musik Pengucapan Mantra ... ... 79

4.2 Model Notasi ... ... 80


(9)

4.3.1.1 Tangga Nada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana . ... 83

4.3.1.2 Tangga Nada Mantra Kalyana Mohotsava ... ... 83

4.3.2 Nada Dasar ... ... 84

4.3.3 Wilayah Nada ... ... 84

4.3.3.1 Wilayah Nada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana ... 84

4.3.3.2 Wilayah Nada Mantra Kalyana Mohotsava ... ... 85

4.3.4 Frekuensi Pemakaian Nada ... ... 85

4.3.4.1 Frekuensi Pemakaian Nada Mantra 108 Thirumanjana ... ... 85

4.3.4.2 Frekuensi Pemakaian Nada Mantra Mohotsava ... ... 86

4.3.5 Jumlah Interval ... ... 86

4.3.5.1 Jumlah Interval Mantra 108 Kalasa Thirumanjana... 86

4.3.5.2 Jumlah Interval Mantra Kalyana Mohotsava... 87

4.3.6 Formula Melodik (Bentuk) ... ... 87

4.3.6.1 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif Pada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana ... ... 88

4.3.6.2 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif Pada Mantra Kalyana Mohotsava ... ... 89

4.3.7 Pola Kadensa ... ... 90

4.3.7.1 Pola Kadensa Mantra 108 Kalasa Thirumanjana . ... 90

4.3.7.2 Pola Kadensa Mantra Kalyana Mohotsava ... ... 91

4.3.8 Kontur ... ... 91

4.3.8.1 Kontur Mantra 108 Kalasa Thirumanjana ... ... 92

4.2.8.2 Kontur Mantra Kalyana Mohotsava ... ... 93

4.4 Gaya yang Timbul Akibat Hubungan Melodi dengan Teks ... ... 95

4.4.1 Gaya Musik Vokal Pada Mantra 108 Kalasa Thirumanjana ... 95

4.4.2 Gaya Musik Vokal Pada Mantra Kalyana Mohotsava ... ... 95

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... ... 96

5.2 Saran ... ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... ... 99


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 : Kodimaram /Dhvajastambha ... ... 33

Gambar 2.2 : Sketsa Kuil Shri Balaji Venkateshwara tampak depan ... ... 34

Gambar 2.3 : Sketsa Kuil Shri Balaji Venkateshwara tampak samping ... ... 34

Gambar 3.1 : Pamplet Kuil Shri Balaji Venkateshwara dari depan ... ... 41

Gambar 3.2 : Gapura Kuil Shri Balaji Venkateshwara ... ... 42

Gambar 3.3 : Pintu Masuk Aula Graha Maha Wishnu ... ... 42

Gambar 3.4 : Ruang dalam Kuil ... ... 43

Gambar 3.5 : Bhakta Sembahyang di Kuil ... ... 43

Gambar 3.6 : Aiyere Swamy (Pendeta) ... ... 52

Gambar 3.7 : Panitia dan Bhakta ... ... 53

Gambar 3.8 : Visvakshena Aaradhana ... ... 57

Gambar 3.9 : Bahan Homam ... ... 58

Gambar 3.10 : Pendeta yang mendoakan Kumbam ... ... 60

Gambar 3.11 : Kumbam ... ... ... 61

Gambar 3.12 : Pembersihan atau Penyucian Kumbam dengan Api ... ... 62

Gambar 3.13 : Bhakta yang menerima Kumbam ... ... 63

Gambar 3.14 : Pendeta dan Bhakta mengelilingi Kuil serta memecahkan Kelapa... 64

Gambar 3.15 : Memukul Lonceng ... ... 64

Gambar 3.16 : Proses Pemandian dan Penyucian Arca Dewa ... ... 65

Gambar 3.17 : Arca Dewa saat dirias ... ... 66

Gambar 3.18 : Pendeta dan Bhakta berdoa kepada Dewa Ganesha ... ... 67

Gambar 3.19 : Proses Pemujaan ... ... 68

Gambar 3.20 : Pemujaan terhadap Dewa Wishnu ... ... 70

Gambar 3.21 : Proses Pemakaian Pakaian Arca Dewa dan Dewi ... ... 71

Gambar 3.22 : Dewa Wishnu beserta Shri Padmawati dan Shri Aandaal ... ... 71

Gambar 3.23 : Arca Dewa dan Dewi telah disatukan ... ... 72

Gambar 3.24 : Arak-arakan Dewa dan Dewi yang telah dikawinkan Simbolis .. ... 73


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 : Interval Mantra 108 Kalasa Thirumanjana ... ... 86 Tabel 5.2 : Interval Mantra Kalyana Mohotsava ... ... 87


(12)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Pengucapan Mantra Dalam Konteks Upacara Mandalabhisekam Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan . Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan perekaman. Informan yang yang didapat di lapangan berjumlah empat orang,

terdiri dari satu orang pendeta dan tiga orang merupakan pengurus kuil yang mengetahui dan aktif mengikuti upacara di kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan.

Penelitian difokuskan kepada Mantra yang diucapkan pada saat upacara. Mantra dalam upacara Mandalabhisekam ini diucapkan dengan cara dinyanyikan dengan kata lain

yaitu tehknik chanting. Chanting merupakan tekhnik pengucapan doa atau mantra yang diucapkan dengan bernyanyi.

Proses pentranskripsian musik dilakukan dengan program Sibelius dan cakewalk yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok. Skripsi ini mendeskripsikan upacara

Mandalabhisekam dan dituliskan dengan sistematis.

Kata kunci : Upacara Mandalabhisekam, Shri balaji Venkateshwara koil Medan, mantra.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Agama Hindu merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Penyebaran agama Hindu di sumatera utara berasal daerah pantai barat sumatera utara yang dulunya menjadi pintu gerbang perdagangan. Dari daerah inilah penyebaran agama Hindu dimulai hingga menyebar ke kota Medan yang menjadi pusat ibukota sumatera utara, hingga membentuk suatu kumpulan penganut agama hindu. Kumpulan dari orang-orang pemeluk agama Hindu dalam satu lingkungan menyebut kumpulan mereka ini sebagai masyarakat Hindu1

Upacara Mandalabhisekam merupakan upacara peresmian peletakan arca-arca dewa umat Hindu (Bhakta

. Dalam menjalankan dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang dianut, masyarakat Hindu melaksanakan kegiatan ibadah rutin yang dilaksanakan setiap hari di kuil.

Oleh karena ajaran agama menganjurkan untuk beribadah di kuil, maka masyarakat Hindu membangun Kuil sebagai tempat beribadah atau sembahyang untuk memuja Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Satu Kuil tempat persembahyangan yang baru dibangun dan terdapat di Medan adalah Shri Balaji Venkateshwara Koil. Dan pada saat peresmian kuil ini, dilakukanlah upacara Mandalabhisekam sebagai syarat agar kuil tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan aturan agama Hindu.

2

) yang antara lain perwujudan dari dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara), perwujudan Shri Padmawati, perwujudan Shri Aandaal, perwujudan dewa Ganesha (Shri Wisnu Ganapathi), perwujudan Shri Garuda, dan perwujudan Shri Hanuman yang telah didoakan dan nantinya akan dimandikan (disucikan) serta dikawinkan secara


(14)

simbolis sebagai persyaratan dalam upacara Mandalabhisekam. Upacara ini dilakukan selama 13 hari, dimana selama 12 hari para Bhakta akan rutin mengadakan doa yang dimulai pada pukul 18.00 hingga 20.00. Upacara berdoa tersebut dilakukan untuk mendoakan segala persiapan menyambut pelaksanaan upacara Mandalabhisekam serta mendoakan kesucian arca-arca dewa umat Hindu. Selama dalam rentang waktu mengadakan upacara ini, semua Bhakta yang terlibat diharuskan agar menjaga kesuciannya dengan cara tidak mengkonsumsi bahan yang berasal dari hewani melainkan menjadi vegetarian. Pada rentang waktu selama 13 hari ini juga para Bhakta dapat mengadakan acara ucapan syukur kepada dewa dengan cara mengadakan jamuan makan kepada seluruh Bhakta.

Dan pada hari ke-13, upacara Mandalabhisekam merupakan puncak upacara, setelah upacara peletakan arca-arca dewa dilakukan, selanjutnya dilakukan dua tahap upacara pada hari yang bersamaan. Tahap pertama dilakukan pada pukul 08.00 - 12.30 yaitu upacara 108 Kalasa Thirumanjana dan tahap ke-dua akan dilakukan pada jam 17.00 - 20.00 yaitu upacara Kalyana Mohotsava.

Tahap pertama, upacara yang dilakukan adalah upacara 108 Kalasa Thirumanjana, yaitu upacara memandikan Vigraha Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) yang terdapat di kuil dengan menggunakan sarana / perlengkapan susu, susu masam, minyak sapi, madu, air kelapa muda, serbuk kunyit, serbuk cendana berikut air yang disucikan dan didoakan dari 108 kalasa yang disediakan Bhakta. Dalam upacara ini pendeta yang berkedudukan sebagai pemimpin upacara akan mengucapkan mantra yang ditujukan kepada dewa-dewa yang diagungkan. Upacara ini dilakukan oleh 108 pasangan yang berasal dari Bhakta. Manfaat upacara 108 Kalasa Thirumanjana bagi para Bhakta yaitu akan mengalami penyembuhan dari cacat mental, penyakit kronis, dan dikaruniai keturunan.

Dengan berpartisipasi dalam upacara 108 Kalasa Thirumanjana, Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) sebagai pelipur lara Bhakta akan memberikan obat dan kepuasan dari


(15)

kekhawatiran serta kendala lain Bhakta sehari-hari seperti kedamaian hati, panjang umur, tambah harta, kemakmuran lingkungan, keselamatan bagi para petani (Dhana Dhanya Samruthi), harmonisasi keluarga, dan pekerjaan / usahanya sendiri.

Tahap kedua yaitu upacara Kalyana Mohotsava yang merupakan upacara perkawinan simbolis arca perwujudan Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) dengan arca perwujudan Shri Padmawati dan arca perwujudan Shri Aandaal yang dilakukan oleh pendeta dan seluruh Bhakta. Dalam upacara ini Bhakta yang terdiri dari wanita bersuami atau anak gadis dapat membawa hantaran untuk perkawinan (Varisai Taddu) berupa dua macam buah, bunga atau kalung bunga, gelang tangan, serbuk kunkuman, daun sirih, dan pinang yang ditempatkan pada sebuah talam. Hantaran ini nantinya akan dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah. Pada akhir upacara ini, arca dewa-dewi yang telah dikawinkan secara simbolis akan diarak kejalanan sesuai lokasi yang telah disepakati, untuk mengabarkan kepada semua Bhakta bahwa perkawinan yang dilakukan telah terlaksana dan memberi berkat kepada para Bhakta yang tidak dapat hadir dalam upacara itu.

Dalam pelaksanaan upacara ini, pendeta juga akan mengucapkan mantra3 yang

diucapkan dengan tekhnik Chanting4, yang berasal dari kitab suci Veda, dan diiringi oleh

instrument Nagasvharam yaitu sejenis alat musik yang tergolong kedalam aerofon (alat musik tiup) sebagai instrument utama pembawa melodi, ditambah iringan Thavil yaitu alat musik berbentuk barrel yang tergolong kedalam membranofon dan Sruthi box. Sruthi box yang dipakai pada upacara ini merupakan sejenis alat musik yang tergolong kedalam elektrofon yang berfungsi sebagai drone (nada yang dimainkan secara terus menerus). Musik berfungsi sebagai pengiring pengucapan mantra dan pelengkap dalam pelaksanaan upacara.


(16)

Pada saat arak-arakan, musik dipercaya berfungsi sebagai penjaga dan pembawa roh dewa yang diarak ke arah yang ingin dituju.

Fungsi dari mantra ini dipercayai oleh Bhakta dapat menjadi sarana komunikasi penyampai keinginan dan ucapan syukur kepada dewa yang diagungkan serta sarana untuk meminta berkat kepada dewa. Dalam mengucapkan mantra para Bhakta akan dipimpin oleh seorang Aiyere Swamy (pendeta) kemudian diikuti oleh Bhakta, dimana mantra yang diucapkan ini berasal dari Veda (kitab suci agama Hindu). Selama proses ini berlangsung selalu diiringi oleh instrument Nagasvharam, Thavil, dan Shruti box. Mantra pada upacara Mandalabhisekam ini merupakan suatu penyajian yang menarik perhatian penulis, karena penulis percaya bahwa mantra memiliki peran yang sangat penting dan dapat dikatakan upacara ini tidak akan tercapai jika mantratidak diucapkan.

Disini yang menjadi objek penelitian penulis adalah mantra yang dibacakan dengan tekhnik bernyanyi. Berangkat dari sinilah penulis ingin mengetahui dan meneliti berbagai aspek yang terkait dengan teks mantra yang terdapat dalam pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, nilai religius mantra yang tercermin dari pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, dan bagaimana nilai sastra yang berkaitan dengan aspek teks mantra yang digunakan dalam upacara tersebut.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis memakai beberapa skripsi terdahulu sebagai bahan referensi, yaitu S, Jhonny Edwin.1995. Pirartenei pada Aktifitas Religius Masyarakat Tamil di Shri Mariaman Kuil-Medan: Kajian Struktur Musik Dan Teks. Medan: USU , Purba,Destri Damayanti. 2011. Studi Deskriptif Musik Dalam Konteks Upacara Adhi Triwula Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Singgamma Kali Koil Medan. Medan: USU dan Simanjuntak, Rina Gustriani.2011. Studi Analisis Musikal dan Tekstual Pembacaan Kitab Shri Guru Granth Sahib Ji Pada Upacara Pahila Parkas Dihara Masyarakat Sikh di Gurdwara Shree Guru Granth Sahib Darbar Kota Tebing Tinggi. Medan: USU.


(17)

Hal-hal di atas tersebut yang menjadi dasar penulis sehingga memilihnya menjadi tugas akhir dalam menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Dengan demikian penulis memberi judul: “STUDI DESKRIPTIF PENGUCAPAN MANTRA DALAM KONTEKS UPACARA MANDALABHISEKAM PADA MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KUIL SHRI BALAJI VENKATESHWARA KOIL MEDAN”.

1.2 Pokok Permasalahan

Pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana deskripsi upacara Mandalabhisekam yang berlangsung di kuil Shri Balaji Venkatheswara Koil?

2. Bagaimana struktur melodi mantra pada upacara Mandalabhisekam? 3. Bagaimana fungsi mantra dalam upacara Mandalabhisekam?

4. Bagaimana makna teks mantra pada upacara Mandalabhisekam?

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan penelitian

Tujuan penulis mengadakan penelitian dan penulisan ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan dan mendokumentasikan upacara Mandalabhisekam pada masyarakat Hindu Tamil di kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan.

2. Untuk mengetahui struktur melodi mantra yang dipakai dalam upacara Mandalabhisekam.

3. Untuk mengetahui fungsi mantra yang dipakai dalam upacara Mandalabhisekam. 4. Untuk mengetahui makna teks mantra dalam upacara Mandalabhisekam.


(18)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian adalah:

1. Memberikan informasi tentang jalannya upacara Mandalabhisekam pada masyarakat Hindu Tamil di kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil Medan.

2. Memberikan kajian musikologis mantra pada suatu upacara religi yang melibatkan unsur-unsur musikal dalam disiplin ilmu Etnomusikologi secara khusus dan ilmu pengetahuan secara umum.

3. Salah satu bahan referensi dan acuan bagi peneliti berikutnya yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. R.Merton mendefinisikan: “Konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati; konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan hubungan empiris” (Merton, 1963: hal.89).

Adapun konsep musik dalam konteks upacara Mandalabhisekam yang dimaksud penulis adalah musik vokal yang dalam hal ini adalah pengucapan mantra.

Kata deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya (KBBI 2005:258). Upacara dalam konteks agama menurut Koentjaraningrat (1992:252) disebut sebagai kelakuan agama (perasaan cinta, hormat, bakti, tetapi juga takut, ngeri, dan lain sebagainya) yang bertujuan untuk mencari hubungan dengan dunia gaib.

Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1983:106-107), yaitu sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga direncanakan pembentukan


(19)

organisasi-organisasi tertentu. Selain itu Soerjono Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian.

Upacara Mandalabhisekam merupakan upacara peresmian kuil yang memiliki tahapan, antara lain peletakan arca-arca dewa umat Hindu (Bhakta) yang antara lain perwujudan dari dewa wishnu (Shri Balaji Venkateshwara), perwujudan dari Shri Padmawati, perwujudan Shri Aandaal, perwujudan dari dewa Ganesha (Shri Wisnu Ganapathi), perwujudan dari Shri Garuda dan perwujudan Shri Hanuman yang telah didoakan dan nantinya akan dimandikan (disucikan) serta dikawinkan secara simbolis sebagai persyaratan dalam upacara Mandalabhisekam, yang bertujuan untuk meminta berkat, rejeki, umur yang panjang serta kesembuhan dari penyakit.

Mantra adalah doa yang diucapkan dengan tekhnik bernyanyi, yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan agar diberikan berkat yang berkelimpahan dan segala sesuatu yang mereka butuhkan. Konsep tentang pengucapan mantra secara Etnomusikologi dikategorikan sebagai musik vokal, yang berpedoman pada pengertian musik adalah kejadian bunyi atau suara dapat dipandang dan dipelajari jika mempunyai kombinasi nada, ritem dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional dalam suatu kebiasaan atau tidak berhubungan dengan bahasa (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 85

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Kecuali (1) menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, teori

)


(20)

itu juga; (2) memberi kerangka orientasi untuk analisa dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian; (3) memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; (4) mengisi lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi. Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas permasalahan.

Dalam menyelesaikan tulisan ini, berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan judul di atas. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini.

Berikut ini teori-teori yang digunakan yaitu:

1. Untuk mengkaji upacara Mandalabhisekam, penulis menggunakan konsep unsur-unsur pendukung upacara yang dikemukakan Koentjaraningrat (1985:168) bahwa upacara keagamaan terbagi atas 4 komponen, yaitu : (a) tempat upacara, (b) saat upacara, (c) benda-benda dan alat-alat upacara, (d) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

2. Untuk mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan dan fungsi mantra sebagai musik vokal pada upacara Mandalabhisekam, penulis mengacu kepada teori penggunaan dan fungsi musik. Teori ini seperti yang dikemukakan oleh Merriam (1964:219-222) mengatakan secara implisit bahwa penggunaan (uses) dilakukan dalam konteks upacara, yang dapat dilihat saat itu juga, sedangkan fungsi (function) mempunyai dampak yang lebih jauh dan dalam. Merriam menawarkan ada sepuluh fungsi musik antara lain : (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetika, (3 )fungsi hiburan, (4) fungsi


(21)

perlambangan, (5) fungsi reaksi jasmani, (6) fungsi komunikasi, (7) fungsi kesinambungan budaya, (8) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (9) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (10) fungsi pengintegrasian masyarakat, tetapi Merriam tidak mengadakan pembatasan, mungkin fungsinya lebih dari sepuluh. Merriam membagi penggunaan musik kedalam 5 (lima) kategori, yaitu: 1) Hubungan musik dengan kebudayaan material, 2) Hubungan musik dengan kelembagaan sosial, 3) Hubungan musik dengan manusia dan alam, 4) Hubungan musik dengan nilai-nilai estetika, 5) hubungan musik dengan bahasa. Penggunaan (uses) musik berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan (folkways) memainkan musik tersebut, baik sebagai aktifitas yang berdiri sendiri atau dalam aktifitas yang lain.

3. Berkaitan dengan musikologis, teori Weighted Scale dari William P.Malm (1977;8) mengatakan bahwa ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: (1) Scale (tangga nada), (2) Nada Dasar, (3) Range (wilayah Nada), (4) Frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) Prevalent Intervals (interval yang dipakai), (6) Cadence Patterns (pola-pola kadensa), (7) Melodic Formulas (Formula-formula melodi), (8) Contour (kontur).

4. Untuk melihat hubungan antara teks mantra dengan melodi, penulis menggunakan teori Malm (1977:8) mengatakan apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel (suku kata), gaya ini disebut silabis, sebaliknya bila suatu silabel dinyanyikan dengan nada-nada yang berjumlah banyak disebut melismatis. Kedua teori ini penulis gunakan untuk menganalisis melodi mantra.

5. Dalam hal transkripsi terhadap mantra, penulis berpedoman kepada teori Nettl (1964:98) yang memberikan dua pendekatan yaitu :


(22)

b) Kita dapat menulis apa yang kita dengar tersebut di atas kertas, dan kita mendeskripsikan apa yang kita lihat tersebut.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti upacara Mandalabhisekam ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan:

“Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya”.

Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu : tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian ini, menjajaki/menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian.

Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Canon, dan catatan lapangan. Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara Mandalabhisekam pada bulan Maret.

Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara biasanya berlangsung lama.


(23)

Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian upacara Mandalabhisekam dalam hubungannya dengan mantra masih sulit didapat.

Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Tamil yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau penelitian.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan:

(1). Observasi (Pengamatan)

Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa seorang peneliti harus melihat langsung


(24)

maka pengamat menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.

Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku upacara, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan

sebagai laporan hasil pengamatan penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia upacara.

(2). Wawancara

Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.

Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara sambil lalu.

Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu, sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.


(25)

(3). Perekaman

Dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara :

1. Perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan handycam merk Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan analisis tekstual dan musikal.

2. Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera digital merk Canon. Pengambilan gambar dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia dan panitia pelaksana.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan, sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter-disipliner dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang.


(26)

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih Kuil Shri Balaji Venkateshwara Koil, yang terletak di Jalan Bunga Wijaya Kesuma no. 25-A, kelurahan Padang Bulan selayang II, kec. Medan Selayang, Medan. Lokasi penelitian ini ditetapkan dengan beberapa alasan yaitu :

1. Kuil Shri Balaji Venkateshwara merupakan kuil yang baru dibangun dan upacara ini hanya dilakukan pada saat pembangunan suatu kuil baru maupun pemugaran kuil jika dibutuhkan. Di sini penulis mendapat ijin dari pihak panitia upacara Mandalabhisekam dan pendeta untuk menyaksikan dan mengikuti jalannya upacara ini, sebagai sarana tempat penelitian penulisan.

2. Penulis mengikuti jalannya upacara di Kuil dari awal hingga akhir upacara, karena pelaksanaan upacara ini sangat jarang dilakukan.

3. Tokoh-tokoh agama yang mengetahui tata cara upacara ini masih ada yang berdomisili di Medan.

1.7 Pemilihan Narasumber (Informan)

Untuk pengumpulan data yang diperlukan, penulis memilih beberapa informasi yang dapat memberikan informasi-informasi yang berhubungan dengan objek penelitian ini. Hal ini didukung oleh pendapat Koentjaraningrat (1977:163-164) mengenai informan pangkal dan informan pokok.

1. Informan pangkal adalah informan yang memberikan petunjuk kepada peneliti tentang adanya individu lain dalam masyarakat yang dapat memberikan berbagai keterangan yang diperlukan.

Untuk penelitian ini yang menjadi informan pangkal adalah :

1. Bapak Drs.Gopala Krishna Naidu, SH, yaitu yang telah memberikan informasi tentang upacara Mandalabhisekam dan lokasi penelitian.


(27)

2. Anan Kumar, yaitu pengurus upacara yang memberikan informasi dan akses.

2. Informan pokok (kunci) adalah informan yang ahli tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin kita ketahui.

Dalam penelitian ini yang menjadi informan pokok adalah :

1. Bapak Suba Thina Thayalan,SE, yaitu penerjemah sekaligu narasumber. 2. Pendeta V.Hanumacharyulu, pada saat melakukan wawancara peneliti dan

narasumber mengalami hambatan dalam hal komunikasi sehingga dibantu oleh Bapak Suba Thina Thayalan, namun komunikasi diantara keduanyapun tidak berjalan dengan lancar sehingga peneliti dalam tulisan ini memasukkan data yang berhasil diterjemahkan oleh Bapak Suba Thina Thayalan, dimana ketepatan dan kekurang tepatan data yang didapat di lapangan, peneliti serahkan kepada Bapak Suba Thina Thayalan.


(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HINDU TAMIL DI KOTA MEDAN

2.1 Asal Usul Orang Tamil

Menurut S. Ramakrishan dalam Edwin (1995:15-16) bahwa orang Tamil merupakan rumpun bangsa Dravida. Disebutkan bahwa bangsa Dravida mendiami negeri India kira-kira 1000 tahun Sebelum Masehi. Kulit mereka berwarna gelap (Hitam). Kemudian kurang lebih 3.500 tahun yang lalu negeri itu kedatangan bangsa dari Persia yaitu Aria (N. Daldjoeni, 1991). Kedatangan mereka diperkirakan melalui barat laut India, yaitu selat Kaiber. Bangsa Aria berkulit putih dan berbahasa Sanskrit. Lalu bangsa Aria menyerang dan berhasil menaklukkan bangsa Dravida sehingga terdesak kebahagian selatan India. Dari adanya ras bekulit putih (Aria) dan berkulit hitam (Dravida) maka penduduk India adalah hasil percampuran keduanya. Warna kulit ini dijadikan dasar penggolongan masyarakat yang disebut Kasta. Semakin terang warna kulitnya maka semakin tingggi kastanya, demikian juga sebaliknya.

Dalam penggolongan masyarakat (kasta) tersebut, ada tiga pendapat mengenai bangsa-bangsa berkulit hitam tersebut yang sulit dimasukkan ke dalam klasifikasi ras umat manusia (N. Daljoeni, 1991:131-132), yaitu;

1. Pada mereka tidak terdapat ciri-ciri bangsa negro, mereka juga tidak dapat digolongkan ke dalam ras campuran seperti yang di Amerika, disebutkan kaum Mulat (campuran ras putih dan hitam)

2. Mereka juga tidak dapat digolongkan ke dalam bangsa Negro yakni bangsa kerdil berkulit seperti yang tersebar di Filipina dan Indonesia utara. Namun ada kemiripan dengan Negrito, yakni selain pendek posturnya, hidung, pipi dan rambut sangat keriting.


(29)

3. Adapun bagian ketiga dan terpenting yaitu banyak diantara mereka mirip dengan bangsa Aborigin di benua Australia.

Pada masa sekarang ada empat Negara bagian di India selatan yang termasuk ke dalam rumpun bangsa Dravida. Keempat Negara bahagian itu tersebut memiliki sistem budaya termasuk bahasa dan aksara yang berbeda-beda kecuali agama. Keempat Negara bahagian itu adalah:

1. Tamil Nadu, bahasa yang dipakai adalah bahasa Tamil. 2. Andhra Pradesh, yang dipakai adalah bahasa Telugu.

3. Karnataka, yang dipakai adalah bahasa kannada atau Kanarese. 4. Kerala, bahasa yang dipakai adalah Malayalam.

2.2Kedatangan Orang Tamil ke Kota Medan dan Sekitarnya

Ada beberapa catatan yang menguraikan tentang kedatangan orang Tamil ke kota Medan dan sekitarnya. Salah satu diantaranya berpendapat bahwa suku bangsa ini adalah sebenarnya telah datang ke Indonesia ribuan tahun yang lalu. Menurut sejarah, ekspansi Raja Iskandar Zulkarnain dari Macedonia ke India tahun 334-362 SM mengakibatkan bangsa India cerai berai berai dan banyak melarikan diri karena ketakutan. Penduduk di lembah sungai Indus lari ke bahagian selatan India dan banyak yang terus lari ke Nikobar, Andaman dan pulau Sumatera (Brahma Putro, 1981:38). Pada dasarnya keterangan tersebut tidak menjelaskan mengenai bangsa India beretnis Tamil, tapi yang pasti kedatangan mereka ke pulau Sumatera banyak mempengaruhi budaya setempat seperti adat-istiadat, religi, bahasa dan kesenian. Dari keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa bangsa India dan masuknya agama yang mereka anut di Sumatera Timur khususnya Deli serdang sudah terjadi pada abad IV SM (Sinar, 1988:5).


(30)

Sejarah tentang kedatangan orang Tamil ke Deli Serdang dapat dipastikan pada abad I Masehi. Keterangan tersebut didapat dari buku tua yang berjudul “Manimagelai’ karangan pujangga sitesar yang aslinya terbit pada abad I Masehi dan sangat populer di India menurut Brahma Putro dalam Edwin (1995:17). Dalam buku tersebut disebutkan bahwa orang-orang India beretnis Tamil bersama rombongannya tiba di sebuah kampung yang bernama Haru (sekarang menjadi Karo).

Gelombang terakhir kedatangan orang Tamil ke Kota Medan dan sekitarnya yaitu pada tahun 1872 sebagai kuli kontrak perkebunan bersama dengan orang-orang Jawa yang dipekerjakan pada waktu itu sekitar ratusan orang, menurut Brahma Putro dalam purba (2011:31). Mereka di datangkan dari India selatan, Malaysia dan singapura untuk menutupi kekurangan tenaga kerja perkebunan-perkebunan milik Belanda. Sebahagian orang Tamil yang bekerja di perkebunan banyak melarikan diri ke Medan untuk mencari perlindungan sewaktu Jepang berkuasa serta pada tahun 1946 sebahagian orang Tamil kembali ke negara asalnya (Burju Matua N, 1990:20-22).

Pada tahun 2011-2012, jumlah orang Tamil yang tinggal di kota Medan diperkirakan berjumlah 80.000 jiwa. Perkembangan jumlah orang Tamil ini dapat dikatakan cukup pesat, dimana pada tahun 2003 jumlah orang Tamil yang ada di kota Medan masih berjumlah 30.000 jiwa, hal tersebut dijelaskan oleh Bapak Suba Thina selaku narasumber. Hal ini dikarenakan pertambahan keturunan dari generasi muda orang Tamil yang sudah menikah dan berkeluarga. Disamping itu juga orang Tamil dapat bertahan dan meneruskan kehidupan mereka dengan berbagai profesi atau pekerjaan yang mereka geluti seperti berdagang dan wirausaha.

Bagi orang Tamil yang sudah tinggal di kota Medan, mereka tetap menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan budayanya. Untuk melaksanakan kegiatan keagamaannya, orang-orang Tamil kemudian mendirikan kuil sebagai tempat beribadah dan


(31)

melaksanakan upacara yang berkaitan dengan keagamaan. Salah satunya adalah kuil Shri balaji Venkateshwara yang terletak di kec. Selayang II Medan. Hal ini dilakukan agar tradisi serta ajaran agama yang mereka anut dapat dijalankan dan dilaksanakan sesuai dengan kepercayaan mereka.

2.3 Masyarakat Hindu Tamil

Masyarakat Hindu Tamil merupakan penggabungan antara kata Hindu dan Tamil. Hindu merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia dan di dunia. Tamil merupakan suku atau etnis pendatang yang datang ke Indonesia pada abad ke IV dan memilihi menetap di Indonesia. Penggabungan kata ini menjadi suatu identitas yang dipakai oleh kelompok orang Tamil yang memeluk agama hindu di suatu kelompok masyarakat.

Mereka menyebutkan bahwa mereka merupakan masyarakat Hindu Tamil disamping berada dalam suatu kelompok masyarakat, juga karena mereka merasa memiliki asau-usul serta identitas yang sama. Hal ini terbukti dalam kelompok masyarakat Hindu Tamil yang berada di kawasan pasar IV padang bulan Medan yang menjadi tempat penelitian dan menjadi objek penelitian. Jadi dari penjabaran diatas dapat dikatakan bahwa sekumpulan orang Tamil yang memeluk agama Hindu dan tinggal dalam suatu kawasan tertentu, menyebut identitas mereka sebagai masyarakat Hindu Tamil.

2.4 Agama Hindu

Kata Hindu berasal dari sebutan orang Persia yang datang ke India. Mereka menyebut sungai Shindu/Indus yang mengalir di daerah barat India sebagai sungai Hindu. Ketika agama Islam masuk ke India, kata Hindu muncul kembali dalam bentuk Hindustan.


(32)

Sanatana Dharma (Sanskrit) yang berarti Kebenaran Abadi. Agama Hindu tidak mempunyai pendiri dan penyebarannya dilakukan oleh Kaum Brahmana. Selain tidak mempunyai pendiri, agama Hindu memiliki perbedaan dengan agama lain yaitu tidak memakai istilah Nabi, yang ada adalah Guru, Rsi dan Maharsi.

Dalam ajaran agama hindu, Tuhan adalah sebagai pencipta alam semesta dan isinya. Umat Hindu di Indonesia menyebut Tuhan dengan gelar Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Selain bergelar Sang Hyang Widhi Wasa, Ia disebut juga dengan nama Bhatara sebagai pelindung dewa tertinggi, Sang Hyang Parameswara sebagai raja termulia.

Di dalam manifestasinya sebagai dewa, Sang Hyang Widhi Wasa dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar, yang disebut dengan Tri Murti yang terdiri dari:

1. Dewa Brahma, bertugas sebagai pencipta alam semesta dan disimbolkan dengan A. 2. Dewa Wisnu, bertugas sebagai pemelihara dan pelindung alam semesta dan

disimbolkan dengan U.

3. Dewa Siwa, bertugas sebagai Pemeralina (pengembali segala isi alam semesta ke asalnya) dan disimbolkan dengan M.

Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan disimbolkan dengan dengan aksara AUM atau OM, yaitu suara yang terdengar dari meditasi yang paling terdalam dan dijadikan nama yang paling tepat untuk Tuhan. Hal ini memberikan arti bahwa Sang Hyang Widhi mempunyai sifat yang Esa yang disebut dalam nama ketiga Dewa sekaligus.

Selain manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa sebagai dewa yang disebut Tri Murti, terdapat juga tiga pendamping / Sakti, yaitu:

1. Saraswati, yaitu dewi pengetahuan dan kesenian. Saktinya Dewa Brahma, disebut Dewi Kebijaksanaan.

2. Lakshmi, yaitu dewi cahaya, kecantikan dan keberuntungan. Saktinya Dewa Wisnu, disebut Dewi Kekayaan.


(33)

3. Parvati, yaitu dewi rumah tangga dan keibuan. Saktinya Dewa Siwa, disebut dewi Kekuatan Sakral.

Disamping ketiga bentuk pasangan diatas, ada juga Ganapati / Ganesha, yaitu dewa pendidikan yang merupakan anak pertama dari Siwa dan Parvati, serta Muruga, yaitu dewa Keindahan dan dipercaya membawa bahasa Tamil, yang merupakan adik dari Ganesha.

Agama Hindu percaya dengan adanya Panca Cradha (kepercayaan) yaitu: 1. Percaya akan adanya Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa)

Sang Hyang Widhi Wasa adalah penguasa segala yang ada, tidak ada yang luput dari Kuasa-Nya. Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan pikirannya. Sang Hyang Widhi Wasa dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pengembali alam semesta.

2. Percaya akan adanya Atma

Atma yaitu satu bagian dari Brahma yang dipercaya oleh umat Hindu terdapat dalam setiap diri manusia.

3. Percaya akan adanya Karma Phala

Karma adalah segala kegiatan dalam bentuk pikiran, ucapan, dan perbuatan baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Kata Phala berarti buah atau hasil, sehingga Karma Phala berarti segala Karma (perbuatan) yang menghasilkan Phala (hasil).

4. Percaya terhadap adanya Purnarbhawa (Samsara)

Purnarbhawa atau Samsara yaitu kelahiran kembali ke bumi yang bertujuan untuk memperbaiki diri dari segala kesalahan di masa lalu.


(34)

Moksa artinya kelepasan. Bila seseorang telah terlepas dari ikatan dunia ini maka ia akan mencapai Moksa. Inilah tujuan akhir dari pemeluk agama Hindu. Orang yang telah mencapai Moksa tidak lahir lagi ke dunia karena tidak ada apapun yang mengikatnya lagi, maka ia telah bersatu dengan Sang Hyang Widhi Wasa.

Menurut ajaran agama Hindu ada empat jalan untuk mencapai Moksa, disebut Catur Yoga yaitu:

1. Jnana Yoga yaitu melalui jalan pengetahuan

2. Bhakti Yoga yaitu melalui jalan kebaktian atau pengabdian 3. Karma Yoga yaitu melalui jalan perbuatan baik

4. Dhyana Yoga yaitu melalui jalan meditasi

2.5Veda, Kitab Suci Umat Hindu 2.5.1 Pengertian Veda

Kata Veda dapat dikaji melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan Estimologi (kata dasar) dan berdasarkan Semantik (pengertiannya). Kata Veda berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata dasar Vid yaitu pengetahuan. Dari kata dasar ini berubah menjadi kata benda yang artinya kebenaran, pengetahuan suci, kebijaksanaan dan secara sematik berarti kitab suci yang mengandung abadi, ajaran suci atau kitab suci bagi umat Hindu. Sebagai kitab suci umat Hindu maka ajaran Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk waktu tertentu.

Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkan (mewahyukan) adalah Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Suci. Apapun yang diturunkan sebagai ajaran-Nya kepada umat manusia adalah ajaran suci terlebih dahulu bahwa isinya memberikan


(35)

petunjuk atau ajaran untuk hidup suci. Sebagai kitab suci, Veda adalah sumber ajaran agama Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Veda atau Bruti mengalirlah ajaran Veda pada kitab-kitab Sarti, Itihasa, Purane, kitab-kitab agama Tantra, Darsana, dan Tattwa yang diwarisi di Indonesia. Veda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan pada saat pralaya (kiamat) nanti. Veda menuntun tindakan umat tidak terbatas pada tuntutan hidup individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Segala tuntutan hidup ditunjukkan kepada umat dalam kitab suci.

2.5.2 Pembagian dan Isi Veda

Menurut Maurice Winternitz, kitab-kitab Veda terdiri dari empat pengelompokan dan masing-masing kelompok tersebut dari sejumlah besar atau kebil yang diterima oleh para Rsi (nabi) berupa mantra-mantra, baik secara individual maupun secara bersama-sama dalam kelompok.

Pengelompokan itu adalah:

1. Samhita, yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung Upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan-ucapan syukur, petunjuk upacara korban), ajaran filsafat dan lain-lain.

2. Brahmana, yakni uraian yang panjang tentang Ketuhanan / Theologi observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara korban yang dilakukan individu, kelompok, maupun upacara-upacara besar lainnya.

3. Aranyaka, mengandung ajaran tentang meditasi atau kehidupan menjadi bertapa di hutan, juga ajaran Yoga untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa, tentang dunia dan kehidupan umat manusia.


(36)

Ada empat jenis Samhita yang masing-masing memiliki perbedaan satu dengan lainnya, yaitu:

1. Rig Veda Samhita, yakni himpunan rc atau rk. RigVeda artinya pengetahuan suci yang berhubungan dengan nyanyian pemujaan dan bila dihubungkan dengan Veda akan menjadi Rig Veda.

2. Yajurveda Samhita, yakni kumpulan Makna Jayus, pengetahuan suci tentang upacara korban.

3. Samaveda Samhita, yaitu kumpulan Mantra Saman, pengetahuan suci tentang irama (melodi) mengembangkan mantra-mantra Veda.

4. Atharveda Samhita, yaitu kumpulan Mantra Atharvan, pengetahuan suci yang memberikan manfaat berhubungan dengan kehidupan di dunia.

Keempat jenis mantra ini disebut Catur Veda. Kitab Catur Veda dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok isi, yang masing-masing dikembangkan lagi sebagai pengetahuan yang berdiri sendiri, yaitu:

1. Kelompok yang membahas aspek Vijnana, yaitu kelompok mantra yang membahas berbagai macam aspek pengetahuan, baik pengetahuan alam sebagai ciptaan-Nya, termasuk theologi, kosmologi, dan lain-lain yang bersifat metafisik. Kata Vijnana berarti kebijaksanaan tertinggi.

2. Kelompok yang membahas aspek karma, yaitu kelompok mantra mengenai berbagai aspek atau jenis karma sebagai dasar atau cara dalam mencapai tujuan hidup manusia.

3. Kelompok yang membahas Upasana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek yang ada kaitannya dengan petunjuk dan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kata Upasana berarti usaha mendekatkan diri dengan Sanghyang Widhi.


(37)

4. Kelompok yang membahas aspek Jnana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek pengetahuan secara umum sebagai ilmu murni.

Mengingat mantra-mantra Veda sukar dipahami dan mungkin kurang menarik minat bagi umat yang awam di bidang kerohanian, para Rsi menyusun kitab-kitab sastra sebagai alat bantu memahami ajaran tersebut.

2.6 Pendidikan

Dalam mengikuti perjalanan upacara Mandalabhisekam, penulis juga banyak bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Selain bersosialisasi, penulis juga mengamati Bhakta yang datang ke kuil bahkan orang-orang yang mengikuti pelaksanaan upacara Mandalabhisekam juga.

Pada saat upacara telah selesai, penulis mewawancarai salah satu Bhakta kuil Shri Balaji Venkateshwara yaitu Bapak Suba Thina Thayalan dengan maksud menanyakan tingkat pendidikan Bhakta yang berada di kuil Shri Balaji Venkateshwara. Dapat dikatakan bahwa secara umum tingkat pendidikan Bhaktanya beragam, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah tingkat atas hingga sarjana. Sumber mengatakan hal ini terjadi karena tingkat perekonomian Bhakta berbeda-beda, semakin tinggi tingkat perekonomian Bhakta semakin tinggi juga tingkat pendidikannya.

2.7 Mata Pencaharian

Mata pencaharian Bhakta di kuil Shri Balaji Venkateshwara dapat dikatakan sebagian besar sebagai wiraswasta yaitu sebagai pedagang dan karyawan. Namun selain itu ada juga yang bekerja sebagai pegawai negeri. Bagi yang wanita, kebanyakan hanya sebagai ibu rumah tangga dibandingkan dengan wanita yang bekerja sebagai pedagang.


(38)

2.8Aspek Kesejarahan Kuil Shri Balaji Venkateshwara di Kota Medan

Alkisahnya bermula pada awal tahun 1990 atas pemikiran bersama 3 orang pemuka masyarakat Hindu di Medan perlu disediakan sebuah pusat pertemuan umat Hindu berupa sebuah Kuil dan Hall di Kec. Medan Selayang Kotamadya Medan, mengingat dilingkungan tersebut berdiam ±200 keluarga yang beragama Hindu keturunan India. Maka dengan niat yang tulus untuk berbuat yang baik dan bermanfaat bagi umat Hindu dalam membangun dan mengembangkan spiritual dan cultural, ketiga donator ini membeli sebidang tanah pertapakan seluas 1.430M¬2 (26 x 55M) sekaligus menimbun dan memagar kavling tersebut. Hari, bulan dan tahunpun berjalan, akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1995 hingga tahun 2005, rencana pembangunan proyek dimaksud tertunda untuk beberapa tahun. 2 tahun lalu atas inisiatif masyarakat Hindu setempat dan persetujuan donatur selaku pemilik kavling tersebut telah didirikan sebuat bangunan darurat untuk dijadikan Kuil dengan menempatkan sebuah photo Shri Venkateshwara sebagai wadah pemujaan dan diberi nama Kuil Shri Balaji Venkateshwara dan umat melakukan aktivitas rutin di kuil tersebut dengan antusias hingga saat ini serta menjalankan even-even hari besar keagamaan secara hidmat.

Melihat perkembangan aktivitas ini pihak donator yang tiga orang yaitu Sdr. M. Jayaraman Naidu, Drs. M. Pubalen Naidu dan Suba Tirumal Naidu pada tanggal 22 Juli 2007 di bantu beberapa tokoh umat Hindu di Medan telah mendirikan sebuah wadah yang diberi nama Yayasan Shri Maha Wishnu yang didukung oleh 62 orang sebagai pendiri sekaligus membentuk kepengurusan Yayasan. Tujuan dibentuknya yayasan ini guna menjalankan tugas dan mengelola Kuil tersebut berserta asetnya dan merupakan satu badan hukum yang dapat mempertanggung jawabkan segala sesuatunya dikemudian hari.

Selanjutnya ketiga orang donator tersebut juga telah menghibahkan status tanah tersebut menjadi hak milik Yayasan Shri Maha Wishnu pada bulan Maret 2008. Yayasan ini mempunya tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan perencanaan dan


(39)

pembangunan Kuil Shri Balaji Venkateshwara serta Maha Wisnu Mandapa (HALL) yang dananya diharapkan akan di dapatkan dari sumbangan masyarakan luas baik di Indonesia maupun luar negeri yang mana sumbangan ini sifatnya tidak mengikat.

Pada saat pembangunan kuil selesai dilaksanakan, Bhakta dapat mempergunakan kuil sebagai tempat sembahyang atau beribadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam keseharian maupun upacara-upacara yang bersifat tahunan.

Pengurus yayasan telah menyiapkan gambar rencana proyek bangunan Kuil dan Mandappa dimaksud dan telah pun mendapat izin untuk mendirikan bangunan dari pihak pemerintah Kotamadya Medan.

Berikut merupakan jadwal kegiatan ibadah harian yang dilakukan di kuil : 1. Hari Minggu ke hari Jumat

06.00 - 06.30 Suprabatham, yaitu saat membaca kidung untuk membangunkan

06.30 - 08.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil

08.00 - 09.30 Suddhi, Thomala, Archanai, Nivedhana, Aarti, yaitu membersihkan arca, memakaikan bunga serta memberi makan pada waktu bunyi lonceng.

09.30 - 11.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil

11.00 Tutup

17.30 - 18.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil

18.00 - 18.30 Suddhi, Thomala, Archanai, Nivedhana, Aarti, yaitu membersihkan arca, memakaikan bunga serta memberi makan pada waktu bunyi lonceng.

18.30 – 20.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil


(40)

2. Hari Sabtu

06.00 - 06.30 Suprabatham, yaitu saat membaca kidung untuk membangunkan

06.30 - 07.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 07.00 – 08.00 Abhisekam, yaitu memandikan arca

08.00 – 09.00 Alankaram, yaitu merias arca dewa

09.00 – 10.00 Suddhi, Thomala, Archanai, Nivedhana, Aarti, yaitu membersihkan arca, memakaikan bunga serta memberi makan pada waktu bunyi lonceng.

10.00 – 11.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil 11.00 Tutup

17.30 – 18.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil

18.00 - 18.30 Suddhi, Thomala, Archanai, Nivedhana, Aarti, yaitu membersihkan arca, memakaikan bunga serta memberi makan pada waktu bunyi lonceng.

18.30 – 20.00 Dharisanam, yaitu saat ibadah di kuil

20.00 – 20.30 Suddhi, Ekanta Seva, yaitu saat menidurkan Dewa 20.30 Tutup

Acara tahunan yang dilaksanakan di kuil yaitu :

1. Tanggal 23 Maret : Sri Nandana Naama Samvatsara Pramrambham (Tahun baru saka)

2. Tanggal 1 April : Sri Ramanavami (Festival hari kelahiran Rama)


(41)

3. Tanggal 15 Mei : Hanuman Jayanthi (Festival hari kelahiran Hanuman)

4. Tanggal 27 Juli : Varalakhsmi Vratham (Hari puasa untuk memuja Varalakshmi)

5. Tanggal 10 Agustus : Sri Khrisnastami (Festival hari kelahiran Batara Khrisna)

6. Tanggal 16 Oktober : Devi Navarathrula Prarambham (Pemujaan kepada Dewi Laksmi selama 9 malam)

7. Tanggal 24 Oktober : Dasara (Perayaan hari ke-10 setelah 9 malam)

8. Tanggal 13 November : Deepavali (Hari kemenangan)

9. Tanggal 27 November : Kartika Depotsavam (Upacara pemujaan bulan purnama suci)

10.Tanggal 23 Desember : Vaikunta Ekadasi (Pemujaan kepada Dewa Wishnu yang membuka surga)

11.Tanggal 15 Januari : Maha Sankranti (Pemujaan kepada Batara surga)

12.Tanggal 21 Februari : Shri Balaji Venkateshwara Koil Pratama Vaarsakotchavam (Perayaan ulang tahun kuil)

13.Tanggal 1 April : Sri Vijaya Naama Samvatsara Prarambham (Tahun baru)

2.9 Kuil Shri Balaji Venkateshwara


(42)

dengan konsep bangunan yang sederhana. Shri Balaji Venkateshwara adalah Avatara (penjelmaan) Dewa Wisnu pada saat turun ke bumi. Dewa ini begitu dipuja dan dihormati oleh umat Hindu. Bangunan kuil Shri Balaji Venkateshwara memiliki ukuran luas 26 x 55 meter. Dari segi bangunan, kuil ini telah mengalami banyak perombakan secara total dari bangunan lama ke bangunan baru. Letak bagian depan kuil ini tepat menghadap matahari terbit dengan kata lain menghadap timur. Jadi Bhakta yang melaksanakan ibadah menghadap ke barat berhadapan dengan arca dewa-dewa yang menghadap ke arah timur. Menurut Bapak Suba Thina Thayalan, umumnya kuil-kuil menghadap ke arah timur, karena konsep arah matahari terbit menurut agama Hindu Tamil yaitu matahari merupakan sinar Ilahi yang datang tepat menuju arca dewa. Kemudian sinar yang ada pada dewa dipantulkan kepada orang yang melaksanakan ibadah. Di bagian dinding bagian atas kuil, atap kuil dan bagian dalam kuil terdapat patung / arca dewa dan dewi agama Hindu.

Di bagian depan kuil juga terdapat Kodimaram / Dhvajastambha (Sansekerta) yaitu sejenis tiang bendera yang disebutkan sebagai penggambaran dari bagian-bagian kuil, yang terdiri atas:

1. Garbhagraham (Aaknyai) yaitu bagian kepala 2. Artha Mandapam (Visuthi) yaitu bagian leher 3. Maha Mandapam (Anaahatanam) yaitu bagian dada 4. Snana Mandapam (Manipurakam) yaitu bagian perut 5. Alankara Mandapam (Swathishtanam) yaitu bagian tangan 6. Sabha Mandapam (Mulatharam) yaitu bagian kaki


(43)

Gambar 2.1 Kodimaram / Dhvajastambha

Lambang AUM terbuat dari bahan besi yang merupakan gambaran kehidupan mahluk hidup di dunia yang dirangkum oleh Tuhan Yang Maha Esa diletakkan di bagian paling atas kuil. Di bagian belakang terdapat kantor dan Maha Wishnu Mandapa (HALL) yang dipergunakan untuk mengurusi segala urusan inventaris kuil serta dipergunakan juga untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan agama dan budaya Tamil.


(44)

Gambar 2.2 Sketsa Kuil Shri Balaji Venkateshwara tampak depan

Gambar 2.3 Sketsa Kuil Shri Balaji Venkateshwara tampak samping

2.9.1 Aturan Sebelum Masuk ke Kuil


(45)

1. Membersihkan diri dengan mandi (keramas).

2. Mengenakan pakaian yang bersih, sopan dan khas, antara lain : warna tidak menyolok, laki-laki memakai kemeja atau Jippa dan Thundu (selendang) dan perempuan memakai Saree, Paavaadai atau Dhavani.

3. Tidak memakai perhiasan yang berlebihan.

4. Bagi mereka yang datangnya tidak dari rumah, diperbolehkan memakai pakaian bebas asalkan tidak berwarna hitam.

5. Memakai Sricharana atau Thiruman atau Namam berbentuk U atau Y yang melambangkan kaki Shri Balaji Venkateshwara dan Srichurnam atau Trishaum atau Sendhuram berbentuk garis tegak yang melambangkan kekuatan Lakshmi. 6. Kaum perempuan dianjurkan menghias rambutnya dengan bunga dan mengenakan

bubuk Kunkuman berbentuk bulat di tengah kening.

7. Bagi perempuan yang sedang mengalami haid / menstruasi tidak diperbolehkan masuk ke dalam kuil, sebelum hari ketiga sesudah haid.

8. Membawa buah kelapa, daun sirih, buah pinang, buah pisang, buah-buahan yang lain, Karpuram / Sudam, minyak sapi, kalung bunga, beberapa kuntum bunga dan Dupa / Bathi. Jika tidak dapat menyediakan keseluruhan, minimal ada membawa beberapa kuntum bunga yang wangi.

9. Sebaiknya pergi bersama keluarga, karena hal ini menunjukkan perasaan cinta (Anbu), kasih sayang (Paasam) dan kesetiaan. Sekaligus membimbing anak agar bermoral dan menjadi anak Hindu yang baik.

2.9.2 Larangan di Dalam Kuil

Larangan ketika berada di dalam kuil yaitu : 1. Menyentuh Vigraham (Arca)


(46)

3. Bersembahyang / berjalan / berdiri diantara Mulamurti atau Palipidam

4. Bersembahyang dan mengitari kuil ketika Vigraham (Arca) ditutupi kain tirai atau ketika Abishekam sedang berlangsung

5. Berbicara perihal isu atau gosip

6. Melakukan pemujaan tidak pada waktunya

7. Berdiri jauh dan hanya mengamati puja yang sedang dilaksanakan 8. Mengenakan pakaian yang tidak layak

9. Melanggar aturan atau cara pemujaan

10.Bersujud di tempat lain selain tempat yang ditentukan

11.Menyalakan Karpuram (kapur barus) tidak pada waktu dan tempat yang tepat 12.Menempatkan bunga, buah dan bahan lainnya tanpa melalui Archagar / pendeta 13.Datang ke kuil dengan tujuan lain

14.Mangambil barang milik kuil untuk digunakan sendiri

15.Mengusapkan tangan pada pilar dan dinding kuil setelah menerima Prasadham 16.Menyanyikan lagu-lagu duniawi


(47)

BAB III

DESKRIPSI UPACARA MANDALABHISEKAM

3.1 Pengertian Upacara Mandalabhisekam

Upacara Mandalabhisekam merupakan upacara peresmian peletakan arca-arca dewa umat Hindu (Bhakta) yang antara lain perwujudan dari dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara), perwujudan Shri Padmawati, perwujudan Shri Aandaal, perwujudan dewa Ganesha (Shri Wisnu Ganapathi), perwujudan Shri Garuda, dan perwujudan Shri Hanuman yang telah didoakan dan nantinya akan dimandikan (disucikan) serta dikawinkan secara simbolis sebagai persyaratan dalam upacara Mandalabhisekam. Setelah upacara peletakan arca-arca dewa dilakukan, selanjutnya dilakukan dua tahap upacara pada hari yang bersamaan. Tahap pertama dilakukan pada pukul 08.00 - 12.30 yaitu upacara 108 Kalasa Thirumanjana dan tahap kedua akan dilakukan pada jam 17.00 - 20.00 yaitu upacara Kalyana

Mohotsava. Tahap pertama, upacara yang dilakukan adalah

upacara 108 Kalasa Thirumanjana, yaitu upacara memandikan Vigraha Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) yang terdapat di kuil dengan menggunakan sarana/perlengkapan susu, susu masam, minyak sapi, madu, air kelapa muda, serbuk kunyit, serbuk cendana berikut air yang disucikan dan didoakan dari 108 kalasa yang disediakan Bhakta. Upacara ini dilakukan oleh 108 pasangan yang berasal dari Bhakta. Manfaat upacara 108 Kalasa Thirumanjana bagi para Bhakta yaitu akan mengalami penyembuhan dari cacat mental, penyakit kronis, dan dikaruniai keturunan. Dengan berpartisipasi dalam upacara 108 Kalasa Thirumanjana, Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) sebagai pelipur lara Bhakta akan memberikan obat dan kepuasan dari kekhawatiran serta kendala lain Bhakta sehari-hari seperti kedamaian hati, panjang umur, tambah harta, kemakmuran lingkungan,


(48)

keselamatan bagi para petani (Dhana Dhanya Samruthi), harmonisasi keluarga, dan pekerjaan /usahanya sendiri.

Tahap kedua yaitu upacara Kalyana Mohotsava yang merupakan upacara perkawinan simbolis arca perwujudan Dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara) dengan arca

perwujudan Shri Padmawati dan arca perwujudan Shri Aandaal yang dilakukan oleh pendeta dan seluruh Bhakta. Dalam upacara ini Bhakta yang terdiri dari wanita bersuami atau anak gadis dapat membawa hantaran untuk perkawinan (Varisai Taddu) berupa dua macam buah, bunga atau kalung bunga, gelang tangan, serbuk kunkuman, daun sirih, dan pinang yang ditempatkan pada sebuah talam. Hantaran ini nantinya akan dipersembahkan kepada dewa yang mereka sembah. Pada akhir upacara ini, arca dewa-dewi yang telah dikawinkan secara simbolis akan diarak kejalanan sesuai lokasi yang telah disepakati, untuk mengabarkan kepada semua Bhakta bahwa perkawinan yang dilakukan telah terlaksana dan memberi berkat kepada para Bhakta yang tidak dapat hadir dalam upacara itu.

3.2 Latar Belakang dan Tujuan Pelaksanaan Upacara

Semua umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta isinya baik yang berada di segala penjuru bumi, di lautan maupun di angkasa merupakan bagian dari tubuh Sang Hyang Widhi meskipun tidak tampak langsung oleh manusia. Umat Hindujuga percaya bahwa bumi beserta isinya diciptakan oleh Sang Hyang Widhi bertujuan untuk kehidupan manusia ciptaannya. Cara yang paling mudah dan paling indah untuk mendekati Sang Hyang Widhi adalah melalui rasa.

Untuk membangkitkan rasa cinta kepada Sang Hyang Widhi maka diperlukan suatu kondisi tertentu, kondisi yang dapat membangkitkan rasa Ketuhanan muncul dan hidup dengan baik. Hal inilah yang membuat umat Hindu mendirikan kuil di tempat-tempat yang indah, bersejarah atau yang dapat membangkitkan kekaguman akan kebesaran Sang Hyang


(49)

Widhi, disamping dekat dan mudah dicapai umatNya. Dengan kondisi yang demikian maka orang akan mudah mengagumi dan menghormati Sang Hyang Widhi, dan rasa ego serta keangkuhan akan hilang diganti rasa kagum dan hormat sehingga hubungan yang baik akan selalu terjaga antara manusia sebagai ciptaan dengan Sang Hyang Widhi sebagai pencipta. Bahan dan bentuk kuil pun tidak dibuat menyerupai rumah tempat tinggal ataupun gedung biasa.

Bagi umat Hindu kuil bukan hanya sebagai tempat ibadah semata, melainkan dianggap sebagai Kahyangan tempat memuja kekuasaan Sang Hyang Widhi serta tempat untuk menerima berkat bagi kehidupan Bhakta, karena itu dibangunlah kuil dengan bentuk dan bahan yang berbeda dengan bangunan biasanya sehingga disaat memasuki kuil perasaan akan seperti dalam Kahyangan dan Sang Hyang Widhi pun memberikan kesejukan hati. Perwujudan rasa hormat tersebut terlihat pada etika hidup masyarakat Hindu yang membangun kuil menghadap arah timur atau matahari terbit karena umat Hindu percaya bahwa sinar matahari meerupakan sinar kemuliaan Sang Hyang Widhi, karena matahari juga memiliki pengaruh yang besar terhadap hidup dan keselamatan umat manusia. Matahari juga dipercayai mempunyai kekuatan yang menyebabkan bumi berputar, angin dan air beredar. Dengan adanya sinar matahari semua mahluk hidup bisa hidup sehingga jika matahari tidak ada, maka bumipun akan mati. Maka pada waktu sembahyang, umat Hindu mencakupkan tangannya memuja Sang Hyang Widhi ke arah matahari terbit (timur), tempat darimana Sang Hyang Widhi menyampaikan kasih berupa anugerah yang berlimpah kepada semua mahluk hidup serta umat Hindu akan menundukkan kepalanya ke arah matahari terbit itu juga sebagai simbol ucapan rasa syukur dan terima kasih.

Adapun hal yang melatarbelakangi pelaksanaan upacara ini adalah karena rasa hormat dan kagum kepada Sang Hyang Widhi serta ucapan syukur kepadaNya serta bagi umat Hindu


(50)

kuil inilah umat Hindu bisa selalu beribadah untuk memuji Sang Hyang Widhi dan menerima segala berkatNya. Di dalam kuil ini juga semua umat Hindu dapat menerima ajaran yang sesuai dengan tindakan dan perilaku yang dikehendaki Sang Hyang Widhi serta akan melaksanakannya dalam kehidupannya. Berangkat darisinilah umat Hindu melaksanakan upacara Mandalabhisekam, upacara ini merupakan persyaratan yang sangat penting dalam membangun sebuah kuil baru. Upacara ini merupakan upacara peresmian yang harus dilaksanakan agar sebuah bangunan kuil yang baru dibangun dapat dipergunakan secara sah menurut ajaran agama Hindu, dengan kata lain jika upacara ini tidak digunakan maka kuil tersebut belum bisa dipergunakan. Jika pelaksaan upacara Mandalabhisekam telah selesai dilaksanakan maka kuil tersebut telah sah menurut agama dapat dipergunakan sehingga melalui upacara tersebut juga para dewa yang disembah akan memberkati kuil tersebut. Oleh karena kuil tersebut telah diberkati oleh Sang Hyang Widhi maka umat yang melaksanakan ibadah akan terberkati, itulah tujuan dari pelaksanaan upacara tersebut.

3.3 Tempat Pelaksanaan Upacara

Dalam membahas tempat pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, penulis akan menyebutkan satu-persatu seperti yang penulis saksikan pada saat upacara dilaksanakan. Tempat awal upacara Mandalabhisekam dilaksanakan di depan aula Shri Maha Wisnu Mandapa kemudian masuk ke dalam kuil Shri Balaji Venkateshwara yang dimulai dari pagi hari hingga malam hari. Di dalam kuil telah ditempatkan arca perwujudan dewa Wishnu (Shri Balaji Venkateshwara), perwujudan Shri Padmawati, perwujudan Shri Aandaal, perwujudan dewa Ganesha (Shri Wisnu Ganapathi), perwujudan Shri Garuda, dan

perwujudan Shri Hanuman sebagai perantara umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi untuk permohonan setiap umat pada saat acara persembahyangan.


(51)

Pada malam harinya, kelanjutan dari upacara Mandalabhisekam yaitu arak-arakan arca pasangan dewa yang telah dikawinkan secara simbolis dilakukan dengan melewati rute yang telah ditentukan yaitu jalanan disekitar kuil dan kembali lagi ke kuil Shri balaji

Venkateshwara.


(52)

Gambar 3.2 Gapura kuil Shri Balaji Venkateshwara


(53)

Gambar 3.4 Ruang dalam kuil

Gambar 3.5 Bhakta sembahyang di kuil

3.4 Komponen Upacara 3.4.1 Saat Upacara

Upacara Mandalabhisekam dilaksanakan setiap kali pertama pembangunan kuil yang baru dibangun. Upacara ini dilakukan selama 13 hari, dimana selama 12 hari para Bhakta


(54)

upacara Mandalabhisekam merupakan puncak upacara, setelah upacara peletakan arca-arca dewa dilakukan, selanjutnya dilakukan dua tahap upacara pada hari yang bersamaan. Tahap pertama dilakukan pada pukul 08.00 - 12.30 yaitu upacara 108 Kalasa Thirumanjana dan tahap ke-dua akan dilakukan pada jam 17.00 - 20.00 yaitu upacara Kalyana Mohotsava.

3.4.2 Benda-benda dan Bahan-bahan Upacara

Menurut umat Hindu benda-benda yang dipakai pada saat pelaksanaan upacara Mandalabhisekam memiliki makna dan fungsi tertentu dan dipercayai dapat menjadi sarana penyampai pesan dan maksud bagi yang mereka sembah yaitu Sang Hyang Widhi.

3.4.2.1 Benda-benda Yang Digunakan Saat Upacara

benda yang dipakai merupakan benda yang dianggap sakral dan suci. Benda-benda yang dipakai pada saat upacara terdiri atas:

1. Lampu sakral (Manggala Deepam / Dipam)

Menurut agama Hindu lampu yang dalam hal ini memilki sinar terang yang berasal dari api lampu tersebut memiliki arti bahwa lampu disimbolkan sebagai cahaya penerang dan memberi kehidupan bagi manusia bagaikan sinar matahari yang menyinari bumi dan menjaga kehidupan manusia melaluiu terangnya. Selain itu sinar yang berasal dari lampu dapat disimbolkan juga sebagai cahaya yang dapat membinasakan kekuatan kegelapan yang selalu mengganggu kedamaian hidup umat manusia.

Berbeda jenis-jenis bahan pembuatan sumbu lampu sakral, berbeda pula makna dan fungsi yang terkandung di dalamnya. Berikut jenis-jenis bahan pembuatan sumbu lampu sakral dan fungsinya:


(55)

b. Batang Pohon Teratai berfungsi untuk menghapuskan perbuatan salah sebelumnya.

c. Batang Pohon Pisang berfungsi untuk memberikan keturunan

d. Kulit Pohon Eru Putih berfungsi untuk mengusir setan yang merasuki tubuh seseorang.

e. Helai Kain Kuning (baru) berfungsi membebaskan dari usikan barang yang dianggap memiliki roh halus.

f. Helai Kain Merah berfungsi untuk memberikan tanda larangan dan hambatan nikah serta tidak dikaruniai anak.

Jenis-jenis minyak yang digunakan sebagai bahan bakar lampu juga memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda-beda. Berikut jenis-jenis minyak yang digunakan beserta fungsi dan tujuannya:

a. Minyak Sapi (Ghee) memilki makna yang terbaik, memberikan kebahagiaan dan kemakmuran.

b. Minyak Wijen (Sesame oil) memilki makna bebas dari penderitaan atau nasib buruk.

c. Minyak Jerai (Kastroli) memiliki makna kerukunan keluarga dan sanak saudara.

d. Minyak Kelapa memilki makna bebas dari penyakit.

e. Minyak Kacang tanah memiliki makna dilarang, membawa kehancuran dan sial.

Menurut sastra agama Hindu ada berbagai macam bentuk dan makna yang terdapat pada lampu sakral. Lampu sakral itu terdiri atas:


(1)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Agama Hindu berasal dari India yang pada awal kedatangannya ke indonesia khususnya di sumatera, melalui daerah pantai barat sumatera utara yang dulunya menjadi pintu gerbang perdagangan. Dari sanalah dimulai hingga menyebar ke kota Medan yang menjadi pusat ibukota sumatera utara, hingga membentuk suatu kumpulan penganut agama hindu. Mayoritas etnis India yang datang kebanyakan etnis Tamil daripada etnis lainnya. Mereka bertempat tinggal pada suatu daerah yang menjadi pusat perkumpulan mereka. Kumpulan dari orang-orang pemeluk agama Hindu beretnis Tamil dalam satu lingkungan menyebut kumpulan mereka ini sebagai masyarakat Hindu Tamil. Dalam menjalankan dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang dianut, masyarakat Hindu Tamil melaksanakan kegiatan ibadah rutin yang dilaksanakan setiap hari di kuil. Oleh karena ajaran agama menganjurkan untuk beribadah di kuil, maka masyarakat Hindu membangun Kuil sebagai tempat beribadah atau sembahyang untuk memuja Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).

Upacara Mandalabhisekam merupakan upacara yang dilakukan pada saat peresmian bangunan kuil yang baru dibangun, agar dapat digunakan resmi secara keagamaan. Upacara

Mandalabhisekam secara umum bertujuan untuk meresmikan suatu bangunan kuil yang baru dibangun dan secara khusus untuk meminta berkat serta anugrah dari Sang Hyang Widhi. Adapun rangkaian upacara dalam upacara Mandalabhisekam yaitu :

1. Upacara 108 Kalasa Thirumanjana

2. Upacara Kalyana Mohotsava

Pada saat pelaksanaan upacara Mandalabhisekam, pendeta yang selaku pemimpin upacara mengucapkan mantra-mantra yang ditujukan kepada dewa-dewa yang ditinggikan.


(2)

Bhakta (Umat) Hindu percaya bahwa melalui mantra yang diucapkan, dapat menjadi sarana penyampai pesan kepada Sang Hyang Widhi.

Mantra yang dibahas dalam tulisan ini sebanyak dua mantra, yaitu: mantra 108 Kalasa Thirumanjana, dan Kalyana Mohotsava. Kedua mantra ini terdiri atas tiga tangga nada (tritonic). Bentuk atau pola mantranya adalah stropic atau gaya nyanyian yang diulang dengan teks yang baru atau berbeda. Dengan kata lain, pengucapan mantra ini adalah lebih mementingkan kata-kata daripada melodi atau disebut dengan logogenic. Gaya musik vokal yang dipakai dalam mantra ini adalah sillabis. Silabis adalah apabila satu bentuk nada dipakai untuk beberapa silabel atau suku kata. Mantra ini bersifat free rhytm dan juga free meter. Artinya ritem dan juga meter dalam mantra bersifat bebas atau tidak dapat diukur dengan menggunakan aturan musik barat.

Adapun fungsi kedua mantra ini dalam kehidupan umat Hindu adalah sebagai sarana untuk mengungkapkan emosi baik bagi yang mengucapkan maupun yang mendengar melalui lirik maupun melodi mantra yang diucapkan, mantra ini juga berfungsi sebagai media penyampai komunikasi antara Sang Hyang Widhi Wasa dengan Bhakta yang mengucapkannya, tak terlepas juga mantra ini berfungsi sebagai penyambung kebudayaan yang selalu dilaksanakan pada saat pembangunan kuil yang baru, dan mantra ini juga berfungsi sebagai pangesahan upacara agama khususnya peresmian kuil yang baru dibangun.

5.2 Saran

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam meneliti upacara

Mandalabhisekam dan membuat tulisan ini. Untuk itu, bagi para peneliti selanjutnya diharapkan untuk semakin menyempurnakan bahasan di bidang yang sama agar peneliti dapat


(3)

melihat perkembangan yang lebih baik. Penulis juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat mencari narasumber baru atau menambah jumlah narasumber agar informasi yang didapatkan lebih lengkap lagi. Selain itu juga menyarankan peneliti selanjutnya untuk meneliti upacara Mandalabhisekam secara mendalam pada bagian musiknya.

Bagi pemilik kebudayaan ini yaitu masyarakat Hindu Tamil, penulis berharap dapat memberikan pengetahuan tentang eksistensi atau keberadaan budayanya. Dan penulis berharap supaya masyarakat Hindu tamil tetap mempertahankan dan meningkatkan kesatuan komunitas dengan menjalankan kebudayaan-kebudayaan yang ada pada masyarakat itu sendiri.

Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan bidang etnomusikologi secara khusus.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harja W. 1990. Pengamatan sebagai Suatu Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1995, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta :Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia, Indonesia.

Malm, William P. 1997. Music Culture of the Pasific, the Near East and Asia (terjemahan Takari), Medan : Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthtropolgy of Music. Chicago: North Western University Press.

Moleong, 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.

Nettl, Bruno. 1964. Theory And Method in Ethnomusicology (terjemahan). New York: The Free Press of Glencoe.

Purba,Destri Damayanti. 2011. Studi Deskriptif Musik Dalam Konteks Upacara Adhi Triwula Pada Masyarakat Hindu Tamil Di Kuil Shri Singgamma Kali Koil Medan. Medan: USU.

Poerwadarminta, W.J.S. 1995. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: Balai Pustaka. Supanggah, Rahayu. 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.

Indonesia.

S, Jhonny Edwin.1995. Pirartenei pada Aktifitas Religius Masyarakat Tamil di Shri Mariaman Kuil-Medan: Kajian Struktur Musik Dan Teks. Medan: USU ,


(5)

Simanjuntak, Rina Gustriani. 2011. Studi Analisis Musikal dan Tekstual Pembacaan Kitab Shri Guru Granth Sahib Ji Pada Upacara Pahila Parkas Dihara Masyarakat Sikh di Gurdwara Shree Guru Granth Sahib Darbar Kota Tebing Tinggi. Medan: USU.

Thayalan, Suba Thina. 2012. Shri Balaji Venkateshwara Koil Maha Samprokshana Puspam. Medan: Yayasan Shri Maha Wishnu.


(6)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : V. Hanumacharyulu Umur : 33 tahun

Alamat : Jalan Bunga Wijaya Kesuma no. 25-A, kuil Shri Balaji Venkateshwara.

Pendeta yang menjadi narasumber berasal dari India. Pekerjaan : Pendeta

2. Nama : Suba Thina Thayalan Umur : 48 tahun

Alamat : Medan Pekerjaan : Wiraswasta

3. Nama : R. Gopala Krishna Naidu Umur : 55 tahun

Alamat : Medan Pekerjaan : Wiraswasta

4. Nama : Anan Kumar Umur : 30 tahun Alamat : Medan Pekerjaan : Wiraswasta