24 etanol didapatkan rendemen lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi
bertingkat yaitu sebesar 1,13 ww dan ekstrak jahe menggunakan microwave didapatkan rendemen sebesar 0,88 ww dengan pelarut heksan sedangkan dengan pelarut etanol
didapatkan rendemen sebesar 1,14 ww Alfaro et al., 2003. Menurut Fakhrudin 2008 ukuran serbuk jahe yang berbeda serta lamanya waktu ekstraksi
dapat berpengaruh terhadap rendemen ekstrak jahe yang dihasilkan. Rendemen yang dihasilkan diduga masih terdapat kadar air dalam jumlah yang sangat kecil pada ekstrak heksan jahe,
ekstrak etil asetat jahe dan esktrak etanol jahe dapat dilihat dari karakteristik fisik hasil ekstrak yang berbentuk pasta setelah tahap perlakuan keringbeku.
Pasta merupakan sistem koloid dengan fase pendispersi berupa bahan cair dan fase terdispersi berupa bahan padatan. Fase cair dalam sistem koloid tersebut diduga mencakup di dalamnya
kandungan air yang belum terpisahkan serta kandungan minyak pada ekstrak jahe gajah sehingga menyebabkan ekstrak jahe yang dihasilkan berbentuk pasta. Gambar beragam ekstrak jahe yang
diperoleh dengan maserasi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Ekstrak kasar jahe dengan maserasi bertingkat
D. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK HEKSAN,
ETIL ASETAT DAN ETANOL JAHE
Ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat diujikan aktivitas antimikrobanya terhadap B. cereus, S. aureus dan S.
Typhimurium menggunakan metode difusi sumur pada konsentrasi ekstrak jahe sebesar 100 mgml dengan diameter sumur sebesar 5 mm ketebalan 4 mm. Pemilihan konsentrasi tersebut
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shan et al. 2007 yang secara efektif dapat menghambat bakteri Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Salmonella anatum dengan
menggunakan ekstrak metanol dari 46 jenis tanaman. Uji difusi sumur bertujuan mengetahui potensi awal beragam ekstrak jahe sebagai
antimikroba alami Parish dan Davidson, 1993. Aktivitas antimikroba ekstrak jahe dapat diketahui melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada media
NA yang diisikan ekstrak sampel, kontrol positif serta kontrol negatif. Zona bening yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong. Adanya zona bening menunjukkan bakteri
tidak tumbuh. Zona hambat diukur dari selisih diameter zona bening yang terbentuk dengan diameter sumur. Nilai zona hambat ekstrak jahe dapat dilihat pada Tabel 12 dan pada Lampiran
4. Heksan
Etil asetat Etanol
25 Tabel 12. Zona hambat ekstrak jahe konsentrasi 100 mgml terhadap bakteri uji
Bakteri uji Zona hambat mm
EH EEA
EA Kontrol +
Kontrol - B. cereus
6,1 6,6
6,0 20,6
0,0 S. aureus
5,0 5,7
1,3 16,6
0,0 S. Typhimurium
0,0 0,0
0,0 15,0
0,0 Keterangan : EH: ekstrak heksan jahe; EEA: ekstrak etil asetat jahe; EA:
ekstrak etanol jahe; + kontrol positif antibiotik kloramfenikol 100µgml air steril; - kontrol negatif DMSO
Gambar 20 menunjukkan diameter hambat berupa zona bening yang menandakan adanya penghambatan dihasilkan oleh beragam ekstrak pada bakteri uji.
Gambar 20. Zona bening ekstrak jahe pada bakteri uji Secara umum terlihat bahwa kloramfenikol dengan konsentrasi 100 µgml air steril sebagai
kontrol positif menunjukkan diameter penghambatan terbesar 15,0 – 20,6 mm. Pelarut DMSO sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan adanya zona bening yang menandakan tidak adanya
diameter penghambatan yang dihasilkan, sedangkan ekstrak jahe yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut heksan, etil asetat dan etanol menunjukkan diameter penghambatan yang
beragam terhadap bakteri uji 1,3 – 6,6 mm, kecuali bakteri S. Typhimurium tidak menunjukkan adanya diameter penghambatan pada konsentrasi ekstrak jahe 100 mgml.
Kontrol negatif yaitu DMSO merupakan pelarut untuk melarutkan ekstrak jahe sebelum digunakan dalam pengujian. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa DMSO tidak
menunjukkan adanya zona bening sehingga peranannya sebagai pelarut tidak berdampak pada pengaruh aktivitas antimikroba ekstrak jahe. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilaporkan
oleh Singh et al. 2008 yang menyatakan bahwa DMSO tidak berpengaruh terhadap aktivitas antimikroba. DMSO merupakan pelarut umum yang digunakan dalam pengujian karena
kemampuannya untuk melarutkan senyawa organik baik non-polar maupun polar. DMSO berperan sebagai emulsifier. Selain itu, DMSO juga direkomendasikan sebagai pelarut
komponen organik yang baik Carey dan Sundberg, 2007. Kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai antimikroba yang kuat. Kontrol
positif merupakan antimikroba yang telah murni dan karenanya digunakan dalam konsentrasi Kontrol - DMSO
Kontrol + kloramfenikol Ekstrak etanol
Ekstrak etil asetat Ekstrak heksan
26 yang kecil yaitu 0,01 wv sehingga perbandingan konsentrasi antara ekstrak dengan kontrol
positif yaitu sebesar 10.000 : 1. Kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai antimikroba yang kuat, penggunaan perbandingan ini bertujuan mengukur potensi aktivitas
antimikroba jahe. Kloramfenikol dapat menghambat sintesis protein pada tahap elongasi dengan cara mencegah pembentukan ikatan peptida pada ribosom. Kloramfenikol dapat melumpuhkan
sel bakteri tanpa mengganggu sel manusia dan eukariota lain Madigan et al., 2003. Penggunaan antibiotik kloramfenikol mengacu pada penelitian Ahmad dan Beg 2001 yang
secara efektif dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 100 µgml. selain itu kloramfenikol termasuk antibiotik yang memiliki spektrum penghambatan yang luas
Fardiaz, 1992. Berdasarkan hasil penelitian antibiotik kloramfenikol diketahui dapat menghambat bakteri B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium berturut-turut yaitu 20,6; 16,6;
15,0 mm. Kloramfenikol dilaporkan dapat menghambat bakteri patogen lain diantaranya pada 20 serogroups E. coli yaitu serogroups yang bersifat patogen seperti E. coli O8 enterotoxigenic
E. coli, ETEC dan E. coli O157 enterohemorrhagic E. coli, EHEC serta E. coli yang bersifat non-patogen seperti E. coli O86, O30, O1, O69, O80, O88, O91, O51, O25, O116, O78, O22,
O101, O33, O173, O104, O165 dan O63 dengan penghambatan berkisar antara 22 – 31 mm pada konsentrasi 30 µgdisk Indu et al., 2006. Kloramfenikol pada konsentrasi 10 mgml DMSO
dilaporkan tidak dapat menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa dan
Klebsiella pneumoniae Singh et al., 2008. Ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari
maserasi bertingkat pada konsentrasi 100 mgml tidak dapat menghambat bakteri uji S. Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri S. Typhimurium lebih tahan terhadap
senyawa antimikroba dari ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat. Kandungan ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat pada konsentrasi 100 mgml belum
mampu melisis sel bakteri S. Typhimurium. Perbedaan respon ini terjadi akibat perbedaan permukaan luar dari dinding sel yaitu lapisan
lipopolisakarida LPS antara bakteri Gram-negatif dan bakteri Gram-positif. Bakteri Gram- positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana, dengan jumlah peptidoglikan yang relatif
banyak. Dinding sel bakteri Gram-negatif memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara struktural lebih kompleks. Membran bagian luar pada dinding sel Gram-negatif mengandung
lipopolisakarida, yaitu karbohidrat yang terikat dengan lipid. Lapisan lipopolisakarida ini bersifat toksik beracun dan membran bagian luar membantu melindungi bakteri dalam melawan sistem
pertahanan sel inangnya Campbell et al., 2003. Adanya lapisan lipopolisakarida dan membran luar pada bakteri S.Typhimurium ini menyebabkan struktur bakteri menjadi lebih kokoh
sehingga diduga sulit ditembus oleh senyawa antimikroba dari ekstrak jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat.
Penggolongan sifat aktivitas penghambatan ekstrak jahe terhadap bakteri S. aureus, B. cereus dan S. Typhimurium pada penelitian ini didasarkan pada ketentuan Sagdic et al. 2005 yang
menyatakan bahwa aktivitas penghambatan bakteri tergolong sangat kuat bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 20 mm, tergolong sedang bila menghasilkan zona penghambatan
sebesar 16 – 20 mm, tergolong tipis bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 10 – 15 mm dan tergolong lemah bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 6 – 9 mm.
27 Gambar 21. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak jahe konsentrasi 100 mgml
diameter lubang = 5 mm, rata – rata diameter hambat diperoleh dari duplo Secara umum dapat dilihat pada Gambar 21 bahwa ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat
jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mempunyai kemampuan antimikroba yang tergolong lemah terhadap bakteri uji 1,3 – 6,6 mm, kecuali S. Typhimurium
yang tidak menunjukkan aktivitas penghambatan pada konsentrasi ekstrak jahe 100 mgml. Secara umum bakteri Gram-positif paling baik dihambat oleh ekstrak etil asetat jahe. Aktivitas
antimikroba ekstrak jahe yang tergolong lemah ini disebabkan pemekatan ekstrak jahe menggunakan suhu 50
o
C untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut heksan dan etil asetat serta suhu 70
o
Komponen yang dapat terekstrak oleh pelarut heksan bersifat non-polar meliputi parafin, asam lemak, asam lemak metil ester, di-, dan tri-terpen serta pigmen Shi et al., 2007. Pelarut
etil asetat bersifat semi-polar sehingga dapat melarutkan komponen yang bersifat semi-polar meliputi senyawa steroid, terpenoid, alkaloid, flavonoid dan glikosida sedangkan pelarut etanol
bersifat polar sehingga dapat melarutkan komponen polar meliputi senyawa tannin, terpenoid, alkaloid, sterol dan polifenol Cowan, 1999.
C untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol yang tinggi serta perlakuan kering-beku sehingga menyebabkan komponen volatil dalam ekstrak jahe menguap.
Pelarut heksan merupakan pelarut organik non-polar yang digunakan pertama dalam tahap ekstraksi menggunakan maserasi bertingkat. Pelarut heksan hanya dapat mengekstrak senyawa-
senyawa yang juga bersifat non-polar dari jahe. Kandungan utama senyawa yang ada dalam ekstrak heksan jahe yaitu zingiberen, farnesen, ß-phellandren. Senyawa ini diduga berperan
dalam menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus dan S. aureus Singh et al., 2008. Diameter penghambatan yang terukur diketahui bahwa senyawa non-polar yang terkandung dalam ekstrak
jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba tertinggi kedua 5,0 – 6,1 mm setelah ekstrak jahe menggunakan pelarut etil asetat
5,7 – 6,6 mm dengan maserasi bertingkat. Ekstrak heksan jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan diameter penghambatan yang lebih
tinggi dibanding ekstrak etanol jahe 1,3 – 6,0 mm yang diperoleh dengan maserasi bertingkat terhadap bakteri S. aureus dan B. cereus.
28 Senyawa steroid dan terpenoid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi heksan jahe gajah
dengan maserasi bertingkat. Senyawa steroid dan terpenoid merupakan golongan minyak atsiri termasuk senyawa yang berperan sebagai antimikroba. Nychas 1995 menyatakan bahwa
minyak atsiri dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural sehingga pembentukan dinding sel bakteri terganggu. Senyawa ini memiliki
mekanisme penghambatan dengan cara merusak dinding sel disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel sehingga menyebabkan
perubahan komposisi penyusun dinding sel. Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya juga mengandung fenol yang merupakan gugus fungsi hidroksil -OH dan karbonil -
CO Beuchat, 1994. Minyak atsiri dapat terekstrak dalam pelarut heksan yang bersifat non-polar. Komponen
bioaktif terbesar dalam minyak atsiri jahe telah dikarakterisasi oleh El-Baroty et al. 2010 dengan menggunakan bioautografi TLC yaitu
β-sesquiphellandren, caryophyllen dan zingiberen. Senyawa tersebut menurut El-Baroty et al. 2010 merupakan senyawa yang berperan dalam
menghambat bakteri B. subtilis, S. aureus dan K. pneumoniae. Daya penghambatan yang dihasilkan oleh senyawa antimikroba tidak hanya ditentukan dari jumlah komponen terbesar
pada bahan. Senyawa antimikroba dapat pula dihasil dari komponen minor pada bahan. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa ekstrak heksan pada jahe dapat menghambat
bakteri Coliform bacillus, Strapylococcus epidermidis dan Streptococcus viridans berturut-turut yaitu 4,0; 4,5 dan 5,0 mm pada konsentrasi 1 vv Malu et al., 2009. Hal ini menunjukkan
ekstrak heksan jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dapat menghasilkan aktivitas penghambatan pada bakteri namun masih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat. Selain itu,
penggunaan pelarut heksan, metanol dan aseton sebagai pelarut pangan sangat dibatasi akibat sifat pelarut yang tidak ramah lingkungan Singh, 2008 serta limit residu pelarut heksan dalam
bahan makanan tidak dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut heksan Handa, 2008, dengan demikian ekstrak heksan bukan merupakan sumber antimikroba yang cukup baik untuk
dikembangkan sebagai sumber pengawet pangan alami. Pelarut etil asetat merupakan pelarut kedua yang digunakan pada ekstraksi jahe gajah
maserasi bertingkat setelah pelarut heksan. Pelarut etil asetat jahe dapat mengekstrak senyawa alkaloid, flavonoid dan glikosida yang terdapat pada ekstrak jahe gajah. Senyawa tersebut dapat
bersifat antimikroba dengan mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri yang berbeda sesuai karateristiknyaCowan, 1999.
Senyawa flavonoid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi etil asetat jahe gajah dengan maserasi bertingkat. Senyawa flavonoid termasuk dalam salah satu subklas senyawa fenolik.
Subklas senyawa fenolik lainnya yaitu fenol sederhana, asam fenolik, quinone, flavon, flavonol dan tannin Cowan, 1999. Senyawa flavonoid pada tumbuhan berfungsi mengatur pertumbuhan,
mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan antivirus, serta mengatur kerja antiserangga Harborne, 1993. Senyawa flavonoid memiliki mekanisme penghambatan dengan
cara membentuk kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri Cowan, 1999. Membran sitoplasma pada bakteri berperan mempertahankan
kandungan yang di dalam sel serta mengatur keluar masuknya bahan-bahan yang dibutuhkan oleh sel bakteri. Membran berfungsi memelihara integritas komponen-komponen seluler.
Senyawa yang bersifat antimikroba dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada membran sel. Kerusakan pada membran sel dapat mengakibatkan pertumbuhan sel terganggu bahkan dapat
menyebabkan sel mati Madigan et al., 2003.
29 Senyawa alkaloid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi etil asetat jahe gajah dengan
maserasi bertingkat. Senyawa alkaloid merupakan senyawa alami amina yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik Harborne, 1993.
Senyawa alkaloid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu sintesis DNA dan dinding sel Cowan, 1999.
Ekstrak etil asetat yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mampu menghambat pertumbuhan B. cereus dan S. aureus dengan zona penghambatan lebih tinggi dibanding ekstrak
heksan dan etanol yang diperoleh dengan maserasi bertingkat yaitu sebesar 6,6 mm dan 5,7 mm. Pelarut etil asetat termasuk dalam kelas tiga berdasarkan toksisitasnya yang rendah toksik dan
penggunaannya dalam bahan pangan dibatasi oleh praktik produksi yang baik GMP Good Manufacturing Practices. Limit residu pelarut dalam bahan makanan dapat ditoleransi untuk
keberadaan pelarut etil asetat sebesar 400 ppm Handa, 2008. Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat jahe disebabkan karena pelarut etil asetat
yang bersifat semi-polar sehingga senyawa yang terkandung di dalam ekstrak jahe merupakan senyawa-senyawa yang bersifat semi-polar. Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar
memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk mendapatkan aktivitas antimikroba yang optimal.
Sifat hidrofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat larut di dalam senyawa polar air tempat bakteri biasa tumbuh, sedangkan sifat lipofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba
dapat berikatan dengan membran bakteri Branen, 1993, sehingga pada bakteri uji, komponen aktif bersifat lipofilik yang terdapat dalam ekstrak etil asetat jahe diduga dapat berikatan dengan
membran sel B. cereus dan S. aureus sedangkan komponen hidrofilik menyeimbangkan dengan lingkungan sekitar sehingga membran sel mengalami peningkatan permeabilitas membran yang
kemudian dapat menyebabkan kandungan mineral dalam sitoplasma keluar sehingga menyebabkan sel lisis.
Pelarut etanol merupakan pelarut polar yang digunakan pada tahap akhir dari ekstraksi jahe maserasi bertingkat. Ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat mempunyai
kemampuan menghambat bakteri uji terendah 1,3 – 6,6 mm dibandingkan ekstrak heksan jahe 5,0 – 6,1 mm dan ekstrak etil asetat jahe 5,7 – 6,6 mm. Rendahnya aktivitas penghambatan
dari ekstrak etanol jahe gajah ini dapat diakibatkan oleh kandungan komponen aktif pada ekstrak etanol yang berkurang akibat ekstraksi sebelumnya dengan menggunakan etil asetat, diduga
senyawa bersifat polar yang ikut terekstrak dalam pelarut etil asetat sehingga menyebabkan berkurangnya komponen aktif yang ada pada ekstrak etanol jahe diantaranya senyawa alkaloid
dan senyawa flavoniod. Hal ini terlihat pula pada rendemen ekstrak etanol jahe diperoleh lebih rendah dibanding ekstrak heksan dan ekstrak etil asetat jahe dengan maserasi bertingkat. Ekstrak
etanol jahe mempunyai kemampuan hambat dengan diameter penghambatan 6,0 mm terhadap B. cereus dan 1,3 mm terhadap S. aureus namun penghambatannya tidak sebesar ekstrak heksan
jahe dan ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat. Senyawa tannin yang bersifat polar diduga terlarut dalam fraksi ekstrak etanol jahe dengan
maserasi bertingkat. Senyawa tannin yang berada dalam fraksi ekstrak etanol jahe dapat berperan sebagai senyawa antimikroba. Senyawa tannin merupakan salah satu subklas dari senyawa
fenolik polimer. Senyawa tannin memiliki mekanisme penghambatan terhadap bakteri dengan cara membentuk kompleks dengan protein sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim sel bakteri
Cowan, 1999. Penelitian sebelumnya menyatakan ekstrak etanol jahe dapat menghambat kapang
diantaranya Aspergillus flavus, Aspergillus solani, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger dan
30 Fusarium moniliforme dengan dosis 2 µl secara berturut-turut 9,2 ± 1,2; 35,6 ± 1,1; 29,2 ± 1,0;
25,3 ± 0,4; 20,6 ± 1,1 mm Singh et al., 2008. Limit residu pelarut dalam bahan makanan dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut etanol cukup besar yaitu 1000 ppm Handa, 2008. Namun
dalam penelitian ini didapat bahwa ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat bukan merupakan senyawa antimikroba yang baik untuk dikembangkan sebagai pengawet alami.
Hal ini dapat terlihat dari rendemen ekstrak etanol yang rendah setelah perlakuan kering-beku 0,44 ww dibanding rendemen ekstrak heksan jahe dan ekstrak etil asetat jahe, sehingga
dimungkinkan kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak etanol lebih sedikit daripada ekstrak heksan dan etil asetat jahe.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat memiliki aktivitas antimikroba yang tertinggi terhadap bakteri B. cereus dan S.
aureus. Aktivitas penghambatan yang dihasilkan dengan menggunakan difusi sumur bersifat kualitatif Parish dan Davidson, 1993. Berdasarkan hasil penelitian ini, ekstrak etil asetat yang
diperoleh dari maserasi bertingkat dijadikan sebagai ekstrak terpilih untuk tahap selanjutnya yaitu tahap pengujian aktivitas penghambatan dengan menggunakan metode dillution broth
terhadap bakteri yang menunjukkan penghambatan oleh ekstrak etil asetat yaitu bakteri B. cereus dan S. aureus.
E. PENGUJIAN AKTIVITAS PENGHAMBATAN EKSTRAK ETIL