Pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur

(1)

ARIE SUSANTI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

PENGELOLAAN PENANGKARAN BUAYA

DI CV SURYA RAYA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

ARIE SUSANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

Balikpapan, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh LIN NURIAH GINOGA

dan BURHANUDDIN MASY’UD.

CV Surya Raya merupakan salah satu penangkaran buaya yang terdapat di Kalimantan Timur. Penangkaran ini tidak hanya menangkarkan jenis buaya yang bernilai komersial yaitu buaya muara (Crocodylus porosus) untuk diambil kulit dan dagingnya, tetapi juga menangkarkan jenis buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii) yang secara nasional dan internasional keberadaannya terancam bahaya kepunahan. Informasi dan teknik pengelolaan penangkaran buaya masih terbatas dan belum banyak dikaji, sehingga penelitian perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya, dan menganalisis indikator keberhasilan penangkaran buaya di CV Surya Raya.

Penelitian dilaksanakan bulan Juni sampai Oktober 2010. Data yang dikumpulkan berupa aspek pengelolaan penangkaran buaya CV Surya Raya. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan studi literatur. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif untuk menghitung persentase daya tetas telur.

Pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya terdiri dari lima kegiatan utama yaitu pengelolaan perkandangan, pengelolaan pakan, penyakit dan perawatan kesehatan, pengelolaan reproduksi, serta pengelolaan pemanfaatan hasil. Teknik pengelolaan penangkaran termasuk kategori pengelolaan intensif. Ditinjau dari aspek reproduksi dan sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran, pengelolaan reproduksi untuk buaya muara dan air tawar termasuk dalam kategori berhasil, sedangkan dari aspek reproduksi pada buaya supit belum berhasil. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi meliputi pemilihan bibit, nisbah kelamin tiap kandang breeding, letak dan perlengkapan kandang breeding, serta teknologi penetasan telur. Keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan penangkaran.


(4)

SUMMARY

ARIE SUSANTI. The Management Techniques of Captive Crocodiles in CV Surya Raya Balikpapan, East Kalimantan. Supervised by LIN NURIAH

GINOGA and BURHANUDDIN MASY’UD.

CV Surya Raya is one of captive crocodiles in East Kalimantan. This captivity is not only breed comercial crocodiles such as estuarine crocodiles (Crocodylus porosus) for their skin and meat, but also breed siamese crocodiles (Crocodylus siamensis) and false gharial (Tomistoma schlegelii). Those two species are endangered extinct national and internationally. The limited information and management techniques of crocodiles so that this research needs to be done. This research aims are to identified management techniques of captive crococodiles in CV Surya Raya and to analysis succesful indicators of captive crococodiles in CV Surya Raya.

The research has been held in June to October 2010. The data collected are aspects of management techniques of captive crocodiles in CV Surya Raya. Data were collected through observation, interview, and literature studies. Analysis data are using descriptive and quantitative analysis to the percentage of egg hatchability.

The management crocodiles in captivity CV Surya Raya consists of five main activities such as caging management, feeding management, diseases and keeping healthy, reproduction management, and production usage management. Management techniques on captive breeding include in intensive management category. Based on reproduction and socio economics aspects this captive for estuarine crocodiles and siamese crocodiles was success, but for false gharial not too succesful. Factors that are influence reproduction aspect such as selection of seedling, sex ratio in each cage, cage location and breeding equipment, and technology hatching. An aspect social economics of society around captivity is influence by their participation on management activity.


(5)

Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Arie Susanti E34061380


(6)

Judul Skripsi : Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan Timur

Nama : Arie Susanti

NIM : E34061380

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS NIP. 19651116 199203 2 001 NIP. 19581121 198603 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003


(7)

SMA Negeri 2 Tenggarong Seberang tahun 2003-2006.

Tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kutai Kartanegara dan masuk ke dalam Mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) tahun 2007 dengan Minor Perlindungan Hutan. Selama kuliah di Fakultas Kehutanan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi, seperti Kelompok Pemerhati Goa (KPG), Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK) dan pernah menjadi Bendahara Umum dalam Himpunan Profesi (Himpro) DKSHE yaitu Himpunan Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) tahun 2009. Tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap-Baturaden dan tahun 2009 melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Penulis pernah mengikuti kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Simpang, Kabupaten Cianjur-Bandung, Jawa Barat tahun 2008. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) yang merupakan kegiatan Himpro di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) Kalimantan Barat tahun 2008. Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) tahun 2010 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Sumatera Selatan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, tahun 2010 penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul

“Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan, Kalimantan

Timur” dengan dosen pembimbing Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy'ud, MS.

Penulis dilahirkan di Kutai pada tanggal 21 Mei 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Sukardji (Alm) dan Pratiwi. Penulis memulai pendidikan formal tahun 1993 di TK Wahyu Murni. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 025 Tenggarong Seberang tahun 1994-2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Tenggarong Seberang tahun 2000-2003 dan


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya

Balikpapan, Kalimantan Timur”. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibuku Pratiwi, Bapak Sukardji (alm), Bapak Ismail, kakak (Adi Pranoto dan Asih Sulistyowati), adik (Muhammad Maulana), Pakde Marsudi dan istri, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang serta dukungan moral dan materi pada penulis hingga skripsi ini selesai.

2. Pemerintah Daerah Kutai Kartanegara yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Beasiswa Utusan Daerah (BUD).

3. Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku dosen pembimbing skripsi, atas kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan ilmu, bimbingan, dan nasehat kepada penulis.

4. Bapak Ir. Ahmad Hadjib, MS dari Departemen Manajemen Hutan, Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS dari Departemen Silvikultur, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc dari Departemen Hasil Hutan selaku dosen penguji atas kritik dan sarannya kepada penulis.

5. Bapak Tarto Suroso Sugiarto, BSc dan Ibu Susan selaku pemilik penangkaran yang telah bersedia memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian, Mbak Rezki dan Mbak Dilla (Staf Administrasi), Pak Bambang, Pak Arsyat, Pak Edi, Pak Yayan, Pak Haris, dan seluruh staf pengelola penangkaran atas bantuan informasinya kepada penulis selama penelitian di Penangkaran Buaya di CV Surya Raya.

6. Kelurahan Teritip dan Bappeda Kota Balikpapan atas bantuan data-datanya. 7. Pak Herman selaku laboran di Laboratorium Konservasi Ex-Situ atas bantuan


(9)

sayang, dan motivasinya.

9. Aje, Arilis, Maiser, Andin, Catur Wulandari, Erlin (Cikijing), Fiona, Des, Afroh, tim konsumsi seminar dan sidang (Cha-cha, Reni, Arga, dan Riki) serta teman-teman KSHE angkatan 43 atas bantuan dan kebersamaanya selama ini.

10. Seluruh anggota Forum Beasiswa Utusan Daerah Kutai Kartanegara (FM-BUD Kukar) atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Pengelolaan Penangkaran Buaya di CV Surya Raya Balikpapan Kalimantan Timur” telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2010.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi perbaikan dan pengembangan pengelolaan penangkaran buaya CV Surya Raya, baik untuk kepentingan ekonomi maupun konservasi serta menambah data dan informasi yang menunjang dalam pengelolaan buaya di penangkaran.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian selanjutnya. Harapan penulis, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2011

Arie Susanti E34061380


(11)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Buaya ... 3

2.2 Penangkaran ... 7

2.3 Pengelolaan Penangkaran ... 8

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 12

3.4 Analisis Data ... 16

BAB IV KONDISI UMUM PENANGKARAN 4.1 Sejarah, Tujuan, Manfaat, dan Struktur Organisasi Penangkaran ... 18

4.2 Kondisi Fisik ... 19

4.3 Kondisi Biotik ... 20

4.4 Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar Penangkaran ... 21

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Perkandangan ... 24

5.2 Pengelolaan Pakan ... 36

5.3 Penyakit dan Perawatan Kesehatan ... 42

5.4 Pengelolaan Reproduksi... 46


(12)

iii

5.6 Restocking ... 69

5.7 Analisis Dampak Penangkaran terhadap Lingkungan Sekitar ... 70

5.8 Indikator Keberhasilan Pengelolaan Penangkaran ... 72

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 75

6.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(13)

1. Jenis dan metode pengumpulan data ... 12

2. Fungsi dan ukuran kandang show room di penangkaran CV Surya Raya ... 24

3. Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya... 26

4. Fungsi dan ukuran kandang buaya muda ... 27

5. Fungsi dan ukuran kandang remaja... 28

6. Fungsi dan ukuran kandang induk ... 29

7. Perlengkapan kandang buaya di dalam setiap jenis kandang... 31

8. Perkiraan jumlah pemberian pakan buaya di penangkaran CV Surya Raya ... 38

9. Cara penyajian dan pemberian pakan bedasarkan kelas umur buaya ... 39

10. Kandungan gizi pakan buaya di penangkaran buaya CV Surya Raya ... 42

11. Jenis penyakit, gejala, dan pengobatan buaya di CV Surya Raya ... 42

12. Jumlah telur yang dihasilkan buaya di penangkaran CV Surya Raya ... 48

13. Produk yang dihasilkan dari bagian tubuh buaya ... 60

14. Komposisi daging alligator ... 62

15. Khasiat produk yang berasal dari organ tubuh buaya ... 63

16. Jenis produk buaya yang di jual di penangkaran CV Surya Raya ... 65


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Buaya muara (Crocodylus porosus). Keterangan: (a) Kepala;

(b) Seluruh tubuh ... 4

2. Buaya air tawar (Crocodylus siamensis). Keterangan: (a) Kepala; (b) Seluruh tubuh ... 5

3. Buaya supit (Tomistoma schlegelii). Keterangan: (a) Kepala; (b) Seluruh tubuh. ... 6

4. Peta Kota Balikpapan ... 22

5. Peta Kelurahan Teritip ... 23

6. Kondisi kandang show room.Keterangan: (a) Letak kandang show room mengelilingi pendopo; (b) Bentuk kandang show room ... 26

7. Kandang anakan buaya berumur 3 minggu (hatchling pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam ... 27

8. Kandang buaya muda (juvenile pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam ... 28

9. Kandang pembesaran (rearing pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam. ... 29

10. Kandang induk buaya muara (Crocodylus porosus). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam ... 30

11. Sekat bersarang buaya pada kandang breeding ... 32

12. Pengelolaan air dan limbah. Keterangan: (a) Sumber air berasal dari kolam buatan; (b) Parit saluran limbah menuju kolam tanah ... 34

13. Grafik suhu kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya ... 35

14. Grafik kelembaban kandang di Penangkaran Buaya CV Surya Raya ... 36

15. Cara penyajian pakan ikan. Keterangan: (a) Ikan untuk pakan anakan buaya umur 2 minggu-3 bulan; (b) Ikan untuk pakan anakan buayaumur 4-6 bulan ... 41

16. Cacat ekor anakan buaya muara (Crocodylus porosus). ... 44

17. Alat kelamin buaya. Keterangan: (a) Alat kelamin jantan; (b) Alat kelamin betina ... 47

18. Tahapan penetasan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya ... 50

19. Perkembangan titik embrio telur alligator... 53

20. Teknik peletakan telur ke dalam keranjang ... 54

21. Teknik penomoran telur buaya... 54


(15)

23. Cara pengulitan kulit buaya ... 60

24. Produk yang dihasilkan dari kulit buaya. Keterangan: (a) Dompet; (b) Ikat pinggang... 61

25. Produk yang dihasilkan dari daging buaya. Keterangan: (a) Dendeng; (b) Sate ... 62

26. Produk yang dihasilkan dari bagian lain dari buaya. Keterangan: (a) Tangkur; (b) Ramuan empedu ... 64

27. Kandang satwa lain (monyet ekor panjang, musang, kura-kura, dan ular) yang ditangkarkan di penangkaran buaya CV Surya Raya ... 66

28. Gajah sumatera ... 66

29. Rumah Lamin ... 66

30. Foto bersama buaya... 67

31. Warung sate buaya ... 68

32. Minuman tangkur buaya ... 68


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Tabel suhu dan kelembaban dalam kandang penangkaran buaya

CV Surya Raya pada bulan Juni 2010 ... 81

2. Tabel produksi telur buaya pada tahun 2008 ... 81

3. Produksi telur buaya pada tahun 2009 ... 81

4. Tabel kematian buaya anakan ... 82

5. Tabel kematian buaya remaja... 83

6. Fasilitas pendukung wisata di penangkaran buaya CV Surya Raya ... 83

7. Sketsa kandang permanen tertutup... 84

8. Sketsa kandang permanen terbuka ... 84

9. Struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya ... 85


(17)

1.1 Latar Belakang

Buaya merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sumber ekonomi. Produk yang dihasilkan dari buaya dapat berupa kulit, daging, dan bagian lain seperti empedu, tangkur, lemak, kuku, dan gigi. Kulit buaya dapat digunakan sebagai bahan kerajinan tas, ikat pinggang, dompet, sepatu dan sebagainya. Daging dapat digunakan sebagai sumber protein. Bagian organ lain seperti empedu, tangkur, dan lemaknya banyak digunakan sebagai obat tradisional, sedangkan kuku dan giginya dapat digunakan untuk asesoris.

Indonesian Reptile Community (2009) menyebutkan bahwa pada tahun 2002 Indonesia mengekspor sekitar 15.228 potong kulit buaya dengan negara-negara tujuan ekspor diantaranya ke Singapura, Jepang, Korea, dan Italia. Harga kulit buaya berkisar antara US$ 500 sampai US$ 1.000 per ekor tergantung ukuran pada kurs dollar Rp 9.000 (Suara Media 2010). Tingginya potensi ekonomi buaya memacu masyarakat untuk mengeksploitasi buaya di alam. Banyaknya penangkapan dan perburuan buaya menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi buaya di alam.

Upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi dan mencegah penurunan populasi buaya akibat tingginya pemanfaatan yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang Penetapan Tambahan Jenis-Jenis Binatang Liar yang Dilindungi, dua diantaranya adalah buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii) dalam SK No. 327/Kpts/Um/5/1978, sedangkan buaya muara (Crocodylus porosus) diatur dalam SK No. 716/Kpts/Um/10/1980. Pemerintah kemudian menetapkan buaya dan jenis satwa lain yang dilindungi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tercantum juga dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar termasuk buaya. Menurut CITES (2010), secara internasional buaya air tawar dan buaya supit termasuk dalam Appendix I CITES artinya kedua spesies tersebut terancam bahaya kepunahan dan tidak boleh diperdagangkan secara


(18)

2

internasional, sedangkan buaya muara termasuk dalam Appendix II CITES berarti secara internasional perdagangan buaya muara hanya dapat dibenarkan jika berasal dari hasil penangkaran.

Salah satu bentuk usaha pelestarian dan pemanfaatan buaya adalah dengan kegiatan penangkaran. Fungsi penting penangkaran buaya yaitu untuk menjaga kelestarian populasi buaya di alam dan pemanfaatan secara lestari dengan tujuan ekonomi, antara lain menghasilkan produk bernilai tinggi, sebagai objek rekreasi, sarana pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta dapat memberikan lapangan pekerjaan.

CV Surya Raya merupakan salah satu penangkaran buaya yang terdapat di Kalimantan Timur yang sudah memulai usaha penangkaran sejak tahun 1990. Perusahaan ini tidak hanya menangkarkan jenis buaya yang bernilai komersial yaitu buaya muara (Crocodylus porosus) untuk diambil kulit dan dagingnya, tetapi juga menangkarkan jenis buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii) yang secara nasional dan internasional keberadaannya terancam bahaya kepunahan. Informasi dan teknik pengelolaan penangkaran buaya secara umum masih terbatas dan belum banyak dikaji, sehingga penelitian perlu dilakukan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya. 2. Menganalisis indikator keberhasilan penangkaran buaya di CV Surya Raya.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Memperoleh informasi mengenai upaya pelestarian dan pemanfaatan buaya. 2. Bahan masukan untuk perbaikan kegiatan pengelolaan penangkaran buaya


(19)

2.1 Bio-ekologi Buaya

Buaya merupakan jenis reptil yang menurut evolusinya sudah ada sejak dua juta tahun yang lalu. Jenis buaya yang terdapat di dunia sekitar 24 jenis, dan di Indonesia hanya terdapat 5 jenis yaitu buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar irian (Crocodylus novaeguineae), buaya supit (Tomistoma schlegelii), buaya air tawar (Crocodylus siamensis), dan buaya rawa (Crocodylus palustris) (Iskandar 2000). Terdapat tiga jenis buaya yang ditangkarkan di penangkaran buaya CV Surya Raya yaitu: buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar (Crocodylus siamensis), dan buaya supit (Tomistoma schlegelii).

2.1.1 Klasifikasi dan taksonomi

Grzimek (1975) mengklasifikasikan buaya ke dalam Kelas Reptilian, Ordo Crocodylia, dan membagi dalam tiga Famili yaitu Crocodylidae, Alligatoridae, dan Gavialidae. Genus crocodylidae meliputi crocodylus, ostelamus, dan

tomistoma; genus alligatoridae meliputi alligator, caiman, melanosuchus, dan

palaesuchus; sedangkan genus gavialidae hanya terdiri dari gavialis. 2.1.1.1 Buaya muara (Crocodylus porosus)

Menurut Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya muara termasuk ke dalam Kingdom Animalia, Filum Vertebrata, Kelas Reptilian, Ordo Crocodilia, Famili Crocodylidae, Genus Crocodylus, dan Spesies Crocodylus porosus

Schneider 1801. Nama daerah Crocodylus porosus adalah buaya muara dan buaya bekatak. Bangsa Australia menamakannya saltwater crocodile (buaya air asin).

2.1.1.2 Buaya air tawar (Crocodilus siamensis)

Menurut Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya air tawar termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Vertebrata, Kelas Reptilian, Ordo Crocodilia, Famili Crocodylidae, Genus Crocodylus, dan Spesies Crocodylus siamensis

Schneider 1801. Nama daerah Crocodylus siamensis adalah buaya siam dan buaya badas hitam.


(20)

4

2.1.1.3 Buaya supit (Tomistoma schlegelii)

Menurut Grzimek (1975) dari segi taksonomi buaya supit termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Vertebrata, Kelas Reptilian, Ordo Crocodilia, Famili Crocodylidae, Genus Tomistoma, dan Spesies Tomistoma schlegelii S. Muller 1838. Nama daerah Tomistoma schlegelii adalah buaya julung, senyulong, buaya sampit, buaya sumpit (Sandjojo 1982).

2.1.2 Morfologi

2.1.2.1 Buaya muara (Crocodylus porosus)

Menurut Sandjojo(1982) buaya muara mempunyai panjang moncong 1,67-2,25 kali lebar dasar kepalanya dengan gerigi yang kuat pada setiap sisi depan matanya. Terdapat 17-19 gigi atas pada setiap sisinya. Iskandar (2000) menyebutkan sisik belakang kepala 0-4 buah, sisik samping tubuh umumnya tidak membesar, belakang dubur paling banyak ada dua sisik kecil. Sandjojo (1982) dan Ratnani (2007) menyebutkan buaya ini memiliki ekor yang kuat, berjambul, terdapat bercak berwarna hitam membentuk belang yang utuh, terdapat bintik-bintik hitam dikepalanya, bercak-bercak hitam di tubuh dan ekornya, dan buaya muara dewasa bisa mencapai panjang 6 hingga 10 m (Gambar 1).

Sumber: (a) http://www.flmnh.ufl.edu/cnhc/cst_cpor_am_head.htm; (b) dokumentasi pribadi. Gambar 1 Buaya muara (Crocodylus porosus). Keterangan: (a) Kepala; (b)

Seluruh tubuh.

2.1.2.2 Buaya air tawar (Crocodylus siamensis)

Menurut Iskandar (2000) buaya air tawar dapat dengan mudah dibedakan dengan buaya muara dari sisik belakang matanya yang berjumlah 3-4 buah. Panjang moncong sekitar satu setengah sampai satu tiga perempat kali lebar dasar kepalanya. Giginya berjumlah sekitar 18 buah, yang keempat, kedelapan dan


(21)

kesembilan umumnya jauh lebih besar; empat gigi pertama terpisah dari gigi di sebelah belakangnya. Sisik punggung berjumlah 16-17 baris dari depan ke belakang. Jumlah sisik perut 29-33 baris dari depan ke belakang. Warna tubuhnya biasanya hijau tua kecoklatan, anaknya berwarna lebih muda dengan bercak-bercak pada punggung dan ekornya. Buaya air tawar yang berukuran kecil hanya dapat mencapai ukuran sekitar 4 m (Gambar 2).

Sumber: (a) http://www.flmnh.ufl.edu/cnhc/cst_csia_am_head.htm; (b) dokumentasi pribadi. Gambar 2 Buaya air tawar (Crocodylus siamensis). Keterangan: (a) Kepala; (b)

Seluruh tubuh.

2.1.2.3 Buaya supit (Tomistoma schlegelii)

Menurut Iskandar (2000) buaya supit dapat dengan mudah dibedakan dengan semua jenis buaya lainnya dari moncongnya yang sangat sempit. Genus

Tomistoma dicirikan oleh moncong yang panjang dan ramping dengan susunan gigi atas 20-22 gigi dan gigi bawah 17-19 gigi pada setiap sisinya. Gigi ke lima biasanya berukuran paling besar. Sisik belakang kepala hanya dua pasang berukuran kecil dan terletak berurutan, tidak bersebelahan, sedangkan sisik tengkuk berjumlah empat buah dan bersatu dengan sisik punggung. Matanya mempunyai iris yang tegak. Tubuhnya berwarna hijau tua kehitaman. Ekornya belang-belang yang tidak membentuk cincin. Jenis ini mencapai dewasa setelah berusia sekitar 5-6 tahun dan sudah berukuran sekitar 3 m (Gambar 3).


(22)

6

Sumber: (a) http://www.flmnh.ufl.edu/cnhc/cst_tsch_am_head.htm; (b) dokumentasi pribadi. Gambar 3 Buaya supit (Tomistoma schlegelii). Keterangan: (a) Kepala; (b)

Seluruh tubuh.

2.1.3 Habitat

Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1990) secara umum pergerakan buaya meliputi daerah berawa (rawa payau dan rawa air tawar) terutama daerah rawa yang terdapat tumbuhan penutup (nipah, pandan, rumput dan perdu) sebagai tempat berlindung, aliran sungai yang berarus tenang, danau-danau yang di sekitarnya banyak ditumbuhi vegetasi, dan daerah pertemuan antara sungai dan laut (muara). Majid (2009) menyebutkan bahwa buaya merupakan satwa yang hidupnya sebagian besar di air. Jika siang hari buaya berjemur di tepian sungai dan di tempat terbuka.

2.1.4 Penyebaran

Menurut Britton (2003), buaya muara tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia terutama aliran-aliran sungai hingga di muara sungai yang mendekati lautan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Irian Jaya. Buaya muara juga terdapat di Australia Utara, Banglades, Brunei, Myanmar, Kamboja, Cina, India, Kepulauan Solomon, Kepulauan Fiji, Malaysia, Pulau Caroline, Papua New Guinea, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam. Buaya air tawar tersebar di Kamboja, Indonesia (meliputi Borneo dan Jawa), Laos, Malaysia, dan Thailand. Buaya supit tersebar di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi), Malaysia, Thailand (south).

2.1.5 Populasi

Berdasarkan Portal Informasi Kota Samarinda Box (2009), hasil survei terbaru tim gabungan International Union for Conservation of Natureand Natural

(b) (a)


(23)

Resources Crocodile Specialist Group (IUCN CSG) bersama Proyek konservasi Berbak Sembilang Wetlands International pada Agustus 2002, populasi buaya supit di sepanjang lebih dari 50 km sungai Merang hanya tiga ekor berukuran kecil, padahal tahun 2001 masih ditemukan 15 ekor buaya supit. IUCN Red List of Threatened Species version 2010, populasi buaya supit di alam diperkirakan di bawah 2.500 individu dewasa.

Menurut Ross et al. (1998) dalam Kurniati et al. (2005), di Indonesia buaya air tawar hanya ditemukan di habitat alam yaitu di pedalaman Sungai Mahakam. Hasil survei Ross et al. (1998) dan Cox(2004) dalam Kurniati et al. (2005) pada tahun 1995 dan 1996 diketahui bahwa populasi buaya air tawar sangat terpisah dan diperkirakan bahwa populasi pada waktu itu hanya terdiri dari beberapa ratus individu. Siamese Crocodile Working Group (2004) dalam Kurniati et al. (2005) menyebutkan populasi buaya air tawar saat ini tidak diketahui, tetapi menurut Simpson dan Han (2004) dalam Kurniati et al. (2005) diperkirakan populasinya sangat kecil atau punah.

2.2 Penangkaran

Menurut Thohari (1987a) penangkaran merupakan suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis satwaliar dan tumbuhan alam yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan. Menurut PP No. 8 Tahun 1999, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwaliar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. PP No. 8 Tahun 1999 juga menyebutkan penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan: (a) pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol; (b) penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam.

Menurut PP No. 8 Tahun 1999, standar kualifikasi penangkaran bagi para penangkar yang ingin menjual hasil penangkarannya didasarkan pertimbangan: (a) batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa hasil penangkaran; (b) profesionalisme kegiatan penangkaran; (c) tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan. Hasil penangkaran satwaliar yang dilindungi yang


(24)

8

digunakan untuk perdagangan adalah satwaliar generasi kedua dan generasi berikutnya.

2.3 Pengelolaan Penangkaran

Menurut Dinas Satwa Papua New Guinea (1978) dalam Suwandi (1991), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha penangkaran buaya antara lain: adanya kandang yang terbuka dan luas, tersedianya air bersih yang cukup banyak dan sebaiknya mengalir, tersedianya makanan yang cukup secara kontinyu, dan tersedianya tenaga pengelola yang mengurus buaya tersebut.

Menurut Hardjanto dan Masyud (1991) asumsi-asumsi yang perlu diperhatikan dalam penangkaran buaya yakni:

1. Sex ratio jantan dan betina yang ditangkar untuk dijadikan sebagai bibit atau induk adalah 1:4.

2. Jumlah buaya yang dapat bertelur adalah 75 % dari jumlah induk yang ditangkar.

3. Umur mulai bertelur masing-masing untuk buaya muara dan buaya air tawar adalah setelah mencapai panjang tubuh 2,2-3 m dan 1,4-2,4 m yaitu setelah 5-6 tahun ditangkar.

4. Jumlah rata-rata telur yang dihasilkan setiap tahun (musim) diperkirakan sebanyak 30 butir per induk dengan daya tetas sekitar 75-80 % atau diperkirakan seekor induk dapat menghasilkan 25 ekor anak buaya.

5. Tingkat mortalitas telur tetas yang dapat hidup sampai ukuran potong atau dewasa diperkirakan 20 %.

6. Restocking 10 % dari jumlah buaya siap potong.

7. Ukuran potong ekonomis (yang boleh diperdagangkan) adalah setelah mencapai panjang 1,5 m atau lebar perut 30-40 cm (sekitar 10”-18” CBW/

Comercial Belly Width), dapat dicapai paling lama 3-4 tahun masa pembesaran dengan rata-rata pertumbuhan panjang tubuh 40 cm per tahun.

8. Ukuran kulit yang dihasilkan untuk setiap lembar kulit diperkirakan rata-rata 15 inci. Perkiraan tersebut didasarkan pada pertumbuhan optimal yang dapat dicapai paling lama 4 tahun pemeliharaan (pembesaran).


(25)

2.3.1 Perkandangan

Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1990) perkandangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kandang dan pengelolaannya, meliputi: macam, bentuk dan ukuran kandang, sistem pengandangan, pemeliharaan dan pengelolaan kandang. Kantor Wilayah Dinas Kehutanan Irian Jaya dan Fakultas Kehutanan IPB (1986) dalam Suwandi (1991) menyebutkan bahwa penangkaran buaya yang baik harus membuat kandang dengan syarat-syarat: tempat yang relatif luas, keadaan air yang bersih dan mengalir tenang, adanya tempat berjemur, adanya tumbuhan naungan tempat berteduh, dan tersedianya makanan yang cukup.

2.3.2 Pakan

Menurut Thohari (1987a), faktor makanan memegang peranan kunci dalam suatu usaha penangkaran satwa. Seperti halnya pada usaha peternakan intensif, biaya untuk makanan hampir mencapai 75 % dari total biaya produksi. Tingginya biaya pakan dapat dipakai sebagai suatu gambaran bagi usaha penangkaran satwaliar.

Menurut Ratnani (2007) buaya muara memangsa berbagai macam daging, ikan hingga mamalia besar. Taylor (1979) menyebutkan bahwa kebutuhan makanan buaya berbeda-beda tergantung beberapa faktor seperti spesies, jenis kelamin, umur, aktifitas dan keadaan lingkungan.

Menurut Hardjanto dan Masyud (1991) beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan makanan buaya, yakni:

1. Jenis-jenis makanan yang biasa dimakan buaya, disesuaikan dengan umurnya. 2. Jumlah makanan yang diperlukan buaya untuk mencapai pertumbuhan atau

produksi maksimal.

3. Cara penyediaan ransum buaya sesuai umur, aktifitas buaya, dan tujuan pemeliharaan (misalnya untuk pembesaran, pembibitan, dll).

2.3.3 Reproduksi

Menurut Thohari (1987a), dalam usaha penangkaran dikatakan berhasil apabila teknologi reproduksi jenis satwa tersebut telah dikuasai. Pengembangbiakkan dapat melalui perkawinan antara satwa jantan dengan betina secara alami, inseminasi buatan, pemindahan embrio (embrio trasfer) ataupun dengan pembuahan secara invitro.


(26)

10

Buaya memperbanyak keturunannya dengan cara bertelur. Kopulasi dilakukan di dalam air yang didahului dengan perkelahian antara buaya jantan dengan buaya betina dan hanya berlangsung beberapa menit pada siang hari (Dinas Kehutanan 1986 dalam Ratnani 2007). Tanda-tanda masa birahi dan terjadinya perkawinan buaya jantan selalu membenturkan kepala ke tubuh buaya betina. Buaya betina tidak melakukan reaksi melawan terhadap benturan buaya jantan. Perkawinan terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi, pada umumnya terjadi antara bulan Februari hingga Oktober (Tim PT Yasanda 1992 dalam

Ratnani 2007).

Buaya muara di penangkaran sering kali membuat sarang untuk menempatkan sejumlah telur. Sarang-sarang dibuat pada tanah yang agak tinggi dan kering. Di sekeliling sarang tersebut terdapat pelepah pisang, glagah dan ranting-ranting, semak-semak dan dedaunan kering. Semua material yang sudah kering dibuat sarang yang berbentuk gundukan menyerupai kurungan ayam. Di sekeliling sarang biasanya terdapat tanah kering yang agak bersih dengan sebuah lingkaran berjari-jari berkisar 2-3 m (Ratnani 2007).

Grzimek (1975) mengemukakan bahwa buaya muara jantan dewasa mencapai dewasa kelamin pada ukuran panjang tubuh 2,9-3,3 m dengan berat badan 80-160 kg, sedangkan betina mencapai dewasa pada ukuran panjang minimum 2,4-2,8 m, mencapai dewasa diperkirakan 8-12 tahun. Menurut Iskandar (2000) buaya air tawar meletakkan telurnya dalam sarang pada awal musim hujan, berukuran 75-80 x 50 mm. Anakan yang baru menetas berukuran sekitar 250 mm. Buaya muara betina bertelur pada awal musim hujan. Sekali bertelur dihasilkan rata-rata 22 butir telur dengan berat rata-rata 104 gram, anakan yang menetas berukuran 310-370 mm, berwarna abu-abu kecoklatan. Pada buaya supit sekali bertelur dihasilkan 20-60 butir telur dan diletakkan dalam tanah sedalam sekitar 0,6 m dan ditimbuni dengan sampah tumbuhan setinggi sekitar 0,5 m, sekitar 200-400 dari tepi sungai. Ukuran telur adalah 95-110 x 55-67 mm, dengan berat 221-300 gram, hampir dua kali lipat lebih besar dari jenis buaya lainnya. Lama pengeraman telur adalah 72 sampai 90 hari pada suhu 28-33°C.


(27)

2.3.4 Perawatan kesehatan dan penyakit

Pengendalian penyakit dalam usaha penangkaran turut menentukan tingkat keberhasilan, baik dengan usaha pencegahan ataupun pengobatan. Dalam hal kesehatan, satwaliar yang dipelihara secara intensif oleh manusia akan berkurang kemampuannya dalam melawan bibit penyakit. Hal tersebut dikarenakan kemampuan tubuh menghasilkan antibodi berbeda dibandingkan apabila binatang tersebut hidup liar atau bebas di alam. Selain itu peranan predator telah hilang dalam memutuskan rantai penularan penyakit dari individu yang sakit ke individu lain yang masih sehat (Thohari 1987a).

Menurut Permatasari (2002), ordo Crocodilia paling sering mengalami penyakit infeksi, dikarenakan sanitasi yang kurang baik dan sering terjadi luka-luka akibat perkelahian yang berpotensi menimbulkan infeksi pada luka-luka. Penyebab penyakit infeksi diantaranya bakteri, virus, parasit, dan jamur. Permatasari (2002) juga menambahkan, selain diakibatkan oleh penyakit infeksi, beberapa hal yang menyebabkan buaya menderita suatu kelainan adalah cacat, buta, atau luka-luka.

2.3.5 Pemanfaatan buaya

Manfaat ekonomis yang diperoleh dari buaya antara lain yaitu kulit, daging, dan bagian-bagian lain dari buaya. Kerajinan kulit buaya cukup beragam, mulai dari tas, dompet, sepatu, ikat pinggang hingga asesoris rumah. Umumnya kerajinan dari kulit buaya bernilai tinggi dan mahal, karena dalam prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Selain kulit, bagian buaya yang bernilai ekonomis adalah daging. Menurut Permatasari (2002), di beberapa negara masih ada masyarakat yang mengkonsumsi daging buaya sebagai makanan yang eksotik dan sebagai suguhan terhadap turis-turis. Bagian penis dan kelenjar asesoris maupun ginjal juga masih dimanfaatkan masyarakat tertentu di Negara Cina sebagai obat tradisional.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di penangkaran buaya CV Surya Raya Balikpapan yang terletak di Jl. Mulawarman RT 29, Kelurahan Teritip Km 28, Kecamatan Balikpapan Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni sampai Oktober 2010.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian meliputi termometer dry-wet, meteran, kertas lakmus (kertas pH), kamera digital, dan panduan wawancara. Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah: buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii).

3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber asli (pertama). Data sekunder adalah data yang sudah tersedia sehingga tinggal mencari dan mengumpulkan, digunakan sebagai pendukung data primer. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan studi literatur. Jenis dan metode pengumpulan data tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

No Data yang diambil

Jenis Data Metode Pengumpulan Data Primer Sekunder Observasi Wawancara Studi

literatur

1. Pengelolaan

perkandangan

√ √ √ √

2. Pengelolaan pakan √ √ √ √

3. Penyakit dan

perawatan kesehatan

√ √ √ √

4. Pengelolaan

reproduksi

√ √ √ √

5. Pemanfaatan hasil √ √ √ √

6. pH sumber air √ √ √ √

7. Sarana penunjang

penangkaran

√ √

8. Satwa lain yang

ditangkarkan


(29)

No Data yang diambil

Jenis Data Metode Pengumpulan Data Primer Sekunder Observasi Wawancara Studi

literatur

9. Vegetasi yang terdapat

di penangkaran √ √

10. Sejarah penangkaran √ √

11. Tujuan didirikan penangkaran

√ √

12. Manfaat didirikan penangkaran

√ √

13. Kondisi umum penangkaran

√ √

14. Struktur organisasi dan peta penangkaran

√ √

Uraian jenis data primer yang dikumpulkan berdasarkan Tabel 1 sebagai berikut:

1. Pengelolaan perkandangan meliputi: (i) jenis kandang terdiri dari kandang

show room, kandang anakan buaya (hatchling pen), kandang buaya muda (juvenil pen), kandang remaja atau pembesaran (rearing pen), dan kandang pembiakan (breeding pen); (ii) jumlah dan ukuran kandang; (iii) konstruksi kandang; (iv) perlengkapan kandang; (v) suhu dan kelembaban kandang; (vi) pengelolaan dan perawatan kandang; (vii) pengelolaan air dan pembuangan limbah.

2. Pengelolaan pakan meliputi: jenis pakan, sumber pakan, jumlah pemberian pakan, waktu pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, dan cara pemberian pakan.

3. Pengelolaan penyakit dan perawatan kesehatan meliputi: jenis penyakit yang pernah, sering, dan sedang diderita buaya.

4. Pengelolaan reproduksi meliputi: penentuan jenis kelamin, pemilihan bibit, pengaturan kawin meliputi: nisbah kelamin, musim kawin, jumlah telur permusim, dan tahapan penetasan telur.

5. Pengelolaan pemanfaatan hasil meliputi: pemanfaatan hasil penangkaran berupa barang atau produk dan pemanfaatan hasil penangkaran sebagai jasa wisata. Pemanfaatan hasil penangkaran berupa barang atau produk meliputi: usia panen dan teknik pemanenan, pengelolaan pasca panen, bagian tubuh yang dimanfaatkan, jenis produk yang dijual di penangkaran dan pemasaran produk. Tabel 1 (Lanjutan)


(30)

14

Pemanfaatan hasil penangkaran sebagai jasa wisata meliputi: tujuan wisata, objek yang ditawarkan, sarana prasarana pendukung wisata, dan pelayanan pengunjung.

6. pH (derajat keasaman) sumber air yang digunakan untuk pengairan kolam atau kandang buaya.

Uraian data sekunder yang dikumpulkan meliputi:

1. Kondisi umum penangkaran meliputi: letak dan luas, batas wilayah, topografi, dan struktur organisasi.

2. Peta lokasi penangkaran (peta Balikpapan dan Kelurahan Teritip).

Uraian metode pengumpulan data berdasarkan Tabel 1 sebagai berikut: 1. Observasi lapang melalui kegiatan pengamatan langsung, pengukuran di

lapangan, dan mengikuti kegiatan petugas (animal keeper) penangkaran. a. Pengamatan langsung dilakukan terhadap jenis buaya yang dipelihara di

penangkaran yakni: (i) aspek kandang (meliputi: jenis, konstruksi, perlengkapan, jumlah buaya dalam kandang, dan perawatan kandang), pengelolaan air dan pembuangan limbah, (ii) aspek pakan (meliputi: jenis pakan yang diberikan, jumlah, waktu, frekuensi dan cara pemberian pakan), (iii) jenis penyakit yang sedang diderita buaya, (iv) aspek reproduksi (meliputi: penentuan jenis kelamin dan perlengkapan penetasan telur), (v) jenis produk yang dijual di penangkaran, (vi) jenis satwa lain yang dipelihara di penangkaran, (vii) jenis vegetasi yang terdapat di penangkaran, dan (viii) fasilitas yang terdapat di penangkaran.

b. Pengukuran yang dilakukan terhadap kandang, suhu, kelembaban kandang, dan pH (derajat keasaman sumber air) sebagai berikut:

-Pengukuran untuk setiap jenis kandang dilakukan dengan mengukur tinggi (m), panjang (m) dan lebar (m) kandang dengan menggunakan meteran. -Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan melalui pengamatan

dengan menggunakan termometer dry-wet. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari pada pagi (pukul 08.00), siang (pukul 12.00), dan sore (pukul 17.00) dengan cara menggantungkan termometer di dalam kandang selama dua minggu.


(31)

-Pengukuran pH air dengan mencelupkan kertas lakmus (pH meter) ke dalam kolam (sumber air) yang digunakan untuk pengairan ke kandang atau kolam buaya.

c. Mengikuti kegiatan petugas penangkaran meliputi: pengamatan dan terlibat aktif dalam perawatan kandang, waktu dan cara pemberian pakan buaya. 2. Wawancara mendalam (in-depth interview) yaitu wawancara yang dilakukan

secara mendalam dan berulang untuk memahami jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara luwes, terbuka, tidak baku dan informal. Pengambilan responden untuk wawancara dilakukan dengan pendekatan purposive sampling. Pada purposive sampling, responden yang dijadikan contoh adalah responden yang memiliki keterkaitan terhadap data yang akan dicari dalam melakukan penelitian. Responden yang diwawancarai yaitu pemilik penangkaran buaya CV Surya Raya, staf administrasi penangkaran, Kepala Bagian Umum Penangkaran, karyawan khususnya petugas (animal keeper) penangkaran, dan masyarakat sekitar lokasi penangkaran.

a. Wawancara kepada pemilik penangkaran buaya CV Surya Raya mengenai sejarah, tujuan dan manfaat didirikan penangkaran.

b. Wawancara kepada staf administrasi penangkaran berkaitan dengan surat-surat ijin yang dikeluarkan penangkaran dan laporan pengelolaan penangkaran.

c. Wawancara kepada Kepala Bagian Umum penangkaran mengenai seluruh aspek pengelolaan penangkaran.

d. Wawancara kepada karyawan khususnya petugas penangkaran (animal keeper) yang menangani buaya mengenai aspek teknis pengelolaan penangkaran meliputi pengelolaan pakan meliputi: sumber pakan, jumlah pemberian pakan dan kandungan gizi pakan; pengelolaan penyakit dan perawatan kesehatan meliputi jenis penyakit yang pernah, sering dan sedang diderita buaya; pengelolaan reproduksi: penentuan jenis kelamin, pemilihan bibit, pengaturan kawin meliputi: nisbah kelamin, musim kawin, jumlah telur permusim, dan tahapan penetasan telur; pengelolaan dan perawatan kandang; pengelolaan pemanfaatan hasil meliputi pemanfaatan hasil penangkaran berupa barang atau produk dan pemanfaatan hasil penangkaran


(32)

16

sebagai jasa wisata. Pemanfaatan hasil berupa barang atau produk meliputi: usia panen dan teknik pemanenan, pengelolaan pasca panen, bagian tubuh yang dimanfaatkan, jenis produk dan pemasaran produk. Pemanfaatan hasil penangkaran sebagai jasa wisata: tujuan wisata, objek yang ditawarkan, sarana prasarana pendukung wisata, dan pelayanan pengunjung.

e. Wawancara kepada masyarakat sekitar lokasi penangkaran yang terkena dampak positif (ekonomi, kenyamanan) maupun dampak negatif (bau, sampah, limbah) dari keberadaan penangkaran. Responden yang diwawancarai adalah masyarakat yang rumahnya dekat atau berbatasan langsung dengan lokasi penangkaran (< 300 m dari lokasi penangkaran). Jumlah responden yang diwawancarai adalah 20 orang.

3. Studi literatur yaitu mengumpulkan data melalui studi pustaka dari beberapa informasi yang dijadikan referensi (acuan) untuk mendukung data yang akan dihasilkan, digunakan sebagai data sekunder dan verifikasi dengan membandingkan hasil penelitian yang dilakukan. Studi literatur diperoleh dari penelusuran dokumen penangkaran buaya CV Surya Raya, Bappeda Balikpapan, Kelurahan Teritip, perpustakaan dan internet.

3.4 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif dan kuantitatif.

3.4.1 Analisis deskriptif

Semua data yang terkumpul dianalisis dengan menguraikan dan menjelaskan fenomena yang terjadi pada aspek pengelolaan penangkaran buaya CV Surya Raya yang dilengkapi dengan bentuk bagan, tabel, skema, dan gambar untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis data yang diperoleh.

Berkaitan dengan analisis untuk menentukan keberhasilan pengelolaan penangkaran, dilakukan dengan menggunakan kriteria utama, yakni (i) aspek teknis penangkaran dengan indikator utama reproduksi dan (ii) aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dengan indikator keterlibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penangkaran, seperti menjadi tenaga kerja, dan mendirikan warung makan di areal penangkaran maupun di sekitar penangkaran.


(33)

Indikator keberhasilan penangkaran dari aspek reproduksi dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yaitu:

a. Berhasil apabila penangkaran dapat menghasilkan keturunan dari jenis buaya yang ditangkarkan.

b. Tidak berhasil apabila penangkaran belum dapat menghasilkan keturunan dari jenis buaya yang ditangkarkan.

Indikator keberhasilan penangkaran dari aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar penangkaran dikategorikan menjadi dua kriteria kualitatif, yaitu:

a. Berhasil apabila penangkaran dapat memberikan manfaat sosial ekonomi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar penangkaran.

b. Tidak berhasil apabila penangkaran tidak dapat atau belum memberikan manfaat sosial ekonomi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitar penangkaran.

Manfaat langsung dapat dilihat dari: adanya warga sekitar penangkaran yang menjadi tenaga kerja di penangkaran, terdapat restoran atau warung makan dan toko souvenir di areal penangkaran. Manfaat tidak langsung dapat dilihat dari: penangkaran CV Surya Raya menjadi salah satu lapangan pekerjaan atau mata pencaharian warga setempat, jasa transportasi menjadi ramai, nama daerah (Kelurahan Teritip) menjadi terkenal, aksesibilitas dan fasilitas umum menjadi lebih baik, serta menambah pendapatan daerah.

3.4.2 Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung daya tetas telur dengan rumus:


(34)

BAB IV

KONDISI UMUM PENANGKARAN

4.1 Sejarah, Tujuan, Manfaat, dan Struktur Organisasi Penangkaran 4.1.1 Sejarah penangkaran

Penangkaran buaya CV Surya Raya mulai dirintis sejak tahun 1989. Buaya didatangkan pertama kali pada tahun 1990-1991, sedangkan mulai dijadikan sebagai objek wisata pada tahun 1997 dan mendapat ijin penangkaran dari Menteri Kehutanan dengan SK No. 263/Kpts-II/2003 pada tanggal 4 Agustus 2003. Pada awalnya buaya yang terdapat di penangkaran ini hanya 4 ekor buaya muara (Crocodilus porosus) jantan yang berasal dari pembelian pada masyarakat di Km 3 Balikpapan, dan 60 ekor buaya muara (20 ekor jantan dan 40 ekor betina) yang dibeli dari penangkaran buaya Tarakan. Buaya juga diperoleh dari pengambilan dari alam sebanyak ± 600 ekor anakan berukuran < 80 cm. Hasil identifikasi menunjukkan anakan buaya tersebut terdiri dari 30 ekor buaya air tawar (Crocodylus siamensis) (5 ekor betina dan 25 ekor jantan) diperoleh dari pengumpulan buaya dari alam yaitu dari Danau Tanah Liat, Danau Belibis, dan Danau Mesangat yang dilakukan oleh penduduk setempat dari Desa Muara Muntai, Desa Bongan dan Desa Muara Ancalong; 20 ekor buaya supit diperoleh dari Danau Perian, Kecamatan Muara Wis Kabupaten Kutai, dan selebihnya adalah jenis buaya muara yang diperoleh dari sepanjang Tanah Grogot sampai Sangkulirang . Tahun 2010 jumlah buaya yang terdapat di penangkaran ini adalah 1.157 ekor terdiri dari 1.104 ekor buaya muara, 40 ekor buaya air tawar, dan 13 ekor buaya supit.

Pendiri penangkaran buaya CV Surya Raya adalah Bapak Tarto Suroso Sugiarto. Awal mula didirikan penangkaran buaya ini adalah karena kecintaan dan kegemaran beliau memelihara binatang yang kemudian berkembang menjadi sebuah bisnis. Sejak awal berdiri, penangkaran buaya ini berlokasi di Jl. Mulawarman RT 29, Kelurahan Teritip Km 28, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.


(35)

4.1.2 Tujuan penangkaran

Tujuan didirikannya penangkaran ini adalah pemanfaatan secara lestari untuk tujuan ekonomi yakni menghasilkan barang atau produk (khususnya pada buaya muara (Crocodylus porosus)), untuk koleksi buaya air tawar (Crocodylus siamensisi) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii) serta digunakan sebagai sarana rekreasi, pendidikan, pengetahuan, dan penelitian.

4.1.3 Manfaat penangkaran

Manfaat yang diharapkan dari usaha penangkaran buaya ini adalah agar kelestarian buaya di Kalimantan Timur tetap terjaga, menambah kecintaan dan kebanggaan terhadap satwa khususnya buaya supit dan buaya air tawar yang keberadaanya hampir punah di pedalaman sungai Mahakam, serta menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga setempat.

4.1.4 Struktur organisasi penangkaran

Penangkaran buaya CV Surya Raya dipimpin oleh seorang direktur. Direktur memberikan tanggung jawab penuh terhadap keberlangsungan penangkaran. Dalam mengatur pelaksanaan seluruh kegiatan dalam penangkaran, direktur dibantu oleh beberapa staf bagian (seksi) yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dalam penangkaran. Terdapat empat bagian yaitu: bagian buaya, bagian umum, bagian administrasi, dan bagian bangunan. Masing-masing bagian memiliki tugas dan tanggung jawab atas tugas yang diberikan.

Kepala Bagian Umum bertugas membantu pekerjaan administrasi yang meliputi bidang keuangan, logistik, mengawasi dan mengkoordinir pelaksanaan kegiatan di penangkaran. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Bagian Umum bertanggung jawab langsung kepada direktur. Struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya dapat dilihat pada Lampiran 9.

4.2 Kondisi Fisik 4.2.1 Luas dan letak

Penangkaran buaya CV Surya Raya berdiri di atas tanah seluas 45.726 m2 dengan luas bangunan penangkaran 11.009 m2. Penangkaran ini berlokasi di Jl. Mulawarman RT 29, Kelurahan Teritip, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Untuk menuju lokasi penangkaran dapat ditempuh melalui Jl. Sudirman ke arah Bandara Sepinggan melalui Jl.


(36)

20

Mulawarman melewati Manggar – Batakan – Lamaru kemudian baru sampai ke Teritip ± 20 km dari pusat Kota Balikpapan. Gambar peta Balikpapan dan peta Kelurahan Teritip dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

Batas wilayah penangkaran buaya CV Surya Raya secara administratif adalah:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Salok Api Darat b. Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar

c. Sebalah selatan berbatasan dengan Kelurahan Lamaru d. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Karang Joang

Kondisi topografi penangkaran buaya CV Surya Raya berupa dataran rendah dengan ketinggian tanah dari permukaan laut adalah 250 m. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, di penangkaran ini belum pernah terjadi banjir atau genangan. Curah hujan berkisar antara 866,9-2.400 mm/tahun dengan suhu udara rata-rata 27°C (Siswanto 2009).

4.2.2 Sarana penangkaran

Penangkaran buaya CV Surya Raya memiliki sarana bangunan kantor, loket, rumah Lamin, kandang gajah, kios-kios pedagang kaki lima, halaman parkir, sarana bermain anak-anak (jungkat-jungkit, ayunan, dan perosotan), etalase pernak-pernik buaya, bangunan kandang monyet, ular, kura-kura, dan musang, mushola, pendopo, toilet, toko souvenir, warung sate, bangunan kandang buaya, tempat tinggal karyawan, rumah potong, gudang, bak penampungan air, tempat sampah, dan papan intepretasi berupa: plang informasi, petunjuk arah, himbauan menjaga diri dan lingkungan.

4.3 Kondisi Biotik

Vegetasi yang terdapat di penangkaran CV Surya Raya antara lain yaitu dadap duri (Erythrina lithosperma), segon (Paraserianthes falcataria), beringin (Ficus benjamina), kapuk randu (Ceiba pentandra), gmelina (Gmelina arborea), kelengkeng (Dimocarpus longan), mangga (Mangifera indica), cempaka cina (Michelia sp.), melati perancis, palem (Pinanga malayana), kelapa (Cocos nucifera), dan sukun (Artocarpus communis). Selain buaya, jenis satwa lain yang ditangkarkan di penangkaran buaya CV Surya Raya antara lain gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus), ular phyton (Phyton reticulatus), monyet ekor


(37)

panjang (Macaca fascicularis), owa jawa (Hylobates moloch), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), beruk (Macaca nemestrina), dan kura-kura (Cuora amboinensis).

4.4 Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar Penangkaran

Penangkaran buaya CV Surya Raya terletak di RT 29 Kelurahan Teritip. Berdasarkan wawancara, jumlah warga RT 29 terdiri dari 85 KK dengan jumlah jiwa 282 orang, terdiri dari 147 laki-laki dan 135 perempuan. Rata-rata warga RT 29 bekerja sebagai petani buruh (petani rumput laut), penjual sayur di pasar dan nelayan. Terdapat 12 orang yang bekerja di penangkaran buaya CV Surya Raya. Rata-rata pendidikan terakhir warga RT 29 adalah SMA. Rata-rata warga RT 29 menggunakan air sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti masak, mandi dan mencuci, sedangkan untuk keperluan air minum mereka biasanya membeli air galon.


(38)

Sumber: Bappeda Balikpapan (2006)


(39)

Sumber: Bappeda Balikpapan (2006)

23


(40)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Perkandangan

Perkandangan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kandang dan pengelolaannya. Kandang buaya merupakan habitat buatan yang digunakan untuk memelihara buaya yang dirancang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Beberapa aspek kandang yang perlu diperhatikan yaitu jenis, fungsi, ukuran, konstruksi, perlengkapan, dan perawatan kandang.

5.1.1 Jenis kandang

Hasil pengamatan menunjukkan terdapat lima jenis kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya yaitu kandang show room, kandang anakan (hatchling pen), kandang buaya muda (juvenile pen), kandang remaja atau pembesaran (rearing pen), dan kandang induk atau pembiakan (breeding pen).

5.1.1.1 Kandang show room

Kandang show room merupakan kandang yang disiapkan untuk memamerkan jenis buaya yang dipelihara di penangkaran CV Surya Raya, bertujuan agar memudahkan pengunjung mengetahui jenis buaya yang terdapat di penangkaran. Terdapat tiga jenis buaya yang dipelihara di penangkaran CV Surya Raya yaitu buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar (Crocodylus siamensis) dan buaya supit (Tomistoma schlegelii). Fungsi dan ukuran kandang

show room tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Fungsi dan ukuran kandang show room di penangkaran CV Surya Raya No Fungsi

kandang

Ukuran (p x l x t) m

Jumlah kandang (unit) Jumlah buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)*

Kedalaman kolam optimum

(cm)**

1. Display

buaya muara > 1 tahun

4 x 3 x 2

(luas 12 m2) 2 3 15 1 5

2. Display

buaya air tawar umur 5-6 tahun

4 x 3 x 2

(luas 12 m2) 2 1 15 11,25 25-50

3. Display

buaya supit umur > 8 tahun

20 x 6 x 2

(luas 120 m2) 1 13 60 12 > 50

Sumber pustaka: *Bolton (1981) dalam Ratnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam Suwandi (1991).


(41)

Kandang show room dibangun di bagian paling depan mengelilingi pendopo (Gambar 6), sehingga pengunjung yang baru datang atau sedang beristirahat dapat menyaksikan langsung jenis buaya yang ditangkarkan melalui pagar kawat ram tanpa harus mengelilingi keseluruhan kandang. Berdasarkan pengamatan letak kandang tersebut tergolong strategis karena sesuai dengan tujuan utama yaitu sebagai kandang contoh (display) sehingga memudahkan pengunjung untuk melihat buaya.

Tabel 2 menunjukkan bahwa ukuran kandang show room buaya muara dan kandang show room buaya air tawar sudah sesuai dengan kebutuhan buaya, sehingga sudah ideal dalam memberi ruang gerak buaya. Luas lantai kandang

show room buaya supit terlalu sempit sehingga menimbulkan beberapa dampak yaitu persaingan memperebutkan makanan, tempat berjemur (basking grown) dan berendam. Kedalaman kolam kandang show room buaya air tawar tidak sesuai dengan kedalaman optimal, akibatnya buaya sulit untuk berendam karena kedalaman air kolam tidak sesuai dengan kebutuhannya. Kedalaman kolam kandang show room buaya muara dan buaya supit sudah melebihi kedalaman optimal kolam yang disarankan sehingga memungkinkan buaya muara bebas berendam. Permasalahan ukuran dan kedalaman kolam sangat terkait dengan kenyamanan buaya, sehingga pengelola seharusnya menyediakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan agar buaya dapat melakukan aktifitas seperti di habitat alaminya.

Kandang show room buaya supit juga berfungsi sebagai kandang breeding. Letak kandang show room yang mengelilingi pendopo menyebabkan kegiatan reproduksi buaya yang terdapat di dalam kandang tersebut terganggu oleh aktifitas pengunjung. Bolton (1981) dalam Ratnani (2007) menyebutkan bahwa dalam memelihara buaya sebaiknya mengurangi segala gangguan dari manusia karena semakin banyak gangguan manusia, maka ketenangan buaya akan terganggu.


(42)

26

5.1.1.2 Kandang anakan buaya (hatchling pen)

Kandang anakan buaya adalah kandang yang disiapkan untuk anakan buaya yang baru menetas sampai berumur 6 bulan. Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Fungsi dan ukuran kandang anakan buaya

No Fungsi kandang

Ukuran (p x l x t) m

Jumlah kandang (unit) Jumlah buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)*

Kedalaman kolam optimum

(cm)**

1. Anakan

berumur 0-3 minggu

0,5 x 0,3 x 0,5

(luas 0,15 m2) 3 15-30 - 0,25 5

2. Anakan

berumur 3 minggu-3 bulan

3 x 0,5 x 0,4

(luas 1,5 m2) 6 2-15 5 0,25 5

3. Anakan

berumur 4-6 bulan

2 x 2 x 0,5

(luas 4 m2) 16 2-30 5 0,25 5

Sumber pustaka: *Fakultas Kehutanan (1990), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam

Suwandi (1991).

Kandang anakan buaya terletak di dalam ruangan tertutup berukuran 6,5 m x 5 m x 3 m untuk anakan buaya berumur 0-3 minggu dan ruangan dengan ukuran 16 m x 10 m x 4 m untuk anakan buaya berumur 3 minggu-6 bulan. Kandang tertutup digunakan karena anakan buaya masih dalam keadaan kritis, memiliki sensitifitas tinggi terhadap lingkungan dan kebisingan, serta memiliki resiko kematian yang tinggi. Bolton (1989) menyebutkan bahwa anakan buaya lebih bersifat penakut sehingga memerlukan tempat yang aman, dalam hal ini desain kandang sebaiknya mempunyai tempat bersembunyi sehingga dapat mengurangi tingkat stres oleh gangguan manusia dan kendaraan.

Gambar 6 Kondisi kandang show room. Keterangan: (a) Letak kandang show room mengelilingi pendopo; (b) Bentuk kandang show room.

(b) (a)


(43)

Tabel 3 menunjukkan bahwa ukuran kandang anakan buaya tidak ideal dengan kebutuhan buaya. Kondisi tersebut menyebabkan anakan buaya pada kandang tidak bebas bergerak. Ukuran kandang sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan buaya, sehingga dapat memenuhi salah satu prinsip kesejahteraan satwa yang disebutkan Appbley dan Hughes (1997) yaitu bebas dari rasa tidak nyaman. Keadaan tersebut dapat diciptakan dengan menyediakan kandang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan buaya untuk bergerak.

5.1.1.3 Kandang buaya muda (juvenile pen)

Kandang buaya muda adalah kandang yang disiapkan untuk pemeliharaan buaya setelah dipindahkan dari kandang anakan berumur > 6 bulan sampai 1 tahun (Gambar 8). Luas lantai dan kedalaman kolam pada kandang ini sudah ideal karena sudah disesuaikan dengan kebutuhan buaya. Fungsi dan ukuran kandang buaya muda tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Fungsi dan ukuran kandang buaya muda Fungsi

kandang

Ukuran (p x l x t) m

Jumlah kandang

(unit)

Jumlah buaya (ekor)

Kedalaman kolam

(cm)

Luas lantai optimum (m2/ekor)*

Kedalaman kolam optimum

(cm)**

Anakan berumur 7 bulan-1 tahun

4 x 3 x 1,2

(luas 12 m2) 14 7-25 5 0,50 5

Sumber pustaka: *Fakultas Kehutanan (1990), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam

Suwandi (1991).

Gambar 7 Kandang anakan buaya berumur 3 minggu (hatchling pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam.


(44)

28

5.1.1.4 Kandang remaja atau pembesaran (rearing pen)

Kandang pembesaran adalah kandang yang disiapkan untuk membesarkan buaya muda berumur di atas 1 tahun hingga buaya mencapai ukuran siap potong yaitu kira-kira berumur 2-4 tahun yang telah memenuhi kriteria panjang tubuh 1,80-2,20 m dengan lebar dada 45-50 cm (Gambar 9). Kandang ini juga berfungsi untuk membesarkan calon indukan. Fungsi dan ukuran kandang remaja tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Fungsi dan ukuran kandang remaja

No Fungsi kandang

Ukuran (p x l x t) m

Jumlah kandang (unit) Jumlah buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)*

Kedalaman kolam optimum

(cm)**

1. Buaya

muara umur > 1 tahun

8 x 8 x 1,5

(luas 64 m2) 5 41-60 25 1 25-50

2. Buaya

muara umur > 2-3 tahun

6 x 5 x 1,8

(luas 30 m2) 25 10-30 25 7,50 25-50

Sumber pustaka: *Bolton (1981) dalam Ratnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam Suwandi (1991).

Tabel 5 menunjukkan bahwa luas lantai dan kedalaman kolam pada kandang buaya muara umur > 1 tahun sudah ideal karena kebutuhan buaya untuk beraktifitas sudah terpenuhi. Tinggi kandang pada kedua jenis kandang tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan, sehingga buaya tidak keluar dari kolam. Fakultas Kehutanan IPB (1990) menyarankan tinggi kandang pembesaran yaitu 60-100 cm. Luas lantai kandang buaya muara umur > 2-3 tahun tidak ideal karena luas lantai kandang terlalu sempit, sehingga buaya yang terdapat dalam kandang tersebut tidak bebas bergerak, berendam, dan berjemur. Akibatnya buaya sering Gambar 8 Kandang buaya muda (juvenile pen). Keterangan: (a) Tampak

luar; (b) Tampak dalam.


(45)

mengalami luka-luka karena perkelahian memperebutkan tempat untuk melakukan aktifitasnya. Ukuran kandang sebaiknya disesuaikan dengan umur, ukuran tubuh, dan kebutuhan buaya, agar buaya merasa nyaman dan dapat mengurangi dampak buruk terhadap kesehatan buaya.

5.1.1.5 Kandang induk atau pembiakan (breeding pen)

Kandang pembiakan adalah kandang yang disiapkan untuk buaya induk berumur > 8 tahun (Gambar 10). Di kandang ini indukan buaya akan membuat sarang, kawin dan bertelur. Luas lantai kandang pada kandang ini sudah ideal dengan kebutuhan buaya. Kondisi tersebut memungkinkan buaya-buaya dalam kandang dapat bebas bergerak, melakukan aktifitas kawin, berendam dan berjemur. Fungsi dan ukuran kandang induk tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Fungsi dan ukuran kandang induk

No Fungsi kandang

Ukuran (p x l x t) m

Jumlah kandang (unit) Jumlah buaya (ekor) Kedalaman kolam (cm) Luas lantai optimum (m2/ekor)*

Kedalaman kolam optimum

(cm)**

1. Display buaya supit umur > 8 tahun

20 x 6 x 2

(luas 120 m2) 1 13 60 12 > 50

2. Buaya air

tawar umur 11-15 tahun

30 x 30 x 2

(luas 900 m2) 1 23 > 1,5 12 >50

3. Buaya

muara umur 20-25 tahun

42 x 32 x 2

(luas 1.344 m2) 2 23-24 > 1,5 12 >50

4. Buaya

muara umur 18 tahun

108 x 32 x 2

(luas 3.456 m2) 1 88 > 1,5 12 >50

Sumber pustaka: *Bolton (1981) dalam Ratnani (2007), **Ditjen PHPA dan PT Hexa Buana (1987) dalam Suwandi (1991).

Gambar 9 Kandang pembesaran (rearing pen). Keterangan: (a) Tampak luar; (b) Tampak dalam.


(46)

30

Penangkaran buaya CV Surya Raya memiliki lima unit kandang indukan yaitu satu kandang untuk buaya supit, satu kandang untuk buaya air tawar, dan tiga kandang untuk buaya muara. Kandang pembiakan untuk buaya supit adalah kandang yang digunakan pula sebagai kandang show room. Luas lantai pada kandang buaya supit tidak ideal, jumlah indukan tidak disesuaikan dengan kebutuhan buaya pada musim kawin, dan indukan berasal dari satu populasi sehingga menyebabkan buaya mengalami inbreeding danakibatnya buaya supit di penangkaran ini sulit berkembangbiak. Kondisi tersebut dapat diatasi dengan cara: (1) tidak menyatukan kandang yang dipergunakan sebagai kandang show room

dengan kandang breeding; (2) menyediakan lokasi yang tenang untuk kandang

breeding; (3) nisbah kelamin jantan terhadap betina harus ideal dalam satu kandang yaitu 1:4 agar buaya dapat berkembangbiak; (4) pengambilan bibit buaya dari populasi yang berbeda; (5) ukuran dan perlengkapan kandang disesuaikan dengan kebutuhan buaya untuk beraktifitas seperti di habitat alaminya.

5.1.2 Konstruksi kandang

Ditinjau dari konstruksi kandangnya, semua jenis kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya termasuk dalam katagori kandang permanen dan box

plastik. Kandang permanen terdiri dari kandang anakan buaya berumur > 3 minggu, kandang buaya muda, kandang remaja dan kandang indukan. Konstruksi kandang permanen terdiri dari pagar berupa tembok dan sebagian ditambah kawat ram, kayu sebagai kerangka kandang, seng, asbes atau fiber sebagai atap. Konstruksi kandang tersebut sesuai dengan pernyataan Bolton (1989) bahwa pagar kandang buaya sebaiknya terbuat dari kayu atau jaring kawat besi serta Gambar 10 Kandang induk buaya muara (Crocodylus porosus). Keterangan:

(a) Tampak luar; (b) Tampak dalam.


(47)

tembok dari batu bata, beton, bahan metal atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut. Konstruksi kandang yang baik disesuaikan dengan jenis satwa yang dipelihara sehingga untuk kandang buaya, konstruksi dibuat permanen, kuat, dan tinggi agar tahan terhadap benturan dan mencegah buaya keluar pagar. Ventilasi yang cukup sangat diperlukan satwa yang dikandangkan, sehingga pagar tembok di penangkaran ini ditambahkan dengan kawat ram yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara. Selain itu kawat ram juga berfungsi untuk memudahkan pengunjung melihat buaya. Atap kandang dibuat sebagian tertutup sebagai naungan dan sebagian terbuka agar sinar matahari dan air hujan dapat masuk ke dalam kandang sehingga menyerupai kondisi di alam.

Kontruksi kandang berupa box plastik digunakan hanya untuk anakan buaya yang baru menetas hingga berumur tiga minggu. Pemilihan box plastik sebagai kandang anakan buaya didasarkan pada pertimbangan bahwa box plastik memiliki permukaan yang halus sehingga kulit anakan buaya yang masih lunak dapat terhindar dari gesekan. Dallas (2006) menyebutkan bahwa plastik merupakan bahan yang dianjurkan dalam pemeliharaan reptil karena memiliki permukaan tidak kasar, mengikuti perubahan suhu lingkungan, mudah dibersihkan, dan mudah diperoleh.

5.1.3 Perlengkapan dalam kandang

Penyediaan perlengkapan di dalam kandang memiliki peranan penting agar buaya merasa nyaman hidup seperti di habitat alaminya. Perlengkapan kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya disesuaikan dengan kebutuhan buaya berdasarkan kelas umur. Perlengkapan kandang buaya tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Perlengkapan kandang buaya di dalam setiap jenis kandang

No Perlengkapan kandang Jenis kandang

Show room Anakan Buaya muda Remaja Induk

1. Daerah berair (kolam) √ √ √ √ √

2. Daratan √ √ √ √ √

3. Vegetasi √ - - - √

4. Sekat bersarang √ - - - √

Berdasarkan Tabel 7 semua jenis kandang memiliki kolam dan daratan. Kedua jenis perlengkapan tersebut merupakan kebutuhan utama buaya dalam mendukung aktifitasnya. Bagian kolam digunakan untuk berendam dan kawin (indukan), sedangkan bagian daratan digunakan untuk berjemur dan meletakkan


(48)

32

makanan. Vegetasi dan sekat bersarang hanya terdapat di kandang breeding. Jenis vegetasinya antara lain sengon (Paraserianthes falcataria), karet (Hevea brasiliensis), kapuk randu (Ceiba pentandra), beringin (Ficus benjamina), dadap duri (Erythrina lithosperma), nangka (Artocarpus heterophyllus), sukun (Artocarpus communis), pepaya (Carica papaya), rumput-rumputan dan semak belukar. Vegetasi tersebut digunakan sebagai naungan dan bahan pembuat sarang. Sekat bersarang di kandang breeding terletak di pinggir kolam dan terbuat dari kayu berukuran 4 m x 4 m x 1 m (Gambar 11). Di dalam sekat tersebut ditambahkan pasir sebagai campuran bahan untuk membuat sarang yang akan digunakan untuk meletakkan telur-telur buaya.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penyediaan perlengkapan kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya sudah memenuhi kebutuhan buaya untuk mengekspresikan perilaku alaminya. Buaya bebas melakukan segala aktifitasnya seperti kawin, bersarang, berenang, berjemur, dan berlindung.

Gambar 11 Sekat bersarang buaya pada kandang breeding. 5.1.4 Perawatan kandang

Kegiatan perawatan kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya terdiri dari pembersihan di dalam dan di luar kandang. Pembersihan di dalam kandang meliputi kegiatan membersihan kandang dari sisa-sisa makanan, menguras dan mengganti air kolam dengan air yang bersih. Kegiatan tersebut rutin dilakukan setiap seminggu sekali. Pembersihan di luar kandang meliputi kegiatan membersihkan sampah di sekitar kandang, merapikan tanaman yang tumbuh di sekitar penangkaran, dan memperbaiki sarana penangkaran yang rusak. Kegiatan tersebut bersifat insidental.


(49)

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa perawatan kandang bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang sehingga buaya dapat hidup sehat dan mencegah timbulnya bibit penyakit. Kebersihan kandang dan perlengkapannya perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi kesehatan buaya.

5.1.5 Pengelolaan air dan pembuangan limbah

Sumber air di penangkaran buaya CV Surya Raya berasal dari kolam tanah (Gambar 12a). Air dari kolam disedot dengan bantuan diesel kemudian disalurkan dengan menggunakan selang dan ditampung dalam bak penampungan. Penangkaran buaya CV Surya Raya memiliki bak penampungan air berukuran 12 m x 8 m x 2 m. Bak penampungan berfungsi untuk menampung air sehingga dapat menjamin pasokan air jika pompa sewaktu-waktu mengalami kerusakan, selain itu air yang dihasilkan dari bak penampungan akan lebih bersih karena kotoran atau lumpur telah mengendap dalam bak penampungan. Untuk memenuhi kebutuhan air tiap kandang atau kolam, air dari bak penampungan disalurkan melalui selang yang dialirkan ke tiap kandang atau kolam, sesuai dengan yang disarankan Fakultas Kehutanan IPB (1990), bahwa sebaiknya tidak mengalirkan air dari kolam satu untuk mengisi kolam berikutnya karena untuk menghindari adanya kontaminasi atau penularan penyakit dari satu kolam ke kolam lainnya. Seluruh perangkat pengairan yang disediakan di penangkaran buaya CV Surya Raya tersebut juga sudah sesuai dengan perangkat air yang perlu disediakan dalam penangkaran seperti yang disarankan Fakultas Kehutanan IPB (1990) antara lain: sumber air bersih baik mengalir ataupun tidak, tempat atau bak penampungan yang dapat digunakan untuk menyediakan serta menampung air secara berkelanjutan, sistem penyaluran air ke kandang atau kolam, dan sistem pembuangan air limbah terutama kolam.

Limbah yang dihasilkan dari penangkaran buaya CV Surya Raya adalah limbah cair yang berasal dari air yang sudah kotor dalam kandang. Limbah cair dari setiap kandang disalurkan melalui parit-parit kecil (Gambar 12b) yang telah disediakan menuju tempat pembuangan berupa kolam tanah berukuran 100 m x 40 m. Kolam tanah ini terletak di bagian paling belakang penangkaran. Berdasarkan wawancara dengan penduduk yang tinggal di sekitar penangkaran


(50)

34

(300 m dari penangkaran), bau dari limbah tersebut tidak mengganggu warga sekitar.

5.1.6 Suhu dan kelembaban kandang

Hasil pengukuran suhu di kandang penangkaran buaya CV Surya Raya menunjukkan kondisi suhu di kandang penangkaran relatif stabil. Suhu kandang pada pagi hari berkisar 26-28 °C, siang hari berkisar 30-32 °C, dan sore hari berkisar 29-31 °C. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Frye (1991) bahwa kondisi suhu optimal untuk reptil di daerah tropis berkisar 29,5-37 °C. Suhu di penangkaran CV Surya Raya juga sesuai dengan pernyataan Britton (2003) bahwa kisaran suhu yang disukai atau PBT (preferred body temperatures) buaya adalah 29-34 °C. Jika suhu tubuhnya di atas kisaran tersebut maka buaya akan mencari tempat yang dapat mendinginkan tubuhnya, dan jika suhu tubuh di bawah kisaran PBT maka buaya akan melakukan upaya untuk menghangatkan diri. Kondisi suhu di penangkaran tersebut juga sesuai dengan yang dikatakan Elmir (2008) bahwa buaya di penangkaran relatif masih dapat mengkonsumsi makanan pada kisaran temperatur udara 24,5-34 °C. Kondisi suhu kandang di penangkaran CV Surya Raya dapat dilihat pada Gambar 13.

(a) (b)

Gambar 12 Pengelolaan air dan limbah. Keterangan: (a) Sumber air berasal dari kolam buatan; (b) Parit saluran limbah menuju kolam tanah.


(1)

Lampiran 1 Tabel suhu dan kelembaban dalam kandang penangkaran buaya CV

Surya Raya pada bulan Juni 2010

No Tanggal

08.00 12.00 17.00

Suhu (°C)

RH (%)

Suhu (°C)

RH (%)

Suhu (°C)

RH (%)

1 2/6/2010 27 92 32 79 30 78

2 3/6/2010 28 92 33 73 31 79

3 4/6/2010 27 92 32 79 30 85

4 5/6/2010 27 84 32 79 31 79

5 6/6/2010 27 92 32 79 31 79

6 7/6/2010 27 84 32 73 31 72

7 8/6/2010 26 84 30 78 29 78

8 9/6/2010 26 92 30 85 30 78

9 10/6/2010 26 84 30 85 29 78

10 11/6/2010 27 92 32 86 31 72

11 12/6/2010 27 92 32 79 30 78

12 13/6/2010 27 84 32 86 30 72

13 14/6/2010 26 84 30 85 29 78

Rata-Rata 26,77 88,31 31,46 80,46 30,15 77,38

Lampiran 2 Tabel produksi telur buaya pada tahun 2008

No Tanggal pengumpulan telur Jenis buaya Kandang unit Jumlah telur sebelum ditetaskan (butir) Jumlah telur menetas Tanggal menetas

1. 7/10/2008 Muara III 50 24 8/1/2009

2. 25/10/2008 Tawar BAT 17 3 26/1/2009

3. 30/10/2008 Muara III 52 38 5/2/2009

4. 19/12/2008 Muara II 30 10 24/4/2009

5. 12/1/2009 Tawar BAT 25 3 15/4/2009

6. 24/1/2009 Tawar BAT 20 3 16/4/2009

7. 11/2/2009 Tawar BAT 24 4 5/5/2009

8. 19/2/2009 Muara III 40 12 18/5/2009

Lampiran 3 Produksi telur buaya pada tahun 2009

No Tanggal Jam Jenis buaya Kandang unit Jarak sarang dari kolam (m) Tinggi sarang (m) Lebar sarang (m) Jumlah telur (butir) Jumlah telur menetas

1. 14/9/2009 16.00 Muara I 3 0,7 0,8 30 10

2. 14/9/2009 16.00 Muara II 4 0,8 0,9 25 10

3. 15/9/2009 16.00 Muara III 5 0,6 0,8 30 12

4. 15/9/2009 16.00 Muara III 6 0,9 0,8 25 10

5. 15/9/2009 16.00 Muara III 7 0,7 0,8 25 10

6. 29/9/2009 16.00 Muara III 8 0,8 1,5 30 13

7. 29/9/2009 16.00 Muara III 9 0,7 1,5 30 11

8. 8/10/2009 10.00 Supit Pendopo 10 0,6 0,8 15 0

9. 12/10/2009 10.00 Muara I 11 0,8 1 29 10

10 15/10/2009 16.00 Muara III 4 0,8 1 25 0

11 19/10/2009 14.00 Muara III 2 0,8 1 69 20

12 19/10/2009 14.00 Muara III 2,5 0,8 1,5 59 15


(2)

82

No Tanggal Jam Jenis buaya Kandang unit Jarak sarang dari kolam (m) Tinggi sarang (m) Lebar sarang (m) Jumlah telur (butir) Jumlah telur menetas

14 19/10/2009 14.00 Muara III 4 0,7 1 40 0

15 23/10/2009 14.00 Tawar BAT 4 0,6 0,9 17 3

16 2/11/2009 16.00 Muara I 4 0,8 0,9 35 16

17 17/11/2009 16.00 Muara III 9 0,8 1,5 53 9

18 17/11/2009 16.00 Muara III 3 0,8 0,9 25 12

19 15/12/2009 14.00 Muara III 0,5 90 0,7 52 20

20 29/12/2009 10.00 Muara III 4 0,8 1 35 16

21 29/12/2009 11.00 Tawar BAT 3 1 1 45 3

22 19/1/2010 09.00 Tawar BAT 1 1 1 10 0

Lampiran 4 Tabel kematian buaya anakan

No. Tanggal Jumlah kematian Panjang (cm)

1. 3/1/2009 1 63

2. 6/1/2009 2 53; 61

3. 10/1/2009 3 62; 59; 67

4. 12/1/2009 1 65

5. 15/1/2009 3 58; 64; 63

6. 17/1/2009 1 67

7. 19/1/2009 3 65; 63; 67

8. 20/1/2009 1 67

9. 21/1/2009 1 82

10 22/1/2009 2 76; 68

11 24/1/2009 3 36; 38; 35

12 26/1/2009 1 65

13 28/1/2009 2 97; 86

14 29/1/2009 1 61

15 30/1/2009 1 67

16 1/2/2009 2 61; 63

17 5/2/2009 1 72

18 8/2/2009 2 68; 71

19 9/2/2009 2 79; 78

20 11/2/2009 1 31

21 14/2/2009 2 61; 72

22 17/2/2009 1 85

23 18/2/2009 2 63; 69

24 19/2/2009 2 36; 39

25 20/2/2009 1 61

26 26/3/2009 1 57

27 28/3/2009 2 39; 36

28 30/3/2009 3 67; 54; 56

29 31/3/2009 2 57; 58

30 17/4/2009 3 59; 61; 52

31 20/4/2009 2 32; 57

32 22/4/2009 1 62

33 26/4/2009 1 59

34 28/4/2009 2 58; 56

Total buaya mati 55


(3)

Lampiran 5 Tabel kematian buaya remaja

No. Tanggal Jumlah kematian Panjang (cm)

1. 14/1/2009 1 97

2. 15/1/2009 1 81

3. 25/1/2009 1 120

4. 3/2/2009 1 98

5. 4/3/2009 1 110

6. 17/3/2009 1 114

7. 6/4/2009 1 120

8. 7/5/2009 1 136

9. 20/5/2009 1 100

10 25/5/2009 1 123

11 5/6/2009 1 125

12 11/6/2009 1 143

13 13/6/2009 2 110; 108

Total buaya mati 14

Lampiran 6 Fasilitas pendukung wisata di penangkaran buaya CV Surya Raya

Halaman parkir

parkir

Pendopo

Sarana bermain anak-anak


(4)

84

Lampiran 7 Sketsa kandang permanen tertutup

Lampiran 8 Sketsa kandang permanen terbuka

Panjang tiap petak kandang 4 m

Lebar tiap petak kandang 3 m

Lebar saluran parit 30 cm

Tinggi petak kandang 1,2 m

Atap asbes

Tiang penyangga (kayu) Atap seng

Tinggi 1,8 m Lebar 5 m


(5)

Lampiran 9 Struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya

DIREKTUR TARTO S. SUGIARTO, BSc

ADMINISTRASI

KEUANGAN: NANIK AKUTANSI: ARDILLA

BANGUNAN TUKANG:

1. SYAHRANI

2. JUWANDI

PERTAMANAN:

1. HARLIANSYAH

2. HORMANSYAH

DRIVER: M. ARSYAD

KEAMANAN:

1. GATOT

2. SALAHUDDIN

3. MISDI

4. SRIYANTO

WISATA BUAYA: ALFIAN NOOR UMUM

KEPALA BAGIAN:

1. M. ARSYAD

2. ALFIAN NOOR

BUAYA

PEMELIHARA BUAYA:

1. EDI

2. BAMBANG

TUKANG HARIAN:

1. JUMANSYAH

2. ADJIE

3. APRIANSYAH

HELPER HARIAN: NIRWAN PRODUKSI:

BACHTIAR


(6)

80

Lampiran 10 Rekomendasi struktur organisasi penangkaran buaya CV Surya Raya

86

DIREKTUR

BAGIAN BANGUNAN

HELPER HARIAN

TUKANG HARIAN

DRIVER

KEAMANAN

PERTAMANAN

BAGIAN ADMINISTRASI

BAGIAN UMUM

BAGIAN WISATA BUAYA

BAGIAN PEMASARAN

BAGIAN PRODUKSI

BAGIAN

PEMELIHARAAN

BUAYA