Penetasan telur Pengelolaan Reproduksi

keturunan segaris umumnya rentan dalam kemampuan reproduksi, kekuatan atau kesegaran tubuh tidak baik, dan mengurangi penampilan bibit.

5.4.6 Penetasan telur

Penetasan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya dilakukan dengan menggunakan inkubator. Penetasan telur dilakukan melalui beberapa tahapan meliputi persiapan inkubator, pengumpulan telur, penyortiran, peletakan telur, penomoran, pemindahan keranjang telur ke rak penetasan, pemantauan telur, dan penanganan anakan buaya pasca penetasan Gambar 18. 1. Persiapan inkubator Ruang inkubator yang terdapat di penangkaran buaya CV Surya Raya berupa bangunan permanen tertutup berukuran 5 m x 3 m x 2 m, berdinding tembok berlapis stereoform dengan plafon berupa triplek, atap berupa asbes, dan lantai berupa semen. Di dalam ruangan inkubator dilengkapi dengan alat pengatur suhu ruangan thermostat, delapan buah lampu pijar 100 watt per lampu yang menghasilkan suhu 34 °C, dan rak kayu untuk meletakkan keranjang telur yang siap ditetaskan. Sebelum dilakukan proses penetasan telur, petugas penangkaran melakukan pembersihan ruangan inkubator, keranjang telur dan media penetasan. Pembersihan ruang inkubator hanya dilakukan dengan menyapu ruangan. Pembersihan keranjang dengan mencuci keranjang hingga bersih kemudian dikeringkan. Media penetasan yang digunakan adalah Sphagnum moss yaitu lumut dari genus sphagnum. Pada akhir tahun 2010, penangkaran CV Surya Raya menggunakan media penetasan berupa pasir laut dan gabah. Pembersihan media penetasan dilakukan dengan menghilangkan kotoran atau cangkang bekas penetasan sebelumnya yang terdapat dalam Sphagnum moss, kemudian Sphagnum moss dibasahi agar menjadi lembab. Sphagnum moss di penangkaran ini digunakan 1-2 kali sebagai media penetasan sehingga sebelum digunakan kembali Sphagnum moss harus dibersihkan dari sisa-sisa cangkang bekas penetasan sebelumnya. Gambar 18 Tahapan penetasan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya. Kegiatan pembersihan inkubator tidak dilakukan dengan sterilisasi sehingga kemungkinan jamur atau bakteri dapat tumbuh karena ruangan inkubator belum terjamin kesterilannya. Gumilar 2007 menyebutkan bahwa pembersihan ruang inkubator di penangkaran PT Ekanindya Karsa dengan sterilisasi fumigasi pengasapan menggunakan kalium permanganat PK dan formalin. Air di dalam inkubator juga diberikan larutan PK non pekat agar telur dan ruangan tetap terjaga kesterilannya dan tidak terserang jamur atau bakteri. Ruang penetasan yang Persiapan inkubator Peletakan telur Keranjang telur 1. Pembersihan telur 2. Pengecekan telur berembrio atau tidak Penomoran Penyortiran Ruang inkubator Pemindahan keranjang telur ke rak penetasan Telur menetas Pengumpulan telur 1. Ruang inkubator 2. Keranjang telur 3. Media penetasan Sphagnum moss 1. Ruang inkubator 2. Media penetasan Sphagnum moss Pemantauan Penanganan anakan buaya hatchling pasca penetasan terdapat di penangkaran buaya CV Surya Raya sudah dilengkapi dengan alat pengatur suhu ruangan thermostat agar suhu dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan. Ruang inkubator dipertahankan pada suhu 32-34 °C dengan kelembaban 90 . Kelembaban media penetasan diketahui dengan memegang Sphagnum moss, jika Sphagnum moss kering maka petugas memercikan air ke media penetasan tersebut. Dinding ruang inkubator dilapisi stereoform dengan ketebalan ± 5 cm berfungsi agar udara di ruang inkubator stabil. 2. Pengumpulan telur Pengumpulan telur dilakukan dua minggu setelah buaya bertelur bertujuan untuk memudahkan dalam penyortiran dan mempercepat penetasan karena pada umur dua minggu setelah telur dikeluarkan oleh induk buaya, tanda-tanda telur berembrio dapat terlihat lebih jelas. Pengumpulan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya minimal dilakukan oleh tiga orang yang bertugas menghalau buaya induk yang sedang menjaga sarang atau buaya lain yang mendekat, mengukur tinggi, lebar dan jarak sarang dari kolam, mengambil telur dan melakukan penandaan pada telur, serta melindungi telur dari berbagai gangguan selama pengumpulan. Sebelum telur-telur diambil dari sarangnya, petugas mengukur tinggi, lebar dan jarak sarang dari kolam. Hasil pengukuran sarang pada tahun 2008-2009, rata-rata tinggi sarang buaya berkisar antara 60-90 cm, lebarnya 80- 150 cm, dan jarak rata-rata berkisar antara 2-11 m dari kolam. Pengukuran sarang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana buaya membuat sarang dan bertelur dari kolam. Saat mengambil telur dari sarang dan memasukkannya ke dalam wadah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Di bagian alas wadah untuk meletakkan telur dilengkapi dengan Sphagnum moss untuk menghindari goncangan atau benturan sehingga telur tidak pecah pada saat pengangkutan dan pemindahan telur. Sebelum diletakkan dalam wadah, telur-telur diberi tanda menggunakan spidol agar posisi telur sama dengan posisi ketika telur masih dalam sarangnya, untuk menghindari kematian embrio pada awal perkembangan. Telur-telur untuk setiap jenis buaya diletakkan dalam wadah yang berbeda agar memudahkan dalam pengklasifikasian. Hasil catatan petugas menunjukkan dalam sekali pengumpulan telur hanya diperoleh satu sampai empat sarang yang berisi 10-69 butir per sarang. Waktu pengumpulan telur sudah sesuai dengan yang disebutkan Bolton 1989, bahwa perkembangan embrio pada usia dua minggu masih terlihat transparan namun organ tubuh lain seperti kaki mulai dapat terlihat dilihat dengan lensa. Bolton 1989 menambahkan bahwa pengumpulan telur tidak dilakukan sehari setelah telur dikeluarkan oleh induknya karena selama 24 jam setelah telur dikeluarkan oleh induk, kuning telur akan bergerak masuk ke dalam sel telur tersebut tanpa merusak sel telur itu sendiri namun setelah hari pertama, sel telur ini akan melekat pada selaput membran telur sehingga apabila pengumpulan telur dilakukan maka gerakan atau goncangan telur pada saat pengumpulan telur dapat merobek perkembangan embrio dan dapat merusak telur. Setelah 3-4 minggu masa inkubasi, embrio dan selaput membran akan menjadi kuat untuk menahan guncangan ringan, sehingga pengumpulan telur sebaiknya dilakukan dengan ekstra hati-hati setidaknya 3 minggu setelah telur dikeluarkan oleh induknya. 3. Penyortiran Tahapan penyortiran merupakan tahap seleksi telur, bertujuan untuk mengetahui apakah telur mengandung embrio atau tidak. Tahap penyortiran meliputi pembersihan dan pengecekan. Telur-telur hasil pengumpulan terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan air sebelum dilakukan penyortiran. Teknik pembersihannya yaitu dengan cara mengelap dengan kain berbahan halus yang dibasahi dengan air dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak mengganggu pertumbuhan embrio. Tujuan pembersihan telur agar terhindar dari kotoran atau jamur yang akan mempengaruhi tahapan selanjutnya. Pembersihan telur dilakukan dengan hati-hati dan tidak mengubah posisi telur. Setelah dibersihkan kemudian dilakukan pengecekan. Pengecekan dilakukan di bawah cahaya lampu untuk mengetahui apakah telur mengandung embrio atau tidak. Telur yang mengandung embrio ditandai dengan terdapatnya bintik hitam dalam telur. Telur yang tidak mengandung embrio diberi tanda silang X dan tetap diikutkan dalam penetasan. Hal tersebut untuk membuktikan apakah telur tersebut dapat menetas atau tidak. Bolton 1989 menyebutkan bahwa telur yang baru dikeluarkan berwarna putih transparan, tempat dari embrio yang melekat pada selaput membran telur akan terlihat dari luar berupa titik berwarna biru kehijauan yang akan selalu menghadap ke atas. Tanda-tanda dapat terlihat pada telur alligator, titik tersebut berkembang membentuk garis memanjang yang berada di tengah-tengah telur dan garis tersebut akan melebar dan setelah 30 hari akan menutupi seluruh selaput membran sel dan hanya bagian ujung dari telur yang terlihat transparan dapat dilihat bila diarahkan ke sinar matahari atau lampu Gambar 19. Menurut Bolton 1988 dalam Permatasari 2002, titik embrio pada telur alligator hampir sama dengan buaya muara. Sumber: http:www.fao.orgdocrep006T0226Et0226e07.HTM Gambar 19 Perkembangan titik embrio telur alligator. 4. Peletakan telur Wadah untuk meletakkan telur adalah keranjang plastik berukuran 0,6 m x 0,4 m x 0,2 m memiliki lubang bagian bawah dan sisi-sisinya yang berfungsi untuk sirkulasi udara dalam keranjang. Satu keranjang berisi 25-30 butir tergantung jumlah telur yang akan ditetaskan. Telur yang akan ditetaskan disusun di atas Sphagnum moss dengan ketebalan ± 5 cm Gambar 20. Telur-telur tersebut diletakkan secara vertikal, di susun enam baris dan diberi jarak jarak tiap baris ± 1,5 cm dan tiap baris terdapat lima butir telur dengan jarak antar telur 2 cm Gambar 21. Penggunaan Sphagnum moss sebagai media penetasan karena Sphagnum moss bersifat mudah menyerap dan menyimpan air sehingga kelembaban telur tetap terjaga, serta dapat menghasilkan panas yang stabil. Hendarsyah 2010 menyebutkan bahwa Sphagnum moss memiliki kelebihan yaitu dapat menyerap air dan mempertahankan air dengan baik, serta dapat menjaga kelembapan media dan lingkungan sekitar. Gambar 20 Teknik peletakan telur ke dalam keranjang. 5. Penomoran Penomoran merupakan kegiatan penandaan berupa angka pada telur, dilakukan untuk memudahkan pemantauan perkembangan embrio dan waktu penetasannya. Pemberian nomor menggunakan spidol permanen agar tidak mudah hilang atau luntur. Penomoran dilakukan setelah telur diletakkan dan disusun dalam keranjang sebelum ditimbun kembali dengan Sphagnum moss. Teknik penomoran dilakukan secara urut mulai dari kiri atas baris pertama hingga baris ke enam dengan sistem penomoran bentuk ular Gambar 21. Untuk memudahkan pemantauan, pada keranjang telur diberi keterangan mengenai tanggal pengumpulan telur, jumlah telur dalam keranjang, dan asal kandang telur-telur tersebut diperoleh. Gambar 21 Teknik penomoran telur buaya. Telur diletakkan di atas media penetasan Sphagnum moss setinggi 5 cm 20 cm 40 cm 60 cm 6. Pemindahan keranjang telur ke rak penetasan Telur-telur yang telah dimasukkan dalam keranjang dan telah dilakukan penomoran ditimbun kembali dengan Sphagnum moss dengan ketebalan ± 5 cm kemudian keranjang tersebut di susun dalam rak kayu dan siap untuk ditetaskan. Rak kayu yang terdapat di penangkaran CV Surya Raya hanya terdiri dari satu tingkat sehingga hanya dapat menampung enam keranjang Gambar 22. Jika jumlah telur yang akan ditetaskan lebih dari enam keranjang maka petugas penangkaran meletakkan keranjang telur yang siap ditetaskan di atas keranjang kosong yang berukuran sama dengan keranjang telur. Tinggi rak adalah 20 cm dari lantai bertujuan agar sirkulasi udara dan temperatur udara dapat keluar masuk keranjang. Bolton 1989 menyebutkan ventilasi dan sirkulasi udara harus sesuai untuk mencegah telur tidak kekurangan oksigen dan untuk pembuangan karbondioksida. Bola lampu di gantung di atas keranjang telur dengan jarak 20 cm untuk memanaskan telur. Gambar 22 Peletakan keranjang telur ke rak penetasan. 7. Pemantauan Pemantauan yang dilakukan petugas penangkaran buaya CV Surya Raya meliputi pemantauan terhadap ruang inkubator dan media penetasan Sphagnum moss . Pemantauan ruang inkubator dilakukan dengan memeriksa kondisi ruangan agar suhu tidak berfluktuasi. Pemantauan terhadap Sphagnum moss bertujuan untuk mengetahui kelembabannya. Kelembaban Sphagnum moss diperiksa setiap hari oleh petugas dengan memegang kondisi Sphagnum moss, jika kering maka petugas akan menyemprotkan memercikan air dengan bantuan botol spray. Suhu yang digunakan untuk menetaskan telur di penangkaran CV Surya Raya adalah 32 °C dan kelembaban 90 . Suhu dan kelembaban tersebut sudah sesuai dengan yang disebutkan Bolton 1989, bahwa untuk mencegah telur dari kehilangan air dan untuk membantu dalam proses pemecahan kimia cangkang maka kelembaban relatif yang diperlukan untuk menetaskan telur adalah 90-100 dengan kisaran suhu optimal sebesar 31-32 °C atau setidaknya dalam batas aman yaitu 28-34 °C. Webb dan Manolis 1989 menyebutkan bahwa pada tingkat embrio berkembang tergantung pada temperatur, dipengaruhi oleh gas O 2 dan CO 2 dan kelembaban di dalam sarang. Untuk menjaga agar suhu dan kelembaban ruang inkubator tetap stabil maka ruang inkubator didisain tertutup dengan dinding dilapisi stereoform. 8. Telur menetas Data tahun 2008-2009 menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur di penangkaran CV Surya Raya berbeda-beda, untuk buaya muara berkisar 87-125 hari, buaya air tawar 81-92 hari dan buaya supit tidak berhasil menetas, dengan daya tetas telur untuk buaya muara yaitu 73 , buaya air tawar 18 , dan buaya supit 0 . Telur yang siap menetas ditandai dengan suara- suara ciatan anak buaya yang lama kelamaan akan memperlihatkan retakan- retakan kecil pada permukaan telur. Kisaran waktu penetasan telur di penangkaran buaya CV Surya Raya sudah sesuai dengan yang disebutkan Bolton 1989, bahwa inkubasi membutuhkan waktu sekitar 9-13 minggu tergantung pada spesies dan suhu. Hasil perhitungan daya tetas telur menunjukkan bahwa keberhasilan penetasan telur buaya di penangkaran ini relatif kecil. Kegagalan penetasan disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu sebagian telur tidak dibuahi, kurang teliti dalam penyortiran telur misalnya terdapat telur yang retak, kesalahan dalam peletakan telur posisi telur di inkubator tidak sama dengan posisi telur di sarang, respon telur terhadap suhu dan kelembaban berbeda-beda, serta suhu dan kelembaban tidak tepat. Bolton 1989 menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penetasan telur antara lain temperatur tepat dan tetap konstan, kelembaban tinggi, arah peletakkan telur, dan telur tidak dipegang sama sekali hingga tiba saatnya telur menetas. Gumilar 2007 menyebutkan tanda-tanda telur mulai memasuki hari-hari akhir masa inkubasi antara lain apabila petugas mengetuk pelan telur yang diperkirakan siap menetas kemudian dari dalam telur terdengar ketukan balasan atau suara-suara ciatan anak buaya, adanya retakan-retakan kecil di permukaan telur, telur menjadi ringan, dan warnanya menjadi sangat putih. Jika cangkang telur yang sudah retak namun sulit membuka maka petugas akan membantu melepaskan cangkang telur dari tubuh anakan buaya tersebut dengan sangat hati-hati. 9. Penanganan anakan buaya pasca penetasan Anakan buaya yang baru menetas langsung diletakkan dalam box plastik kering berukuran 0,5 m x 0,3 m x 0,5 m. Selanjutnya anakan buaya diletakkan di dalam ruang tertutup agar terhindar dari stres, fluktuasi suhu dan kelembaban. Ruang untuk meletakkan anakan buaya diberi penerangan lampu 100 watt 34 °C untuk memberi kehangatan. Kebutuhan utama yang diperlukan anakan buaya yang baru menetas adalah kehangatan dan jauh dari keramaian pengasingan diri. Bolton 1989 menyebutkan anakan yang baru menetas harus dijauhkan dari air minimal 24 jam setelah menetas agar selaput membran tipis cepat mengering dan mencegah infeksi. Perlakuan anakan buaya tersebut berbeda dengan yang dilakukan di penangkaran PT Ekanindya Karsa. Menurut Gumilar 2007, anakan buaya yang baru keluar dibilas dengan air hangat yang telah dicampur dengan larutan kalium permanganat non pekat PK 1 bertujuan untuk membersihkan lendir-lendir dan darah yang berada di sekujur tubuhnya. Anakan buaya kemudian dimasukkan ke dalam bak yang berisi sedikit air dengan posisi bak agak miring ± 60 °C dari lantai bertujuan agar anakan buaya tidak selalu tergenang air di dalam bak tersebut, kemudian diberi penerangan ± 100 watt 34 °C untuk memberi kehangatan yang cukup bagi mereka. Bolton 1989 menyebutkan bahwa secara umum, pertumbuhan yang cepat pada buaya muda tergantung pada suhu tubuh tinggi, asupan makanan tinggi dan manajemen rutin dalam meminimalkan penyakit dan stres. Menurut Land 1981 dalam Bolton 1989 menemukan buaya air tawar di New Guinea, kurang dari dua minggu lebih memilih suhu 33,4-33,9 °C. Suhu tersebut adalah 3-4 °C lebih tinggi dari suhu yang lebih disukai remaja dan hewan yang lebih tua. Hal tersebut berarti secara tidak langsung suhu yang rendah dapat menyebabkan kematian pada anakan buaya. Anakan buaya yang baru menetas masih memiliki cadangan kuning telur sehingga tidak diberi makan dalam beberapa hari setelah menetas. Bolton 1989 menyebutkan perawatan rutin yang dilakukan untuk anakan buaya terdiri dari pemberian pakan, membersihkan kandang, dan menjaga buaya dari segala gangguan. Penanganan anakan buaya yang baru menetas harus dilakukan secara hati-hati karena dalam penangkaran berbeda dari habitat aslinya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari alam maka penanganannya harus lebih hati-hati dan lebih baik.

5.5 Pengelolaan Pemanfaatan Hasil