204 tidak setuju. Hal ini berarti tetap belum mencapai 23 suara yang ditentukan untuk dapat mengambil keputusan bersama. Pada tanggal 2 Juni
1959 anggota konstituante mengadakan pemungutan suara ujang lagi. Hasilnya tetap tidak mencapai tidak mencapai ketentuan yaitu: 263 setuju dan
203 tidak setuju. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan
reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Pemungutan suara sampai diulang - ulang dan tetap mengalami kegagalan, jelas membawa tidak yang membahayakan keselamatan negara
dan bangsa. Membahayakan karena suasana di dalam gedung konstituante merembes ke luar gedung yang akan berakibat sesuatu yang tidak diharapkan
kalau tidak segera dicegah. Untuk mencegah hak tersebut, maka Jenderal Nasution Kepala Staf TNI Angkatan Darat KASAD atas nama Pengysa
Perang Pusat PEPERPU, mengeluarkan keputusan pada tanggal 3 Junni 1959, yang berisi melarang kegitan Politik. Keputusan PEPERPU itu
memang membawa dampak adanya ketenangan di berbagai daerah, namun belum menyelesaikan persoalan dan perselisihan yang terjadi di konstituante.
B. Bangkitnya Angkatan Darat Sebagai Kekuatan Politik Utama Dalam
Negara Munculnya Angkatan Darat sebagai kekuatan politik berawal dari
diangakatnya kembali Kolonel Nasution sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat KASAD. Program pertama yang dilakukan adalah pemantapan dan
konsolidasi intern terutama terhadap komadan - komandan militer regional.
Tantangan yang muncul adalah timbulnya pembangkan beberapa militer daerah pada pertengahan tahun 1956 yang kemudian berlanjut pada
pemberontakan - pemberontakan daerah. Pergolakan-pergolakan daerah ini dapat diatasi. Usaha Angkatan Darat yang demikian berhasil dalam mengatasi
permasalahan daerah ini tidak saja memperkuat posisi Angkatan Darat dengan politik, melainkan mendekatkan diri dalam hubungan dengan
Presiden Soekarno.
19
Hubungan Soekarno dengan Angkatan Darat dalam hal ini Nasutio, ditandai oleh adanya kepentingan yang sama. Terdapat kesamaan pandangan
antara Nasution dan Soekarno dalam masalah stabilitas pemerintahan, peranan partai politik dan pemberlakukan keadaan darurat perang. Hubungan
ini dimulai pada tanggal 21 Februari 1957, dihadapan para pemimpin partai politik dan tokoh masyarkat di Jakarta, Presiden Soekarno mengemukakan
gagasan mengenai pembentukan Dewan Nasional. Pembentukan badan ini ditujukan untuk memberikan nasihat mengenai soal - soal pokok kenegaraan
dan kemasyarakatan kepada pemerintah. Dewan ini terdiri dari beberapa golongan masyarkat, menteri menteri yang dianggap perlu, pejabat - pejabat
militer dan sipil. Dewan ini langsung dipimpin oleh Presiden, Presiden berhak mengangkat dan memberhentikannya.
Dengan dimasukannya para Staf Angkatan dan Kepala Kepolisian negara dalam Dewan Nasional maka sesungguhnya militer telah memperoleh
legitimasi dan fungsi sosial - politik bersama golongan lainnya. Masuknya
19
Yahya A. Muhaimiun, Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta, Gajah Mada University Pers, hal. 85
perwakilan militer dalam dunia politik menimbulakan perdebatan bagi partai - partai politik Masyumi, Partai Katolitk, PSI pemerintah dan Badan
Konstitunate. Mereka berpendapatan bahwa merubah struktur ketatanegaraan bukanlah wewenang presiden melainkan Badan Konstituante. Sehingga
keputusan Presiden Soekarno untuk membentuk Dewan Nasional dianggap tidak konstitusional. Reakasi terkuat berasal daerah, terutama Wilayah
Indonesia Timur yang berada dibawah komando Letnan Kolonel Sumual. Ia menuntut supaya Dewan Nasional diganti menjadi senat yang anggota terdiri
dari 70 anggotanya diambil dari daerah - daerah, ia juga menuntut supaya Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional dipimpin oleh Soekarno -
Hatta. Semua tuntutan ini di tolak oleh Presiden sehingga membuat Letnan Kolonel Sumual memproklamasikan PRRI.
Pergolakan politik militer dengan pemerintah khususnya Badan Konstituante berlanjut pada pembahasan pembentukan undang - undang baru.
Pada tahun 1957, Nasution mengusulkan di depan Dewan Nasional supaya Indonesia kembali ke UUD 1945, tetapi usulan tersebut belum mendapat
dukungan yang diharapkan. Akan tetapi ketika keadaan politik dan ekonomi Indonesia memburuk antara lain karena pemberontakan - pemberontakan di
daerah dan karena aksi - aksi untuk merebut kembali Irian Barat. Militer mulai melancarkan kampanye kembali ke UUD 1945 dengan menggunakan
potensi mobilisasi masyarakat melawan Belanda dalam rangka merebut kembali Irian Barat. Adanya mobilisasi masa ini menarik partai-partai politik
untuk terserap dalam perjuangan militer melawan Belanda. Hal ini berarti
partai-partai politik secara tidak langsung telah mendukung militer dalam politiknya. Pada bulan Agustus 1958, Nasution sekali lagi mengusulkan
pemberlakuan kembali UUD 1945 di depan Dewan Nasional. Usulan ini kemudian diterima oleh Dewan Nasional dan diteruskan kepada kabinet
sebagai kekuatan yang mengikat pada tanggal 19 Februari 1958. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara.
Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini
harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 menghasikan 264 suara setuju dan
204 tidak setuju. Hal ini berarti tetap belum mencapai 23 suara yang ditentukan untuk dapat mengambil keputusan bersama. Pada tanggal 2 Juni
1959 anggota Konstituante mengadakan pemungutan suara ulang. Hasilnya tetap tidak mencapai tidak mencapai ketentuan yaitu: 263 setuju dan 203
tidak setuju. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang
ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD. Pemungutan suara sampai diulang-ulang tetap mengalami kegagalan,
jelas membahayakan keselamatan negara dan bangsa. Membahayakan karena suasana di dalam gedung konstituante merembet ke luar gedung yang akan
berakibat sesuatu yang tidak diharapkan. Untuk mencegah hal tersebut, maka Jenderal Nasution Kepala Staf TNI Angkatan Darat KASAD atas nama
Penguasa Perang Pusat PEPERPU, mengeluarkan keputusan pada tanggal 3
Juni 1959, yang berisi melarang kegitan Politik. Keputusan Peperpu itu memang membawa dampak adanya ketenangan di berbagai daerah, namun
belum menyelesaikan persoalan dan perselisihan yang terjadi di konstituante. Untuk itu diperlukan langkah guna menyelesaikan persoalan sercara mantap.
Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 Presiden Ir. Sukarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Hal ini diikuti oleh
Jenderal Nasution, kepala staf Angkatan Darat, mengeluarkan maklumat mendukung Dekrit Presidan 5 Juli 1959, sekalipun mengeluarkan Perintah
Harian yang di tujukan kepada seluruh anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Dalam perkembangannya Mahkamah Agung
mengeluarkan pernyataan yang membenarkan dekrit tersebut dengan membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu 1955.
C. Munculnya Demokrasi Terpimpin