Pengakuan Atas Masalah Kekuasaan

dipersoalkan ke kategori hak-hak dasar warga negara. Asmara Hadi GPPS juga menunjuk pada dua hal yang tidak ada dalam laporan, yakni hak atas hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati.

C. Pengakuan Atas Masalah Kekuasaan

Pada tahun 1945, selama perdebatan sekitar undang-undang:dasar di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, para pemimpin Indonesia cenderung mengidealisasikan negara Indonesia yang baru terbentuk itu dan terlalu meremehkan masalah kekuasaan. Mereka tidak membayangkan perlunya membatasi kekuasaan pemerintah atau menjamin HAM untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, meskipun baik Hatta telah mengingatkan. Namun, sesudah pengalaman 14 tahun di dalam negara sendiri; sebagian besar anggota Konstituante - terutama dalam perdebatan pada tahun 1958 mengenai HAM dan pada 1959 tentang kembali ke UUD 1945 - menunjukkan bahwa mereka sudah memahami sepenuhnya bahwa kekuasaan pemerintahan perlu dibatasi. Mayoritas anggota Konstituante menyadari bahwa kekuasaan negara harus dibatasi oleh HAM dan oleh the rule of law. dan bahma pemerintah harus mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaannya. Pada tahun 1959, Pemerintah menyetujui tuntutan Konstituante supaya amandemen pada UUD 1945 yang membatasi kekuasaan pemerintah dimasukkan ke dalam Piagam Bandung dan supaya-piagam ini diakui mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan ketentuan-ketentuan di dalam UUD itu sendiri. Segala pembatasan, segala peinyataan hak, segala perincian tugas negara di dalam Undang-Undang Dasar tidak lain daripada kata-kata kosong jikalau ... tidak didukung oleh kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak menipakan pemyataan serta penjelmaan daripada apa yang hidup di dalam masyarakat sendiri 15 . Mungkin Konstituante seharusnya lebih memperhitungkan pusat-pusat kekuasaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Tetapi, Konstituante selalu mengadakan komunikasi yang terbuka dengan Pemerintah. Menteri-menteri sering mengikuti sidang pleno. Setelah setiap kali sidang pleno, Ketua Badan Konstituantesscara berkala memberi laporan kepada dan berkonsultasi dengan Presiden. Pada tanggal 30 Juli 1958, Ketua Wilopo menyatakan dalam sidang pleno bahwa para pemimpin Konstituante bersama dengan Pemerintah bersepakat bahwa Badan Konstituante harus menyelesaikan rancangan undang-undang dasar baru selambatlambatnya pada 26 Maret 1960, yakni sebelum pembentukan Parlemen baru hasil pemilihan umum yang akan segera dilaksanakan. Pada hari itu juga, Perdana Menteri Djuanda menyampaikan usul untuk mempercepat kerja Konstituante. Karena itu Badan Konstituante memang mempercepat pekerjaannya dengan memperluas wewenang Panitia Persiapan untuk mengambil keputusan mengenai hal-hal yang akan dibahas dalam sidang pleno. Pada awal sidang pleno pertama tahnn 1959, Badan Konstituante mengubah acaranya untuk mendengar usul Pemerintah yang disampaikan 15 Ibid, hal. 412 oleh Presiden Sukarno pada tanggal 22 April 1959. Usul tersebut kemudian dibahas dan dipertimbangkan dengan panjang lebar. Perlu dicatat, banyak anggota Konstituante yang memperhitungkan hubungan kekuasaan yang berlaku dan karena itu bersedia menerima usul kembali ke UUD 1945, termasuk pengangkatan wakil-wakil Angkatan Bersenjata yang akan duduk di MPR dan badan-badan perwakilan lainnya. Tetapi kesediaan Bdan Konstituante unrak menerima usul Pemerintah masih ada baratnya; Badan Konstituante tidak dapat mencabut mandat yang telah diberikan kepadanya atau pun sumpah yang telah diangkat oleh para anggotanya untuk mengusahakan pemerintahan konstitusional dan membuat undang-undang dasar secara bebas. Demikianlah Badan Konstituante menggariskan persyaratan untuk menyesuaikan diri dengan kekuasaan yang ada 16 . Ditinjau dari perkembangan-perkembangan kemudian, mungkin lebih bijaksana jika Konstituante, tanpa melepaskan mandatnya, menggunakan kedua panitia yang dibentuk oleh Pemerintah yang pertama terdiri dari menteri-menteri, lalu yang kedua terdiri dari para ahli hukum konstitusional dan menyetuiui pembentukan panitia gabungan yang mencakup kedua panitia pemerintah itu untuk merancang undang-undang dasar yang kemudian dapat dibahas dan diputuskan di dalam sidang pleno. Badan Konstituante juga dapat menerima wakil Angkatan Darat dalam panitia perancang. Dengan demikian, Angkatan Darat akan terlibat dalam usaha menyusun rancangan undang- undang dasar dan mungkin akan lebih merasa terikat pada rumusan mengenai 16 Ibid, hal. 144 bentuk pemerintahan konstitusional. Akan tetapi, perlu juga diperhitungkan kecenderungan Angkatan Darat untnk membentuk pemerintahan otoriter. Karena adanya kecenderungan tersebut, maka sekalipun terlibat dalam proses pembuatan undang-undang dasar, kemungkinan akan membangkitkan rasa keterikatan Angkatan Darat pada bentuk pemerintahan konstitusional kecil sekali. 30

BAB IV PEMBUBARAN BADAN KONSTITUANTE