Di sini Sukarno tidak berpegang pada pendapat bahwa demokrasi seperti yang terdapat di negara-negara Barat secara hakiki tidak cocok bagi
kepribadian Indonesia. Tetapi, dalam tahun 1950-an ia melihat bahwa di bawah demokrasi seperti itu ada kemungkinan bahwa golongan yang kuat
akan mengambil keuntungan dari kelemahan golongan lain dengan memerasnya. Karena itu, ia mendesak supaya golongan yang lebih kuat diberi
batasan-batasan sementara dan emansipasi golongan yang lemah diberi prioritas utama. Pada tahun 1956 ia memperkirakan bahwa pada tahun 1966
atau 1976 golongan lemah ini akan cukup terbebaskan sehingga mampu mencegah terjadinya pemerasan terhadap diri mereka; dengan demikian, pada
tahapan itu, demokrasi seperti yang berlaku di negaranegara modern di seluruh dunia akan cocok-bagi rakyat Indonesia Namun, pelaksanaan
pemikiran Sukarno mengenai pola negara integralistik menghalangi emansipasi golongan yang lemah, dan hanya memperkuat golongan yang
berkuasa, bertentangan dengan slogan-slogan mengenai keadilan sosial dan konstitusionalisme.
B. Penegasan Komitmen Terhadap HAM
Konstituante melakukan pembahasan mengenai mengenai HAM empat kali. Diskusi pertama berlangsung dalam sidang pleno tanggal 20 Mei hingga
13 Juni 1958 bersama dengan diskusi mengenai materi yang akan dimasukan ke dalam UUD. Diskusi kedua berlangsung di dalam Panitia Persiapan
Konstusi dan Subkomisi HAM yang dibentuk oleh Panitia persiapan Kostitusi. Subkomisi yang terdiri dari 43 anggota ini dibentuk pada tanggal
21 Agustus 1957 dengan tugas menyelengggarakan diskusi awal tentang HAM. Subkomisi ini mengadakan beberapa rapat antara tanggal 21 Agustus
dan 2 September 1957. Pada tanggal 4 November 1957 mendiskusikan dibentuk Panitia
Perumus untuk menyimpulkan hasil perdebatan tentang HAM dan merumuskan rancangan keputusan tentaug HAM yang akan diambil oleh
sidang pleno. Laporan Panitia Perumus disampaikan pada tanggal 19 Agustus 1958. Laporan ini berisi 88 perumusan yang menyangkut 24 hak asasi yang
berasal dari daftar I; 18 hak warga negara; 13 hak tambahan yang belum diputuskan apakah akan dimasukkan sebagai hak asasi manusia atau hak
warga negara; hak yang masih diperdebatkan; hak yang dihilangkan atau digabung dengan hak lainnya. Untuk tiap kategori ini juga diusulkan prosedur
terbaik supaya dapat diambil keputusan. Pada laporan tersebut akhirnya terdaftar 14 desideratum hal yang
diperlukan namun belum ada dan persoalan HAM tambahan yang muncul dalam sidang pleno dan belum disebutkan di dalam keempat daftar hak yang
semula disusun Panitia Persiapan Konstitusi untuk dipertimbangkan di dalam Konstituante. Desiderata tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hak jaminan kesehatan.
2. Hak untuk menikah menurut agama masing-masing.
3. Jaminan atas berlakunya hak dasar.
4. Jaminan terhadap anak-anak dan orang tua.
5. Hak-hak wanita, termasuk hak dalam perkawinan.
6. Hak atas Pasal 16 dan 25 Deklarasi Universal HAM 149
7. Jiwa Undang-Undang Dasar 1950 Pasal 28 3 hak buruh mendapat upah
yang layak. 8.
Hak dasar yang muncul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan ekonomi terpimpin.
9. Hak dan kewajiban bagi orang asing yang ingin menjadi warga negara.
10. Peninjauan asas domain yang menjadi altibat dari politik penjajahan untuk
dijadikan sumber pemberian erfpacht cultures. 11.
Hak-hak pemeliharaan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar. 12.
Persoalan pembatasan pelaksanaan hak asasi dalam keadaan perang dan darurat perang.
13. Hak memilih dan dipilih.
14. Kebebasan pers.
13
Sayangnya, hak-hak tersebut tidak dibahas lebih lanjut, juga tidak diajukan untuk diputuskan dengan pemungutan suara atau dikembalikan
kepada Panitia Persiapan Konstitusi untuk dibuat perumusan akhirnya. Oleh karena itu, hak-hak tersebut harus diinterpretasikan sebagai pernyataan dari
pandangan umum yang kuat yang muncul dalam Badan Konstituante bahwa semua hak itu harus diakui.
Dalam pembahasan mengenai laporan ini partai-partai umumnya menyatakan penghargaan mereka dan menerimanya sebagai laporan
pendaftaran. Tetapi, ada beberapa anggota yang menyesal karena usul mereka
13
Ibid, hal. 243
tidak dimasukkan. Sjafiuddin Penyaluran mengusulkan hak untuk tidak kehilangan kewarganegaraan dan meminta supaya hak warga negara untuk
dapat menuntut pelanggaran seseorang pejabat atau petugas terhadap hak-hak kewarganegaraannya ditambahkan pada hak untuk menerima ganti rugi
karena penangkapan yang melanggar hukum butir 23 pada Daftar I. Ia juga menginginkan tambahan , mengenai sanksi yang manusiawi dan hak warga
negara untuk menarik wakil-wakil mereka
14
. Yahya Yacub PKI menyarankan supaya Panitia Perumus menyusun
daftar hak yang diusulkan untuk dicabut selama perdebatan. Fraksinya mengusulkan supaya usul-usul berikut ini dicoret dari kelompok hak-hak
yang dipersoalkan: larangan bagi perempuan untuk bersuami lebih dari seorang; larangan propaganda antiagama; hak milik sebagai anugerah dari
Tuhan; milik umum sebagai hal yang suci dan tak dapat diganggu gugat: pemikiran Islam bahwa hak milik merupakan anugerah dari Tuhan yang
mempunyai fungsi sosial demi keselamatan manusia dan masyarakat: nilai yang amat tinggi yang diberikan oleh agama Islam pada upaya dan
pengorbanan kaum buruh: hak pengusaha untuk menutup perusahaan dan memecat buruh. Da Costa Partai Katolik mengulangi pandangan fraksinya
supaya ketentuan Islam menjadi agama resmi negara dan ketentuan mengenai hak untuk menaati hukum Islam dihapuskan dari kelompok hak yang masih
dipersoalkan. Ia juga menegaskan tuntutan fraksinya supaya hak berdemonstrasi dan mogok dipindahkan dari kategori hak yang masih
14
Ibid, hal. 244
dipersoalkan ke kategori hak-hak dasar warga negara. Asmara Hadi GPPS juga menunjuk pada dua hal yang tidak ada dalam laporan, yakni hak atas
hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati.
C. Pengakuan Atas Masalah Kekuasaan