Skema Penerbitan Sekuritisasi Syariah

1. Skema Penerbitan Sekuritisasi Syariah

  Proses sekuritisasi asset syariah secara umum tidaklah berbeda dengan proses sekuritisasi asset konvensional. Namun demikian tidak seluruh jenis asset yang disekuritisasi secara konvensional dapat disekuritisasi secara syariah. Hal ini dikarenakan dalam transaksi syariah diharamkan adanya pengalihan asset, pembayaran, yang mengandung unsur riba, judi dan gharar. Selain itu juga tidak semua jenis asset dapat diperjualbelikan.

  Berbeda dengan sekuritisasi konvensional, dalam skema transaksi sekuritisasi syariah pihak yang melakukan sekuritisasi tidaklah membeli receivablespiutang. Terhadap transaksi pengalihan yang masih bersifat piutang, tidak terdapat perbedaan pendapat ulama jika transaksi tersebut menggunakan akad hiwalah. Namun untuk transaksi yang sifatnya jual beli piutang (bay‟al-dayn) terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Menurut Ibn Taymiyah dan Ibnul Qayyim membolehkan transaksi tersebut dengan syarat tidak ada riba (at par). Sedangkan jumhur ulama melarang transaksi tersebut karena ada unsur risiko debitur tidak dapat membayar (gharar).

  Secara syariah, di Indonesia jual beli utang-piutang (bay al dayn) tidak diperkenankan. Untuk itu dalam skema pembentukan dan penerbitan efek beragun aset syariah harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terdapat jual beli piutang dari kreditur awal kepada pihak yang melakukan sekuritisasi.

  Pelaksanaan sekuritisasi syariah dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dengan atau tanpa SPV. Beberapa skema transaksi yang dapat dilakukan dalam rangka sekuritisasi syariah antara SPV dan Originator menggunakan akad ijarah, mudharabah, dan musyarakah sebagai akad utama. Selain akad-akad utama, dalam skema penerbitan sekuritisasi syariah juga mencakup akad-akad pendukung seperti wakalah, hawalah dan kafalah.

  Dari akad-akad utama yang digunakan, akad ijarah relatif lebih banyak digunakan dibandingkan akan mudharabah maupun musyarakah. Akad ijarah lebih Dari akad-akad utama yang digunakan, akad ijarah relatif lebih banyak digunakan dibandingkan akan mudharabah maupun musyarakah. Akad ijarah lebih

  Untuk akad mudharabah, walaupun rasio bagi hasil antara investor dan pengelola investasi telah ditetapkan, akan tetapi risiko yang dihadapi oleh investor terutama berkaitan dengan ketidakpastian jumlah aliran kas yang diterimanya. Hal ini disebabkan oleh aliran kas tersebut berkaitan dengan aliran kas dari underlying aset yang bersifat tidak tetap.

  Selanjutnya, untuk akad musyarakah, tingkat risiko bagi investor lebih besar dibandingkan dua akad sebelumnya. Hal ini dikarenakan investor dianggap merupakan partner dari pengelola investasi sehingga setiap risiko yang dihadapi oleh pengelola investasi didistribusikan secara proporsional kepada investor.

  Adapun akad wakalah diperlukan untuk mengakomodir peran pihak yang mewakili kepentingan investor, misalnya dalam penerimaan pendapatan dari aliran kas yang berasal dari underlying asset. Akad hawalah diperlukan dalam hal terdapat skema penjaminan oleh pihak tertentu terhadap transaksi sekuritisasi aset syariah.

  Skema pembentukan sekuritisasi asset dengan menggunakan system ijarah lease contract with or without tranching, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

  a. Tahapan Islamic Asset Securitazation (ijarah lease contract without

  tranching):

  1) Originator atau kreditur awal memberi sewa berbagai macam jenis existing

  asset seperti mobil kepada para penyewa dengan akad ijarah;

  2) Originator atau kreditur awal mensekuritisasi kontrak ijarah dari semua

  mobil yang disewakan tanpa mengklasifikasi jenis mobil;

  3) Terbit sebuah sertifikat yang dapat diperjualbelikan;

  4) Investor membeli sertifikat at-discount (lihat Hadist No. 2b Fatwa No.

  46DSN-MUIII2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah).

  b. Tahapan Islamic Asset Securitization (ijarah lease contract with tranching):

  1) Originator atau kreditur awal memberi sewa berbagai macam jenis mobil

  kepada para penyewa dengan akad ijarah;

  2) Originator atau kreditur awal mengklasifikasi mobil yang disewakan

  berdasarkan jenisnya;

  3) Originator atau kreditur awal mensekuritisasi kontrak ijarah dari masing-

  masing kelompok (jenis) mobil;

  4) Terbit sertifikat dari masing-masing kelompok (jenis) mobil yang dapat

  diperjualbelikan;

  5) Investor membeli sertifikat dari kelompok (jenis) mobil tertentu at-discount

  (lihat Hadist No. 2b Fatwa No. 46DSN-MUIII2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah).