d. Antara dua orang yang berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan
dan bibipaman susuan. e.
Antara dua orang yang berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin. Larangan kawin yang ada hubungan dengan agama, misalnya dalam agama Islam ada larangan bagi seoarang laki-laki tidak boleh mempunyai
istri lebih dari empat orang. 5.
Berlaku asas monogami Seorang suami hanya dapat mempunyai satu orang istri. Oleh karena itu calon
mempelai laki-laki tidak dapat melangsungkan perkawinan lebih dari satu orang sekaligus, kalaupun nantinya sisuami hendak beristri lebih dari satu, harus ada alasan
yang sah untuk itu diatur dalam Pasal 9 UU Perkawinan. 6.
Waktu tunggu bagi janda yang hendak menikah lagi. Peraturan tentang waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 11 UU Perkawinan,
khusunya bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya, baik karena kematian suaminya maupun karena perceraian.
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Suatu Perkawinan
Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang
terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami
Universitas Sumatera Utara
mempunyai hak, begitu pula istri mempunyai hak. Di sisi lain suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula si istri mempunyai beberapa kewajiban.
25
Dengan melangsungkan perkawinan secara sah menurut agamanya, maka perkawinan itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami istri dalam rumah
tangga. Hak dan kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 30-34 Undang-undang Perkawinan.
26
1. Dalam Pasal 30 UU Perkawinan yang berbunyi :
“suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat”.
Tujuan keluhuran perkawinan sesuai dengan Pasal 30 UU Perkawinan ialah suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Rumah tangga sebagai unit yang menjadi susunan masyarakat adalah hal yang tak dapat dipungkiri baik hal itu ditinjau
dari sosiologi budaya keluarga rumah tangga. Serta rumah tangga itu pula yang menjadi pelanjutan kehidupan bangsa dan masyarakat yang melahirkan keturunan
yang akan melanjutkan masyarakat yang baik di masa yang akan datang. Dalam arti keluhuran tersebut adalah sesuatu kaitan yang lebih bersifat human soul yang melekat
pada kesadaran spiritual dari pada seseorang dan pada suatu norma hukum yang dapat dipaksakan.
25
Amir Syarifuddin, Op.Cit. hal.159
26
Gatot, Supramono.Op.Cit. hal. 42
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian menegakkan rumah tangga sebagai sendi masyarakat yang diliputi suasana keluhuran, yang artinya semua manusia di manapun mengenal arti
keluhuran akan membawa semangat dan perubahan penghayatan akan arti suami istri dalam rumah tangga sebagai misi yang luhur. Dalam suatu titik pertautan dalam
mengartikan keluhuran terdapat persamaan di dalam kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang yaitu :
a. Setiap hak yang luhur menghendaki pengorbanan dalam rumah tangga ditentukan
oleh skala rumah tangganya. Yang paling jelas dalam maksud tersebut perkawinan adalah pembinaan
penyatuan dua jenis manusia yang mempunyai perbedaan, perbedaan tersebut seperti dalam status sosial, ekonomis, dan perbedaan pendidikan, semua ini akan
membawa akibat yang tak dapat dipertemukan tanpa saling adanya pengorbanan yang selaras dengan tujuan tersebut.
b. Keluhuran tidak terlepas dari pengertian akhlak dan moral, karena itu suami-istri
berkewajiban memiliki budi pekerti yang tinggi sebagai sarana mewujudkan rumah tangga, maka tujuan Pasal 30 UU Perkawinan tersebut bahwa rumah
tangga di Indonesia haruslah rumah tangga yang berbudi dan bernurani luhur.
27
2. Pasal 31 UU Perkawinan berbunyi :
1 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2 Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3 Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
27
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 88
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 31 ayat 1 ini, sebagai manusia tidak ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan, suami dan istri adalah komponen yang sama pentingnya dalam
arti kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi keluarga. Perkawinan yang diatur dalam UU ini bertujuan mengantarkan kehidupan rumah tangga dalam suatu
pasangan yang sebaik mungkin, yang hidup dalam kedudukan harmoni yang sama, tanpa adanya perbedaan antara suami dan istri. Dengan demikian si istri tidak hanya
berfungsi untuk pemuasan hubungan seksual dan kemudian untuk menjaga anak-anak dari hubungan perkawinan tersebut. Istri juga dapat mempunyai tugas rangkap
sebagaimana halnya suami, yaitu dalam kehidupan sebagai istri yang sama kedudukannya dengan suami, dan di luar rumah tangga bisa mempunyai tugas
kemasyarakatan, baik sebagai guru, pegawai dan sebagainya. Pengukuhan kedudukan hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan
rumah tangga memberi suatu pertimbangan yang timbal balik antara suami dan istri. Mereka sama-sama mempunyai hak dalam segala urusan kehidupan rumah tangga.
Sehingga antara suami dan istri telah tercipta persamaan yang sempurna ditinjau dari segi teoritisnya.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa sebagai akibat dari jaminan persamaan kedudukan hukum dalam kehidupan rumah tangga, keyakinan persamaan itu belum
tentu membawa terciptanya dan terwujudnya kehidupan rumah tangga luhur dan harmonis. Bahkan bisa menjadi sebaliknya.
28
28
Ibid, hal. 91
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan ayat 2 Pasal 31 UU Perkawinan, tidak ada lagi perbedaan kemampuan istri untuk melakukan tindakan hukum tanpa bantuan suami. Jadi dengan
ketentuan kebebasan bertindak seorang istri telah dapat dengan bebas melakukan tindakan-tindakan hukum yang bersangkutan dengan kegiatan ekonomi dan bisnis
tanpa bantuan suami, dan ketentuan Pasal 31 ayat 2 dapat memberi keluasan kepada masyarakat itu sendiri untuk mencipta bentuk-bentuk baru sesuai dengan
perhubungan pertumbuhan sosial ekonomi bangsa Indonesia.
29
Ketentuan dalam Pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan ini, bahwa suami sebagai kepala keluarga adalah pantas dan beralasan, dan istri sebagai ibu rumah tangga
sesuai benar dengan fungsinya. Sebab sebagaimanapun sempurnanya status persamaan antara suami dan istri ditinjau dari kejadian kemanusiaan dan terdapat
perbedaan antara suami dan istri ditinjau dari fungsi yang telah ditentukan dalam kehidupan. Tetapi perbedaan itu tiada lain daripada perbedaan fungsi dalam arti
pemisahan perbedaan kedudukan itu tidak didasarkan pada perbedaan persamaan hak dan kedudukan dan tidak dimaksudkan bahwa suami itu lebih superior dalam rumah
tangga tetapi lebih bersifat cooperatif.
30
3. Dalam Pasal 32 UU Perkawinan berbunyi :
1 Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2 Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
ditentukan oleh suami istri bersama.
29
Ibid, hal. 92
30
Ibid, hal. 92
Universitas Sumatera Utara
Dalam ketentuan Pasal 32 ayat 1 UU Perkawinan ini sudah semestinya agar suami istri yang telah diikat dengan tali perkawinan mempunyai tempat kediaman
yang tetap. Apalagi dilihat dalam Pasal 30 UU Perkawinan yang bermaksud bahwa suami istri memikul kewajiban luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar susunan masyarakat. Sebab itu keharusan yang tak dapat dipungkiri untuk membina keluarga yang sejahtera spiritual dan materiil. Mereka harus mempunyai
tempat kediaman tetap dan hidup bersama dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban tersebut dengan baik.
31
Dalam ketentuan Pasal 32 ayat 2 UU Perkawinan, yang menentukan tempat kediaman bersama adalah suami, jadi dalam hal ini bahwa istri dapat mengabdi dan
wajib diam bersama suami dan harus selalu mengikuti suami ke manapun tempat kediaman yang pantas menurut pandangan suami. Secara hukum rumah tempat
kediaman ditentukan bersama oleh suami dan istri, teoritis nampaknya mudah, yaitu sepakat dalam menentukan tempat kediaman, tetapi bisa saja timbul masalah,
misalnya sebelum dilangsungkan perkawinan calon suami telah menyediakan sendiri rumah yang dimaksud untuk tempat tinggal bersama. Ternyata sesudah perkawinan
ternyata si istri tidak suka dan tidak menyetujui rumah tersebut, tentu dalam hal ini menimbulkan suatu masalah. Apabila si istri tidak puas dengan kemampuan
kesanggupan si suami, hal ini akan menimbulkan pertengkaran yang akan dijadikan sebagai alasan si istri meminta pemutusan apabila berdasarkan pada status sosial
ekonomi, tapi si istri tetap menuntut rumah tempat kediaman di luar kemampuan
31
Ibid, hal 99
Universitas Sumatera Utara
suaminya cukup alasan menolak tuntutan yang berlebihan dari istri, tapi jika ternyata alasan itu sudah dapat diduga akan membawa suasana suami istri tidak mungkin
dipertahankan dalam suatu kerukunan dan mempertahankan perkawinan itu lebih membawa suasana yang membiarkan rumah tangga kacau, sudah sewajarnya untuk
membubarkan perkawinan dengan jalan perceraian.
32
Dalam hal inilah berlaku Pasal 30 ayat 3 UU Perkawinan yaitu untuk perubahan rumah tempat kediaman harus disepakati antar suami dan istri, dan jika
pada waktu pertama sekali rumah tempat kediaman yang disediakan suami telah disetujui istri secara diam-diam dalam suatu jangka waktu yang relatif lama, berarti si
istri telah setuju akan tempat kediaman yang diberikan oleh suami tersebut.
33
4. Pasal 33 UU Perkawinan yang berbunyi :
“suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”.
Tujuan diaturnya ketentuan ini adalah untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut di atas. Sebab suatu perkawinan tanpa dilandasi kewajiban yang bertimbal
balik di antara suami istri, perkawinannya akan bubar, ibarat masing-masing pihak hanya bertepuk sebelah tangan.
34
5. Pasal 34 UU Perkawinan yang berbunyi :
1 Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2
Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
32
Ibid, hal. 100
33
Ibid, hal. 101
34
Gatot Supramono, Op. Cit, hal. 43
Universitas Sumatera Utara
3 Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Jika dihubungkan Pasal 33 dan Pasal 34 UU Perkawinan hubungan kekeluargaan suami istri dalam rumah tangga dapat dipisahkan dalam tiga hal
sekalipun pemisahan hak dan kewajiban antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan dalam kaitan kehidupan suami istri dalam suatu kesatuan arti yang
semestinya. Sebab kewajiban suami akan membawa juga ketimbalbalikan atas istri, dan kewajiban istri juga dengan sendirinya akan menerbitkan haknya terhadap suami,
walaupun demikian memperhatikan Pasal 33 dan 34 UU Perkawinan dapat dipisahkan hak dan kewajiban itu ke dalam :
35
1. Kewajiban suami-istri di antara sesama mereka dalam arti yang umum.
a. Suami-istri harus saling mengisi dan saling pasrah memenuhi tuntutan
biologis dalam pemuasan hubungan kelamin. Sebab bagaimanapun salah satu faktor perkawinan adalah untuk memuaskan dorongan tuntutan pemuasan
batin merupakan hal yang biasa dan wajar baik ditinjau dari segi biologis dan psikologis.
b. Harus saling hormat menghormati
Hal ini sudah sepantasnya, apalagi suami istri baik dalam baik dalam kehidupan rumah tangga dan di luar kehidupan rumah tangga mempunyai
kedudukan yang sama. Sama-sama manusia yang dilahirkan tanpa perbedaan derajat. Baik suami ataupun istri adalah manusia yang dianugrahi budi nurani,
35
M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal 102
Universitas Sumatera Utara
sebab itu tidak ada alasan untuk merendahkan derajat dan memperlakukan salah seorang di antara mereka dengan cara yang menghina dan menyakiti
hati. Suaminya harus tahu bahwa istrinya adalah manusia yang menjadi ibu rumah tangga yang mendampinginya dalam kehidupan. Demikian sebaliknya
istri harus menghargai suami sebagai kepala keluarga dalam kehidupan rumah tangga. Hormat menghormati yang dimaksud dalam pasal ini termasuk
kewajiban menghormati famili kerabat dekat keluarga kedua belah pihak. Oleh karena itu hormat menghormati ini harus dihubungkan dengan latar
belakang sosial kultural dan kepribadian bangsa kita. c.
Wajib setia di antara suami istri. Penafsiran setia dari segi hukum erat sekali hubungannya dengan pengertian amanah yang bersumber dari kesucian hati
untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang berupa penghianatan apa sajapun terhadap rumah tangga dan sanggup memelihara kepercayaan antara
yang satu dengan yang lain. d.
Kewajiban bantu membantu di antara suami-istri. Bantu membantu lahir dari batin, lebih luas dapat diartikan kewajiban
bekerjasama serta saling nasehat-menasehati, kewajiban tersebut berhubungan dengan apa yang telah dijelaskan dalam Pasal 31 ayat 1 UU Perkawinan. Kerjasama
berarti tidak ada kehidupan rumah tangga secara sepihak, segala sesuatu harus berdasarkan kata sepakat, rumah tangga sebagai lembaga resmi di antara suami istri
tidak lain daripada suatu pelaksanaan di mana antara suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga saling bantu membantu dan saling nasehat
Universitas Sumatera Utara
menasehati untuk suksesnya kehidupan rumah tangga dalam kebahagiaan yang kekal dan sejahtera.
36
2. Kewajiban suami dalam rumah tangga.
a. Melindungi istrinya.
b. Memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan
kemampuannya. Melindungi istri dalam arti moral termasuk memperlakukan istri dengan kasih
sayang dan kelembutan serta menjamin keselamatan istri dari segala macam ancaman yang berupa apapun yang datangnya dari luar sesuai dengan kemampuan suami, juga
memperlindungi kehormatan istri dalam kehidupan masyarakat dan menjamin ketentraman istri dalam keadaan kedamaian jasmani dan rohani dengan jalan
menghindarkan perlakuan yang menyakiti, baik secara kekerasan dan tindakan yang bersifat kasar.
Kewajiban suami memberi sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Hal ini merupakan tugas utama, pemenuhan kebutuhan yang
meliputi pemberian nafkah dan tempat kediaman serta pakaian yang wajar sesuai dengan kemampuan standar sosial ekonomi oleh suami.
37
3. Kewajiban istri dalam rumah tangga.
Sesuai dengan bunyi Pasal 34 ayat 2 UU Perkawinan yang berbunyi : “istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.
36
Ibid, hal. 103
37
M. Yahya Harahap, Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
Disamping dalam pasal tersebut ada juga kewajiban istri dalam rumah tangga sebagai berikut :
38
a. Menyiapkan makananhidangan keluarga sesuai dengan cara dan kebiasaan waktu
makan di mana mereka hidup. b.
Pemeliharaan dan pengasuhan anak-anak. c.
Pemeliharaan dan pengaturan rumah tempat kediaman yang sempurna, rapi dan bersih sebagaimana selayaknya sebagai rumah tempat kediaman yang baik.
d. Kewajiban istri untuk menjaga hak milik kekayaan suami secara jujur sewaktu
suami tidak ada. Hal ini adalah kewajiban bilateral, yang artinya suamipun harus dan wajib memelihara harta istri.
e. Kewajiban istri untuk tinggal dan hidup bersama dalam rumah yang telah
ditetapkan bersama. Maka dalam segi hukum keluarga adalah kewajiban bagi istri untuk hidup
tinggal bersama suami, meninggalkan tempat tinggal bersama berarti istri telah melanggar ketentuan hukum sebab akan membawa akibat tidak dapat melaksanakan
kewajibannya mengurus rumah tangga dalam arti yang luas sebagaimana selayaknya.
39
4. Akibat melalaikan kewajiban.
Orang hidup berumah tangga tidak otomatis apa yang diinginkan dalam perkawinan selalu berjalan dengan baik. Biasanya kalau di antara suami istri terjadi
38
Ibid, hal. 107
39
Ibid, hal. 111
Universitas Sumatera Utara
masalah dan tidak dapat menyelesaikan secara damai, maka yang terjadi salah satu pihak sengaja melalaikan kewajibannya.
40
a. Membawa kepastian hukum dalam arti, bahwa kepada suami-istri diberi upaya
hukum yang dapat dipergunakan, jika memang kehidupan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi dalam kehidupan kerukunan yang bahagia dan sejahtera.
Pasal 34 ayat 3 UU Perkawinan memberi saluran hukum yang dapat ditempuh oleh masing-masing pihak, masing-masing pihak yang merasa pihak lain melalaikan
kewajiban sebagaimana yang disebut pada ayat-ayat terdahulu dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Ketentuan Pasal 34 ayat 3 ini dapat dilihat sebagai
berikut :
b. Menghindarkan tindakan sewenang-wenang dari satu pihak, terutama bagi pihak
istri bahwa dia dapat melepaskan diri secara hukum yang tidak berat sebelah seperti yang selama ini terdapat dalam kehidupan masyarakat. Maka dengan
adanya ketentuan Pasal 34 ayat 3 UUP di atas, UU ini telah memberi hak sama berdasar hukum untuk menggugat siapa saja di antara kedua belah pihak, atas
dasar alasan gugatan melalaikan kewajiban yang telah ditentukan UU sehingga dengan demikian kelalaian melaksanakan kewajiban itu telah menjadi persoalan
hukum yang harus diselesaikan oleh lembaga peradilan. Misalnya :
1 Perlakuan penghinaan dan merendahkan derajat istripun telah memberi hak bagi
istri untuk meminta perceraian.
40
Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 45
Universitas Sumatera Utara
2 Juga istri mempunyai hak yang legal berdasar hukum untuk meninggalkan suami
dan meminta perceraian kepada hakim, jika suami melakukan perlakuan yang menyakiti istri. Atau jika istri benci suami, telah merupakan prinsip yang legal
bagi istri untuk minta perceraian terutama atas kelalaian suami melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
41
Muhammad Baqir al-Habsy memberi ulasan yang sistematis tentang hak dan kewajiban suami istri sebagai berikut :
42
1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri
a. Dihalalkan bagi suami menikmati hubungan fisik dengan istri demikian pula
sebaliknya. Termasuk hubungan seksual di antara mereka berdua. b.
Timbulnya hubungan mahram di antara mereka berdua. c.
Berlakunya hukum pewarisan antara keduanya, segera setelah berlangsungnya akad nikah.
d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan nasab suami
e. Berlangsungnya hubungan baik antara kedua suami istri.
f. Menjaga penampilan lahiriah antara keduanya.
2. Kewajiban suami terhadap istrinya.
a. Yang berupa uang materi yaitu mahar dan nafkah sehari-hari seperti mahar
dan nafkah.
41
Ibid, hal 88-113
42
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikh, UU No. 11974 sampai KHI, Jakarta, Kencana, 2006, hal 183-
185
Universitas Sumatera Utara
b. Yang bersifat non materi yaitu mempergauli istri dengan sebaik-baiknya dan
melaksanakan keadilan di antara istri-istri apabila menikah lebih dari satu. Suami juga wajib menjaga kehormatan istri, dan mengatur hubungan seksual
antara suami–istri. 3.
Kewajiban istri terhadap suami a.
Bersikap taat dan patuh terhadap suami dalam segala sesuatunya selama tidak merupakan hal yang dilarang Allah.
b. Memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan dirinya.
c. Menghindari dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti
bersikap angkuh, atau menampakkan wajah cemberut atau penampilan buruk lainnya.
E. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974