Akibat putusnya perkawinan karena perceraian

Kekuasaan wali mencakup terhadap pribadi anak tersebut dan harta benda anak yang bersangkutan. Sedangkan kewajiban wali terhadap anak yang berada dalam kekuasaannya adalah sebagai berikut : 51 a. Mengurus anak tersebut berikut hartanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. b. Membuat daftar inventaris atas harta bendanya sejak ia menerima jabatan sebagai wali, dan mencatat semua perubahan harta benda anak tersebut. c. Bertanggung jawab atas harta benda serta kerugian akibat kelalaian dan kesalahan dalam pengurus. d. Tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang yang dimiliki anak itu kecuali untuk kepentingan anak tersebut menghendakinya. Perwalian diperoleh karena beberapa sebab : karena ditunjuk orang tua sebelum ia meninggal dunia dengan surat wasiat ata dengan pesan dihadapan dua orang saksi. Juga berdasarkan keputusan pengadilan, karena salah satu atau kedua- duanya orang tua melalaikan kewajiban terhadap anak dan berkelakuan buruk. 52

2. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian

Dalam Pasal 41 UU Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : 51 M. Yahya Harahap, Op,Cit hal. 46 52 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Karya Gemilang, Jakarta, Cetakan ke-3, 2011, hal 46 Universitas Sumatera Utara a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Akibat pokok dari perceraian adalah bahwa mantan suami dan mantan istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah. 53 1 Masa iddah waktu tunggu Masa iddah waktu tunggu adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri, tidak mempunyai masa iddah. 54 1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Waktu tunggu ini dalam hukum Islam disebut iddah. Pasal 39 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan waktu tunggu seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut : 53 Ibid, hal.44 54 Amir Syarifuddin, Op.Cit. hal. 303 Universitas Sumatera Utara 2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu ditetapkan tiga kali suci, dengan sekurang-kurangnya sembilan puluh hari, dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan sembilan puluh 90 hari. 3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Waktu tunggu tersebut diatas, menurut Pasal 39 ayat 3 mulai dihitung sejak Jatuhnya putusan pengadilan yang putus karena perceraian. Janda yang putus perkawinannya karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, pasal 39 ayat 3 menyatakan tidak ada waktu tunggu baginya, waktu tunggu ini penting sekali karena menyangkut pelangsungan perkawinan selanjutnya, juga menyangkut rujuk bagi yang beragama islam. Sedangkan bagi suami tidak ada masa iddah masa tunggu. 55 2 Pemeliharaan anak Kewajiban memelihara dan mendidik anak tidak sama dengan kewajiban menjadi seorang wali dari anak-anak. Baik mantan suami maupun mantan istri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. 56 55 Indah Lestari, Putus Perkawinan dan Tata Cara Perceraian, http: indah lestari 111000407.blogspot.com201209putus-perkawinan-tata-cara-perceraian.html, Diakses tanggal 15 Januari 2014. 56 Mr. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hal. 45 Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa sebagai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak- anak maka pengadilan berwenang memberikan keputusan”. Jadi kalau kita perhatikan dari bunyi pasal 41 tersebut di atas ternyata masa pendidikan dan pemeliharaan anak-anak akibat dari perceraian itu merupakan kewajiban kedua orang tua anak tersebut yakni ayah dan ibu dari anak itu. Dan kewajiban orang tua ini tetap berlaku meskipun kekuasaan orang tua dicabut. Kewajiban inipun berlaku sampai anak itu kawin dan dapat berdiri sendiri. Apabila suami tidak mampu maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak. 3 Mengenai harta Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian. Universitas Sumatera Utara Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Kalau kita kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian : 1. Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaranhukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian, 2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan; 3. Atau hukum-hukum lainnya. Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan. Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata. 57

3. Akibat putusnya perkawinan karena putusan pengadilan