Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara
pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Kalau kita
kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian : 1.
Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaranhukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian,
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut
merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
3. Atau hukum-hukum lainnya.
Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut
diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.
Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut
Hukum Perdata.
57
3. Akibat putusnya perkawinan karena putusan pengadilan
57
Muhammad Idris Ramulyo, Op.Cit, hal. 189
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi yang beragama Islam.
Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang pengadilan namun ketentan ini lebih banyak
mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketetuan ini.
58
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami
Akibat perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, maka
pengadilan akan memberikan keputusannya, dan harus diterima oleh para pihak. Dalam hal ini kekuasaan orang tua menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
bersifat tunggal. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat, pengadilan dapat :
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak. c.
Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak istri.
58
Sigit Budhiarto, Op, Cit
Universitas Sumatera Utara
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menetukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya. Perwalian
menurut UU Perkawinan ialah bagi anak yang belum mencapai usia genap 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua mereka adalah anak yang sudah genap berumur 18 Tahun atau sudah menikah.
59
59
Ibid
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974
A. Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974
1. Pengertian perkawinan campuran
Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 57 yang berbunyi : “yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang
ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Perkawinan tersebut menggambarkan dengan jelas mengenai defenisi
perkawinan campuran yakni perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraannya, dimana salah satunya adalah Warga Negara Indonesia. Dengan
demikian yang dimaksud dengan perkawinan campuran berdasarkan hukum Perkawinan yang berlaku di Indonesia bukan berarti perkawinan antara dua orang
yang berbeda agama.
60
“perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia, dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini”.
Menurut hukum perkawinan Indonesia dalam UU Perkawinan hanya menekankan pada perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya Warga Negara
Indonesia.
Pasal 59 ayat 2 UU Perkawinan No 1 tahun 1974 yang menyatakan :
60
Sania Indah, Perkawinan Campuran, http:tsaniaindah.blogspot.com201210perkawi nan- campuran .html. Diakses tanggal 23 November 2013
Universitas Sumatera Utara