Putusnya Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

D. Putusnya Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Putusnya perkawinan campuran sama halnya dengan putusnya perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Bila perkawinan campuran dilangsungkan di Indonesia dan menetap di Indonesia. Namun apabila perkawinannya dilangsungkan di Indonesia dan mereka menetap di luar negeri, maka dalam hal ini akan timbul masalah Hukum Perdata Internasional. 1. Putusnya perkawinan campuran karena kematian tidak menimbulkan banyak persoalan, apabila kematian itu terjadi dihadapan dan ditempat kediaman bersama tidak ada masalah. 2. Putusnya perkawinan campuran karena perceraian Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan istri tidak lagi merasa tenang dan tentram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh terjadinya perceraian. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak memberikan batasan mengenai istilah perceraian. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat 1 Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah Universitas Sumatera Utara pihak, yang mana untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. 72 Menurut UU Perkawinan Pasal 39 ayat 2 terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian yaitu : 73 a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, dan lain-lain sebagainya. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan lagi akan hidup rukun dalam rumah tangga. 3. Putusnya perkawinan campuran karena putusan pengadilan 72 M. Yahya, Op.Cit, hal. 134 73 Ibid, hal.135 Universitas Sumatera Utara Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan dapat terjadi karena adanya seseorang yang meninggalkan tempat kediaman bersama, sehingga perlu diambil langkah-langkah terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan keluarga yang ditinggalkan. Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atau istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam UU Perkawinan maupun menurut hukum agama. Putusnya perkawinan atas Putusan Pengadilan dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan Agama. Baik itu karena suami yang menjatuhkan cerai, ataupun istri yang menggugat cerai. Meskipun dalam agama Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu campur tangan pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka sebaiknya perceraian itu harus melalui lembaga pengadilan. Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi yang beragama Islam. Universitas Sumatera Utara Walapun pada dasarnya Hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini. 74 74 Sigit Budhiarto, Op.Cit. Universitas Sumatera Utara

BAB IV AKIBAT HUKUM PUTUSNYA PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974

A. Status Kewarganegaraan Anak dalam Perkawinan Campuran

Dalam perkawinan campuran di Indonesia melibatkan salah satu pihak Warga Negara Asing, maka di sini timbul permasalahan, bagaimana status kewarganegaraan dari anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak banyak menyinggung hal ini, hanya di dalam Pasal 62 ditentukan bahwa dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. 75 Undang-Undang kewarganegaraan UU No. 12 Tahun 2006 ini memuat asas- asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: 76 a. Asas ius sanguinis law of the blood adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. 75 Ricky, Status Hukum Anak dari Hasil Perkawinan http: norickyujustice. blogspot.com 201104 status-hukum-anak-dari-hasil-perkawinan.html. Diakses tanggal 23 November 2013 76 Ibid Universitas Sumatera Utara