32
BAB III PERKEMBANGAN PASAR ONAN LAGUBOTI DARI TAHUN 1945-1999
3.1 Keadaan Onan Sebelum dipindahkan ke Pasar Laguboti
Secara historis Pasar Onan Laguboti dulunya disebut Onan Magodang. Onan Magodang ini dulunya hanya merupakan tanah kosong yang digunakan
masyarakat sebagai tempat pesanggrahan atau tempat pertemuan raja-raja Batak Raja Bius dalam melakukan pertemuan penting, kecuali hari Senin karena difungsikan
sebagai pasar onan
13
. Onan Magodang terletak di desa Omp Raja Hutapea yang berjarak jauh dari pusat kota sekitar 500 meter. Sebelum Onan Magodang
dipindahkan kepusat kota Onan Magodang selalu berpindah –pindah karena zaman Belanda dulu Belanda selalu merusak dan bahkan membakar walapun begitu
penduduk laguboti tidak putus asah untuk melakukan transaksi pertukaran barang masih bersifat barter.
Dahulu areal ini merupakan tanah kosong yang biasanya digunakan oleh Raja- Raja Adat dalam melakukan pertemuan. Lama kelamaan daerah ini menjadi Onan
Magodang yang dijadikan sebagi tempat melakukan aktifitas dagang masyarakat. Hal ini terjadi atas permintaan penduduk laguboti yang didasari atas kegundahan
masyarakat akan pentingnya Marsaor berkumpul. Pada tahun 1930 pedagang masih
13
A. Kristina Smanjuntak, Wawancara di Pasar Laguboti, Kabupaten Toba Samosir tanggal 7 April 2014.
Universitas Sumatera Utara
33
menjajakan barang dagangannya dalam jumlah yang masih relatif sedikit. Jumlah pedagangnya pun masih sedikit, serta jarak berjualannya juga masih benar-benar
mengikat di antara para pedagang tersebut. Aturan yang berlaku hanya peraturan yang bersifat lisan saja, yang tidak saling merugikan di antara para pedagang.
berjauhan antara pedagang yang satu dengan pedagang lainnya. Para pedagang pada masa itu belum ditentukan tempat berjualannya karena belum memiliki aturan yang
Para pedagang biasanya menggunakan lahan yang kosong di sekitar Onan Magodang sebagai tempat menjajakan barang dagangannya. Dengan kata lain, lapaklahan
mereka tidak menetap. Siapa cepat dia dapat, istilah tersebut menggambarkan pola hidup pedagang pada masa itu. Siapa yang pertama tiba di areal dagang dialah yang
akan menempati areal tersebut hanya untuk hari itu saja. Pada hari selanjutnya, areal dagangnya bisa saja berganti ke tempat lain hanya karena terlambat atau telah
ditempati oleh pedagang lain. Atau dengan kata lain, tidak ada peraturan sewa lahan untuk berdagang pada masa itu.
Jenis barang dagangan yang diperdagangkan berupa kebutuhan hidup sehari- hari, seperti sayur-mayur, padi, ubi, ikan, pakaian, sirih, pinang, timbaho, attirha ubi
yang direbus dengan daun dan kebutuhan hidup lainnya. Pada saat itu para pedagang di pasar belum mengenal adanya uang, sehingga proses jual beli dengan
uang belum ada pada masa itu. Sistem yang dikenal pada masa itu adalah sistem barter, di mana barang ditukar dengan barang. Cara menghitung sistem barter pada
Universitas Sumatera Utara
34
masa itu tidak didasarkan pada nilai kegunaan dan manfaat barang melainkan berdasarkan kebutuhan masyarakat pada masa itu.
Sebagai contoh Omp Sahat memiliki 6 tumba beras. Beliau membutuhkan 4 ekor ikan mas sebagai lauk di rumah. Kemudian beliau akan mencari orang yang
membutuhkan beras di Onan yang kebetulan membawa ikan mas dan bersedia menukarkannya dengan beras yang dimilikinya. Kebetulan Omp Posman memiliki 4
ekor ikan mas yang ingin menukarkan ikan dengan beras. Mereka akan membawa barang dagangannya ke Onan Magodang. Ketika Omp Sahat dan Omp Posman
bertemu maka akan terjadi barter pertukaran barang dagangan yang didasarkan atas kebutuhan masing-masing. Mereka tidak mempermasalahkan banyak dan sedikitnya
yang mereka tukarkan. Pengunjung Onan Magodang sebelum tahun 1945 hanyalah warga dari
sekitar daerah laguboti. Hal ini disebabkan karena pada masa itu belum ada angkutan yang memadai untuk masyarakat melakukan aktifitas dagang ke daerah lain. Hal
inilah yang menyebabkan pengunjung dan pedagang masih relatif sedikit jumlahnya. Seiring dengan perkembangan mengingat kecenderungan jumlah penduduk yang
semakin bertambah karena manusia tidak jarang mereka selalu merusak lingkungan alam sebagai tempat tinggalnya.
Pada awal kemerdekan tahun 1945 Onan Magodang tidak lagi digunakan oleh raja-raja Bius dalam melakukan aktivitas rapat atau pertemuan lagi melainkan
Universitas Sumatera Utara
35
telah sepenuhnya menjadi pasar. Kemudian satu tahun setelahnya yakni tahun 1946 Onan Magodang diganti namanya dengan Pasar Laguboti sesuai dengan nama
kotanya
14
. Mengingat kecenderungan jumlah penduduk yang semakin bertambah, karena manusia selalu berusaha merubah lingkungannya untuk memperoleh
kebutuhan hidupnya, sehingga tidak jarang mereka selalu merusak lingkungan alam sebagai tempat tinggalnya
15
. Dengan demikian, dulunya jumlah penduduk yang berada di sekitar pasar masih sangat jarang telah berubah menjadi daerah yang cukup
padat. Hal ini disebabkan karena pada umumnya mereka yang datang banyak yang menggantungkan mata pencahariannya di pasar tersebut. Hal ini terbukti dengan
adanya bangunan rumah di dekat pasar yang memanfaatkan badan pasar sehingga menyebabkan luas pasar semakin menyempit. Untuk menghindari penyempitan
tersebut, masyarakat membuat kawat duri di pinggiran pasar yang berguna untuk membuat batasan antara rumah warga dengan pasar.
Seiring dengan kemajuan pada waktu itu, tanah kosong berubah secara perlahan. Sebagian pedagang mulai membuat undung-undung yaitu tenda yang
dibangun dengan empat buah bambu sebagai tiang penyangga. Kondisi pedagang masa itu sangat memprihatinkan. Pada saat hujan turun misalnya, pedagang yang
menjajakan barang dagangannya langsung di atas tanah yang beralaskan tikar akan sangat merugi dikarenakan kondisi Onan akan menjadi sangat becek. Oleh karena itu
14
Wawancara dengan Omp Marta Br. Siagian di desa Omp Raja Hutapea, Kabupaten Toba Samosir, Tanggal 9 April 2014.
15
Zoer, aini, Djamuel Irwin, Ekosistem Komunitas dan Lingkungan, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hal.74.
Universitas Sumatera Utara
36
pada tahun 1962 petugas pasar membangun undung-undung kepada para pedagang dengan catatan pedagang memberikan uang iuran kepada petugas pasar sebagai sewa
lahan dan undung-undung. Selain undung-undung ada pula sebagian bangunan yang dibuat dari papan yang telah dibuat atapnya akan tetapi masih sebagian kecil. Uang
iuran yang diberikan pada masa itu tidak dipatok jumlahnya, tergantung kerelaan pedagang untuk memberikan iuran mereka. Jika hasil dagangan berlebih, tidak jarang
para pedagang memberikan iuran berlebih. Sebaliknya jika pedagang tidak mendapatka penghasilan yang cukup, mereka tidak memberikan iuran kepada petugas
pasar . Setiap barang telah ditentukan dengan harga yang diatur oleh pihak
pedagang sehingga di pasar terjadi persaingan dalam menentukan harga barang. Istilah yang digunakan pada masa itu adalah sasukku sasukku = 50sen. Pedagang
biasanya menentukan harga barang dengan kebutuhan mereka untuk membeli barang lain yang mereka butuhkan dalam tingkat kewajaran harga yang berlaku di pasar.
Dalam hal ini pemerintah tidak ikut ambil bagian dalam menentukan harga barang di pasar.
3.2 Keadaan Pasar sesudah dipindahkan ke Pasar Laguboti