Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
44 unsur modal sosial tersebut dan bagian selanjutnya membahas
jenis modal sosial, yaitu bonding social capital dan bridging
social capital. Unit analisis penelitian ini adalah pedagang kaki lima
PKL, karenanya dalam bagian berikut dikemukakan konsep sektor informal dan pedagang kaki lima, termasuk di dalamnya
pandangan tentang sektor informal dan pedagang kaki lima PKL, urbanisasi dan sektor informal, serta dinamika
perkembangan sektor informal dan pedagang kaki lima PKL. Sebelum sampai pada kerangka berpikir penelitian sebagai
road map penelitian, dalam bagian akhir dari bab ini dibahas konsep
resistensi, yang memuat materi tentang apa yang menyebabkan terjadinya resistensi dan apa bentuk-bentuk dari resistensi.
A. Tinjauan tentang Kebijakan Publik
Pengaturan mengenai bagaimana PKL harus beraktivitas di kota, demikian pula mengapa pemerintah kota melakukan
perencanaan terhadap kotanya agar terlihat tertib, rapi, indah, dan nyaman bagi warganya, merupakan bagian dari kebijakan
publik yang disusun dan akan diimplementasikan. Dalam bagian berikut dijelaskan uraian tentang konsep kebijakan publik,
khususnya berkaitan dengan proses, pendekatan, dan model yang digunakan. Kebijakan publik bukan merupakan konsep
yang baru dikenal selama ini. Sudah banyak pakar yang melakukan kajian dan riset tentang kebijakan publik. Kata
“publik” dalam kebijakan publik dapat dipahami ketika dikaitkan dengan istilah “privat”. Istilah publik dapat dirunut
dari sejarah negara Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani Kuno mengekspresikan kata publik sebagai
koinion dan privat disamakan dengan
idion. Sementara bangsa Romawi Kuno menyebut publik dalam bahasa Romawi
res-publica dan privat sebagai
res-priva. Saxonhouse sebagaimana dikutip Parsons
45
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
2005:4 melakukan pemilahan antara kata publik dan privat sebagai berikut.
Publik Privat
Polis Rumah tangga
Kebebasan Keharusan
necessity Pria
Wanita Kesetaraan
Kesenjangan Keabadiaan
Kesementaraan Terbuka
Tertutup Pemilahan publik dan privat dalam konteks ruang, dalam
praktik kehidupan tidaklah mudah. Saxonhouse dalam Parsons 2005 menyadari bahwa batas-batas keduanya tidaklah absolut.
Hubungan antara ruang publik dengan ruang privat sangat kompleks dan mencerminkan interdependensi. Kepentingan
publik dan privat pun bisa saling bertentangan. Untuk memecahkan ketegangan antara kepentingan publik dan privat
adalah dengan memasukkan gagasan pasar. Sebagaimana dikemukakan Habermas, bahwa pada awal abad 19, ruang
publik yang berkembang di Inggris, berasal dari perbedaan antara kekuasaan publik dan dunia privat.
Cara memaksimalkan kepentingan individu dan sekaligus mempromosikan
kepentingan publik
adalah dengan
menggunakan kekuatan pasar Parsons 2005. Berfungsinya kebebasan individu konsep publik dalam telaah Saxonhouse di
atas dalam menentukan pilihan dapat memenuhi kepentingan individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik
dan kesejahteraan publik. Dalam kaitan ini, peran negara dan politik adalah menciptakan kondisi di mana kepentingan publik
dapat dijamin. Itulah sebabnya, pemerintah tidak boleh banyak mencampuri urusan individu. Kepentingan publik dalam hal ini
akan terlayani dengan baik jika kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, tetapi tidak diatur
dan dikendalikan oleh negara. Intervensi negara bisa dipahami
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
46 sejauh intervensi tersebut untuk menjamin penegakan hukum
dan hak asasi manusia, namun tidak mencampuri keseimbangan alami yang muncul dari kepentingan diri. Untuk kepentingan
kajian terhadap eksistensi pedagang kaki lima PKL, dalam bagian berikut perlu diketengahkan dikotomi antara sektor
publik dan sektor privat, karena hal ini juga berkaitan dengan posisi dan peran negara di dalamnya.
Baber sebagaimana dikutip Parsons 2005 dari Masey, menyebutkan sepuluh ciri penting dari sektor publik, yaitu 1
sektor publik lebih kompleks dan mengemban tugas-tugas yang lebih mendua, 2 sektor publik lebih banyak problem dalam
mengimplementasikan keputusan-keputusannya, 3 sektor publik memanfaatkan lebih banyak orang yang memiliki
motivasi yang sangat beragam, 4 sektor publik lebih banyak memperhatikan usaha mempertahankan peluang dan kapasitas,
5 sektor publik lebih memperhatikan kompensasi atas kegagalan pasar, 6 sektor publik melakukan aktivitas yang
lebih banyak mengandung signifikansi simbolik, 7 sektor publik lebih ketat dalam menjaga standar komitmen dan
legalitas, 8 sektor publik mempunyai peluang yang lebih besar untuk merespon isu-isu keadilan dan kejujuran, 9 sektor
publik harus beroperasi demi kepentingan publik, dan 10 sektor publik harus mempertahankan level dukungan publik
minimal di atas level yang dibutuhkan dalam industri swasta.
Sektor publik tidak selalu hanya mengejar keuntungan finansial. Sektor ini bisa mengejar keuntungan finansial, tetapi
dapat juga mengutamakan kesejahteraan sosial. Jika yang dikejar adalah kesejahteraan sosial, maka sektor publik ini tergolong
sektor nonprofit, yang ciri-cirinya adalah 1 sektor ini tidak mengejar keuntungan, 2 cenderung menjadi organisasi
pelayanan, 3 ada batasan yang lebih besar dalam tujuan dan strategi yang mereka susun, 4 lebih tergantung kepada klien
untuk mendapatkan sumberdaya finansialnya, 5 lebih didominasi oleh kelompok profesional, 6 akuntabilitasnya
47
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
berbeda dengan akuntabilitas organisasi privat atau provit, 7 manajemen puncak tidak mempunyai tanggung jawab yang
sama atau imbalan finansial yang sama, 8 organisasi sektor publik bertanggung jawab kepada elektorat dan proses politik,
dan 9 tradisi kontrol manajemennya kurang Parsons 2005.
Istilah kebijakan atau kebijaksanaan memiliki banyak makna. Hogwood dan Gunn, seperti dikutip Parsons 2005:15
menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yaitu sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas, sebagai ekspresi tujuan
umum atau aktivitas negara yang diharapkan, sebagai proposal spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otorisasi formal,
sebagai sebuah program, sebagai
output, sebagai hasil outcome, sebagai teori atau model, dan sebagai sebuah proses.
Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan
politik.
Istilah kebijakan memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan kata kebijakan. Kebijaksanaan sebagai suatu kumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-
cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu Budiarjo 1992:12.
Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan seraya mencari peluang
untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dinginkan Widodo 2007:13.
Post, et al 1999 memaknai kebijakan publik sebagai rencana tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah
untuk mencapai tujuan yang lebih luas yang memengaruhi kehidupan penduduk negara secara substansial.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
48 Kebijakan memiliki arti umum dan spesifik. Dalam arti
umum, kebijakan menunjuk pada jaringan keputusan atau sejumlah tindakan yang memberikan arah, koherensi, dan
kontinuitas. Dalam kaitan ini, Greer and Paul Hoggett 1999 memaknai kebijakan sebagai sejumlah tindakan atau bukan
tindakan yang lebih dari sekedar keputusan spesifik. Dalam arti spesifik, ide kebijakan berkaitan dengan cara atau alat
means dan tujuan
ends, dengan fokus pada seleksi tujuan dan sarana untuk mencapai sasaran yang diinginkan.
Ide kebijakan di atas melibatkan apa yang disebut Easton sebagai alokasi nilai-nilai
the allocation of values dan memiliki konsekuensi distribusional. Kebijakan dalam arti
khusus, berkaitan dengan ruang publik. Kebijakan berada pada ruang hidup di luar kepentingan privat individu atau kelompok.
Namun demikian, sebagaimana dicatat Ranson and Steward dalam Greer and Paul Hoggett 1999, domain publik yang
mewarnai kebijakan publik memiliki peran esensial dalam mengklarifikasi, menyatakan, dan mewujudkan tujuan-tujuan
publik, yang juga menjadi tujuan para individu atau kelompok secara keseluruhan.
Apa yang dikemukakan Budiardjo, Friedrich, serta Greer and Paul Hoggett mengenai konsep kebijakan terdapat
kesamaan, yaitu mereka sama-sama memfokuskan diri pada suatu tindakan atau keputusan yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Tujuan atau sasaran dimaksud tentunya adalah tujuan publik, bukan tujuan orang per orang
atau kelompok tertentu.
Ketika istilah kebijakan dan publik digabung menjadi satu, yaitu kebijakan publik, memiliki makna yang lebih luas
daripada ketika diartikan secara sendiri-sendiri. Kebijakan publik merupakan salah satu komponen negara yang tidak
boleh diabaikan. Menurut Nugroho 2009:11, negara tanpa komponen kebijakan publik dipandang gagal, karena kehidupan
49
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
bersama hanya diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja, yang bekerja seperti tiran, dengan tujuan untuk
memuaskan kepentingan diri atau kelompok saja. Kebijakan publik, termasuk di dalamnya adalah tata kelola negara
governance, mengatur interaksi antara negara dengan rakyatnya. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana
signifikansi kebijakan publik sebagai komponen negara. Sebagaimana dijelaskan Nugroho 2009, setiap pemegang
kekuasaan pasti berkepentingan untuk mengendalikan negara, sekaligus juga mengelola negara. Mengelola berarti
mengendalikan
dengan menjadikannya
lebih bernilai.
Pemerintah suatu negara dalam mengelola negara, tidak hanya mengendalikan arah dan tujuan negara, tetapi juga mengelola
negara agar lebih bernilai melalui apa yang disebut dengan kebijakan publik. Inilah tugas pemerintah atau negara
sesungguhnya. Gambar berikut memperjelas ilustrasi di atas.
Gambar 1. Dimensi Tugas Negara
Sumber: Nugroho 2009:12
Kekuasaan yang dimiliki negara tidak dapat dipertahankan hanya dengan kekuatan paksa, tetapi juga memerlukan
kebijakan Parsons 2005. Negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah, tetapi tidak akan efektif tanpa ada
Memimpin Mengelola
Mengendalikan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
50 kebijakan publik yang dibuat. Sebagaimana dikatakan Santoso
2010:4, negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah dan karena kebijakan publik pada dasarnya merupakan kebijakan
negara, maka kebijakan publik dimaknai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk
memastikan tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh publik dapat tercapai.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya dipahami sebagai persoalan teknis administratif saja, tetapi juga
dimengerti sebagai sebuah persoalan politik. Kebijakan publik berkaitan dengan penggunaan kekuasaan, oleh karenanya
kebijakan publik berlangsung dalam latar
setting kekuasaan tertentu. Dalam konteks ini, berarti ada pihak yang berkuasa
dan pihak yang dikuasai. Pedagang kaki lima PKL dalam perspektif kebijakan
publik, berada pada posisi pihak yang seharusnya dilayani, sedangkan pemerintah kota Semarang beserta aparaturnya
merupakan pihak yang sudah semestinya memberi pelayanan melalui kebijakan yang diambil. Sebagaimana dikatakan Ndraha
2003, pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai konsumen atas produk-produk pemerintah,
dengan melakukan pelayanan publik dan pelayanan sipil.
Pemerintah melakukan
pelayanan publik,
karena pemerintah merupakan badan publik yang diadakan tidak lain
adalah untuk melayani kepentingan publik, sedangkan dalam hal layanan sipil, pemerintah setiap saat harus siap sedia
memberikan layanan kepada setiap orang yang membutuhkan. Dalam realitasnya, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya,
masyarakat yang melayani dan pemerintah sebagai pihak yang dilayani. Itulah sebabnya, dalam praktik pemerintahan acapkali
menimbulkan
abuse of power sehingga terciptanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
51
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Sebagai pihak yang menguasai sumber daya politik, ekonomi, budaya, dan militer, pemerintah berada pada posisi
superordinat, yakni pihak yang sangat berkuasa dalam mengatur dan mengendalikan warga masyarakat, termasuk di
dalamnya pedagang-pedagang kecil seperti halnya PKL. Dalam posisinya ini, pemerintah kota dengan segala kebijakannya
harus ditaati dan dipatuhi oleh PKL. Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima,
merupakan salah satu wujud dari kebijakan pemerintah kota Semarang yang harus ditaati pedagang kaki lima. PKL sebagai
pihak subordinat, harus siap diatur dan dikendalikan oleh pemerintah. Dalam konteks relasi kuasa, yang dikhawatirkan
adalah jika kebijakan publik yang ditempuh Pemkot merupakan perencanaan yang cerdik
scheming, sebagaimana ditulis Marlowe dalam Parsons 2005, yaitu menciptakan atau
merekayasa sebuah ceritera yang masuk akal dalam rangka mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa.
Perda nomor 11 tahun 2000 lebih bersifat mengatur PKL daripada membina dan memberdayakannya. Hal ini dapat
dilihat dari judul peraturan daerah yang mengatur PKL, yaitu Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda yang ditetapkan pemerintah kota Semarang ini berbeda dengan Perda nomor 3
tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang dikeluarkan pemerintah kota Surakarta. Perda nomor 3 tahun
2008 ini menunjukkan bagaimana pemerintah Surakarta berkewajiban mengelola PKL agar mereka dapat hidup
sejahtera. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 3, yang menyatakan bahwa pengelolaan PKL bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum dan kebersihan lingkungan. Konsiderans Perda nomor 3 tahun
2008 juga menguatkan ketentuan pasal 3 tersebut.
“
pedagang kaki lima PKL merupakan usaha perdagangan sektor informal yang merupakan perwujudan hak
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
52
masyarakat dalam berusaha dan perlu diberi kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keberadaan PKL ini perlu dikelola, ditata, dan diberdayakan sedemikian rupa agar keberadaannya
memberikan nilai tambah atau manfaat bagi pertumbuhan perekonomian dan masyarakat kota serta terciptanya
lingkungan yang baik dan sehat”.
Substansi dari Perda nomor 3 tahun 2008 menunjukkan adanya keberpihakan kepada pedagang kaki lima. Hal ini
diperlihatkan oleh pasal tentang hak PKL dan pemberdayaan terhadap PKL. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa untuk
menjalankan kegiatan usahanya, pemegang izin penempatan PKL berhak: 1 mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan
keamanan dalam menjalankan usaha, 2 menggunakan tempat usaha sesuai dengan izin penempatan.
Perda nomor 3 tahun 2008 mewajibkan walikota untuk memberikan pemberdayaan kepada PKL. Sesuai dengan
ketentuan pasal 12 ayat 1, pemberdayaan terhadap PKL berupa: a bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, b
pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, 3 bimbingan untuk memperoleh
peningkatan permodalan, dan 4 peningkatan sarana dan prasarana PKL.
Wujud pemberdayaan tersebut gayut dengan hak yang dimiliki oleh PKL. Hak untuk mendapatkan perlindungan,
kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 tersebut, akan dapat
dinikmati secara optimal, ketika PKL juga dibantu dalam manajemen
usaha, pengembangan
usaha, peningkatan
permodalan dan peningkatan sarana prasarana. Ketentuan tentang pemberdayaan dalam Perda PKL yang dibuat
pemerintah kota Surakarta tersebut tidak dijumpai dalam Perda PKL yang ditetapkan pemerintah kota Semarang.
53
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Perda nomor 11 tahun 2000 hanya mengatur 1 pasal tentang hak PKL, yaitu pada pasal 6, selebihnya mengatur masalah
kewajiban, larangan, serta ketentuan pidana dan sanksi administrasi. Dalam pasal 6 tersebut, setiap PKL mempunyai
hak untuk mendapatkan pelayanan perizinan, penyediaan lahan lokasi PKL, dan mendapatkan pengaturan dan pembinaan. Pasal
tersebut belum menyentuh persoalan hakiki PKL, yaitu kenyamanan dan keamanan dalam berusaha.
Perda nomor 11 tahun 2000 juga tidak mengatur tentang kewajiban pemberdayaan yang harus dilakukan oleh
pemerintah kota Semarang. Itulah sebabnya, dalam praktik kebijakan yang berkaitan dengan penataan PKL di Semarang,
pihak eksekutor kebijakan hanya melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh Perda, tidak lebih dari itu. Kebijakan penataan
PKL di Semarang lebih bersifat mengatur dan menertibkan, sehingga tidak jarang dalam implementasinya menggusur PKL
tanpa adanya hak banding yang seharusnya dimiliki PKL. Realitas ini menyebabkan hubungan antara Pemkot dengan
PKL menjadi tidak harmonis. Hal ini juga membawa implikasi pada ketaatan PKL terhadap Perda dan kebijakan pemerintah
lainnya. Sementara itu, Perda nomor 3 tahun 2008 yang digunakan Pemkot Surakarta untuk mengelola PKL, yang di
dalamnya ada ketentuan bahwa walikota berkewajiban memberdayakan PKL, membawa implikasi pada hubungan yang
dekat antara Pemkot dengan pedagang kaki lima. Hubungan yang dekat tersebut dapat memengaruhi tingkat kepatuhan PKL
terhadap Perda.
Kebijakan berkaitan
dengan apa
yang dilakukan
pemerintah. Dalam kaitan ini, Dye 2002:1 mengartikan kebijakan publik sebagai “whatever government choose to do or
not to do ”. Kebijakan publik merupakan sebuah pilihan
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dalam buku berjudul
Public Policymaking, Anderson 2000 pun setuju dengan pandangan Dye tentang makna
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
54 kebijakan publik sebagai “apapun yang dipilih pemerintah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”. Sesuai dengan konsep kebijakan publik di atas, pemerintah
dapat melakukan banyak hal, mulai dari mengelola konflik dalam masyarakat, mengorganisasikan masyarakat untuk
berkonflik dengan masyarakat lain, mendistribusikan berbagai penghargaan atau hadiah dan layanan material kepada anggota-
anggota masyarakat, hingga menarik uang dari masyarakat yang sering diwujudkan dalam bentuk pajak.
Individu atau masyarakat mengharapkan pemerintah melakukan banyak hal untuknya. Semua kelompok masyarakat
pasti menginginkan pemerintah dapat melayani kepentingan mereka dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. Kebijakan publik harus didesain untuk menghilangkan atau
setidaknya mengurangi
ketidaknyamanan dan
ketidaksenangan individu dan kelompok-kelompok masyarakat Dye 2002. Sejalan dengan pandangan Dye tersebut,
pemerintah kota Semarang suka atau tidak suka, melalui kebijakan yang diambil mestinya dapat mengatasi konflik
penggunaan ruang publik yang selama ini banyak digunakan oleh para PKL dan melalui kebijakannya pula, semua warga
kota Semarang harus dapat dibuat nyaman, aman, tenang dan senang, termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki
lima PKL.
Kebijakan publik dalam pandangan Dye dan Anderson, bukan sekedar keputusan yang menghasilkan aktivitas-aktivitas
yang terpisah. Sebagaimana dilihat Richard Rose, kebijakan dipandang sebagai serangkaian panjang aktivitas yang saling
berhubungan Anderson 2000. Makna kebijakan Dye maupun Anderson, tidak semata-mata berkaitan dengan apa yang dapat
atau tidak dapat dilakukan pemerintah, tetapi lebih dari itu, kebijakan menyangkut sejumlah aktivitas yang berkaitan
dengan kepentingan publik. Hal ini sejalan dengan apa yang
55
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
digagas Carl J. Friedrich tentang kebijakan publik. Menurut Friedrich dalam Anderson 2000, kebijakan adalah sejumlah
tindakan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang menyediakan rintangan sekaligus
kesempatan di mana kebijakan yang diajukan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi usaha mencapai tujuan atau
merealisasikan tujuan dan sasaran.
Ide utama kebijakan memang terkait dengan sejumlah tindakan. Kebijakan sebagai tindakan, dalam pandangan
Friedrich dalam Anderson 2000, diarahkan untuk memenuhi sejumlah maksud dan tujuan, meskipun diakui bahwa tidak
mudah untuk melihat maksud dan tujuan tindakan pemerintah. Hanya melalui pejabat-pejabat atau agen pemerintah, kebijakan
publik dapat diketahui ke mana arahnya.
Perkembangan masyarakat industri dengan bentuk-bentuk administrasinya, telah mengubah makna kebijakan tidak
sekedar sebagai apa yang dilakukan oleh negara, tetapi juga memiliki kaitan dengan persoalan politik dan administrasi
birokrasi. Gagasan kebijakan sebagai politik dijalankan oleh sebuah alat administrasi yang canggih, yang disebut dengan
birokrasi. Mereka yang berkecimpung di ruang birokrasi dinamakan birokrat, sedangkan mereka yang berkutat pada
arena politik disebut politisi.
Birokrat memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai badan nonpolitis, sedangkan politisi mengklaim otoritasnya
berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau platform
mereka oleh elektorat Parsons 2005. Para pelaksana kebijakan ini memiliki apa yang oleh David Easton dalam Parsons 2005
disebut dengan otoritas atau kewenangan. Mengapa birokrat dan politisi memiliki otoritas tersebut? Jawabannya adalah
sistem politik menentukan apa-apa yang dilakukan oleh para politisi dan urusan-urusan keseharian dalam sistem politik
dilakukan oleh birokrat. Konstitusi dan Undang-undang pun
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
56 mengakui bahwa merekalah yang dipandang bertanggungjawab
terhadap persoalan dan agenda kebijakan yang telah disusun. Dengan berkembangnya sistem kepartaian dan pemilu
modern pada era masyarakat industri, maka diskursus kebijakan menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam
kegiatan politik dan persaingan antara elit politik. Politisi diharapkan memiliki kebijakan sebagaimana halnya sebuah
toko semestinya mempunyai barang dagangan. Dalam pandangan Schumpeter dalam Parsons 2005, kebijakan atau
pokok-pokok
platform merupakan mata uang penting dalam perdagangan demokratik.
Apa yang digagas Schumpeter ini berbeda dengan ide Lasswell tentang kebijakan. Lasswell tidak setuju jika kebijakan
disamakan dengan politik. Menurut Laswell dalam Parsons 2005, kebijakan harus bebas dari konotasi politik, sebab politik
diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi. Terlepas dari persoalan apakah kebijakan berkaitan dengan
politik atau tidak, kebijakan publik tetap merupakan sesuatu yang terniscaya dalam masyarakat modern. Kebijakan publik
bisa melahirkan keuntungan atau pun kerugian, bisa menyebabkan kenikmatan, iritasi, dan rasa sakit dan dalam arti
kolektif, memiliki konsekuensi penting terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan Anderson 2000.
Kebijakan melibatkan tiga komponen utama, yaitu society,
political system, dan public policy itu sendiri. Ketiga komponen ini saling memengaruhi. Dalam studi tentang kebijakan publik
di Amerika Serikat, Thomas R. Dye 2002:5 menggambarkan kaitan tiga komponen di atas seperti dalam gambar berikut.
57
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Gambar 2. Studi Kebijakan: Penyebab dan Konsekuensinya.
Berdasarkan gambar di atas, kondisi sosial ekonomi masyarakat meliputi kesejahteraan dan pendapatan, inflasi,
resesi, dan pengangguran, pencapaian pendidikan, kualitas lingkungan, kemiskinan, komposisi rasial, profil agama dan
etnik, kesehatan dan usia hidup, ketidaksamaan dan diskriminasi. Kelembagaan, proses, dan perilaku dalam sistem
politik mencakupi federalisme, pemisahan kekuasaan, sistem perimbangan kekuasaan, kepartaian, kelompok kepentingan,
perilaku voting, birokrasi, struktur kekuasaan, serta kongres, Presiden, dan pengadilan. Kebijakan publik yang dihasilkan dari
kondisi masyarakat yang direspon dan diolah dalam sistem politik, dapat berupa hak-hak sipil, kebijakan pendidikan,
kebijakan kesejahteraan, kebijakan pemeliharaan kesehatan, keadilan kriminal, perpajakan, belanja dan defisit anggaran,
kebijakan pertahanan, dan peraturan-peraturan.
Garis panah yang ditunjukkan oleh garis A, B, C, D, E, dan F pada gambar di atas, menunjukkan adanya pengaruh atau
dampak dari satu komponen terhadap komponen lainnya, misalnya garis A menggambarkan tentang pengaruh kondisi
sosial ekonomi masyarakat terhadap lembaga, proses, dan perilaku politik dan pemerintahan. Demikian pula, garis B
menggambarkan pengaruh dari lembaga-lembaga politik dan
Institutions, Processes,
Behaviors
Social and Economic
Conditions Public Policy
Society Political System
Public Policy
A B
C D
E F
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
58 pemerintah, proses, dan perilakunya terhadap kebijakan publik
yang diambil. Segitiga kebijakan Dye dapat juga dipakai untuk memotret
bagaimana kebijakan publik di Indonesia dirancang dan diimplementasikan. Di Indonesia, kebijakan publik yang
ditetapkan dipengaruhi
oleh kondisi
sosial ekonomi
masyarakatnya, baik berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan masyarakat, tingkat kemiskinan, kualitas
hidupnya, maupun tingkat daya saingnya. Kelembagaan dan sistem politik Indonesia memengaruhi dan juga dipengaruhi
oleh
kondisi sosial
ekonomi masyarakat
Indonesia. Kelembagaan tersebut sangat rumit, mencakupi sistem hukum,
sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem kultural. Dalam kelembagaan ini turut bermain partai politik,
pemerintah pusat dan daerah, birokrasi, parlemen, dan organisasi. Mereka menentukan kebijakan apa yang diambil
oleh pemerintah. Output kebijakan bisa berupa Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau pun
Peraturan Daerah, baik menyangkut bidang pendidikan, kesehatan, finansial, maupun bidang-bidang lain yang
menyentuh kehidupan masyarakat atau publik. Partai politik dan birokrasi dinilai yang paling menonjol dalam menentukan
suatu kebijakan publik. Partai Golkar pada masa Orde Baru, partai PDI-P pada masa pemerintahan Megawati, dan partai
Demokrat pada masa pemerintahan SBY merupakan contoh dari partai politik yang secara dominan menentukan corak kebijakan
yang diambil oleh pemerintah.
Umumnya dalam ide kebijakan publik, pemerintah berada pada posisi yang dominan. Artinya bahwa, kebijakan publik
tidak akan berjalan tanpa peran pemerintah. Perda PKL yang dibuat pemerintah kota Semarang bersama DPRD juga lebih
banyak melibatkan peran Pemkot Semarang. Naskah atau draft Raperda sudah disiapkan oleh Dinas Pasar kota Semarang. Pihak
59
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
PKL yang umumnya berpendidikan SMA ke bawah, tidak terlibat dalam penyusunan draft Perda yang mengatur
kehidupan mereka. Mereka tinggal menerima saja apa yang sudah diputuskan oleh pemerintah kota bersama DPRD. Kalau
pun ada perwakilan PKL yang diajak bicara, itu pun hanya perwakilan dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonsia APKLI
Semarang, yang tidak mewakili sepenuhnya kepentingan pedagang kaki lima.
Wacana tentang peran pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik, melalui agen-agennya,
dapat ditelusuri dari paradigma Keynesian. Dunia penuh dengan ketidakpastian dan teka-teki. Masalah yang dihadapi hanya
dapat dipecahkan melalui penerapan akal dan pengetahuan manusia.
Pandangan ini
membentuk latar
belakang pertumbuhan pendekatan kebijakan. Pemetaan perkembangan
ilmu kebijakan dapat dilakukan melalui keinginan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tata kelola yang mampu
merumuskan problem dengan baik. Keinginan untuk memperoleh pendekatan yang lebih rasional untuk dapat
menganalisis masalah sosial dan persoalan lainnya, terwujud dalam bentuk perkembangan kapasitas negara untuk
mendapatkan dan menyimpan informasi, misalnya melalui riset-riset dan survei sosial. Ide bahwa pemerintah dapat
memecahkan persoalan, setidaknya masalah ekonomi, dengan menentukan kebijakan, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial
mulai membangun hubungan dengan ilmu politik dan pemerintahan Parsons 2005.
John Maynard Keynes sebagaimana dikutip Parsons 2005 meyakini bahwa jika pemerintah memiliki kemampuan dalam
mengatasi persoalan, maka pemerintah harus mengakui perlunya kajian pendekatan pemerintahan yang lebih kaya dan
berlandaskan teori. Keynes meramalkan bahwa di masa depan, kajian tersebut akan muncul berdasarkan ide-ide dari para
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
60 ekonom, bukan dari kepentingan politik yang menentukan
pengambilan keputusan Parsons 2005. Laswell dalam Parsons 2005 menunjukkan bahwa
kebijakan hanya dapat dipahami jika penjelasan tujuan-tujuan sosial diberikan berdasarkan bidang keilmuan. Kebijakan
sebagai ilmu, menurut Laswell mencakupi 1 metode penelitian proses kebijakan, 2 hasil dari studi kebijakan, dan 3 hasil
temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan inteligensia di era kita sekarang
Parsons 2005. Pendek kata, kebijakan dalam kajian ilmiah Laswell, mengandung ciri khas, yaitu berorientasi pada
problem, sehingga kebijakan sebagai ilmu harus bersifat kontekstual, multimetode, dan berorientasi problem. Dalam
kaitan ini, Laswell mengibaratkan ilmuwan kebijakan seperti dokter sosial yang menyembuhkan dirinya sendiri, sembari
belajar untuk menyembuhkan pemerintahan. Pemerintah dalam analisis kebijakan ini bertindak sebagai
problem solver. Perumusan kebijakan berbasis teori atau ilmu politik, selain
merujuk pada pandangan Laswell, dapat pula dikaji dari pandangan David Easton, Herbert Simon, dan Charles
Lindblom. Ketiga-tiganya juga mengkaji kebijakan berdasarkan pendekatan rasional. Semua pengkaji kebijakan tersebut
termasuk dalam kelompok pendekatan tahapan atau
stagist. Easton misalnya, membuat model tahapan sederhana dari proses
kebijakan publik, dimulai dari input, dimediasi melalui saluran input, yaitu kebijakan, dan diakhiri dengan output. Model
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
61
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Sumber: Parsons 2005:26 Gambar 3. Proses Kebijakan sebagai Input dan Output
Pandangan Almond dan Powell tentang proses kebijakan tidak jauh berbeda dengan pendapat Easton, yang menjelaskan
model sistem politik sebagai model yang terdiri dari tiga komponen atau fungsi, yaitu 1 fungsi
input, berupa artikulasi kepentingan, 2 fungsi
proses, yakni berupa agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan,
dan keputusan kebijakan, serta 3 fungsi kebijakan output,
berupa ekstraksi, regulasi, dan distribusi. Kebijakan publik sebagai sebuah tahapan membawa ide,
keyakinan, dan asumsi yang berbeda-beda. Latar setting
institusional, orientasi akademik, kepentingan kebijakan, dan relasi terhadap proses kebijakan sangat beragam, maka
kerangka teoritis yang digunakan para teoretisi berbeda-beda pula. Bobrow dan Dryzek mengemukakan lima kerangka
analisis utama dalam kebijakan publik, yaitu ekonomi kesejahteraan, pilihan publik, struktur sosial, pengolahan
informasi, dan filsafat politik Parsons 2005.
Perspektif ekonomi kesejahteraan merupakan turunan langsung dari utilitarianisme Mill dan Bentham Parsons 2005.
Analisis kebijakan dalam perspektif ini merupakan aplikasi teori dan model ekonomi kesejahteraan untuk meningkatkan
rasionalitas dan efisiensi pembuatan keputusan.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
62 Pilihan publik
public choice sebagai perspektif kebijakan, diartikan sebagai ilmu ekonomi yang membahas pengambilan
keputusan nonpasar atau aplikasi ilmu ekonomi pada ilmu politik. Pokok persoalan yang dikaji perspektif pilihan publik
adalah negara, perilaku memilih, partai politik, dan birokrasi. Pendekatan pilihan publik juga memiliki kaitan erat dengan
institusionalisme ekonomi atau kelembagaan baru, yang berhubungan dengan analisis pasar, perilaku organisasi, dan
pembangunan dilihat dari sudut pandang pilihan rasional.
Pendekatan struktur sosial memahami kebijakan publik dari sudut pandang teori sosiologi. Sosiologi berkontribusi dalam
memahami kekuasaan dalam masyarakat, organisasi, institusi, dan yang lain. Kontribusi sosiologi cukup signifikan terhadap
analisis kebijakan, utamanya adalah analisis problem sosial. Pendekatan daur hidup untuk problem sosial merupakan
contoh dari model
stagist untuk proses kebijakan. Pendekatan pengolahan informasi menganalisis tentang
bagaimana individu dan organisasi memberikan penilaian, membuat pilihan, menangani informasi, dan memecahkan
persoalan. Pendekatan yang dipakai di antaranya Psikologi Sosial, Ilmu Keputusan, Ilmu Informasi, dan Perilaku
Organisasi.
Filsafat banyak memberikan kontribusi terhadap analisis kebijakan publik. Beberapa filsuf yang pemikirannya
memengaruhi kebijakan publik dan analisis kebijakan, di antaranya adalah Machiavelli, Bacon, Karl Popper, Hayek,
Etzioni, dan Habermas.
Sebagai seorang filsuf politik, Machiavelli dalam Parsons 2005
mengkaitkan teori-teori
pemerintahan dengan
pengalamannya dalam politik aktual. Pihak penguasa, menurut Machiavelli harus memahami bagaimana kekuasaan bisa
bekerja. Pemerintahan merupakan sebuah keterampilan. Studi pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan.
63
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Machiavelli tertarik pada seni keterampilan bernegara. Ia yakin bahwa dengan pemahaman yang cukup mengenai realitas
politik dan kekuasaan, maka pembuat keputusan dapat menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki
kemampuan lebih besar dalam mengatasi setiap persoalan yang dihadapi.
Machiavelli tertarik pada pemanfaatan kebijakan untuk meraih tujuan yang dikejar oleh pemegang kekuasaan.
Pandangan Machiavelli relevan dengan analisis kebijakan pada abad 20 karena adanya alasan Machiavellian, yakni keinginan
untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di pemerintahan dan bagaimana kinerja pemerintahan memenuhi
janji-janjinya. Kriteria untuk menilai kesuksesan para elit yang bekerja di pemerintahan adalah kinerja dan hasil yang telah
dicapai. Kebijakan dalam hal ini, merupakan strategi untuk mewujudkan tujuan. Dalam kaitan ini, tidak menjadi soal
apakah kebijakan yang dibuat benar atau salah, yang terpenting adalah kebijakan mana yang menurut si pembuat paling bisa
dilaksanakan.
Bacon dalam Parsons 2005 memiliki titik pandang yang berbeda dengan Machiavelli. Dalam hal kebijakan, Bacon
mengusulkan gagasan jalan tengah res mea, bahwa kebijakan
yang baik sebagai implementasi pelaksanaan kekuasaan, memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan
legitimasi dengan membangun dukungan dan persetujuan, ketimbang harus menciptakan permusuhan sebagaimana
diyakini Machiavelli. Jika Machiavelli memandang kebijakan sebagai aktivitas untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan
Bacon memahami kebijakan sebagai aktivitas untuk menjaga keseimbangan dan otoritas. Bacon memiliki diktum terkenal,
yakni pengetahuan adalah kekuasaan.
Kebijakan dalam hal ini dipahami Bacon sebagai penggunaan pengetahuan untuk tujuan pemerintahan. Sebagai
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
64 seorang politisi, Bacon berkeinginan agar kekuasaan dan
pengetahuan dalam tatanan politik baru dapat digabungkan. Regenerasi dunia pengetahuan penting menurut Bacon,
karenanya ia menyarankan kepada para pengelola negara agar kegiatan belajar dipandang sebagai tujuan praktis tertinggi
mereka. Masyarakat yang baik harus diatur dengan tertib, religius, dan bersih, dan hal itu hanya bisa dilakukan jika
masyarakat mengutamakan pembelajaran.
Filsuf yang berseberangan pandangan dengan Bacon adalah Karl Popper. Kontribusi utama Popper dalam Parsons 2005
terhadap filsafat kebijakan publik adalah 1 pada level metodologi, ia menentang validitas ide ilmu pengetahuan
Baconian sebagai induksi, yakni observasi terhadap fakta-fakta sebagai dasar pendeduksian teori atau hukum umum, 2
sebuah metode kebijakan publik yang bertujuan membuat pengambilan keputusan politik mendekati pendekatan ilmiah
untuk memecahkan masalah. Metode ilmiah, menurut Popper dalam Parsons 2005, tidak terdiri dari proses pembuktian logis
berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, melainkan lebih berada pada latar
setting teori yang dapat difalsifikasi. Ia berpendapat bahwa masalah ada pada struktur pengetahuan dan dia menolak
gagasan Baconian bahwa eksistensi fakta terpisah dari persepsi, nilai, teori, dan solusi.
Kebijakan publik tidak semata-mata dipahami dalam kerangka ilmiah sebagaimana yang diyakini oleh para penganut
paradigma positivistik. Hayek merupakan salah satu dari filsuf dari kelompok kanan baru yang mengkritik penggunaan
paradigma positivistik dalam analisis kebijakan publik. Salah satu kontribusi penting dari Hayek terhadap studi kebijakan
adalah apresiasinya terhadap politik ide dan pentingnya promosi ide melalui organisasi Parsons 2005.
Hayek bersama sejawatnya mendirikan think-thank
pertama, yaitu Mont Pelerin Society pada tahun 1947, yang
65
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
menjadi sumber inspirasi bagi terbentuknya beberapa think-
thank lainnya, seperti Institute of Economic Affairs. Hayek menolak positivisme logis dari kelompok Vienna dan ia
mengkritik gagasan yang menyatakan bahwa pengetahuan objektif eksis dan dapat berfungsi sebagai basis untuk
mendeduksi hukum atau merencanakan masyarakat secara ilmiah.
Pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga pendapat yang mengatakan bahwa negara, pemerintah atau birokrasi
dapat menyatukan dan mengkoordinasikan semua informasi yang tidak terbatas dalam rangka membuat keputusan sosial dan
mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu, merupakan pandangan yang keliru dan menyesatkan. Bagi Hayek,
masyarakat bukan hasil dari desain manusia, tetapi merupakan tatanan spontan Parsons 2005.
Gagasan untuk membuat tatanan tersebut menjadi lebih baik melalui campur tangan penerapan teori kebijakan oleh
pemerintah adalah sebuah gagasan yang secara epistemologis tidak tepat. Hayek dalam Parsons 2005 percaya bahwa
pemerintah atau pembuat kebijakan tidak dapat memecahkan masalah atau memperbaiki apa-apa yang muncul secara spontan
dari interaksi antara individu bebas dengan pasar bebas. Itulah sebabnya, Hayek mengusulkan bahwa peran kebijakan publik
harus terbatas pada bagaimana memastikan agar tatanan spontan dalam masyarakat dan perekonomian bisa berjalan
tanpa campur tangan negara.
Negara berfungsi untuk mempromosikan kebebasan personal dan pasar serta menegakkan aturan undang-undang
untuk terwujudnya kemaslahatan semua individu. Apabila pembuatan kebijakan harus melibatkan negara, harus dijamin
bahwa kebijakan tersebut tidak sampai menciptakan monopoli Hayek dalam Parsons 2005
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
66 Pada
era 1990-an
berkembang paradigma
komu- nitarianisme. Etzioni merupakan salah satu pendukung utama
paradigma tersebut. Etzioni dalam Parsons 2005 menunjukkan jalan tengah antara penggunaan regulasi dan kontrol negara di
satu pihak dengan penggunaan kekuatan pasar murni di pihak lainnya. Bagaimana negara mengambil peran dalam kehidupan
masyarakat, berikut ini pandangan Etzioni.
Menurut pandangan
komunitarian, inti
negara kesejahteraan
yang kuat,
tetapi terbatas
harus dipertahankan. Tugas-tugas lain yang selama ini
dilaksanakan negara harus diserahkan kepada individu, keluarga, dan komunitas. Dasar filosofisnya adalah kita
perlu mengembangkan rasa tanggung jawab personal, sekaligus tanggung jawab bersama. Bagaimana kita
melaksanakan aktivitas yang harus ditangani pada level masyarakat? Jawabannya adalah dengan menerapkan
prinsip
subsidiary.
Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab untuk setiap situasi pertama-tama jatuh
pada mereka yang paling dekat dengan persoalan. Hanya ketika solusinya tidak bisa ditemukan oleh individu, maka
keluarga harus ikut terlibat. Jika keluarga tidak bisa mengatasinya, barulah komunitas lokal boleh terlibat. Jika
memang persoalannya terlalu besar untuk komunitas, barulah negara diperbolehkan terlibat Parsons 2005:54.
Paradigma kebijakan
yang diusulkan
Etzioni ini
menunjukkan adanya garis tanggung jawab yang jelas, yaitu perorangan, keluarga, komunitas, dan masyarakat secara
keseluruhan. Kebijakan publik harus ditujukan untuk mempromosikan dan membangkitkan kembali institusi-institusi
yang berdiri di antara individu dan negara, yaitu keluarga, organisasi relawan, sekolah, gereja, lingkungan rukun tetangga,
dan komunitas. Pembuat kebijakan, menurut Etzioni, harus mau mengubah kebijakan dalam rangka memberi penekanan
yang lebih besar kepada tanggung jawab personal ketimbang pada hak-hak personalnya. Nilai moral harus menjadi batu
pijakan bagi kebijakan untuk mengatasi semakin luasnya fragmentasi masyarakat modern.
67
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Merujuk pada pandangan Etzioni ini, pemerintah kota Semarang dalam membuat kebijakan penataan PKL, seyogyanya
lebih menitikberatkan pada pemberian rasa tanggung jawab kepada PKL untuk mengelola aktivitas ekonomi dan lingkungan
di mana mereka berdagang. Pemberian tanggung jawab ini tidak cukup efektif kalau hanya diserahkan kepada individual PKL,
tetapi lebih banyak diserahkan kepada asosiasi PKL di masing- masing lokasi PKL. Diyakini bahwa dengan pemberian otonomi
tanggung jawab ini, diperkirakan PKL dapat menjalankan aktivitas ekonominya dengan baik dan dampak pengiringnya
adalah ruang publik kota menjadi terawat, rapi, dan bersih karena adanya simbiosis mutualisme antara PKL dan
pemerintah kota Semarang.
Kebijakan publik sebagai upaya pemecahan masalah berdasarkan rasionalitas atau akal manusia dikritik oleh
Habermas. Seperti halnya Hayek, Habermas dalam Parsons 2005
mengakui adanya
dominasi rasionalitas
dalam memecahkan problem. Habermas memperkuat ide rasionalitas
dalam analisis kebijakan, dengan mengusulkan konsep rasionalitas komunikatif. Habermas dalam Parsons 2005
berpendapat bahwa “daripada meninggalkan nalar sebagai informing principle bagi masyarakat kontemporer, kita
sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang terbentuk
dalam pengertian
subjek-objek yang
terindividualisasikan ke konsep penalaran yang terbentuk dalam komunikasi i
ntersubjektif”. Penalaran seperti itu, diperlukan ketika kehidupan bersama
yang berbeda-beda dalam ruang dan waktu yang sama mendesak kita untuk mencari cara menemukan kesepakatan
tentang bagaimana menangani persoalan kolektif Habermas dalam Parsons 2005. Upaya membangun rasa memahami
sebagai fokus aktivitas penalaran akan menggantikan filsafat kesadaran yang berorientasi subjek yang menurut Habermas
telah mendominasi konsep barat tentang nalar sejak era
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
68 pencerahan. Gagasan Habermas menimbulkan dampak luas bagi
teori dan praktik kebijakan publik. Pada level teori misalnya, ide-idenya menyarankan perlunya perhatian yang lebih besar
kepada bahasa, wacana, dan argumen. Dalam tataran praktis, teori Habermas, seperti situasi perbincangan yang ideal,
mengajak para perumus kebijakan untuk mencari metode analisis baru dan proses institusional baru yang dapat
mempromosikan
pendekatan interkomunikatif
guna merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik.
Dalam teori kebijakan publik terdapat pendekatan dan model yang dapat digunakan baik untuk merumuskan maupun
mengimplementasikan kebijakan publik. Sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa kerangka analisis
kebijakan yang dominan adalah pengambilan keputusan yang rasional, namun pendekatan tahapan
stagist atau siklus tetap menjadi basis untuk melakukan proses analisis kebijakan. Dye
2002 menawarkan beberapa model analisis kebijakan, yaitu institutional model, process model, rational model, incremental
model, group model, elite model, public choice model, dan game theory model. Model-model yang ditawarkan tersebut
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Salah satu model kebijakan yang sering digunakan analis adalah
rational model. Model rasional rational model adalah model kebijakan
publik yang tujuannya ingin mencapai keuntungan sosial maksimum Dye 2002:16.
Dalam model ini, pemerintah memilih kebijakan yang dapat menghasilkan keuntungan bagi masyarakat melebihi biaya yang
harus ditanggung masyarakat. Dalam model tersebut terdapat konsep kunci, yaitu keuntungan sosial maksimum. Konsep
keuntungan sosial maksimum
maximum social gain memiliki dua makna, yaitu 1 tidak ada kebijakan yang diadopsi jika
biaya yang ditanggung melebihi keuntungan yang diperoleh, 2 di antara alternatif kebijakan, pengambil keputusan seharusnya
69
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.
Untuk menyeleksi kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus 1 mengetahui seluruh pilihan nilai-nilai masyarakat dan
pertimbangan relatif mereka, 2 mengetahui seluruh alternatif kebijakan yang tersedia, 3 mengetahui seluruh konsekuensi
dari masing-masing alternatif kebijakan, 4 mengkalkulasi rasio antara keuntungan dan biaya dari masing-masing alternatif
kebijakan, 5 menyeleksi alternatif kebijakan yang paling efisien.
Dye 2005 menjelaskan proses kebijakan berdasarkan model rasional seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4. Model Rasional dari Sistem Keputusan
Suatu kebijakan publik pada prinsipnya berisi kepentingan publik, bukan kepentingan negara, pemerintah atau pun elit
politik. Selama kebijakan publik memiliki nilai dan manfaat
1.establishment of complete set of
operational goals with weights
3.preparation of complete set of
alternative policies
2.establishment of complete inventory
of other values and of resources with
weights 4. preparation
of complete set of predictions
of benefits and costs for each
alternative 5.calculation
of net expectation
for each alternative
6.comparison of net
expectations and
identification of
alternatives with highest
net expectation
Output Pure
rationality policy
Input all resources
needed for pure
rationality process
All data needed for
pure rationality
process
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
70 bagi kepentingan publik, maka ia dapat disebut kebijakan
publik. Dalam kebijakan publik terdapat tiga nilai pokok, yaitu 1 kebijakan publik bersifat cerdas, artinya mampu
memecahkan masalah yang sesungguhnya dialami, 2 kebijakan bersifat bijaksana, artinya butir kebijakan yang telah ditetapkan
tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar, dan 3 kebijakan publik memberikan harapan kepada seluruh
masyarakat bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik daripada hari ini Nugroho 2009:329. Secara teoretik, kebijakan
yang ditetapkan pemerintah cenderung baik dan ideal, tetapi dalam implementasinya sering tidak sesuai dengan cita-cita
yang dikandung dalam kebijakan tersebut.
Sebaik-baiknya suatu perencanaan, jika pelaksanaan atau implementasinya tidak maksimal apalagi menyimpang dari
perencanaan, maka kebijakan yang diambil juga dinilai tidak baik. Implementasi kebijakan merupakan kelanjutan dari
politik dengan berbagai sarana Dye 2002. Artinya bahwa, tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai keputusan
politik harus dapat dicapai dengan berbagai tindakan yang melibatkan cara, strategi atau taktik tertentu. Dalam kalimat
yang singkat, Anderson 2000 menjelaskan implementasi kebija
kan sebagai “what happens after a bill becomes law”, artinya bahwa implementasi kebijakan berkaitan dengan apa
yang terjadi setelah Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar memiliki dampak atau tujuan yang diinginkan Winarno 2007. Menurut
van Meter dan van Horn, sebagaimana dikutip Nawawi 2009, implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan
oleh individu, pejabat, atau kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan. Implementasi juga dimaknai sebagai suatu proses atau serangkaian keputusan dan tindakan
yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh
71
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
lembaga legislatif dapat dijalankan Winarno 2007. Tugas implementasi, menurut Grindle 1980 adalah membentuk
suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan implementasi bukan sekedar kegiatan akhir dari suatu
kebijakan, tetapi merupakan proses atau aktivitas yang dapat memastikan bahwa kebijakan atau keputusan yang telah
ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Implementasi kebijakan bukan sekedar dilihat dari bagaimana pelaksanaan
programnya, tetapi diukur dari bagaimana program tersebut dapat mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
oleh kebijakan. Dalam kaitan ini, van Meter dan van Horn, sebagaimana diungkapkan kembali oleh Winarno 2007
menyarankan agar tujuan dan sasaran suatu kebijakan yang akan dilaksanakan harus dapat diidentifikasi dan diukur. Hal ini
penting, karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil jika tujuan-tujuan yang ditetapkan tidak dapat diukur.
Ukuran tujuan dan sasaran kebijakan dapat dilihat pada pernyataan dari pembuat kebijakan atau dalam dokumen
regulasi yang ditetapkan. Untuk mengetahui bagaimana sasaran pembangunan pendidikan dapat dicapai atau telah dilaksanakan
dengan baik, seorang analis kebijakan dapat mengkaji dokumen UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat 4. Dalam pasal
tersebut ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Jika ada suatu daerah provinsi atau kabupaten belum mencantumkan anggaran
pendidikan sebesar 20, berarti kebijakan pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
72 Guna memahami kebijakan pemerintah dalam melakukan
perlindungan tenaga kerja,
utamanya anak-anak dan
perempuan, seorang analis kebijakan harus mengkaji Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-
pasal yang dapat dikaji di antaranya pasal 68 sampai dengan 85. Pasal 68 misalnya, mengamanatkan bahwa pengusaha dilarang
mempekerjakan anak. Jika ada pengusaha mempekerjakan anak, maka ia dapat dikenai sanksi karena telah melanggar ketentuan
undang-undang ketenagakerjaan. Namun demikian, pasal 69 Undang-undang ini memberi kelonggaran kepada pengusaha,
bahwa ia dapat mempekerjakan anak yang berusia antara 13 hingga 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang
tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak.
Dari dua contoh kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan dapat diimplementasikan dan dapat
diukur jika sasaran dan tujuannya jelas. Jika tidak, maka inplementasi kebijakan wajib dipertanyakan.
Masalah yang paling penting dalam implementasi kebijakan adalah bagaimana memindahkan suatu keputusan ke dalam
kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu Jones 1991. Implementasi suatu program kebijakan dilakukan melalui tiga
pilar, yaitu:
1 organisasi, yakni menyangkut pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit dan metode untuk
membuat program dapat berjalan, 2 interpretasi, yakni menafsirkan agar program dapat menjadi
rencana dan pengarahan yang tepat, dapat diterima dan dilaksanakan,
3 penerapan, yakni ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran dan lainnya yang disesuaikan dengan tujuan
program Jones sebagaimana dikutip Nawawi 2009.
73
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Berhasil tidaknya
aktivitas implementasi
kebijakan tergantung pada apa yang dilakukan oleh badan-badan
pelaksana. Kegiatan implementasi kebijakan yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana mencakupi berbagai jenis kegiatan,
yaitu:
1 badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan tanggung jawab menjalankan program harus
mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar,
2 badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta
rencana dan desain program, 3 badan-badan harus mengorganisasikan kegitan-kegiatan
mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja,
4 badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-
kelompok target Winarno 2007. Pembuatan kebijakan publik tidak berakhir pada telah
dirumuskannya hukum atau peraturan oleh lembaga yang berwenang. Implementasi kebijakan melibatkan seluruh
aktivitas yang didesain untuk membawa kebijakan kepada lembaga legislatif untuk dijadikan undang-undang. Aktivitas-
aktivitas tersebut juga menciptakan organisasi baru, seperti departemen, agensi dan birokrasi. Organisasi-organisasi tersebut
harus mampu menterjemahkan hukum dan undang-undang ke dalam peraturan dan regulasi yang operasional.
Dalam rangka fungsi ini, organisasi harus mampu menetapkan personil, menyusun kontrak, menggunakan dana,
dan melakukan tugas. Seluruh aktivitas tersebut melibatkan keputusan yang dibuat oleh birokrat. Dalam masyarakat yang
makin kompleks permasalahan dan kebutuhannya, posisi birokrasi makin menonjol sebagai lembaga pengambilan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
74 keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam
praktiknya, birokrasi melakukan tugas-tugas rutin dan dalam keadaan tertentu ia dapat melakukan diskresi atau mengambil
suatu kebijaksanaan yang berbeda, yang menguntungkan kepentingan publik atau setidak-tidaknya tidak merugikan
publik.
Pada umumnya birokrat memiliki keyakinan kuat tentang nilai-nilai dalam program dan tugas-tugas mereka Dye 2002.
Para pejabat Environmental Protection Agency EPA memiliki
komitmen yang kuat terhadap gerakan lingkungan, pejabat- pejabat di CIA juga memiliki keyakinan yang kuat mengenai
pentingnya kecerdasan yang bagus untuk keamanan nasional, dan pejabat-pejabat di
Social Security Adminsitration SSA memiliki komitmen kuat untuk memelihara keuntungan dari
sistem pengunduran diri. Komisi Pemberantasan Korupsi KPK di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menciptakan
Indonesia bersih dari korupsi. WALHI sangat berkepentingan terhadap terjaganya lingkungan hidup di Indonesia. Demikian
pula, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia APKLI memiliki komitmen untuk memberdayakan pedagang kaki lima PKL.
Dalam kaitannya dengan eksistensi PKL di Semarang, Persatuan Pedagang Kaki Lima Semarang PPKLS memiliki komitmen
dan kepedulian yang tinggi terhadap nasib dan masa depan PKL.
Salah satu unsur yang harus diperhatikan para pelaksana kebijakan birokrat adalah komunikasi. Implementator
kebijakan yang efektif harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah harus diteruskan
kepada personil yang tepat, sebelum keputusan dan perintah tersebut dapat diikuti. Dalam kaitan ini, komunikasi dipandang
memegang peranan penting. Edwards dalam Winarno 2007 mengusulkan tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi.
75
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Dalam hal transmisi, seorang pejabat yang akan mengimplementasikan keputusan hendaknya menyadari bahwa
suatu keputusan telah dibuat dan perintah telah dikeluarkan. Dalam transmisi ini memang terdapat kendala yang harus
diperhatikan dengan seksama oleh pelaksana kebijakan. Kendala itu di antaranya 1 adanya pertentangan pendapat
antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, 2 informasi melewati hierarkhi birokrasi
yang berlapis-lapis, 3 penerimaan komunikasi juga dihambat oleh persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk
mengetahui persyaratan-persyaratan kebijakan Winarno 2007.
Kebijakan yang baik tidak hanya mensyaratkan adanya petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan petunjuk-petunjuk teknis,
tetapi juga ditentukan oleh adanya komunikasi kebijakan yang jelas. Acapkali instruksi yang diteruskan ke pelaksana sangat
kabur, tidak jelas kapan pelaksanaannya serta cara bagaimana program dapat dilaksanakan. Ketidakjelasan komunikasi ini
akan menyebabkan terjadinya interpretasi yang bermacam- macam mengenai kebijakan yang akan ditindaklanjuti.
Konsistensi merupakan faktor ketiga dari komunikasi kebijakan. Jika implementasi kebijakan berlangsung efektif,
maka perintah atau instruksi pelaksanaannya harus konsisten. Perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana
kebijakan
bertindak longgar
dalam menafsirkan
dan mengimplementasikan program kebijakan. Penafsiran yang
keliru ini akan menyebabkan implementasi program tidak efektif, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat
dicapai.
Setiap kebijakan harus memiliki dampak atau konsekuensi yang diinginkan. Dampak atau konsekuensi adalah perubahan
yang bisa diukur dalam masalah yang luas, berkaitan dengan program yang telah ditetapkan, berdasarkan undang-undang
atau keputusan yudisial Winarno 2007. Keputusan yang baik
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
76 sudah semestinya menghasilkan konsekuensi yang baik Parsons
2005. Dalam realitasnya, tidak semua kebijakan memiliki dampak baik dan menguntungkan bagi pihak yang dikenai
kebijakan. Kebijakan yang baik dapat dianalisis dari sejauhmana kebijakan tersebut memberi manfaat bagi mereka yang dikenai
kebijakan tersebut. Dalam kaitan ini, Dunn dalam Nugroho 2009 menyarankan lima prosedur umum dalam analisis
kebijakan yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan.
1 Definisi, yaitu menghasilkan informasi mengenai kondisi- kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan,
2 Prediksi, yakni
menyediakan informasi
mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif
kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu, 3 Preskripsi, yakni menyediakan informasi mengenai nilai
konsekueksi alternatif di masa mendatang, 4 Deskripsi,
yaitu menghasilkan
informasi tentang
konsekuensi sekarang dan masa lalu dari penerapan alternatif kebijakan,
5 Evaluasi, yaitu kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah.
Dalam analisis kebijakan harus dapat dibuat rumusan masalahnya, peramalan masa depan kebijakan, dan rekomendasi
kebijakan. Dalam hal yang terakhir, seorang analis kebijakan harus mampu menentukan alternatif kebijakan yang terbaik
dan alasan mengapa alternatif tersebut dipilih. Rekomendasi kebijakan yang baik memuat enam kriteria, yaitu:
1 Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan,
2 Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas yang dikehendaki,
77
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
3 Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan
yang menimbulkan masalah, 4 Perataan, berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat
kebijakan, 5 Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target
kebijakan,
6 Kelayakan, berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan tersebut tepat untuk suatu masyarakat.
Siapapun menyadari bahwa konsekuensi dari tindakan kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, dan oleh
karenanya pemantauan kebijakan merupakan suatu keharusan Dunn 2003. Rekomendasi kebijakan dapat dipandang sebagai
suatu hipotesis tentang hubungan antara tindakan dan hasil kebijakan. Jika tindakan A dilakukan pada waktu t¹, maka hasil
O akan muncul pada t². Setiap hipotesis ini didasarkan pada pengalaman dan asumsi tentang sebab dan akibat, sehingga
hipotesis tidak lebih dari sekadar suatu terkaan sampai ketika hipotesis tersebut diuji oleh pengalaman berikutnya.
Pemantauan kebijakan penting bagi implementasi suatu kebijakan. Pemantauan ini penting karena memberikan
informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik Dunn 2003. Pemantauan kebijakan memiliki empat fungsi dalam
pandangan analis kebijakan, yaitu:
1. Kepatuhan. Pemantauan berguna untuk menentukan, apakah tindakan administratur, staf dan pelaku lain sesuai
dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator dan pemerintah,
2. Pemeriksaan. Pemantauan membantu menentukan, apakah sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk
kelompok sasaran telah sampai kepada mereka,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
78 3. Akuntansi. Monitoring menghasilkan informasi yang
bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakan sejumlah
kebijakan dalam kurun waktu tertentu,
4. Eksplanasi. Pemantauan dapat menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan
publik dan program bisa berbeda.
B. Tinjauan tentang Modal Sosial