139
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
sekitar 700 ribu lebih PKL yang memenuhi sudut-sudut ruang kota Surabaya Alisjahbana 2009:3. Jumlah PKL yang hampir
menyentuh angka 1 juta tersebut merupakan potensi luar biasa bagi pembangunan ekonomi kota Surabaya, yang jika tidak
ditangani dengan baik akan berubah menjadi malapetaka serius bagi stabilitas sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kota
Surabaya.
Peran ekonomi sektor informal sebagai penampung pekerja sektor formal juga terjadi di beberapa kota di negara-negara
sedang berkembang lainnya. Sektor informal justru berfungsi seperti busa, yakni menyerap luberan para pekerja sektor formal
yang terlempar dari sektor formal, terutama akibat dari krisis ekonomi, sebagaimana terjadi pada tahun 1997. Di Thailand
misalnya, data statistik menunjukkan bahwa jumlah pekerja jalanan atau sektor informal berkembang secara subtansial
setelah krisis finansial melanda Thailand pada tahun 1998 Terravina 2006:2.
4. Resistensi Pedagang Kaki Lima PKL
Matsumoto ed 2009:442 mengartikan resistensi atau resistance sebagai suatu proses menentang, melawan, atau
bertahan dari sesuatu atau orang lain. Resistensi atau resistance
diartikan sebagai suatu mekanisme penentangan yang disadari maupun tidak disadari untuk membuka material bawah sadar.
Resistensi tersebut berkaitan dengan mekanisme pertahanan psikologis yang mendasar melawan dorongan-dorongan dari
id yang mengancam
ego Bhatia 2009: 352. Chaplin 2005:431 mendefinisikan resistensi sebagai suatu
oposisi sosial atau negativisme dalam mereaksi terhadap
perintah, peraturan, dan kebijakan politik.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
140 Knowles dan Linn 2004:5 memahami konsep resistensi
dari aspek motivasionalnya, yakni sebagai motivasi untuk melawan tekanan-tekanan terhadap perubahan.
Lewin sebagaimana dikutip Gravenhorst 2003:4 memaknai resistensi sebagai reaksi individual terhadap rasa frustrasi karena
adanya tekanan dari suatu kekuasaan yang kuat. Menurut McFarland 2004:1251, resistensi merupakan tipe
perilaku nonkonformis yang mempertanyakan legitimasi dari suatu tertib sosial. Tindakan resistensi berusaha untuk
mengubah tertib sosial dan berkembang menjadi proses yang lebih besar menyerupai suatu drama sosial. Drama sosial ini
merupakan perubahan episode dari tindakan sosial yang seterusnya dapat meledak dari permukaan kehidupan sosial
yang rutin dan halus. Melalui aktivitas resistensi, tertib sosial didekonstruksi dan direproduksi dari bentuk lama menjadi
suatu bentuk baru.
Watson memandang resistensi sebagai suatu reaksi alamiah dari individu untuk menciptakan situasi yang stabil
Gravenhorst 2003:5. Resistensi ini merupakan reaksi atau kekuatan melawan perubahan, sebagaimana dilihat Kotter,
Schlesinger, Sathe dan Mullins Gravenhorst 2003.
Resistensi juga dipahami sebagai reaksi alamiah individu terhadap sesuatu yang secara signifikan mengancam status quo.
Perubahan yang dipaksakan kepada individu dapat mengganggu harapan-harapan dan individu bisa kehilangan nilai-nilai
tertentu Gravenhorst 2003.
Dalam skala yang lebih luas, resistensi dapat berubah menjadi pemberontakan
rebellion dan revolusi. Jika resistensi sangat terorganisasi, sistemik, dan melibatkan banyak
komponen masyarakat, maka resistensi dapat berubah menjadi pemberontakan
rebellion. Pemberontakan rebellion tidak ditujukan kepada pemerintah lokal, tetapi ia sebagai perlawanan
141
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
terbuka terhadap kekuasaan, khususnya yang dilakukan oleh kekuatan bersenjata melawan pemerintah pusat yang sah dan
establish. Pemberontakan dapat menjadi suatu revolusi ketika para pemberontak berhasil melakukan atau mencapai
tujuannya. Revolusi Amerika 1775-1783, revolusi Perancis 1789-1795 dan revolusi Rusia 1917 merupakan contoh dari
sebuah perlawanan dan pemberontakan yang menghasilkan suatu revolusi. Resistensi yang dilakukan PKL tidak dapat
dikategorikan sebagai pemberontakan, karena sifatnya hanya lokal, ditujukan kepada pemerintah kota, dan tidak
dimaksudkan untuk merebut kekuasaan yang sah.
Dari berbagai pandangan tersebut, resistensi dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai suatu sikap menentang
perubahan dan sebagai suatu perilaku nonkonformis yang mengubah suatu tertib sosial. Dalam disertasi ini, resistensi
dipahami sebagai suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang,
dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan
ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan posisi status quo mereka yang selama ini sudah dapat menikmati
aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang oleh PKL sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup mereka,
yang belum tentu memberi jaminan dengan kepindahannya di tempat baru, mereka akan menikmati hidup lebih baik. Inilah
yang menyebabkan para PKL bersikap resisten ketika ditertibkan, digusur, dan dipindahkan.
Resistensi sejatinya merupakan tindakan menolak untuk tunduk, patuh dan memenuhi perintah atau peraturan yang
ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang. PKL menolak untuk tidak patuh dan tidak tunduk kepada perintah
relokasi dari Pemkot bisa dipandang sebagai resistensi negatif, karena tidak patuh terhadap Perda yang mengatur pedagang
kaki lima. Namun pada sisi lain, resistensi yang diperlihatkan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
142 para PKL di tiga lokasi dapat juga berkonotasi positif, karena
penolakan dan perlawanan mereka diduga dapat memengaruhi cara pandang dan kebijakan Pemkot dalam menata PKL di kota
Semarang.
Gerakan perlawanan Perancis selama Perang Dunia Kedua, merupakan contoh resistensi yang berkonotasi positif dan
romantik, karena tindakan pemberontak berjuang melawan kekuasaan tirani. Resistensi pemberontak Perancis ini lebih
cocok disebut “Resistance Fighters” atau “Freedom Fighters” daripada pemberontakan atau
rebellion. Resistensi atau perlawanan seseorang atau kelompok
berkaitan dengan sikap, tindakan, dan respon terhadap perubahan. Perubahan bisa membuat orang atau kelompok
cemas dan hilang harapan hopeless yang menurut persepsinya
bisa mengancam kelangsungan hidupnya. Seperti halnya yang dialami pedagang kaki lima di Sampangan, Basudewo, dan
Kokrosono ketika ditertibkan, digusur, dan direlokasi, respon mereka bermacam-macam. Ada yang bisa beradaptasi
adaptation dengan bersedia pindah ke gedung PKL Kokrosono, meskipun jumlahnya tidak banyak; ada yang bisa menerima
acceptance keputusan dan kebijakan Pemkot untuk pindah atau sama sekali tidak bekerja sebagai PKL; ada yang kaget
shock, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah; dan ada pula yang bersikap defensif
defensive, yakni bertahan di lokasi untuk melakukan pembelaan diri dengan melawan
kebijakan yang ditempuh Pemkot. Dari empat respon PKL terhadap kebijakan relokasi, sikap yang terakhir, yaitu defensif
yang paling dominan diperlihatkan PKL. Visualisasi dari respon
143
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
PKL terhadap kebijakan relokasi dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 8. Respon PKL terhadap Kebijakan Relokasi
D. Kerangka Berpikir