Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
116 politik. Pendek kata, modal sosial bermanfaat tidak saja bagi
individu yang berada dalam struktur sosial, tetapi juga berguna bagi kelompok, komunitas, masyarakat, dan pemerintah.
C. Tinjauan tentang Resistensi Pedagang Kaki Lima PKL
Sebelum diuraikan tentang konsep resistensi PKL, berikut dijelaskan konsep tentang sektor informal dan pedagang kaki
lima, yakni karakteristiknya, kaitan urbanisasi dan sektor informal, pandangan tentang sektor informal, dan dinamika
pertumbuhan sektor informal atau Pedagang Kaki Lima PKL.
1. Karakteristik Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima
Eksistensi sektor informal merupakan sesuatu yang wajar sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan kota. Di
tengah kemajuan ekonomi perkotaan yang mengandalkan sektor formal, kehadiran aktivitas ekonomi informal menjadi
sesuatu yang tak terelakkan. Sebagaimana dikatakan Williams and Jan Windebank 1998:29 bahwa dalam ekonomi maju
terdapat pertumbuhan aktivitas ekonomi informal. Sektor informal ini merupakan bentuk baru dari eksploitasi
kapitalisme maju atau tanggapan terhadap
over-regulation oleh pasar.
Untuk memberikan gambaran tentang eksistensi sektor informal dalam kaitannya dengan sektor formal, maka dalam
penelitian ini dikemukakan perdebatan konsep mengenai sektor informal dan dari perdebatan itulah dipilih konsep yang
dipandang relevan dengan karakteristik subjek yang diteliti.
Tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa itu sektor informal. Sebagaimana diakui Mitter 1989, mendefinisikan
sektor informal bukan hal yang mudah, karena para akademisi
117
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
dan pembuat kebijakan akan menggunakan konsep tersebut berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Ferman menyebut
informal economy sebagai irregular economy, Guttmann senang dengan istilah
subterranean economy, Simon memakai istilah
the undeground
economy, dan
Abumere menggambarkannya sebagai
invisible, hidden, shadow, non- official, and imperfectly recorded in the official national
acounting systems Yusuff 2011. Meskipun banyak pendapat dan diakui sulit menentukan mana aktivitas ekonomi yang
dapat dimasukkan ke dalam sektor formal dan mana pula kegiatan ekonomi yang dapat digolongkan ke dalam sektor
informal, namun untuk memastikan arah penelitian, perlu ada konsep yang dipilih. Itulah sebabnya, dalam uraian berikut
disajikan berbagai pandangan tentang sektor informal, termasuk ciri-ciri atau karakteristiknya.
Sektor informal adalah sektor yang bukan pedesaan dan bukan pula perkotaan, bukan tradisional dan tidak juga
modern, tetapi adalah sektor kegiatan transisional yang dibentuk oleh proses urbanisasi Soetomo 2009:170. Sektor ini
memiliki karakteristik, yaitu menekankan pada keuangan sendiri, modal kecil, skala kecil, dan produksi intensif dari
tenaga kerja tidak terampil Pratap and Erwan Quintin 2006:2.
Dalam laporannya mengenai kegiatan sektor informal di Kenya pada tahun 1972, ILO menegaskan ekonomi informal
sebagai a way of doing things, characterized by : 1ease of
entry, 2 reliance on indigenous resources, 3 family ownership of resources, 4 small scale of operations, 5 labour
intencive and adaptive technology, 6 skill acquired outside the formal school system, and 7 unregulated and competitive
markes Pellissery and Robert Walker 2007; Wells 2007. Sektor informal menurut kategori yang dibuat ILO tersebut
memiliki ciri-ciri, yaitu adanya titik masuk pada kesenangan, percaya pada sumberdaya asli atau lokal, kepemilikan
sumberdaya keluarga, operasi dalam skala kecil, pekerja intensif
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
118 dan teknologi yang adaptif, keterampilan yang diperoleh di luar
sistem sekolah formal, serta pasar tidak teratur dan kompetitif. Castells and Portes 1989 mengartikan sektor informal
sebagai proses menghasilkan pendapatan income-generation
yang diatur oleh institusi-institusi masyarakat dalam lingkungan sosial dan hukum di mana aktivitas-aktivitas yang
sama diatur. Aktivitas sektor informal ini merupakan aktivitas dinamis yang di dalamnya tidak hanya aspek ekonomi yang
berperan, tetapi juga teori sosial terutama pertukaran juga memberi kontribusi dalam memahami kegiatan sektor informal
ini. Aktivitas sektor informal ini memiliki sifat temporal atau sementara dan dalam pertumbuhannya bisa beralih menjadi
sektor formal.
The International Conference of Labor Statisticians ICLS pada tahun 1993 menghasilkan kesepakatan bahwa yang
dimaksud sektor informal adalah pekerjaan dan produksi dalam skala kecil danatau perusahaan tidak terdaftar Chen, et al
2005:38. Dalam konferensi ini, sektor informal dibagi dalam dua bentuk, yaitu
informal self-employment dan informal wage employment. Termasuk ke dalam informal self-employment
adalah employers in informal enterprises, own account workers
in informal enterprises, and unpaid familyworkers; sedangkan yang tergolong dalam
informal wage employment adalah employees of informal enterprises, casual or day labourers,
temporary or part-time workers, paid domestic workers, unregistered or undelared workers, and industrial outworkers
also called homeworkers.
Sektor informal memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dari sektor formal. Todaro dan Abdullah, sebagaimana dikutip
Hariyono 2007: 109 menyebutkan 8 ciri-ciri sektor informal. Pertama, sebagian besar memiliki produksi yang berskala
kecil, aktivitas-aktivitas jasa dimiliki oleh perorangan atau keluarga, dan menggunakan teknologi yang sederhana.
119
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Kedua, umumnya para pekerja bekerja sendiri dan sedikit yang memiliki pendidikan formal yang tinggi.
Ketiga, produktivitas
pekerja dan
penghasilannya cenderung lebih rendah daripada sektor formal.
Keempat, para pekerja sektor informal tidak dapat menikmati perlindungan, seperti yang diperoleh dari sektor
formal dalam bentuk jaminan kelangsungan kerja, kondisi kerja yang layak, dan jaminan pensiun.
Kelima, kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah pendatang baru dari desa yang tidak
mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sektor formal. Keenam, motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan
penghasilan, yang bertujuan hanya untuk dapat hidup survive, bukan untuk mendapatkan keuntungan dan hanya
mengandalkan pada sumberdaya yang ada pada mereka untuk menciptakan pekerjaan.
Ketujuh, mereka berupaya agar sebanyak mungkin anggota keluarga mereka ikut berperan serta dalam kegiatan yang
mendatangkan penghasilan dan meskipun begitu mereka bekerja dalam waktu yang panjang.
Kedelapan, kebanyakan di antara mereka menempati gubuk-gubuk yang mereka buat sendiri di kawasan kumuh
slum area dan pemukiman liar schelter, yang umumnya kurang tersentuh oleh pelayanan jasa, seperti listrik, air,
transportasi, serta jasa-jasa kesehatan dan pendidikan. Pandangan Hidayat sebagaimana dikemukakan kembali
oleh Kuncoro 2010:139, menyebutkan 10 ciri-ciri sektor informal sebagai berikut.
1. Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak menggunakan fasilitas atau
kelembagaan yang tersedia di sektor formal,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
120 2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha,
3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja,
4. Pada umumnya
kebijaksanaan pemerintah
untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor
ini, 5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu subsektor ke
subsektor lainnya, 6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif,
7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil,
8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari
pengalaman sambil bekerja, 9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan
one man enterprises dan kalau mempekerjakan buruh berasal dari
keluarga, 10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari
tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi,
11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota atau desa yang berpenghasilan
rendah, meskipun demikian kadang-kadang ada juga yang berasal dari kalangan berpenghasilan menengah.
Ozveren 2005 menyebutkan enam ciri sektor informal, yaitu 1 tingkat kompetisinya rendah, 2 mudah dimasuki, 3
harga produk ditentukan oleh pasar, 4 berkonsentrasi pada barang-barang eceran dengan harga rendah, 5 proses produksi
bertumpu secara intensif pada tenaga kerja, dan 6 produktivitas rendah.
Dalam survey di Brazil, Henley 2006 menyebutkan tiga karakter dari sektor informal, yaitu 1 tidak adanya kontrak
tenaga kerja terdaftar, 2 tidak adanya tunjangan pensiun, dan 3 aktivitasnya berskala mikro.
121
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Tidak semua aktivitas informal dapat dimasukkan ke dalam sektor informal. OECD 2002 mengemukakan tiga kriteria
sektor informal. Pertama, kerja berada di bawah unit bisnis formal dalam hal
mana subjek mengelola, perlindungan legal, dan pengakuan dalam ekonomi formal dan di luar itu adalah kerja ekonomi
informal.
Kedua, meskipun kerja di luar aktivitas ekonomi informal, namun hal itu tidak dikategorikan sebagai ekonomi informal
jika ia memproduksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal. Aktivitas yang kedua ini dalam terminologi OECD 2002:37
disebut dengan
non-observed economy atau ekonomi tak teramati. Termasuk dalam ekonomi tak teramati adalah sektor
underground, ilegal, dan informal atau undertaken oleh rumahtangga
untuk tujuan
akhir mereka.
Produksi underground biasanya menghindari standar legal, seperti upah
minimum, jam kerja maksimum, keamanan atau standar kesehatan. Produksi
ilegal menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dijual atau kepemilikannya dilarang oleh hukum
atau aktivitas produksinya biasanya legal, tetapi menjadi ilegal ketika disediakan oleh produser-produser yang tidak
berwenang. Sektor
informal mewakili bagian penting dari ekonomi dan pasar kerja di banyak negara berkembang.
Kebanyakan aktivitas sektor informal menyediakan barang- barang dan jasa-jasa dimana produksi dan distribusinya legal.
Perusahaan sektor informal biasanya memilih untuk mengambil barang-barang yang tidak terdaftar dan tidak ada
lisensi agar supaya dapat menghindari peraturan dan mengurangi biaya produksi OECD 2002:39.
Ketiga, aktivitas domestik, seperti menjaga atau memelihara rumah
home-care tidak dapat dikategorikan sebagai aktivitas ekonomi informal.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
122 Definisi dan konsep sektor informal yang dikemukakan
para sarjana, peneliti, dan lembaga di atas beranekaragam dan berbeda-beda dari sudut pandang mereka. Yang menarik dari
semua itu adalah konsep sektor informal tidak berkaitan dengan produksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal sebagaimana
diungkapkan OECD. Penelitian ini sepakat dengan pandangan OECD, bahwa produksi barang-barang dan jasa ilegal atau
melalui
black market tidak termasuk sektor informal. Dari sejumlah konsep sektor informal di atas, sektor informal yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi yang memiliki karakteristik, yaitu usaha milik sendiri, berbasis
sumberdaya lokal, skala operasinya kecil, teknologinya sederhana dan adaptif, tidak terdaftar, jauh dari jangkauan atau
kurang adanya perhatian dari pemerintah, dan pasar kompetitif.
Dalam penelitian ini, tidak semua pekerja sektor informal diteliti. Karakteristik sektor informal cukup beragam, tidak
hanya dilihat dari jenis usaha yang dijalankan, tetapi juga lokasi, mobilitas, dan pelakunya. Atas dasar alasan tersebut,
pedagang kaki lima PKL dipilih sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Pertimbangan memilih pedagang kaki lima
PKL sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut.
Pertama, PKL memiliki mobilitas yang cukup tinggi daripada sektor informal lainnya.
Kedua, PKL ditengarai sering bermasalah dalam relasinya dengan pemerintah.
Ketiga, di antara pekerja sektor informal lainnya, PKL paling sering mengalami penertiban dan penggusuran.
Pedagang kaki lima PKL acapkali dipandang sebagai permasalahan dalam penataan ruang publik. Permasalahan
muncul karena, di satu pihak, pemerintah dalam kebijakannya acapkali menertibkan PKL disertai penggusuran demi
menciptakan kota yang bersih, indah, dan rapi. Pada pihak lain,
123
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
karena desakan ekonomi dan ketidakberdayaan yang ada pada dirinya, PKL terpaksa harus bekerja di jalanan atau tempat
terlarang lainnya demi menyambung hidupnya, sehingga sikapnya cenderung melawan
resisten terhadap upaya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah.
Pedagang kaki lima PKL memiliki sejarah yang unik. Asal usul PKL dapat ditelusuri pada zaman penjajahan Belanda.
Dahulu Belanda membuat peraturan, bahwa setiap jalan raya yang dibangun harus menyediakan sarana untuk pejalan kaki
atau trotoar, yang lebarnya adalah lima kaki. Saat Indonesia merdeka, trotoar untuk pejalan kaki dimanfaatkan oleh
pedagang untuk berjualan, demikian pula emperan toko.
Awalnya mereka disebut pedagang emperan, karena menempati emperan toko, tetapi lama-kelamaan dijuluki
“pedagang kaki lima” karena trotoar yang berlebar lima kaki digunakan pula untuk berjualan Permadi 2007. Istilah PKL
juga dipakai untuk menyebut pedagang gerobak beroda, dimana jika ditambah dengan kaki pedagangnya, maka jumlah kakinya
lima, sehingga dinamakan pedagang kaki lima. Akronim kaki lima dimaknai pula sebagai kanan kiri lintas manusia,
maksudnya adalah PKL berada di jalur pejalan kaki trotoar dan emperan toko, sehingga banyak orang berlalu lalang di
samping kanan dan kiri PKL.
Dalam perkembangannya, PKL tidak hanya menggunakan gerobak roda tiga atau berjualan di trotoar dan emperan toko,
tetapi mereka juga berjualan menggunakan kios semi permanen atau tidak permanen, memakai lapak atau tanpa lapak, memakai
dasaran seadanya, menjual barang, buah-buahan, sayuran, makanan, atau minuman yang biasanya tidak ada jaminan
mutunya.
Semula aktivitas PKL dibiarkan pemerintah dan tidak dipajaki, tetapi karena ada sisi positif misalnya sebagai sumber
pendapatan pemerintah daerah dan negatif dipandang
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
124 mengganggu kebersihan, keindahan, dan keamanan kota, maka
hampir semua pemerintah daerah di Indonesia membuat Perda untuk mengatur keberadaan PKL. Pedagang kaki lima atau PKL
yang mudah diatur, dikendalikan, dan bisa diajak kerjasama dikooptasi, diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat
berjualan dengan aman. Mereka inilah yang ditarik retribusi dan mendapatkan perlindungan seperlunya dari pemerintah.
Mereka disebut PKL terorganisasi atau lazim dinamakan PKL saja. Wijayaningsih 2002 menyebutnya sebagai PKL tertata.
Sementara PKL yang dipandang sulit diatur, sering membangkang, tidak patuh kepada pemerintah daerah,
melakukan perlawanan ketika ditertibkan; tidak dipajaki, dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari
pemerintah, bahkan mereka sering mendapat perlakuan kasar dari aparat. Mereka ini dinamakan PKL liar. Wijayaningsih
2002 menamakannya PKL terbina. Tipologi dari PKL tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2. Tipologi Pedagang Kaki Lima PKL Tipe PKL
Karakteristik
PKL terorganisasi
Memiliki organisasi PKL Ditarik retribusi atau iuran
Tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar Mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman
Mendapat perlindungan dari pemerintah Menjadi mitra pemerintah
PKL liar Tidak memiliki organisasi atau jika memiliki hanya
sekedar memenuhi formalitas ada tetapi pasif Tidak ditarik retribusi atau iuran
Tidak tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar Tidak mendapat kios atau tempat berjualan yang
nyaman Tidak mendapat perlindungan dari pemerintah
Menjadi beban bagi pemerintah dan terkadang menjadi musuh pemerintah
Diolah dari berbagai sumber
Istilah PKL terorganisasi dan PKL liar, sepertinya tampak rancu dengan istilah PKL yang merupakan bagian dari sektor
informal. Secara teoretis, semua PKL merupakan bagian dari
125
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
sektor informal atau termasuk unit kegiatan ekonomi yang tidak resmi. Namun kenyataan di lapangan atau realitas
objektif, menunjukkan adanya dua tipe PKL, yaitu PKL yang terorganisasi dan PKL tidak terorganisasi atau liar. PKL
terorganisasi atau disebut PKL adalah PKL yang berada pada fase transisional dan oleh pemerintah diharapkan dapat
dialihkan menjadi unit kegiatan sektor formal, sedangkan PKL liar, adalah PKL yang tidak terorganisasi atau jika terorganisasi
sudah tidak aktif lagi, yang dalam realitasnya tetap eksis menjalankan aktivitas ekonomi, tidak bermaksud untuk beralih
menjadi sektor formal, karena keterbatasan yang mereka miliki, dan biasanya jauh dari jangkauan perhatian pemerintah. PKL
liar eksis dalam kegiatan ekonomi dan kebanyakan menempati ruang publik.
Untuk memudahkan dan mengarahkan fokus analisis penelitian disertasi ini, istilah PKL liar relevan digunakan
sebagai variabel dari penelitian ini. Istilah PKL terorganisasi dan PKL liar di atas, dimaknai dalam kaitannya dengan
persoalan pengakuan legitimasi pemerintah, di mana PKL yang terorganisasi adalah PKL yang diakui oleh pemerintah
dengan diberi legalisasi secukupnya, sedangkan PKL liar adalah PKL yang tidak diakui dan tidak memperoleh legalitas dari
pemerintah.
PKL liar, yang menjadi unit analisis penelitian adalah mereka yang menjalankan usaha atau bisnis warungan nasi,
mie ayam, rokok, dan lain-lain, menjual pakan burung, menjual bensin, menjual perkakas rumahtangga dan alat-alat
pertanian, menjual VCD, menjual
hand phone bekas, menjual onderdil sepeda motor dan sepeda bekas maupun baru, menjual
mebel dari kayu sisa ekspor, reparasi radio, tape, dan alat-alat elektronik lainnya, bengkel sepeda dan sepeda motor, tukang
las, dan sebagainya. Mereka menempati wilayah terlarang atau tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti di trotoar, badan
jalan umum, tanah atau lahan kosong milik negara atau
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
126 masyarakat, lingkungan jalan masuk pasar tradisional dan
modern, serta di tepi bantaran sungai. Para PKL yng diteliti ini menjalankan usaha di tempat terlarang, yakni di tepi bantaran
sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Mereka berani berdagang di tempat terlarang tersebut, karena banyak di
antaranya yang memiliki surat izin berdagang dari pemerintah kecamatan dan kelurahan. Inilah yang menjadi salah satu alasan
mengapa mereka bersikukuh tidak mau direlokasi.
Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, yang secara fisik meratakan dan
merapikan pinggiran sungai, termasuk lokasi yang digunakan oleh para PKL, menyebabkan banyak PKL yang pada akhirnya
terpaksa bersedia pindah atau direlokasi ke tempat lain, meskipun banyak juga di antara mereka yang kembali pindah
ke tempat semula. Kebandelan dan ketidakpatuhan dari PKL inilah yang membuat mereka disebut dengan PKL liar. Sifat
dinamis, dalam arti PKL mudah berpindah tempat dan tidak selalu menempati wilayah yang sama dalam melakukan
aktivitasnya, juga menjadi indikator mengapa mereka digolongkan ke dalam PKL liar.
Di antara ketiga lokasi PKL yang diteliti, satu komunitas PKL sudah berpindah lokasi, yaitu PKL Basudewo. PKL
Sampangan yang menempati wilayah dekat sungai Kaligarang, tetap berdagang di sebelah selatan lokasi yang sudah digusur.
Meskipun demikian, ada kemungkinan mereka juga akan digusur kembali, mengingat pasar Sampangan yang lama telah
dibongkar dan pada akhir Januari 2012 telah dipindah ke lokasi pasar Sampangan yang baru. Masa depan PKL Sampangan tidak
jelas, mengingat proyek normalisasi sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat diperkirakan baru selesai pada tahun
2014. Meskipun sudah dilarang tidak boleh menempati area di tepi sungai Banjir Kanal Barat, hingga kini PKL liar masih nekat
menjalankan aktivitas ekonomi di tempat tersebut; tetapi pada
127
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
saatnya mereka pun akan pindah jika pihak proyek normalisasi sungai merapikan tepi di kanan kiri sungai Banjir Kanal Barat.
2. Pandangan tentang Sektor Informal dan Pedagang Kaki