Karakteristik Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 116 politik. Pendek kata, modal sosial bermanfaat tidak saja bagi individu yang berada dalam struktur sosial, tetapi juga berguna bagi kelompok, komunitas, masyarakat, dan pemerintah.

C. Tinjauan tentang Resistensi Pedagang Kaki Lima PKL

Sebelum diuraikan tentang konsep resistensi PKL, berikut dijelaskan konsep tentang sektor informal dan pedagang kaki lima, yakni karakteristiknya, kaitan urbanisasi dan sektor informal, pandangan tentang sektor informal, dan dinamika pertumbuhan sektor informal atau Pedagang Kaki Lima PKL.

1. Karakteristik Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima

Eksistensi sektor informal merupakan sesuatu yang wajar sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan kota. Di tengah kemajuan ekonomi perkotaan yang mengandalkan sektor formal, kehadiran aktivitas ekonomi informal menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Sebagaimana dikatakan Williams and Jan Windebank 1998:29 bahwa dalam ekonomi maju terdapat pertumbuhan aktivitas ekonomi informal. Sektor informal ini merupakan bentuk baru dari eksploitasi kapitalisme maju atau tanggapan terhadap over-regulation oleh pasar. Untuk memberikan gambaran tentang eksistensi sektor informal dalam kaitannya dengan sektor formal, maka dalam penelitian ini dikemukakan perdebatan konsep mengenai sektor informal dan dari perdebatan itulah dipilih konsep yang dipandang relevan dengan karakteristik subjek yang diteliti. Tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa itu sektor informal. Sebagaimana diakui Mitter 1989, mendefinisikan sektor informal bukan hal yang mudah, karena para akademisi 117 KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL dan pembuat kebijakan akan menggunakan konsep tersebut berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Ferman menyebut informal economy sebagai irregular economy, Guttmann senang dengan istilah subterranean economy, Simon memakai istilah the undeground economy, dan Abumere menggambarkannya sebagai invisible, hidden, shadow, non- official, and imperfectly recorded in the official national acounting systems Yusuff 2011. Meskipun banyak pendapat dan diakui sulit menentukan mana aktivitas ekonomi yang dapat dimasukkan ke dalam sektor formal dan mana pula kegiatan ekonomi yang dapat digolongkan ke dalam sektor informal, namun untuk memastikan arah penelitian, perlu ada konsep yang dipilih. Itulah sebabnya, dalam uraian berikut disajikan berbagai pandangan tentang sektor informal, termasuk ciri-ciri atau karakteristiknya. Sektor informal adalah sektor yang bukan pedesaan dan bukan pula perkotaan, bukan tradisional dan tidak juga modern, tetapi adalah sektor kegiatan transisional yang dibentuk oleh proses urbanisasi Soetomo 2009:170. Sektor ini memiliki karakteristik, yaitu menekankan pada keuangan sendiri, modal kecil, skala kecil, dan produksi intensif dari tenaga kerja tidak terampil Pratap and Erwan Quintin 2006:2. Dalam laporannya mengenai kegiatan sektor informal di Kenya pada tahun 1972, ILO menegaskan ekonomi informal sebagai a way of doing things, characterized by : 1ease of entry, 2 reliance on indigenous resources, 3 family ownership of resources, 4 small scale of operations, 5 labour intencive and adaptive technology, 6 skill acquired outside the formal school system, and 7 unregulated and competitive markes Pellissery and Robert Walker 2007; Wells 2007. Sektor informal menurut kategori yang dibuat ILO tersebut memiliki ciri-ciri, yaitu adanya titik masuk pada kesenangan, percaya pada sumberdaya asli atau lokal, kepemilikan sumberdaya keluarga, operasi dalam skala kecil, pekerja intensif Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 118 dan teknologi yang adaptif, keterampilan yang diperoleh di luar sistem sekolah formal, serta pasar tidak teratur dan kompetitif. Castells and Portes 1989 mengartikan sektor informal sebagai proses menghasilkan pendapatan income-generation yang diatur oleh institusi-institusi masyarakat dalam lingkungan sosial dan hukum di mana aktivitas-aktivitas yang sama diatur. Aktivitas sektor informal ini merupakan aktivitas dinamis yang di dalamnya tidak hanya aspek ekonomi yang berperan, tetapi juga teori sosial terutama pertukaran juga memberi kontribusi dalam memahami kegiatan sektor informal ini. Aktivitas sektor informal ini memiliki sifat temporal atau sementara dan dalam pertumbuhannya bisa beralih menjadi sektor formal. The International Conference of Labor Statisticians ICLS pada tahun 1993 menghasilkan kesepakatan bahwa yang dimaksud sektor informal adalah pekerjaan dan produksi dalam skala kecil danatau perusahaan tidak terdaftar Chen, et al 2005:38. Dalam konferensi ini, sektor informal dibagi dalam dua bentuk, yaitu informal self-employment dan informal wage employment. Termasuk ke dalam informal self-employment adalah employers in informal enterprises, own account workers in informal enterprises, and unpaid familyworkers; sedangkan yang tergolong dalam informal wage employment adalah employees of informal enterprises, casual or day labourers, temporary or part-time workers, paid domestic workers, unregistered or undelared workers, and industrial outworkers also called homeworkers. Sektor informal memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dari sektor formal. Todaro dan Abdullah, sebagaimana dikutip Hariyono 2007: 109 menyebutkan 8 ciri-ciri sektor informal. Pertama, sebagian besar memiliki produksi yang berskala kecil, aktivitas-aktivitas jasa dimiliki oleh perorangan atau keluarga, dan menggunakan teknologi yang sederhana. 119 KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL Kedua, umumnya para pekerja bekerja sendiri dan sedikit yang memiliki pendidikan formal yang tinggi. Ketiga, produktivitas pekerja dan penghasilannya cenderung lebih rendah daripada sektor formal. Keempat, para pekerja sektor informal tidak dapat menikmati perlindungan, seperti yang diperoleh dari sektor formal dalam bentuk jaminan kelangsungan kerja, kondisi kerja yang layak, dan jaminan pensiun. Kelima, kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah pendatang baru dari desa yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sektor formal. Keenam, motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan penghasilan, yang bertujuan hanya untuk dapat hidup survive, bukan untuk mendapatkan keuntungan dan hanya mengandalkan pada sumberdaya yang ada pada mereka untuk menciptakan pekerjaan. Ketujuh, mereka berupaya agar sebanyak mungkin anggota keluarga mereka ikut berperan serta dalam kegiatan yang mendatangkan penghasilan dan meskipun begitu mereka bekerja dalam waktu yang panjang. Kedelapan, kebanyakan di antara mereka menempati gubuk-gubuk yang mereka buat sendiri di kawasan kumuh slum area dan pemukiman liar schelter, yang umumnya kurang tersentuh oleh pelayanan jasa, seperti listrik, air, transportasi, serta jasa-jasa kesehatan dan pendidikan. Pandangan Hidayat sebagaimana dikemukakan kembali oleh Kuncoro 2010:139, menyebutkan 10 ciri-ciri sektor informal sebagai berikut. 1. Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal, Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 120 2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha, 3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja, 4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini, 5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu subsektor ke subsektor lainnya, 6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif, 7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil, 8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja, 9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one man enterprises dan kalau mempekerjakan buruh berasal dari keluarga, 10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi, 11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota atau desa yang berpenghasilan rendah, meskipun demikian kadang-kadang ada juga yang berasal dari kalangan berpenghasilan menengah. Ozveren 2005 menyebutkan enam ciri sektor informal, yaitu 1 tingkat kompetisinya rendah, 2 mudah dimasuki, 3 harga produk ditentukan oleh pasar, 4 berkonsentrasi pada barang-barang eceran dengan harga rendah, 5 proses produksi bertumpu secara intensif pada tenaga kerja, dan 6 produktivitas rendah. Dalam survey di Brazil, Henley 2006 menyebutkan tiga karakter dari sektor informal, yaitu 1 tidak adanya kontrak tenaga kerja terdaftar, 2 tidak adanya tunjangan pensiun, dan 3 aktivitasnya berskala mikro. 121 KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL Tidak semua aktivitas informal dapat dimasukkan ke dalam sektor informal. OECD 2002 mengemukakan tiga kriteria sektor informal. Pertama, kerja berada di bawah unit bisnis formal dalam hal mana subjek mengelola, perlindungan legal, dan pengakuan dalam ekonomi formal dan di luar itu adalah kerja ekonomi informal. Kedua, meskipun kerja di luar aktivitas ekonomi informal, namun hal itu tidak dikategorikan sebagai ekonomi informal jika ia memproduksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal. Aktivitas yang kedua ini dalam terminologi OECD 2002:37 disebut dengan non-observed economy atau ekonomi tak teramati. Termasuk dalam ekonomi tak teramati adalah sektor underground, ilegal, dan informal atau undertaken oleh rumahtangga untuk tujuan akhir mereka. Produksi underground biasanya menghindari standar legal, seperti upah minimum, jam kerja maksimum, keamanan atau standar kesehatan. Produksi ilegal menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dijual atau kepemilikannya dilarang oleh hukum atau aktivitas produksinya biasanya legal, tetapi menjadi ilegal ketika disediakan oleh produser-produser yang tidak berwenang. Sektor informal mewakili bagian penting dari ekonomi dan pasar kerja di banyak negara berkembang. Kebanyakan aktivitas sektor informal menyediakan barang- barang dan jasa-jasa dimana produksi dan distribusinya legal. Perusahaan sektor informal biasanya memilih untuk mengambil barang-barang yang tidak terdaftar dan tidak ada lisensi agar supaya dapat menghindari peraturan dan mengurangi biaya produksi OECD 2002:39. Ketiga, aktivitas domestik, seperti menjaga atau memelihara rumah home-care tidak dapat dikategorikan sebagai aktivitas ekonomi informal. Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 122 Definisi dan konsep sektor informal yang dikemukakan para sarjana, peneliti, dan lembaga di atas beranekaragam dan berbeda-beda dari sudut pandang mereka. Yang menarik dari semua itu adalah konsep sektor informal tidak berkaitan dengan produksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal sebagaimana diungkapkan OECD. Penelitian ini sepakat dengan pandangan OECD, bahwa produksi barang-barang dan jasa ilegal atau melalui black market tidak termasuk sektor informal. Dari sejumlah konsep sektor informal di atas, sektor informal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi yang memiliki karakteristik, yaitu usaha milik sendiri, berbasis sumberdaya lokal, skala operasinya kecil, teknologinya sederhana dan adaptif, tidak terdaftar, jauh dari jangkauan atau kurang adanya perhatian dari pemerintah, dan pasar kompetitif. Dalam penelitian ini, tidak semua pekerja sektor informal diteliti. Karakteristik sektor informal cukup beragam, tidak hanya dilihat dari jenis usaha yang dijalankan, tetapi juga lokasi, mobilitas, dan pelakunya. Atas dasar alasan tersebut, pedagang kaki lima PKL dipilih sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Pertimbangan memilih pedagang kaki lima PKL sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, PKL memiliki mobilitas yang cukup tinggi daripada sektor informal lainnya. Kedua, PKL ditengarai sering bermasalah dalam relasinya dengan pemerintah. Ketiga, di antara pekerja sektor informal lainnya, PKL paling sering mengalami penertiban dan penggusuran. Pedagang kaki lima PKL acapkali dipandang sebagai permasalahan dalam penataan ruang publik. Permasalahan muncul karena, di satu pihak, pemerintah dalam kebijakannya acapkali menertibkan PKL disertai penggusuran demi menciptakan kota yang bersih, indah, dan rapi. Pada pihak lain, 123 KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL karena desakan ekonomi dan ketidakberdayaan yang ada pada dirinya, PKL terpaksa harus bekerja di jalanan atau tempat terlarang lainnya demi menyambung hidupnya, sehingga sikapnya cenderung melawan resisten terhadap upaya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah. Pedagang kaki lima PKL memiliki sejarah yang unik. Asal usul PKL dapat ditelusuri pada zaman penjajahan Belanda. Dahulu Belanda membuat peraturan, bahwa setiap jalan raya yang dibangun harus menyediakan sarana untuk pejalan kaki atau trotoar, yang lebarnya adalah lima kaki. Saat Indonesia merdeka, trotoar untuk pejalan kaki dimanfaatkan oleh pedagang untuk berjualan, demikian pula emperan toko. Awalnya mereka disebut pedagang emperan, karena menempati emperan toko, tetapi lama-kelamaan dijuluki “pedagang kaki lima” karena trotoar yang berlebar lima kaki digunakan pula untuk berjualan Permadi 2007. Istilah PKL juga dipakai untuk menyebut pedagang gerobak beroda, dimana jika ditambah dengan kaki pedagangnya, maka jumlah kakinya lima, sehingga dinamakan pedagang kaki lima. Akronim kaki lima dimaknai pula sebagai kanan kiri lintas manusia, maksudnya adalah PKL berada di jalur pejalan kaki trotoar dan emperan toko, sehingga banyak orang berlalu lalang di samping kanan dan kiri PKL. Dalam perkembangannya, PKL tidak hanya menggunakan gerobak roda tiga atau berjualan di trotoar dan emperan toko, tetapi mereka juga berjualan menggunakan kios semi permanen atau tidak permanen, memakai lapak atau tanpa lapak, memakai dasaran seadanya, menjual barang, buah-buahan, sayuran, makanan, atau minuman yang biasanya tidak ada jaminan mutunya. Semula aktivitas PKL dibiarkan pemerintah dan tidak dipajaki, tetapi karena ada sisi positif misalnya sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah dan negatif dipandang Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 124 mengganggu kebersihan, keindahan, dan keamanan kota, maka hampir semua pemerintah daerah di Indonesia membuat Perda untuk mengatur keberadaan PKL. Pedagang kaki lima atau PKL yang mudah diatur, dikendalikan, dan bisa diajak kerjasama dikooptasi, diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat berjualan dengan aman. Mereka inilah yang ditarik retribusi dan mendapatkan perlindungan seperlunya dari pemerintah. Mereka disebut PKL terorganisasi atau lazim dinamakan PKL saja. Wijayaningsih 2002 menyebutnya sebagai PKL tertata. Sementara PKL yang dipandang sulit diatur, sering membangkang, tidak patuh kepada pemerintah daerah, melakukan perlawanan ketika ditertibkan; tidak dipajaki, dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari pemerintah, bahkan mereka sering mendapat perlakuan kasar dari aparat. Mereka ini dinamakan PKL liar. Wijayaningsih 2002 menamakannya PKL terbina. Tipologi dari PKL tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2. Tipologi Pedagang Kaki Lima PKL Tipe PKL Karakteristik PKL terorganisasi  Memiliki organisasi PKL  Ditarik retribusi atau iuran  Tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar  Mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman  Mendapat perlindungan dari pemerintah  Menjadi mitra pemerintah PKL liar  Tidak memiliki organisasi atau jika memiliki hanya sekedar memenuhi formalitas ada tetapi pasif  Tidak ditarik retribusi atau iuran  Tidak tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar  Tidak mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman  Tidak mendapat perlindungan dari pemerintah  Menjadi beban bagi pemerintah dan terkadang menjadi musuh pemerintah Diolah dari berbagai sumber Istilah PKL terorganisasi dan PKL liar, sepertinya tampak rancu dengan istilah PKL yang merupakan bagian dari sektor informal. Secara teoretis, semua PKL merupakan bagian dari 125 KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL sektor informal atau termasuk unit kegiatan ekonomi yang tidak resmi. Namun kenyataan di lapangan atau realitas objektif, menunjukkan adanya dua tipe PKL, yaitu PKL yang terorganisasi dan PKL tidak terorganisasi atau liar. PKL terorganisasi atau disebut PKL adalah PKL yang berada pada fase transisional dan oleh pemerintah diharapkan dapat dialihkan menjadi unit kegiatan sektor formal, sedangkan PKL liar, adalah PKL yang tidak terorganisasi atau jika terorganisasi sudah tidak aktif lagi, yang dalam realitasnya tetap eksis menjalankan aktivitas ekonomi, tidak bermaksud untuk beralih menjadi sektor formal, karena keterbatasan yang mereka miliki, dan biasanya jauh dari jangkauan perhatian pemerintah. PKL liar eksis dalam kegiatan ekonomi dan kebanyakan menempati ruang publik. Untuk memudahkan dan mengarahkan fokus analisis penelitian disertasi ini, istilah PKL liar relevan digunakan sebagai variabel dari penelitian ini. Istilah PKL terorganisasi dan PKL liar di atas, dimaknai dalam kaitannya dengan persoalan pengakuan legitimasi pemerintah, di mana PKL yang terorganisasi adalah PKL yang diakui oleh pemerintah dengan diberi legalisasi secukupnya, sedangkan PKL liar adalah PKL yang tidak diakui dan tidak memperoleh legalitas dari pemerintah. PKL liar, yang menjadi unit analisis penelitian adalah mereka yang menjalankan usaha atau bisnis warungan nasi, mie ayam, rokok, dan lain-lain, menjual pakan burung, menjual bensin, menjual perkakas rumahtangga dan alat-alat pertanian, menjual VCD, menjual hand phone bekas, menjual onderdil sepeda motor dan sepeda bekas maupun baru, menjual mebel dari kayu sisa ekspor, reparasi radio, tape, dan alat-alat elektronik lainnya, bengkel sepeda dan sepeda motor, tukang las, dan sebagainya. Mereka menempati wilayah terlarang atau tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti di trotoar, badan jalan umum, tanah atau lahan kosong milik negara atau Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang 126 masyarakat, lingkungan jalan masuk pasar tradisional dan modern, serta di tepi bantaran sungai. Para PKL yng diteliti ini menjalankan usaha di tempat terlarang, yakni di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Mereka berani berdagang di tempat terlarang tersebut, karena banyak di antaranya yang memiliki surat izin berdagang dari pemerintah kecamatan dan kelurahan. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa mereka bersikukuh tidak mau direlokasi. Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, yang secara fisik meratakan dan merapikan pinggiran sungai, termasuk lokasi yang digunakan oleh para PKL, menyebabkan banyak PKL yang pada akhirnya terpaksa bersedia pindah atau direlokasi ke tempat lain, meskipun banyak juga di antara mereka yang kembali pindah ke tempat semula. Kebandelan dan ketidakpatuhan dari PKL inilah yang membuat mereka disebut dengan PKL liar. Sifat dinamis, dalam arti PKL mudah berpindah tempat dan tidak selalu menempati wilayah yang sama dalam melakukan aktivitasnya, juga menjadi indikator mengapa mereka digolongkan ke dalam PKL liar. Di antara ketiga lokasi PKL yang diteliti, satu komunitas PKL sudah berpindah lokasi, yaitu PKL Basudewo. PKL Sampangan yang menempati wilayah dekat sungai Kaligarang, tetap berdagang di sebelah selatan lokasi yang sudah digusur. Meskipun demikian, ada kemungkinan mereka juga akan digusur kembali, mengingat pasar Sampangan yang lama telah dibongkar dan pada akhir Januari 2012 telah dipindah ke lokasi pasar Sampangan yang baru. Masa depan PKL Sampangan tidak jelas, mengingat proyek normalisasi sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat diperkirakan baru selesai pada tahun 2014. Meskipun sudah dilarang tidak boleh menempati area di tepi sungai Banjir Kanal Barat, hingga kini PKL liar masih nekat menjalankan aktivitas ekonomi di tempat tersebut; tetapi pada 127 KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL saatnya mereka pun akan pindah jika pihak proyek normalisasi sungai merapikan tepi di kanan kiri sungai Banjir Kanal Barat.

2. Pandangan tentang Sektor Informal dan Pedagang Kaki

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IV

0 2 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB V

0 0 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VI

0 2 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VII

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB X

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 0 4