89
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Pertukaran dalam model jaringan, menurut Fukuyama 2005 bersifat timbal balik, tidak semata-mata berdasarkan
prinsip untung rugi. Hal ini terjadi karena pertukaran dalam jaringan berbasis norma bersama bersifat informal, tidak
mengharapkan balasan langsung, tetapi mendambakan manfaat jangka panjang. Jaringan ini merupakan bagian penting dari
modal sosial. Jaringan atau jejaring sosial, dalam pandangan Christakis dan Flower 2010 memuat dua aspek penting, yaitu:
1 ada hubungan, yakni siapa tersambung dengan siapa, 2 penularan
contagion, yang merujuk kepada apa saja yang mengalir sepanjang ikatan.
Pada level individual, anggota jaringan akan memperoleh keuntungan, misalnya meningkatkan akses pada pertukaran
informasi, penegakan kontrak, dan fokus pada visi dan tujuan kolektif Beugelsdijk 2002. Dalam konteks demikian, modal
sosial dipahami sebagai norma timbal balik dan jaringan atau asosiasi yang dapat mempromosikan tindakan kerjasama dan
yang dapat digunakan sebagai sumberdaya sosial untuk manfaat yang saling menguntungkan Woolcock 2000.
4. Pandangan Bourdieu tentang Modal Sosial
Berbeda dengan Coleman, Putnam, dan Fukuyama, Pierre Bourdieu dalam penelitiannya di Aljazair pada tahun 1960-an
menggambarkan perkembangan dinamis struktur sosial dan cara berpikir yang membentuk suatu
habitus, yang menjadi jembatan antara agensi subjektif dan posisi objektif Field
2010:21. Habitus merupakan wahana bagi kelompok untuk
menggunakan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda, yang menandai dan membangun posisi mereka dalam struktur
sosial.
Bourdieu dalam Field 2008 memasukkan modal budaya sebagai bagian dari modal sosial. Modal sosial ini merupakan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
90 milik ekslusif elit yang didesain untuk mengamankan posisi dan
status mereka. Atas dasar inilah, Bourdieu yakin bahwa tidak ada tempat bagi individu dan kelompok lain yang kurang
istimewa bukan elit yang dapat memperoleh keuntungan dalam ikatan sosial mereka.
Pendapat Bourdieu berbeda dengan pandangan Coleman. Coleman berkeyakinan bahwa modal sosial tidak terbatas pada
mereka yang kuat kelompok elit, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh kelompok miskin dan komunitas marginal
Field 2008. Modal budaya sebagaimana dipahami Bourdieu, dimiliki orang atau kelompok bukan sekedar mencerminkan
sumber daya modal finansial mereka, tetapi melalui keluarga dan pendidikan di sekolah, modal budaya pada batas-batas
tertentu dapat beroperasi secara independen dari tekanan uang dan bahkan memberikan kompensasi ketika kekurangan uang
sebagai bagian dari strategi individu atau kelompok untuk meraih kekuasaan dan status Field 2010:22.
Ketika mengkaji keanggotaan klub golf yang diyakininya sebagai pelumas dalam memperlancar jalannya roda bisnis,
Bourdieu mulai mengenali apa itu modal sosial. Pada tahun 1973, yakni pada tahap awal dia mengkaji modal sosial,
Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan
bermanfaat yakni modal harga diri dan kehormatan, yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke
dalam posisi-posisi yang penting secara sosial dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karir politik. Dalam
pergulatannya dengan konsep modal sosial, akhirnya ia memperbaiki pandangannya tentang modal sosial.
“Modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya yang terkumpul pada seorang individu atau kelompok
karena memiliki jaringan tahan lama, berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit
banyak terinstitus
ionalisasikan” Field 2010:23.
91
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Bourdieu dalam Field 2010 meyakini bahwa modal merupakan akumulasi kerja. Modal tidak semata-mata dilihat
dari aspek ekonomi, sebab dalam ekonomi motif utamanya adalah mencari laba, yang diarahkan untuk memenuhi
kepentingan diri. Modal budaya dan modal sosial harus diperlakukan sebagai aset yang merepresentasikan produk
akumulasi kerja. Volume modal sosial yang dimiliki agen tergantung pada jumlah koneksi yang dapat dimobilisasi.
Melalui koneksi, modal sosial dibarengi kehormatan dan harga diri dapat digunakan untuk memperoleh kepercayaan diri
sebagai anggota kelompok masyarakat kelas atas atau bahkan dipakai untuk berkarir pada bidang politik. Ini berlaku bagi
mereka yang memiliki ijazah dengan profesi tertentu, seperti pengacara atau dokter. Namun mereka yang mengandalkan
kualifikasi ijazah tanpa ada koneksi, mereka hanya punya modal manusia, tetapi tidak memiliki modal budaya dan sosial.
Bourdieu dalam Field 2010 mengakui bahwa koneksi tidak berjalan dengan sendirinya, ia memerlukan kerja. Solidaritas
dalam jaringan hanya mungkin terjadi ketika anggota di dalamnya meningkatkan laba, baik yang bersifat material
maupun simbolik. Hal ini memerlukan strategi investasi, secara individual
maupun kolektif,
yang bertujuan
untuk mentransformasikan
hubungan-hubungan yang
terus berlangsung, seperti hubungan di kampung atau tempat kerja
atau dalam hubungan kekerabatan, menjadi hubungan sosial yang secara langsung dapat digunakan dalam jangka pendek
atau pun jangka panjang.
Sebagaimana dijelaskan Bourdieu dalam Field 2010, modal sosial hanya dapat dimiliki oleh kaum elit, yang dirancang
untuk mengamankan posisi relatif mereka. Pendidikan dan kekayaan misalnya, dapat digunakan oleh kelompok tertentu
untuk menjaga status dan posisi mereka, serta dapat digunakan untuk melakukan kekerasan simbolis terhadap kelompok
lainnya yang kurang atau tidak memiliki pendidikan dan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
92 kekayaan. Dalam tulisan berjudul Kekerasan Simbolis dan
Reproduksi Sosial, Bourdieu dalam Jenkins 2004, percaya bahwa elit atau penguasa dapat menggunakan kekerasan
simbolis, yaitu suatu pemaksaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok sedemikian rupa, sehingga hal itu dialami
sebagai sesuatu yang sah.
Legitimasi dibangun untuk meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Dalam hal ini,
kebudayaan dipakai sebagai sistem makna untuk memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan yang memberikan kontribusi
kepada reproduksi sistematis mereka. Hal ini dilakukan melalui proses
misrecognition, yaitu proses di mana relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara objektif, namun dalam bentuk yang
menjadikan mereka elit absah di mata penganutnya. Penggunaan kekerasan simbolis pada prinsipnya merupakan
tindakan pedagogis, berwujud pendidikan yang tersebar luas, pendidikan keluarga, dan pendidikan institusional. Ketika
mereproduksi kebudayaan dalam segala kesemrawutannya, tindakan pedagogis juga mereproduksi relasi kekuasaan yang
menjamin keberlangsungannya. Tindakan pedagogis ini mencerminkan kepentingan kelompok atau kelas dominan yang
cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak merata antarkelompok atau antarkelas yang hidup dalam ruang
sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.
Tindakan pedagogis memerlukan otoritas pedagogis sebagai prasyarat keberhasilan tindakan pedagogis. Otoritas ini
merupakan kekuasaan arbitrer untuk bertindak tanpa disadari
oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu yang legitimate. Tindakan pedagogis dihasilkan oleh kerja pedagogis,
yaitu suatu proses indoktrinasi yang berlangsung cukup lama melalui apa yang oleh Bourdieu disebut dengan
habitus. Kerja pedagogis ini merupakan pengganti kerja fisik dan koersi.
93
KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA PKL
Konsep kekerasan simbolik Bourdieu ini mirip dengan konsep
hegemoni Gramsci. Konsep hegemoni menawarkan gagasan tentang bagaimana kekuasaan bisa diterima oleh pihak
yang dikuasai Sugiono 1999. Melalui hegemoni, pihak ruling
class atau siapapun yang ingin memiliki kekuasaan menancapkan
hegemoni melalui kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Konsep
hegemoni ini berbeda dengan dominasi. Kekuasaan dalam dominasi ditopang oleh
kekuatan fisik, sedangkan dalam hegemoni, kekuasaan
kelompok atau elit diperoleh secara konsensual. Dari strateginya yang tidak mengandalkan kekuatan fisik dan koersi,
maka dapat disimpulkan bahwa konsep hegemoni Gramsci tidak
berbeda secara substansial dengan konsep kekerasan simbolis Bourdieu.
Pemkot Semarang dan kebanyakan pemerintah daerah lainnya
dalam melaksanakan
pembangunan ditengarai
menggunakan kekerasan simbolik dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan bupatiwalikota untuk menjinakkan
warganya. Kekerasan simbolis Bourdieu atau hegemoni
Gramsci dilakukan dengan dalih untuk kepentingan pembangunan, yang pada gilirannya dapat memperteguh
keabsahan kekuasaan para penguasa.
5. Unsur-unsur Modal Sosial