Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia

(1)

D

SU

DAMPAK

DEPA

UKU BUN

K KEBIJA

MINY

ARTEMEN FAK

NGA DAN

AKAN PE

YAK SAW

FATTY A

KIK N EKONOM KULTAS EK INSTITU

N PENING

ENURUN

WIT TERH

ACID DI

KI WIRA K

MI SUMBE KONOMI UT PERTA BOGO 2013

GKATAN

NAN TING

HADAP P

N PENAW

GKAT

INDONE

PRODUK

WARAN

KSI

ESIA

KURNIADII ERDAYA D DAN MAN DAN LING ANIAN BOG OR 3 NAJEMEN GKUNGANN N GOR


(2)

RINGKASAN

KIKI WIRA KURNIADI. Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia (dibimbing oleh NOVINDRA).

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan sektor ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 41.49 juta jiwa, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia cukup besar yaitu 15.90 persen pada tahun 2010. Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani, sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemicu dari pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, kelapa sawit juga berperan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis minyak sawit di Indonesia.

Pengembangan industri hilir CPO perlu diprioritaskan sebagai kebijakan pengolahan produk pertanian, mengingat kita tidak dapat selamanya menjadi pengekspor minyak sawit. Potensi minyak sawit yang tinggi sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilirnya, karena mempunyai nilai tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multipler effect) yang sangat signifikan. Apabila kegiatan mengekspor CPO dipertahankan, ini menunjukkan industri nasional tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan.

Kajian tentang industri turunan minyak sawit sangat strategis untuk dilakukan karena saat ini baru 10 persen produk turunan sawit yang diproduksi di Indonesia, padahal nilai tambah produk turunan berlipat ganda dibandingkan minyak sawit, khususnya untuk produk oleokimia yaitu fatty acid.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid. Faktor-faktor tersebut digunakan untuk menganalisis dampak penurunan tingkat suku bunga dan kenaikan penawaran minyak sawit domestik terhadap produksi, penawaran, permintaan dan harga dari komoditas fatty acid serta harga dan permintaan dari komoditas minyak sawit domestik.

Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan dengan metode two-stage least squares (2-SLS). Hasil estimasi model yang diperoleh selanjutnya diuji dengan uji statistik-F, uji statistik-t, uji ekonometrika yaitu uji statistik Durbin-Watson dan Durbin-h. Setelah model dinyatakan valid, selanjutnya dilakukan simulasi kebijakan dengan menggunakan software SAS 9.0 for Windows.

Faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap produksi fatty acid domestik adalah perubahan harga riil minyak sawit domestik, perubahan tingkat suku bunga, dan teknologi. Penurunan suku bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, penawaran fatty acid domestik. Penurunan suku


(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2013

Kiki Wira Kurniadi

H44080037


(4)

domestik, permintaan minyak sawit domestik, dan harga riil minyak sawit domestik.

Peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 10 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, penawaran fatty acid domestik, dan permintaan minyak sawit domestik. Peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan penurunan harga riil minyak sawit domestik, dan harga riil fatty acid domestik.

Penurunan suku bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen dan peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 10 persen menyebabkan peningkatan terhadap produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, dan penawaran fatty acid domestik. Penurunan suku bunga Bank Indonesia dan peningkatan penawaran minyak sawit domestik menyebabkan penurunan terhadap harga riil fatty acid domestik, permintaan minyak sawit domestik, dan harga riil minyak sawit domestik.

Dalam rangka mendorong meningkatnya kapasitas produksi fatty acid domestik, pemerintah sebaiknya menetapkan kebijakan penurunan suku bunga bagi investor dan diiringi dengan kebijakan yang berusaha meningkatan penawaran minyak sawit domestik. Dalam jangka panjang instrumen kebijakan pemerintah hendaknya berorientasi ekspor produk turunan CPO (seperti fatty acid) dalam meningkatkan devisa negara dan hendaknya pemerintah memberi perhatian penuh dalam mengatur sistem tata niaga industri ini.


(5)

DAMPAK KEBIJAKAN PENURUNAN TINGKAT

SUKU BUNGA DAN PENINGKATAN PENAWARAN

MINYAK SAWIT TERHADAP PRODUKSI

FATTY ACID DI INDONESIA

KIKI WIRA KURNIADI H44080037

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(6)

Judul Skripsi : Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia

Nama : Kiki Wira Kurniadi

NIM : H44080037

Disetujui, Dosen Pembimbing

Novindra S.P.,M.Si NIP. 19811102 200701 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003


(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ayahanda (Drs.Wirman), Ibunda (Rina Nelyati), Kakak, dan adik-adik saya (Hendra Wahyudi SH, Ilham Wiranata, Nabila Mutia Rahmi, Alyu Gani Rasyidi) serta keluarga besar saya yang telah memberikan dukungan moral dan materi kepada penulis.

2. Novindra S.P., M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya unruk memberikan semangat, perhatian, bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA sebagai dosen penguji utama ujian akhir skripsi yang bersedia memberikan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan yang berguna.

4. Hastuti S.P, MP, M.Si sebagai dosen perwakilan komisi pendidikan yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran dan masukan yang membangun.

5. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr sebagai dosen pembimbing akademik, atas bimbingan dan perhatiannya selama penulis menjalani kuliah.

6. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB.

7. Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Keuangan, Kementrian Perdagangan, Kementrian perdagangan, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia atas kerjasamanya dalam penyediaan data yang dibutuhkan oleh penulis.

8. Teman-teman sebimbingan Sari, Novrika, Sandra, Pebri, Ionk, Dian. Teman-teman ESL 45 dan teman se-kosan Wisma Riski atas kebersamaannya selama ini.


(8)

9. Sahabat-sahabat saya, Dewi, Shinta, Stevi, Maulia Putri, Ayu Fitriana, Andini, Ratu Anna, Meitanisa, Sandra, Ai Surya Buana, Daus, Ruben, As ad, Awir, Esa Nugrahanto, Gogo, Mahmud dan lainnya yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan laporan penelitian ini.

10. Teman-teman SMA Negeri 1 Bukittinggi, Refly, Iren, Frida, Andina, Andrio dan lainnya atas kebersamaannya selama menjalani pendidikan di IPB.

11. Semua pihak yang sealama ini telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

Bogor, April 2013

Kiki Wira Kurniadi


(9)

 

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’alamiin, penulis limpahkan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid. Faktor-faktor tersebut digunakan untuk menganalisis dampak penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran minyak sawit terhadap produksi, penawaran, permintaan dan harga dari komoditas fatty acid serta harga dan permintaan dari komoditas minyak sawit domestik.

Sebagaimana manusia yang tidak luput dari kesalahan, penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis berharap untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan topik ini dapat menyempurnakan kekurangan yang masih terdapat pada skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, akademisi, pemerintah maupun masyarakat luas.

Bogor, April 2013

Kiki Wira Kurniadi


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kelapa Sawit ... 11

2.2. Kelapa Sawit di Indonesia ... 12

2.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit ... 13

2.4. Industri Hilir Minyak Sawit ... 16

2.5. Perkembangan Produksi dan Permintaan Fatty Acid di Indonesia 17 2.6. Kebijakan Pada Industri Minyak Sawit ... 21

2.7. Penelitian Terdahulu ... 23

2.8. Kebaruan Penelitian ... 27

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 29

3.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Fatty Acid ... 29

3.2. Permintaan Minyak Sawit Kasar oleh Industri Fatty Acid dan Permintaan Fatty Acid oleh Industri Sabun ... 30

3.3. Harga ... 33

3.4. Model Persamaan Simultan ... 33

3.5. Elastisitas ... 34

3.6. Kerangka Pemikiran Operasional ... 35

IV. METODE PENELITIAN ... 39

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 39

4.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 39

4.3. Spesifikasi Model ... 39

4.3.1. Persamaan Produksi Fatty Acid Domestik ... 40

4.3.2. Persamaan Permintaan Fatty Acid Domestik ... 41

4.3.3. Persamaan Harga Riil Fatty Acid Domestik ... 42

4.3.4. Persamaan Penawaran Fatty Acid Domestik ... 42

4.3.5. Persamaan Harga Riil Minyak Sawit Domestik ... 43

4.3.6. Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik ... 43

4.4. Pengujian Model ... 44

4.4.1. Identifikasi Model ... 44


(11)

 

4.4.4. Uji Statistik-t ... 47

4.4.5. Uji Masalah Autocorrelation ... 47

4.4.6. Validasi Model ... 48

4.5. Simulasi Historis ... 50

4.6. Definisi Operasional ... 51

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI FATTY ACID DI INDONESIA ... 53

5.1. Hasil Estimasi Model ... 53

5.1.1. Produksi Fatty Acid Domestik ... 54

5.1.2. Permintaan Fatty Acid Domestik ... 57

5.1.3. Harga Riil Fatty Acid Domestik ... 60

5.1.4. Penawaran Fatty Acid Domestik ... 62

5.1.5. Harga Riil Minyak Sawit Domestik ... 62

5.1.6. Permintaan Minyak Sawit Domestik ... 65

VI. EVALUASI PENGARUH TINGKAT SUKU BUNGA DAN PENAWARAN MINYAK SAWIT DOMESTIK TERHADAP PRODUKSI FATTY ACID DI INDONESIA ... 69

6.1. Hasil dan Pembahasan Simulasi Model ... 69

6.1.1. Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia ... 69

6.1.2. Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik ... 71

6.1.3. Penurunan Suku Bunga dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik ... 73

VII.SIMPULAN DAN SARAN ... 77

7.1. Simpulan ... 77

7.2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN ... 81


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jumlah Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut

Sektor Ekonomi ... 1

2. Kontribusi Setiap Sektor Ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2007-2011 (%) ... 2

3. Luas Area, Produksi dan Produktivitas Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2006-2010 ... 3

4. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit Mentah ... 4

5. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera ... 12

6. Produsen Oleokimia di Indonesia tahun 2004 ... 18

7. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 1991 – 1996 .. 18

8. Perkembangan Permintaan Fatty Acid di Indonesia Tahun 2003 – 2010 ... 19

9. Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang di Indonesia Tahun 2003-2010 ... 19

10. Perkembangan Produksi Fatty Acid di Indonesia ... 20

11. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit pada Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I – Triwulan 2010.I ... 22

12. Range Statistik Durbin Watson ... 48

13. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Fatty Acid Domestik ... 55

14. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Fatty Acid Domestik ... 57

15. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Fatty Acid Domestik ... 60

16. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Minyak Sawit Domestik ... 63

17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit Domestik .. 65

18. Hasil Simulasi Historis terhadap Produksi Fatty Acid di Indonesia Tahun 2007 – 2010 ... 69


(13)

 

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pohon Industri Kelapa Sawit ... 15 2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 37


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Time Series Model Produksi Fatty Acid di Indonesia ... 83 2. Nama Variabel Model Produksi Fatty Acid diIndonesia ... 85 3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Produksi Fatty Acid di

Indonesia ... 86 4. Hasil Estimasi dalam Model Produksi Fatty Acid di Indonesia ... 88

4.1. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Fatty Acid Domestik 88 4.2. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Fatty Acid

Domestik ... 89 4.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Fatty Acid ... 90 4.4. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Minyak Sawit

Domestik ... 91 4.5. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit

Domestik ... 92 5. Program Validasi Persamaan dalam Model Produksi Fatty

Acid di Indonesia ... 93 6. Hasil Validasi Model Produksi Fatty Acid di Indonesia Tahun

2007-2010 ... 95 7. Program Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga

Sebesar 20 Persen dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit

Indonesia Sebesar 10 Persen) ... 98 8. Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga

Sebesar 20 Persen dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit

Indonesia Sebesar 10 Persen) ... 100 9. Hasil Simulasi Model Produksi Fatty Acid di Indonesia ... 103


(15)

 

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di sektor pertanian. Tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan sektor ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Menurut data BPS (2012), jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian sebesar 39.33 juta jiwa pada tahun 2011. Hal ini dapat ditunjukan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Sektor Ekonomi

No. Sektor Ekonomi

Jumlah Tenaga Kerja (Juta Jiwa)

2006 2007 2008 2009 2010 2011 1. Pertanian 40.14 41.21 41.33 41.61 41.49 39.33

2. Pertambangan 0.92 0.99 1.07 1.16 1.25 1.46

3. Industri Pengolahan

11.89 12.37 12.55 12.84 13.82 14.54 4. Listrik, Gas dan

Air

0.23 0.17 0.20 0.22 0.23 0.24

5. Bangunan 4.70 5.25 5.44 5.49 5.59 6.34

6. Perdagangan dan Hotel

19.22 20.55 21.22 21.95 22.49 23.40 7. Angkutan dan

Komunikasi

5.66 5.96 6.18 6.12 5.62 5.08

8. Keuangan dan Persewaan

1.35 1.40 1.46 1.49 1.74 2.63

9. Jasa-jasa 11.36 12.02 13.10 14.00 15.96 16.64

Total 95.46 99.93 102.55 104.88 108.19 109.66

Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah)

Pentingnya sektor pertanian dapat dilihat dari rata-rata kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia cukup besar yaitu 14.81 persen dari tahun 2007 sampai tahun 2011 yang merupakan penyumbang terbesar kedua dalam PDB Indonesia setelah industri pengolahan. Hal ini dapat ditunjukan pada Tabel 2.


(16)

Tabel 2. Kontribusi Setiap Sektor Ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2007-2011 (%)

No. Sektor Ekonomi 2007 2008 2009 2010 2011

Rata-Rata 1. Pertanian 13.70 14.46 15.29 15.90 14.70 14.81 2. Pertambangan 11.20 10.92 10.54 11.10 11.80 11.11 3. Industri Pengolahan 27.10 27.89 26.38 25.20 24.20 26.15 4. Listrik, Gas dan Air 0.90 0.82 0.83 0.80 0.70 0.81

5. Konstruksi 7.70 8.48 9.89 10.10 10.80 9.39

6. Perdagangan dan Hotel 14.90 13.97 13.37 13.80 13.70 13.95 7. Angkutan dan

Komunikasi

6.70 6.31 6.28 6.20 6.50 6.40

8. Keuangan 7.70 7.43 7.20 7.10 7.20 7.33

9. Jasa-jasa 10.10 9.73 10.22 9.80 10.40 10.05

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah)

Oleh karena itu, sektor pertanian bagi Indonesia memiliki peranan yang cukup penting dalam pembangunan perekonomian. Sektor pertanian bermanfaat dalam proses pembangunan Indonesia antara lain mencakup (1) penyediaan kebutuhan pangan untuk penduduk yang semakin bertambah, (2) penyediaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan bagi penduduk, (3) penyediaan bahan mentah untuk agroindustri, (4) menghasilkan devisa untuk negara, dan (5) menciptakan kelestarian lingkungan hidup (Amang, 1999).

Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani, sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemicu dari pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, kelapa sawit juga berperan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis minyak sawit di Indonesia (Departemen Pertanian, 2012).


(17)

  Meningkatnya permintaan minyak sawit oleh industri hilir minyak sawit di Indonesia mendorong produsen minyak sawit di Indonesia untuk meningkatkan areal perkebunan kelapa sawit dan produksi kelapa sawit. Setiap tahun luas area dan produksi minyak sawit di Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Area, Produksi dan Produktivitas Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2006-2010

No. Indikator Kelapa

Sawit

2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata 1. Luas Areal (Juta Ha) 6.59 6.77 7.36 8.25 8.43 7.48 2. Produksi (Juta Ton) 17.35 17.66 17.54 19.32 19.76 18.33

Sumber: Departemen Pertanian 2010

Minyak Sawit atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu jenis minyak nabati selain minyak rape, minyak kedele, minyak bunga matahari dan minyak kelapa. Dalam laporan Assosiasi Pemasaran Bersama Perkebunan (APBP) 1989 dalam Suharyono (1996) menyebutkan, bahwa di bandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak sawit memiliki keunggulan, antara lain:

1. Biaya produksi relatif rendah sehingga harga jualnya mampu bersaing dengan jenis minyak nabati lain;

2. Suplainya stabil karena tidak banyak dipengaruhi oleh musim dan gangguan alam;

3. Substitusinya (interchangeability character) yang tinggi sehingga dapat mengganti penggunaan minyak nabati lainnya;

4. Dengan kemajuan teknologi, pemakaian minyak sawit semakin luas dan mudah mengatur mutu, aroma maupun rasanya agar sesuai kebutuhan.

Pengolahan CPO menjadi produk hilir memberikan nilai tambah tinggi. Produk olahan CPO dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu produk pangan dan non pangan. Produk pangan terutama minyak goreng dan margarin. Produk non


(18)

pangan terutama oleokimia seperti ester, fatty acid (asam lemak), surfaktan, gliseril, fatty alcohol, senyawa amina dan turunan turunan lainnya.

Sri Hadisetyana, Kepala Subdit Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Nonpangan Kementerian Perindustrian dalam Gosta (2011), mengatakan “kondisi Indonesia yang masih belum mampu mengembangkan industri hilir CPO, dapat merugikan perekonomian nasional karena industri hilir CPO bisa memberikan nilai tambah lebih dari 10 kali lipat dibandingkan harga minyak sawit mentah”. Menurut data Kementerian Perindustrian, CPO bisa memberikan nilai tambah 180 persen jika diolah menjadi margarin, 300 persen untuk fatty acid, dan 400 persen untuk fatty alcohol, bahkan pengelolaan menjadi produk kosmetik mampu memberikan nilai tambah hingga 1,200 persen dari harga minyak sawit mentah. Data nilai tambah industri turunan minyak sawit mentah dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Produk Nilai Tambah (%)

Minyak sawit mentah 0

Minyak goreng 60

RBD stearine 90 Margarine/shortening 180

Confectionaries 200

Fatty acid 300

Fatty alcohol 400

Surfaktan 800 Kosmetik 1,200

Sumber : Kementerian Perindustrian 2011

Pengembangan industri hilir CPO perlu diprioritaskan sebagai kebijakan pengolahan produk pertanian, mengingat Indonesia tidak dapat selamanya menjadi pengekspor minyak sawit. Potensi produksi minyak sawit yang tinggi sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilirnya, karena mempunyai nilai tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multipler


(19)

 

effect) yang sangat besar. Apabila kegiatan mengekspor CPO dipertahankan, ini menunjukkan industri nasional kurang berkembang dan kurang mengalami kemajuan.

Kajian tentang industri turunan minyak sawit sangat strategis untuk dilakukan karena saat ini baru 23 jenis produk turunan sawit yang diproduksi di Indonesia, padahal nilai tambah produk turunan berlipat ganda dibandingkan minyak sawit, khususnya untuk produk oleokimia yaitu fatty acid (Departemen Perindustrian, 2009).

1.2. Perumusan Masalah

Penyerapan minyak kelapa sawit oleh industri hilirnya di Indonesia masih rendah. Hal ini berkaitan dengan kapasitas produksi industri hilir berbahan baku minyak sawit yang masih rendah. Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) dalam Nuryanti (2008) menyatakan serapan minyak sawit oleh industri minyak goreng domestik merupakan industri yang dominan menggunakan minyak sawit di dalam negeri hanya berkapasitas 1.9 juta ton per tahun dibandingkan rata-rata produksi minyak sawit Indonesia selama 1984-2007 yaitu 6.2 juta ton. Begitu juga, industri hilir minyak sawit lain, yang menghasilkan produk turunan minyak sawit belum banyak berkembang sehingga belum banyak menyerap minyak sawit. Hal ini disebabkan masih rendahnya investasi pada sektor hilir karena kurangnya dukungan pemerintah.

Pada tahun 2012, Indonesia tetap menjadi negara produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia dengan hasil sebanyak 28 juta metrik ton. Produksi palm oil Indonesia itu hampir 50 persen dari total produksi dunia tahun ini yang diprediksi sebanyak 54.527 juta MT (metrik ton). Setelah


(20)

       

Indonesia, terbesar kedua adalah Malaysia sejumlah 19.7 juta MT, disusul Thailand 1.7 juta MT dan Kolumbia serta Nigeria masing-masing 960 MT dan 850 MT1.

Ekspor minyak sawit indonesia yang tinggi, merupakan hal yang harus dibatasi dalam rangka pengembangan industri hilir minyak sawit. Padahal saat ini, negara-negara tujuan ekspor minyak sawit telah mengolah minyak sawit dalam berbagai bentuk produk turunan yang memiliki nilai tambah jauh melebihi nilai ekspor2.

Berkaitan dengan nilai tambah, maka disusun naskah kebijakan kelapa sawit oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2010. Di dalam naskah tersebut dituliskan mengenai pengembangan produk (hilir dan sampingan) dan peningkatan nilai tambah. Pembentukkan klaster industri kelapa sawit sesuai dengan potensi produksi kelapa sawit berkelanjutan dan berkeadilan, yang didukung dengan : (1) pengembangan jaringan infrastruktur yang terintegrasi, (2) insentif fiskal untuk pengadaan peralatan dan pengolahan mesin-mesin produk hilir, (3) prioritas alokasi kredit dan subsidi bunga untuk investasi dan modal kerja dalam rangka pengembangan industri hilir kelapa sawit, (4) insentif bea keluar untuk ekspor produk hilir dan samping, serta disinsentif bea keluar untuk ekspor bahan mentah dengan tetap memperhatikan keberadaan industri hulu, dan (5) penguatan penelitian dan pengembangan (Litbang) kelapa sawit melalui

 

1

http://www.investor.co.id/home/indonesia-masih-jadi-produsen-cpo-terbesar-dunia/56652. Indonesia Masih Jadi Produsen CPO Terbesar Dunia. Diakses tanggal 16 Maret 2013.

2

http://bp2t.riau.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:mendesak-industri-hilir-kelapa-sawit&catid=25:the-project. Mendesak, Industri Hilir Kelapa Sawit. Diakses tanggal


(21)

  peningkatan anggaran dan investasi Litbang serta kerjasama Litbang antara pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi.

Industri oleokimia merupakan salah satu industri hilir minyak sawit. Industri ini termasuk industri kimia agro (agrobased chemical industry) yaitu industri yang mengolah bahan baku yang dapat diperbaharui (renewable), merupakan industri yang berbahan baku utama dari sumberdaya alam (resources – based industries) dan mempunyai peranan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat luas, seperti kosmetika, produk farmasi dan produk konsumsi lainnya. Selain itu industri tersebut berperan pula dalam pemerataan dan pertumbuhan ekonomi serta pemberdayaan ekonomi rakyat (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007).

Oleokimia merupakan bahan kimia yang berasal dari minyak/lemak alami, baik tumbuhan maupun hewani. Bidang keahlian teknologi oleokimia merupakan salah satu bidang keahlian yang mempunyai prospek yang baik dan penting dalam teknik kimia. Pada saat ini dan pada waktu yang akan datang, produk oleokimia diperkirakan akan semakin banyak berperan menggantikan produk-produk turunan minyak bumi (petrokimia) permintaan akan produk oleokimia semakin meningkat. Hal ini dapat dimaklumi karena produk oleokimia mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan produk petrokimia, seperti harga, sumber yang dapat diperbaharui dan produk yang ramah lingkungan (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007).

Oleokimia dibagi menjadi dua, yaitu oleokimia dasar dan turunannya atau produk hilirnya. Oleokimia dasar terdiri atas fatty acid, fatty methylester, fatty alcohol, fatty amine, dan gliserol. Selanjutnya, produk-produk turunannya antara


(22)

       

lain adalah sabun batangan, detergen, shampo, pelembut, kosmetik, bahan tambahan untuk industri plastik, karet, dan pelumas. Umumnya fatty acid diolah lebih lanjut untuk berbagai tujuan. Sebagian besar fatty acid campuran diolah menjadi fatty alcohol, dan jenis lainnya diolah lebih lanjut sesuai dengan sifat fisiko kimianya, antara lain untuk industri makanan, kosmetik, dan sabun. Fatty acid juga banyak diperlukan dalam produksi plastik, karet, dan pelumas3. Kecendrungan masyarakat dalam memilih produk yang lebih ramah lingkungan berdampak pada peningkatan permintaan fatty acid yang merupakan barang subtitusi dari ethylene glycol (petrokimia) (Kementerian Perindustrian, 2009).

Pada tahun 2000, total produksi oleokimia dasar Indonesia mencapai 349.882 ton, terdiri atas fatty acid 68.7 persen, fatty alcohol 19.6 persen, fatty methylester 1.1 persen, dan gliserol 10.6 persen (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007). Berdasarkan data produksi oleokimia di atas dapat dilihat bahwa fatty acid merupakan oleokimia dasar yang paling banyak diproduksi di Indonesia.

Terkait kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pengembangan industri hilir minyak sawit, kebijakan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran bahan baku (minyak sawit) dapat mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit yaitu fatty acid. Diduga penurunan tingkat suku bunga, akan meningkatkan keinginan investor dalam berinvestasi pada industri hilir kelapa sawit, khususnya industri fatty acid, sehingga produksi akan meningkat. Sebaliknya peningkatan tingkat suku bunga akan menurunkan investasi pada industri hilir minyak sawit yang juga menurunkan produksinya. Adapun


(23)

  peningkatan penawaran bahan baku (minyak sawit) diduga dapat meningkatakan produksi dan dapat menurunkan harga fatty acid domestik.

Sehubungan dengan masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid?

2. Bagaimana dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran minyak sawit terhadap produksi fatty acid di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan dalam penelitian yang terdapat pada perumusan masalah, dirumuskan beberapa tujuan penelitian. Adapun tujuan dalam penelitian ini:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan minyak sawit di Indonesia yaitu fatty acid;

2. Menganalisis dampak kebijakan penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran minyak sawit terhadap produksi fatty acid di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Hasil Penelitian ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi: 1. Penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan menjadi sarana

penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh selama kuliah;

2. Pelaku usaha dalam industri minyak sawit, menjadi informasi dalam mengembangan produk turunan minyak sawit;


(24)

3. Akademisi, penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan produk turunan minyak sawit;

4. Pemerintah, menjadi bahan pertimbangan dalam menentukkan kebijakan terkait dengan industri produk turunan minyak sawit.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bagi industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit, yaitu fatty acid (produk nonpangan). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data (time series) dari tahun 1990-2010. Fokus penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa fatty acid merupakan produk turunan minyak sawit yang memiliki nilai tambah yang tinggi.

Pada penelitian ini tidak dibedakan bentuk, baik pada komoditas minyak sawit maupun produk turunan minyak sawit yaitu fatty acid. Kemudian dalam menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi turunan minyak sawit hanya fokus pada kebijakan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran minyak sawit.


(25)

 

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensiss Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa Negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit (Fauzi et al. 2002).

Buah merupakan bagian tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi dibanding bagian lain. Tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan buah pada umur 30 bulan setelah tanam. Buah pertama yang keluar (buah pasir) belum dapat diolah di PKS karena kandungan minyaknya yang rendah. Buah kelapa sawit normal berukuran 12-18 g/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir berisi sekitar 10-18 butir tergantung kepada kesempurnaan penyerbukan. Bulir-bulir ini menyusun tandan buah yang berbobot rata-rata 20-30 kg/tandan. Setiap TBS berisi sekitar 2000 buah sawit. TBS inilah yang dipanen dan diolah di Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) (Buana et al. 2007).

Tanaman kelapa sawit terbagi atas tipe jenis berdasarkan karakter ketebalan cangkang buahnya yaitu dura (D), tenera, dan pisifera (P). Kelapa sawit


(26)

dura memiliki cangkang yang tebal (2-5 mm), tenera yang memiliki ketebalan cangkang 1-2,5 mm dan pisifera (hampir) tidak mempunyai inti dan cangkang. Tenera adalah hibrida dari persilangan dura dan pisifera sehingga memiliki cangkang intermediate (0,5-4 mm) dan merupakan tipe umum yang digunakan diperkebunan. Ketebalan cangkang ini sangat berkaitan erat dengan persentase mesokarp/buah (berasosiasi dengan kandungan minyak) dan persentase inti/buah (berasosiasi dengan rendaman inti) (Buana et al. 2007). Karakteristik tipe kelapa sawit dura, tenera, dan pisifera dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Tipe Kelapa Sawit Dura, Tenera, dan Pisifera

Tipe Cangkang (mm) Mesokarp/buah (%) Inti/buah (%)

Dura 2-5 20-65 4-20

Tenera 1-2.5 60-90 3-15

Pisifera Tidak ada 92-97 3-8

Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2007 dalam Lalang 2007

2.2. Kelapa Sawit di Indonesia

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budi daya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5,123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576


(27)

  ton ke Negara-negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton (Fauzi et al. 2002).

Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan kelapa sawit dalam rangka menciptakan kesempatan kerja,meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan tahun 1980 luas lahan mencapai 294,560 ha dengan produksi CPO sebesar 721,172 ton. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat (Fauzi et al. 2002).

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusinya yang cukup besar dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pengolahan industri CPO dan turunannya di Indonesia selaras dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan buah segar (hulu) kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah (hilir perkebunan sawit dan hulu bagi industri yang berbasiskan CPO).

2.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit

Pengolahan kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit. Hasil utama yang dapat diperoleh ialah minyak sawit,inti sawit, sabut, caking, dan tandan kosong. Pabrik kelapa sawit (PKS) dalam konteks industri kelapa sawit di Indonesia dipahami sebagai unit ekstraksi crude palm oil (CPO) dan inti sawit dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. PKS merupakan unit pengolahan hulu dalam industri pengolahan


(28)

kelapa sawit dan merupakan titik kritis dalam alur ekonomi buah kelapa sawit khususnya dan industri kelapa sawit umunya. Sifat yang krusial ini disebabkan beberapa faktor penting di antaranya:

1. Sifat buah kelapa sawit yang segera mengalami penurunan kualitas dan rendemen bila tidak segera diolah.

2. CPO dan inti sawit merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit dimana kualitasnya menentukan daya gunanya untuk diolah menjadi pupuk akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin, minyak goreng, margarin, shortening, minyak inti sawit, kosmetik, sabun dan deterjen, shampo, dll.

Pabrik kelapa sawit merupakan salah satu faktor kunci sukses pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. PKS tersusun atas unit-unit proses yang memanfaatkan kombinasi perlakuan mekanis, fisik, dan kimia. Parameter penting produksi seperti efisien ekstraksi, rendemen, kualitas produk sangat penting peranannya dalam menjamin daya saing industri perkebunan kelapa sawit dibanding industri minyak nabati lainnya.

Menurut SK Menteri Pertanian No 107/Kpts/2000, sebuah PKS hanya dapat didirikan apabila perusahaan tersebut mempunyai kebun yang mampu memasok 50 persen dari kapasitas PKS yang akan di bangunnya. Implikasi dari peraturan ini adalah bahwa kemampuan PKS untuk mengolahkan buah milik pihak luar menjadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, kebun-kebun yang luas akan lebih aman apabila memiliki PKS sendiri (Buana et al. 2007).


(29)

 

Gambar 1. Pohon Industri Kelapa Sawit (Pahan et al. 2005)   


(30)

2.4. Industri Hilir Minyak Sawit

Kelapa sawit dan produk turunannya memiliki nilai kompetitif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Kelapa sawit memiliki produktivitas yang lebih tinggi dengan menghasillkan minyak sekitar 7 ton/ha, dibandingkan dengan kedelai yang menghasilkan minyak sekitar 3 ton/ha. Disamping itu kelapa sawit juga memiliki biaya produksi yang lebih rendah dan ramah lingkungan (Buana et al. 2007).

CPO dan PKO serta produk-produk turunannya masih merupakan dua kelompok produk industri minyak sawit utama Indonesia. CPO yang diproduksi sebagian besar digunakan sebagai produk ekspor dan hampir 90 persen konsumsi domestik digunakan sebagai bahan baku minyak goreng (Siahaan, 2006). Industri lain yang menggunakan minyak kelapa sawit ini adalah industri margarin, sabun, dan industri kimia lainnya. Industri minyak goreng Indonesia dapat diperkokoh strukturnya dengan diversifikasi vertikal kearah pengembangan industri hilir.

Produk hilir berbasis CPO dan PKO berdasarkan kegunaannya dibedakan atas dua jenis kelompok produk yaitu edible product dan non-edible product. Edible product merupakan produk turunan minyak sawit yang dapat dikonsumsi sebagai minyak goreng, minyak salad, dan berbagai lemak untuk produk bakery seperti shotening dan margarin dan berbagai minyak dan lemak khusus seperti cocoa butter substitute, coffee whitener, dll. Non-edible product merupakan produk yang bukan digunakan sebagai produk teknis non pangan seperti sabun, deterjen, plasticizer, produk kimia dll (Siahaan, 2006).

Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil (RBDPO) dan RBD Palm Olein yang merupakan turunan langsung dari CPO yang banyak digunakan dalam


(31)

  industri makanan sebagai minyak goreng. RBDPO juga digunakan untuk memproduksi margarin, shortening, es krim, condensed milk, vanaspati, sabun, dan lainnya. RBD palm stearin digunakan sebagai bahan baku margarin dan shortening juga bahan untuk pembuatan lemak untuk pelapis pada industri permen dan coklat. RBD palm stearin digunakan juga dalam menghasilkan sabun dan industri oleokimia (Siahaan, 2006).

PKO yang dimurnikan dengan proses yang sama dengan pemurnian CPO menghasilkan RBD PKO (refined, bleached and deodorized palm kernel oil). Hasil fraksinasi RBD PKO kemudian menghasilkan RBD palm kernel olein. RBD palm kernel oil digunakan secara komersial untuk menggoreng kacang, popcorn, dan pembuatan permen setelah diubah menjadi cocoa butter substitute atau cocoa butter equivalent (Siahaan, 2006).

2.5. Perkembangan Produksi dan Permintaan Fatty Acid di Indonesia

Produk hilir minyak sawit terbagi menjadi produk pangan 90 persen dan produk non pangan sebesar 10 persen berupa produk sabun dan oleokimia. Penggunaan terbesar minyak sawit adalah untuk minyak goreng yaitu sekitar 71 persen sedangkan bila digabung dengan margarin menjadi 75 persen. Sisanya sekitar 25 persen digunakan dalam bentuk sabun, oleokimia, dan bentuk lainnya (Affudin, 2007).

Industri oleokimia berkembang di beberapa daerah, yang umumnya di kota-kota besar yang lengkap dengan fasilitas pelabuhan. Berikut ini adalah beberapa prusahaan sebagai produsen Oleokimia di Indonesia pada tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 6.


(32)

Tabel 6. Produsen Oleokimia di Indonesia tahun 2004

No Nama Perusahaan Lokasi Jenis Produk Kapasitas Produksi

(Ton/Th) 1. PT. Sinar Oleochemical

Int’l

Medan Fatty acid Glycerin

120,000 12,250 2. PT. Prima Inti Perkasa Medan Fatty alcohol

Fatty acid

30,000 8,000 3. PT. Flora Sawita Tanjung

Morawa

Fatty acid Glycerin

47,000 5,400 4. PT. Batamas Megah Batam Fatty alcohol 90,000 5. PT. Cisadane Raya

Chemical

Tangerang Fatty acid Fatty alcohol Glycerin

182,000 20,000 5,500 6. PT. Asianagro Agungjaya Jakarta

Utara

Fatty acid 14,800 7. PT. Sumi Asih Bekasi Fatty acid

Glycerin

100,000 3,500 8. PT. Sayap Mas Utama Bekasi Glycerin 4,000 9. PT. Bukit Perak Semarang Glycerin 1,440 10. PT. Unilever Indonesia Surabaya Glycerin 8,950 11. PT. Wings Surya Surabaya Glycerin 3,000 12. PT. Musim Mas Deli Fatty acid 90,000

Sumber : Kementerian Perindustrian 2005

Minyak sawit digunakan dalam berbagai industri pengolahan. Pangsa konsumsi minyak sawit Indonesia tahun 1991 – 1996 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pangsa Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Tahun 1991 – 1996

Tahun Pangsa Bentuk Konsumsi

Minyak Goreng

Margarin Sabun Oleokimia Lainnya

1991 72.5 4.3 6.5 16.0 0.7

1992 71.0 3.5 5.4 13.7 6.4

1993 72.2 4.0 5.8 15.5 2.5

1994 70.5 3.8 5.3 16.5 3.9

1995 70.2 3.6 5.0 16.6 4.6

1996 70.0 3.5 4.7 16.6 5.2

Rata–Rata 70.9 3.8 5.4 15.8 4.1

Sumber : Saragih 1998 dalam Affudin 2007

Menurut data BPS (2012), permintaan fatty acid cenderung meningkat, dari tahun 2003 sebesar 170.58 ribu ton dan pada tahun 2010 meningkat sebesar 432.19 ribu ton, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2008. Perkembangan permintaan fatty acid domestik hingga tahun 2010 disajikan pada Tabel 8.


(33)

 

Tabel 8. Perkembangan Permintaan Fatty Acid di Indonesia Tahun 2003-2010

Tahun Permintaan Fatty Acid (000 Ton)

2003 170.58

2004 176.81

2005 241.10

2006 236.14

2007 209.31

2008 152.89

2009 229.02

2010 432.19

Sumber : BPS diolah (2012)

Peningkatan permintaan fatty acid ini sejalan dengan peningkatan produksi dan harga produk yang berbahan baku fatty acid, seperti sabun batangan. Produksi sabun mandi batang di Indonesia sangat berkembang.

Tabel 9. Produksi dan Harga Sabun Mandi Batang di Indonesia Tahun 2003 – 2010

Tahun Produksi Sabun Batang

(000 Batang)

Harga Sabun Batang (Rp/batang)

2003 614.3 1281

2004 2469.9 1206

2005 3174.1 972

2006 2756.9 880

2007 2931.3 992

2008 6148.4 1055

2009 4963.9 1052

2010 3779.4 1039

Sumber : BPS diolah (2012)

Gaya hidup masyarakat yang berkembangan dari waktu ke waktu mendorong kebutuhan akan sabun mandi juga semakin meningkat, karena masyarakat saat ini sudah mulai peduli terhadap kebersihan. Selain itu dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan yang dipelopori oleh negara-negara maju, telah berkembang Green Consumerism yaitu kelompok masyarakat yang cendrung memilih produk-produk yang lebih ramah lingkungan. Seiring dengan hal itu, maka terjadi pergeseran antara lain pergeseran penggunaan produk surfaktan berbasis petrokimia kepada surfaktan berbasis


(34)

minyak sawit (widodo, 2005). Perkembangan produksi dan harga sabun batang di Indonesia tahun 2003-2010 dapat dilihat pada Tabel 9.

Berdasarkan Tabel 9 perkembangan produksi sabun batang di Indonesia berfluktuatif dari tahun 2003 hingga tahun 2010. Produksi terbesar yang dapat dilihat pada Tabel 8 yaitu tahun 2008 sebesar 6148.4 buah. Hal ini menunjukkan bahwa sabun mandi batang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Peningkatan dalam produksi sabun akan mendorong peningkatan jumlah bahan baku yang digunakan, sehingga permintaan fatty acid yang merupakan bahan baku pada industri sabun akan meningkat. Keadaan ini mendorong peningkatan dalam produksi fatty acid domestik, berikut ini disajikan perkembangan produksi fatty acid domestik pada tabel 10.

Tabel 10. Perkembangan Produksi Fatty acid di Indonesia Tahun 2003 – 2010

Tahun Produksi Fatty Acid (000 Ton) Harga (000 Rp/Ton)

2003 379.40 58.16

2004 420.25 40.76

2005 490.30 38.78

2006 507.00 39.20

2007 680.00 47.57

2008 760.00 49.11

2009 780.12 43.74

2010 986.00 42.04

Sumber : BPS diolah (2012)

Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa produksi fatty acid domestik mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Keadaan ini akan terus berlanjut dengan syarat tersedianya pasokan bahan baku yang cukup bagi industri fatty acid yaitu minyak sawit. Selain itu perlu adanya peningkatan modal industri untuk menambah kapasitas produksi dengan cara inovasi teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Penambahan jumlah industri fatty acid juga akan mendorong peningkatan produksi fatty acid domestik.


(35)

 

2.6. Kebijakan Pada Industri Minyak Sawit

Peningkatan tarif ekspor minyak sawit dilakukan pemerintah dalam upaya menekan arus ekspor minyak sawit, yang dapat menghambat pengembangan industri hilir minyak sawit, salah satunya industri fatty acid. Hal-hal yang menyangkut rencana kenaikan tarif ekspor akan selalu menjadi perdebatan berbagai pihak, terutama pihak–pihak yang terkait dalam agribisnis kelapa sawit Indonesia (petani, pedagang, dan eksportir, serta industri). Selain pajak ekspor, pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu domestic market obligation (DMO). Domestic market obligation sesuai dengan Undang-Undang No.18 tentang Perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran dalam negeri (Novindra, 2011).

Perkembangan tingkat bunga uang yang tidak wajar akan secara langsung menyebabkan terganggunya lembaga keuangan bank. Dengan suku bunga uang yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di bank sehingga bank memiliki dana yang sangat besar sehingga kemampuan bank menyalurkan kredit juga besar. Bersamaan dengan kondisi tersebut, suku bunga kredit juga akan meningkat sehingga hasrat masyarakat untuk meminjam kredit di bank menjadi menurun karena bunga kredit yang tinggi dalam suatu investasi. Tingkat suku bunga yang tinggi, investasi menurun menyebabkan jumlah produksi menurun (Sudirman, 2011).

Tingkat suku bunga kredit bank umum di Indonesia berfluktuatif. Laju perubahan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 15.01 persen. Beberapa kalangan menilai, khususnya dunia usaha dan pemerintah bahwa


(36)

perbankan menerapkan suku bunga tinggi untuk mempertahankan tingkat keuntungan.Perkembangan tingkat suku bunga umum bank Indonesia dapat dilihat pada Tabel 11.

Tebel 11. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit pada Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I – Triwulan 2010.I.

Tahun Triwulan Tingkat Suku Bunga Kredit (%)

Pertumbuhan (%)

2006 I 16.34 3.55

II 16.23 -0.67

III 16.00 -1.42

IV 15.35 -4.06

2007 I 14.70 -4.23

II 14.08 -4.22

III 13.56 -3.69

IV 13.11 -3.32

2008 I 12.94 -1.30

II 12.95 0.08

III 13.50 4.25

IV 15.01 11.19

2009 I 15.10 0.60

II 14.67 -2.85

III 14.31 -2.45

IV 13.91 -2.80

2010 I 13.66 -1.80

Total 694.69 -72.87

Rata-Rata 16.16 -1.69

Sumber : Laporan Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank BI (diolah) dalam Sofia (2011)

Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri, dan penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui:

1. Fasilitas pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5-10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik MGS;

2. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi;


(37)

  4. Fasilitas pengembangan biodiesel;

5. Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing.

2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai kelapa sawit sudah banyak dilakukan, baik mengenai dampak kebijakan, industri hilir, ataupun industri hulunya. Novindra (2011), meneliti dengan judul dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia, mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2003-2007, dan meramalkan dampak kebijakan domestik terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2012-2016.

Model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak goreng sawit. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39 variabel endogen (G), dan 46 predetermined variable terdiri dari 28 variabel eksogen dan 18 lag endogenous veriable, sehingga total variabel endogen dalam model (K) adalah 85 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 8 variabel. Berdasarkan criteria order condition


(38)

disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kebijakan domestik berupa pembatasan eksporminyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dnegan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak sawit terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan.

Suharyono (1996), melakukan analisis dampak kebijakan ekonomi pada komoditas minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan keragaan ekonomi komoditas minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, dan sabun, serta besarnya pengaruh


(39)

  perubahan faktor-faktor itu. Kemudian menganalisis dampak kebijakan ekonomi deregulasi perdagangan minyak sawit, devaluasi nilai tukar rupiah, penurunan tingkat bunga, peningkatan harga pupuk, peningkatan upah tenaga kerja,

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam runtun waktu (time series), periode 1969-1993. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Squares (LTSLS). Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa selama kurun waktu 1969-1993 telah terjadi perkembangan yang cukup berarti dalam industri minyak sawit Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal produktif, produksi, dan permintaan minyak sawit domestik, yang masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 11.52 persen, 13.27 persen, dan 18.90 persen. Sementara itu pada kurun waktu yang sama volume ekspor minyak sawit Indonesia rata-rata meningkat 8.33 persen pertahun yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar MEE sebesar 7.89 persen per tahun. Di sisi lain selama kurun waktu 1984-1993, volume impor minyak sawit oleh Indonesia mengalami penurunan rata-rata 6.80 persen per tahun.

Luas areal produktif tidak responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif terhadap teknologi dan permintaan minyak sawit domestik. Disamping itu produksi margarin dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap teknologi, sementara untuk produksi sabun dalam jangka panjang juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh


(40)

perubahan teknologi bagi produk hasil industri ternyata lebih besar dibandingkan untuk produk hasil pertanian, demikian juga untuk perkembangan permintaan, permintaan minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak goreng sawit domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan permintaan minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan besar pengaruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan. Permintaan minyak goreng sawit, margarin, dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan nasional. Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa. Hal ini menunjukan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng kelapa dan minyak goreng sawit dilihat dari sisi konsumen lebih bersifat subtitusi.

Peubah trend (teknologi) ternyata mampu memberikan pengaruh yang besar pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarin, dan sabun. Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun demikian harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit dunia dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Harga ekspor minyak sawit Indonesia kepasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditas itu kepasar MEE.

Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak resposifnya perubahan harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin maupun sabun terhadap


(41)

  perubahan teknologi. Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga tertinggi, kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga pupuk rata-rata dan kebijakan peningkatan pendapatan nasional.

2.8. Kebaruan Penelitian

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dibandingkan dengan penelitian Suharyono (1996), dan Novindra (2011). Penelitian Novindra (2011), yaitu dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan model ekonometrika persamaan simultan diduga dengan Two Stages Laeast Square (2SLS).

Perbedaan penelitian Novindra (2011) dengan penelitian ini adalah pada tujuan dari penelitian ini. Penelitian Novindra (2011) memiliki tujuan untuk melihat dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia, sedangkan penelitian ini untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit yaitu fatty acid di Indonesia dan melihat dampak kebijakan suku bunga serta perubahan faktor eksternal (peningkatan penawaran bahan baku) terhadap produksi produk turunan kelapa sawit.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suharyono (1996) adalah pada perumusan model berupa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit. Perbedaannya dengan penelitian Suharyono (2008) adalah


(42)

pada model ekonometrika yang digunakan, pada penelitian Suharyono (2008), menggunakan model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap Linier Three Stages Least Square (LTSLS). Sedangkan penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan diduga dengan Two Stages Laeast Square (2SLS). Selain itu ruang lingkup dan komoditas yang diteliti dalam penelitian ini juga berbeda, pada penelitian Suharyono (1996), ikut melihat dampak kebijakan ekonomi terhadap kelapa sawit dan produk turunannya, kemudian komoditas yang diteliti adalah minyak sawit, minyak goreng sawit, margarin, dan sabun sedangkan pada penelitian ini lebih kepada industri hilir kelapa sawit yaitu fatty acid untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa sawit tersebut. Dampak kebijakan yang dilihat adalah peningkatan suku bunga uang dan peningkatan penawaran bahan baku.


(43)

 

III. KERANGKA TEORI 3.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Fatty Acid

Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai hubungan secara teknis dalam transformasi input (resources) ke dalam output atau yang melukiskan antara hubungan input dengan output (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984). Secara umum hubungan antara input-output untuk menghasilkan produksi suatu komoditi pertanian (Y) secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Y = f (x1, x2, x3, x4) ………..…….………...…..(3.1) Keterangan:

Y = Output fatty acid (Kg) x1 = Jumlah minyak sawit (Kg) x2 = Jumlah modal (Unit) x3 = Jam tenaga kerja (HOK) x4 = Faktor produksi lainnya

Digambarkan secara sederhana fungsi produksi dari fatty acid adalah:

Y = f(H,M,U) ………..………..(3.2) Keterangan:

Y = Produksi fatty acid (Kg)

H = Jumlah minyak sawit untuk produksi fatty acid (Kg) M = Jumlah modal untuk produksi fatty acid (Unit) U = Jam tenaga kerja untuk produksi fatty acid (HOK)

Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa makin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah


(44)

barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002). Dalam melengkapi analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, selanjutnya perlu juga diteliti peranan faktor-faktor lainnya dalam mempengaruhi jumlah barang yang ditawarkan. Dolan (1974), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditas, yaitu harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain (sebagai kompetisi atau komplementernya), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi, harapan harga dan keadaan alam.

3.2. Permintaan Minyak Sawit Kasar oleh Industri Fatty Acid dan Permintaan Fatty Acid oleh IndustriSabun

Sebagai bahan baku untuk industri fatty acid, permintaan terhadap minyak sawit kasar dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu melalui fungsi keuntungan. Secara rasional, produsen akan berproduksi pada tingkat dimana keuntungan yang diperolehnya dalam keadaan maksimum (Debertin, 1986; Henderson dan Quant, 1980; Beattie dan Taylor, 1985). Dalam kondisi ini input yang digunakan berada dalam jumlah yang optimal.

Bila Π adalah profit, P adalah harga output Y dan ri adalah harga input Xi, maka persamaan profit dapat dituliskan sebagai berikut :

Π = P.Y −Σ ri . Xi ………...…………...(3.3) dengan menurunkan fungsi di atas terhadap masing-masing input maka diperoleh:

δΠ / δXi = P . δY / δXi− ri = o ...……...………...…..(3.4) atau P.PMi = ri ……….…..(3.5) dimana PMi adalah produk marjinal dan P.PMi adalah nilai dari produk marjinal


(45)

  Pada persamaan di atas, penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.PMi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasi dari kondisi ini adalah permintaan suatu input oleh industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan (r), harga output (P) dan teknologi produksi (PMi). Disamping itu, permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistorsi pasar.

Pada industri fatty acid, permintaan terhadap minyak sawit kasar selain dipengaruhi oleh harga minyak sawit kasar, juga dipengaruhi oleh harga fatty acid, dan tingkat bunga. Dalam model ekonomi, permintaan input tersebut dituliskan sebagai berikut :

Dt = f (Pct, Pt, it, Dt-1) ………...…(3.6) dimana Dt adalah permintaan minyak sawit kasar oleh industri fatty acid, Pct adalah harga minyak sawit kasar, Pt adalah harga fatty acid, it adalah tingkat bunga, dan Dt-1 adalah permintaan minyak sawit kasar pada tahun sebelumnya.

Sama halnya dengan minyak sawit yang merupakan bahan baku untuk industri fatty acid, fatty acid juga merupakan bahan baku untuk industri sabun. Sebagai bahan baku untuk industri sabun batangan, permintaan terhadap fatty acid dapat diturunkan melalui fungsi permintaan turunan (derived demand), yaitu melalui fungsi keuntungan. Secara rasional, produsen akan berproduksi pada tingkat dimana keuntungan yang diperolehnya dalam keadaan maksimum (Debertin, 1986; Henderson dan Quant, 1980; Beattie dan Taylor, 1985). Dalam kondisi ini input yang digunakan berada dalam jumlah yang optimal.


(46)

Bila Π adalah profit, P adalah harga output Y dan ri adalah harga input Xi, maka persamaan profit dapat dituliskan sebagai berikut :

Π = P.Y −Σ ri . Xi ………...………..…….(3.7) dengan menurunkan fungsi di atas terhadap masing-masing input maka diperoleh:

δΠ / δXi = P . δY / δXi− ri = o ...……...………....…..(3.8) atau P.PMi = ri ……….………..(3.9) dimana PMi adalah produk marjinal dan P.PMi adalah nilai dari produk marjinal dari input i.

Pada persamaan di atas, penggunaan input yang optimal dicirikan oleh kondisi dimana nilai produk marjinal dari masing-masing input (P.PMi) sama dengan harga input yang bersangkutan. Implikasi dari kondisi ini adalah permintaan suatu input oleh industri sangat dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan (r), harga output (P) dan teknologi produksi (PMi). Di samping itu, permintaan suatu input dapat pula dipengaruhi oleh harga input substitusi dan faktor lain yang dapat mendistorsi pasar.

Pada industri sabun, permintaan terhadap fatty acid selain dipengaruhi oleh harga fatty acid, juga dipengaruhi oleh harga sabun, dan tingkat bunga. Dalam model ekonomi, permintaan input tersebut dituliskan sebagai berikut :

Dt = f (Pct, Pt, it, Dt-1) ………...………(3.10) dimana Dt adalah permintaan fatty acid oleh industri sabun, Pct adalah harga fatty

acid, Pt adalah harga sabun, it adalah tingkat bunga, dan Dt-1 adalah permintaan


(47)

 

3.3. Harga

Harga merupakan sejumlah uang yang harus dikeluarkan untuk memperoleh satu unit komoditas. Teori harga secara sederhana dikembangkan dalam konteks harga konstan (Lipsey et al. 1987). Menurut Nicholson (2002) harga barang yang diperdagangkan baik dipasar input maupun output ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Perpotongan kurva permintaan dengan kurva penawaran suatu barang dalam suatu pasar menentukan harga pasar (harga keseimbangan) untuk barang tersebut. Pada kondisi tersebut, kuantitas barang yang diminta oleh pembeli adalah sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual.

Menurut Nicholson (2002), Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: 1) pemberi sinyal/informasi bagi produsen mengenai berapa banyak barang yang seharusnya diproduksi untuk mencapai laba maksimum, dan 2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum. Kenaikan dalam permintaan menyebabkan keseimbangan harga meningkat sehingga permintaan mempengaruhi harga secara positif. Penawaran mempengaruhi harga secara negatif dimana jika penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun. Hal ini disebabkan kuantitas barang yang ditawarkan oleh produsen lebih besar daripada yang dibutuhkan atau diinginkan oleh konsumen.

3.4. Model Persamaan Simultan

Menurut Gujarati (1978) sistem persamaan simultan dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan model persamaan tunggal. Hal ini disebabkan karena peubah-peubah dalam persamaan


(48)

satu dengan lainnya dalam model dapat berinteraksi satu sama lain. Persamaan simultan tidak hanya memiliki satu persamaan yang menghubungkan antara satu variabel endogen tunggal dengan sejumlah variabel eksogen non stokastik atau didistribusikan secara bebas dari unsur gangguan stokastik. Suatu ciri unik dari persamaan simultan adalah variabel endogen dari satu persamaan mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan (explanatory variable) dalam persamaan lain dari sistem. Bentuk umum dari persamaan simultan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Y1i = 10 + 12 Y2i + 11 X1i + u1i ………...…..……..(3.11) Y2i = 20 + 21 Y1i + 21 X1i + u2i ………..….……..…..(3.12) Dimana Y1 dan Y2 merupakan variabel yang saling bergantung, atau bersifat endogen, dan Xt merupakan variabel yang bersifat eksogen, dimana u1 dan u2 adalah unsur gangguan stokastik, variabel Y1 dan Y2 kedua-duanya stokastik. Pemilihan model yang akan digunakan berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran fatty acid di Indonesia.

3.5. Elastisitas

Konsep elastisitas digunakan untuk mendapatkan nilai kuantitatif dari respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model yang dinamis dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Adapun rumus untuk mendapatkan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang sebagai berikut:

Elastisitas Jangka Pendek (E )


(49)

  Elastisitas Jangka Panjang (EL )

EL = E ………...………...……….. (3.14) Keterangan:

b = Parameter dugaan dari peubah eksogen bl

= Rata-rata explanatory variable ag = Parameter dugaan dari lag endogen

X

Y = Rata-rata peubah endogen (mean predicted hasil validasi model)

3.6. Kerangka Pemikiran Operasional

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang penting bagi perekonomian Indonesia. Kelapa sawit menghasilkan dua minyak yaitu minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit. Indonesia merupakan pengekspor CPO terbesar di dunia, dan diprediksi permintaan CPO dunia akan terus meningkat.

Indonesia harus terus meningkatkan produktivitas kelapa sawit, agar dapat memenuhi permintaan dunia terhadap CPO. Salah satunya dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini tentu saja menjadi ancaman yang berarti bagi Indonesia. Indonesia tidak bisa selamanya hanya mengekspor bahan mentah dari kelapa sawit berupa CPO saja. Perlu adanya pengembangan industri hilir kelapa sawit, dimana seperti yang kita tahu produk turunan kelapa sawit seperti fatty acid memberikan nilai tambah yang lebih tinggi dibanding dengan minyak mentah kelapa sawit.

Bukan hanya itu, kebutuhan domestik terhadap produk turunan kelapa sawit seperti fatty acid semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan meningkatnya


(50)

kebutuhan masyarakat terhadap produk-produk hasil industri hilir kelapa sawit yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan produk sejenis yang berasal dari industri petrokimia berbahan baku minyak mentah. Pengembangan industri hilir minyak sawit di Indonesia masih rendah, oleh karena itu industri hilir kelapa sawit perlu di dorong agar lebih maju dan berkembang. Efek berganda yang timbul dengan keberadaan industri sawit memanfaatkan CPO sebagai bahan bakunya meliputi (Departemen Perindustrian, 2009):

1. Penguatan struktur industri agro dan kimia serta industri lainnya; 2. Pertumbuhan subsektor ekonomi lainnya;

3. Pengembangan wilayah industri; 4. Proses alih teknologi;

5. Perluasan lapangan kerja; 6. Penghematan devisa;

7. Penerimaan peningkatan pajak bagi pemerintah.

Pengembangan produksi hilir dari minyak kelapa sawit juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan moneter berupa tingkat suku bunga juga memberikan dampak terhadap produksi produk turunan minyak sawit. Hal ini terkait dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa dengan penurunan tingkat suku bunga akan meningkatkan investasi. Meningkatnya invetasi diharapkan dapat meningkatkan modal bagi perusahaan hilir minyak sawit sehingga dapat meningkatkan produksi. Selain itu peningkatan penawaran bahan baku (minyak sawit) dalam industri hilir kelapa sawit juga dapat memberikan dampak terhadap produksi turunan minyak sawit. Hal ini mengindikasikan bahwa meningkatnya ketersediaan bahan baku akan mendorong peningkatan produksi.


(51)

Permintaan CPO Dunia meningkat

Produksi Minyak Sawit Harus Tinggi sehingga Mendorong Penambahan Areal Tanam Kelapa Sawit

Analisis Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Produksi Fatty Acid (Model Persamaan Simultan)

Menganalisi Dampak Perubahan Variabel Eksogen terhadap Variabel

Endogen dengan Simulasi (Analisis Simulasi) Perlu Peningkatan Kapasitas Produksi Industri

Hilir yang Memiliki Nilai Tambah yang Cukup Tinggi yaitu Fatty Acid

Pengembangan Industri Hilir Rendah Ekspor CPO Indonesia

Tinggi 

Rekomendasi Kebijakan

Gambar 2. Diagram Alur Pemikiran Operasional

Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi produk turunana kelapa sawit. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Berdasarkan model yang dibuat dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi produk turunan kelapa


(52)

sawit, untuk fatty acid. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pengambil kebijakan dalam pengembangan industri hilir kelapa sawit. Selain itu, hasil analisis diharapkan dapat menjadi literatur untuk penelitian berikutnya. Secara garis besar, kerangka pemikiran operasional dapat ditunjukkan pada Gambar 2.


(53)

 

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 20 tahun, yaitu tahun 1990-2010. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lainnya misalnya Kementerian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS-RI), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Perpustakan Institut Pertanian Bogor, studi literatur dan internet.

4.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kuantitatif. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika untuk menjawab tujuan penelitian, yaitu model persamaan simultan. Model ekonometrika dalam penelitian ini terdiri dari 6 persamaan simultan yang terdiri dari lima persaman struktural (produksi fatty acid domestik, permintaan fatty acid domestik, harga riil fatty acid domestik, harga riil minyak sawit domestik, dan permintaan minyak sawit domestik) dan satu persamaan identitas (penawaran fatty acid domestik). Masing-masing persamaan dalam model persamaan simultan diduga dengan metode 2SLS menggunakan software SAS 9.0 for Windows.

4.3. Spesifikasi Model

Guna menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi fatty acid, serta mengevaluasi dampak kebijakan tingkat suku bunga dan peningkatan penawaran bahan baku terhadap produksi fatty acid di Indonesia digunakan salah satu model ekonometrika yaitu model persamaan simultan. Terdapat empat


(1)

Lampiran 7. Lanjutan

LPFACID = 'produksi fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)'

LDFACID = 'permintaan fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)'

LSFACID = 'penawaran fatty acid domestik tahun sebelumnya (000 ton)'

LHMSDR = 'harga minyak sawit domestik riil tahun sebelumnya (000 Rp/ton)'

LHFACID = 'harga fatty acid riil tahun sebelumnya (000 Rp/ton)'

LTB = 'tingkat suku bunga uang tahun sebelumnya (%)'

LSMSD = 'penawaran minyak sawit domestik tahun sebelumnya (000 ton)'

LPI = 'jumlah penduduk indonesia tahun sebelumnya (juta jiwa)'

LDMSD = 'permintaan minyak sawit domestik tahun sebelumnya'

DPFACID = 'perubahan produksi fatty acid domestik (000 ton)'

DTB = 'perubahan tingkat suku bunga uang (%)'

DPI = 'perubahan jumlah penduduk indonesia (juta jiwa)'

DHMSDR = 'perubahan harga riil minyak sawit domestik'

PMSD = 'produksi minyak sawit domestik'

EXMS = 'ekspor minyak sawit Indonesia'

IMMS = 'impor minyak sawit Indonesia'

;

proc

simnlin

data=validasi SIMULATE STAT outpredict THEIL;

endogenous PFACID DFACID HMSDR HFACID DMSD SFACID ;

exogenous Th T PI GDPR TB EXFACID IMFACID HMSWR;

LHFACID = LAG (HFACID);

LPFACID = LAG (PFACID);

LDFACID = LAG (DFACID);

LSMSD = LAG(SMSD);

LHMSDR = LAG (HMSDR);

LSFACID=LAG (SFACID);

LDFACID=LAG (DFACID);

LTB = LAG(TB);

LDMSD = LAG (DMSD);

LHSBDR = LAG (HSBDR);

parm

a0 -

167.726

a1

0.026895

a2 -

0.0275

a3 -

9.42329

a4

45.10442

b0 -

126.721

b1 -

1.15841

b2

38.26755

b3

0.028398

b4

12.02942

b5

0.185755

c0 -

818.659

c1 -

0.4966

c2

0.924788

c3

0.651996

c4

0.629645

d0

30.75112

d1 -

1.04151

d2

1.034791

d3

0.418133

e0

1379.955

e1 -

0.22341

e2

10.29629

e3

0.604157

;

PFACID = a0 + a1*LHFACID + a2*(HMSDR-LHMSDR) + a3*

0.8

*(TB-LTB) + a4*T;

DFACID = b0 + b1*LHFACID + b2*(PI-LPI)+ b3*HSBDR + b4*T + b5*LDFACID;

HMSDR = c0 + c1*

1.1

*LSMSD + c2*DMSD + c3*HMSWR + c4*LHMSDR;

HFACID = d0 + d1*LSFACID + d2*LDFACID + d3*LHFACID;

DMSD = e0 + e1*LHMSDR + e2*LHFACID + e3*LDMSD;

SFACID = PFACID + IMFACID - EXFACID;

RANGE Th =

2007

to

2010

;

run

;


(2)

Lampiran

8. Hasil Simulasi Historis (Penurunan Tingkat Suku Bunga

Sebesar 20 Persen dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit

Indonesia Sebesar 10 Persen)

The SAS System

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 14 Endogenous 6 Exogenous 8 Parameters 24 Range Variable Th Equations 6 Number of Statements 18 Program Lag Length 1

The SAS System

The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= VALIDASI

Solution Summary

Variables Solved 6 Simulation Lag Length 1 Solution Range Th First 2007 Last 2010 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.34E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 4 Average Iterations 1

Observations Processed

Read 5 Lagged 1 Solved 4 First 18 Last 21


(3)

Lampiran 8. Lanjutan

The SAS System

The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label

PFACID 4 4 801.5 130.4 741.1 47.3430 Produksi Fatty Acid Domestik

DFACID 4 4 255.9 121.9 238.6 17.5020 Permintaan Fatty Acid Domestik HMSDR 4 4 2174.3 44.8321 1803.1 511.2 Harga Riil Minyak Sawit Domestik HFACID 4 4 45.6150 3.2830 93.5030 58.1285 Harga Riil Fatty Acid

DMSD 4 4 4082.8 90.7466 3989.7 763.1 Permintaan Minyak Sawit Domestik SFACID 4 4 261.1 122.3 200.7 53.7736 Penawaran Fatty Acid Domestik

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %

Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square PFACID 4 -60.4314 -6.4279 61.7311 6.6191 101.7 10.4283 0.1892

DFACID 4 -17.2268 5.7330 66.7624 25.1665 93.8590 33.3983 0.2096

HMSDR 4 -371.2 -17.0688 553.1 25.5063 577.1 26.6770 -219.9

HFACID 4 47.8880 110.6 50.6034 116.3 70.9758 163.4 -622.2

DMSD 4 -93.0810 -2.4815 560.8 13.6570 609.6 14.7580 -59.18


(4)

Lampiran 8. Lanjutan

The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Range Th = 2007 To 2010

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PFACID 4 0.0172 0.69 0.36 0.17 0.46 0.02 0.62 0.5849 0.3272

DFACID 4 0.1742 0.47 0.03 0.00 0.97 0.41 0.56 0.7887 0.5218

HMSDR 4 0.0695 0.31 0.41 0.59 0.01 0.51 0.08 11.5590 0.8860

HFACID 4 2.1892 -0.86 0.46 0.53 0.00 0.34 0.20 12.0701 0.9577

DMSD 4 0.0235 0.14 0.03 0.87 0.10 0.43 0.54 2.5974 0.7337

SFACID 4 0.1866 0.65 0.37 0.00 0.62 0.10 0.53 0.8420 0.5220

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PFACID 4 10333.9 0.84 0.35 0.28 0.37 0.50 0.15 0.1256 0.0655

DFACID 4 8809.5 0.89 0.03 0.71 0.25 0.93 0.04 0.3391 0.1819

HMSDR 4 333048 0.06 0.41 0.58 0.00 0.49 0.10 0.2654 0.1432

HFACID 4 5037.6 -0.71 0.46 0.54 0.00 0.45 0.10 1.5530 0.4673

DMSD 4 371671 0.77 0.02 0.97 0.01 0.91 0.06 0.1493 0.0750


(5)

Lampiran 9. Hasil Simulasi Model

1.

Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia Sebesar 20 Persen

No. Variabel Nilai

Dasar Nilai Akhir

Perubahan (%)

Label

1 PFACID

707.3

738.4

4.40

Produksi

Fatty Acid

Domestik

2 DFACID

213.5

235.2

10.16

Permintaan

Fatty Acid

Domestik

3 HFACID

117.4

95.4924

-18.66

Harga

Riil

Fatty Acid

Domestik

4 SFACID

166.9

198

18.63

Penawaran

Fatty Acid

Domestik

5

HMSDR

2354.8

2119

-10.01

Harga Riil Minyak Sawit

Domestik

6 DMSD

4166.5

3957.6

-5.01

Permintaan Minyak Sawit

Domestik

2.

Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik Sebesar 10 Persen

No. Variable

Nilai

Dasar

Nilai

Akhir

Perubahan (%)

Label

1 PFACID

707.3

710

0.38

Produksi

Fatty Acid

Domestik

2 DFACID

213.5

216.9

1.59

Permintaan

Fatty Acid

Domestik

3 HFACID

117.4

115.5

-1.62

Harga

Riil

Fatty Acid

Domestik

4 SFACID

166.9

169.6

1.62

Penawaran

Fatty Acid

Domestik

5

HMSDR

2354.8

2038.9

-13.42 Harga Riil Minyak Sawit

Domestik

6 DMSD

4166.5

4198.5

0.77

Permintaan

Minyak

Sawit

Domestik

3.

Penurunan TB Sebesar 20% dan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit

Domestik Sebesar 10%

No. Variable

Nilai

Dasar

Nilai

Akhir

Perubahan (%)

Label

1 PFACID

707.3

741.1

4.78

Produksi

Fatty Acid

Domestik

2 DFACID

213.5

238.6

11.76

Permintaan

Fatty Acid

Domestik

3 HFACID

117.4

93.503

-20.36

Harga

Riil

Fatty Acid

Domestik

4 SFACID

166.9

200.7

20.25

Penawaran

Fatty Acid

Domestik

5

HMSDR

2354.8

1803.1

-23.43 Harga Riil Minyak Sawit

Domestik

6 DMSD

4166.5

3989.7

-4.24

Permintaan

Minyak

Sawit

Domestik


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Kiki Wira Kurniadi, lahir pada tanggal 22 Juli 1990 di

Dabo Singkep, Kepulauan Riau. Penulis merupakan anak kedua dari lima

bersaudara, pasangan Bapak Drs. Wirman dan Ibu Rina Nelyati. Penulis

menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 03 Pakan Kurai, Bukittinggi pada tahun

2002. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 6 Bukittinggi, lulus pada tahun

2005. Penulis selanjutnya diterima di SMA Negeri 1 Bukittinggi, dan lulus tahun

2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih

tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penulis diterima di perguruan tinggi tersebut melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan agar

penulis memperoleh ilmu serta pola pikir yang baik sehingga menjadi sumber

daya yang berguna bagi pembangunan daerah asal yaitu Bukittinggi. Penulis

diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa,

penulis aktif dalam kepanitiaan seperti greenation, Economic Contest, ESL-

day

,