Kebijakan Pada Industri Minyak Sawit

2.6. Kebijakan Pada Industri Minyak Sawit

Peningkatan tarif ekspor minyak sawit dilakukan pemerintah dalam upaya menekan arus ekspor minyak sawit, yang dapat menghambat pengembangan industri hilir minyak sawit, salah satunya industri fatty acid. Hal-hal yang menyangkut rencana kenaikan tarif ekspor akan selalu menjadi perdebatan berbagai pihak, terutama pihak–pihak yang terkait dalam agribisnis kelapa sawit Indonesia petani, pedagang, dan eksportir, serta industri. Selain pajak ekspor, pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu domestic market obligation DMO. Domestic market obligation sesuai dengan Undang- Undang No.18 tentang Perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran dalam negeri Novindra, 2011. Perkembangan tingkat bunga uang yang tidak wajar akan secara langsung menyebabkan terganggunya lembaga keuangan bank. Dengan suku bunga uang yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di bank sehingga bank memiliki dana yang sangat besar sehingga kemampuan bank menyalurkan kredit juga besar. Bersamaan dengan kondisi tersebut, suku bunga kredit juga akan meningkat sehingga hasrat masyarakat untuk meminjam kredit di bank menjadi menurun karena bunga kredit yang tinggi dalam suatu investasi. Tingkat suku bunga yang tinggi, investasi menurun menyebabkan jumlah produksi menurun Sudirman, 2011. Tingkat suku bunga kredit bank umum di Indonesia berfluktuatif. Laju perubahan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 15.01 persen. Beberapa kalangan menilai, khususnya dunia usaha dan pemerintah bahwa perbankan menerapkan suku bunga tinggi untuk mempertahankan tingkat keuntungan.Perkembangan tingkat suku bunga umum bank Indonesia dapat dilihat pada Tabel 11. Tebel 11. Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit pada Bank Umum di Indonesia Periode Triwulan 2006.I – Triwulan 2010.I. Tahun Triwulan Tingkat Suku Bunga Kredit Pertumbuhan 2006 I 16.34 3.55 II 16.23 -0.67 III 16.00 -1.42 IV 15.35 -4.06 2007 I 14.70 -4.23 II 14.08 -4.22 III 13.56 -3.69 IV 13.11 -3.32 2008 I 12.94 -1.30 II 12.95 0.08 III 13.50 4.25 IV 15.01 11.19 2009 I 15.10 0.60 II 14.67 -2.85 III 14.31 -2.45 IV 13.91 -2.80 2010 I 13.66 -1.80 Total 694.69 -72.87 Rata-Rata 16.16 -1.69 Sumber : Laporan Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank BI diolah dalam Sofia 2011 Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah CPO, tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri, dan penciptaan lapangan kerja baru. Penerapan kebijakan pengembangan industri hilir ini ditempuh antara lain melalui: 1. Fasilitas pendirian PKS terpadu dengan refinery skala 5-10 ton TBSjam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit MGS skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik MGS; 2. Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi; 3. Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian, dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan Negara penghasil CPO; 4. Fasilitas pengembangan biodiesel; 5. Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing.

2.7. Penelitian Terdahulu