Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

(1)

1.1Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006). Jadi, kinerja pembangunan bukan hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi saja, tetapi harus tetap mempertimbangkan penurunan kemiskinan serta penanganan ketimpangan pendapatan.

Penanggulangan kemiskinan merupakan fokus perhatian semua negara di dunia. Bahkan dari delapan butir Millenium Development Goals (MDGs) yang ditandatangani oleh 189 negara anggota PBB, memberantas kemiskinan dan kelaparan merupakan butir pertama dari MDGs.

Komitmen semua bangsa di dunia untuk mengentaskan kemiskinan dikokohkan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam dokumen "Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan", yang ditandatangani oleh para kepala negara/pemerintahan dari 165 negara yang hadir dalam KTT tersebut, termasuk Indonesia. Hal ini menunjukkan komitmen Negara Indonesia untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pembangunan berkelanjutan (Hadad, 2003).


(2)

Perhatian pemerintah Indonesia terhadap kemiskinan dituangkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Penurunan jumlah kemiskinan hingga 8,2 persen pada tahun 2009 merupakan salah satu sasaran pertama dalam hal agenda pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan untuk mencapai sasaran tersebut pemerintah merumuskan prioritas pembangunan nasional 2004–2009 adalah penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan yang diarahkan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.

Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu contoh daerah yang masih menghadapi permasalahan dalam penanggulangan kemiskinan. Setelah memisahkan diri dari Provinsi Maluku di tahun 1999, provinsi ini masih menempati peringkat ke 29 dari 33 provinsi di Indonesia dalam hal pencapaian pembangunan manusia. Provinsi Maluku Utara juga masih harus menghadapi penduduk miskin sebesar 99,10 ribu jiwa atau 10,34 persen dari total penduduknya.

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Gambar 1.1. Persentase Penduduk Miskin Provinsi Maluku Utara

13,23

12,73

11,97

11,51

10,34

6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 11,00 12,00 13,00 14,00

2005 2006 2007 2008 2009

Per

sen


(3)

Perkembangan tingkat kemiskinan di Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 memiliki tren yang menurun. Namun jika ditinjau secara spasial, pencapaian penanggulangan kemiskinan cukup bervariasi. Terdapat kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk miskin yang masih tinggi seperti Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Barat. Kabupaten/kota lain seperti Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Halmahera Utara memiliki persentase penduduk miskin yang relatif rendah (Tabel 1.1).

Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009

No Kabupaten/Kota

Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)

Persentase penduduk miskin

(%)

1 Halmahera Barat 13,8 14,34

2 Halmahera Tengah 9,1 26,64

3 Kepulauan Sula 14,7 11,51

4 Halmahera Selatan 20,8 10,97

5 Halmahera Utara* 15,2 7,93

6 Halmahera Timur 13,5 19,55

7 Kota Ternate 7,2 4,22

8 Kota Tidore

Kepulauan 4,9 6,01

Provinsi Maluku Utara 99,10 10,34

*Tergabung dengan Kabupaten Pulau Morotai

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

1.2 Perumusan Masalah

Penanggulangan kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang dihadapi oleh seluruh negara terutama negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi yang baru terbentuk di tahun 1999, harus bekerja keras untuk terus mengurangi tingkat kemiskinan agar


(4)

pembangunan yang berjalan benar-benar dapat memberikan manfaat secara optimal di segala bidang. Pada tahun 2009 Provinsi Maluku Utara masih harus menghadapi kemiskinan 99,10 ribu jiwa atau 10,34 persen dari total penduduknya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa target penurunan kemiskinan hingga 8,2 persen pada tahun 2009 masih belum tercapai.

Pencapaian penanggulangan kemiskinan menurut kabupaten/kota di Maluku Utara masih belum merata. Pada tahun 2009, tiga kabupaten/kota memiliki persentase penduduk miskin tergolong rendah yaitu Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara. Sedangkan kabupaten/kota lainnya masih relatif tinggi. Bahkan, Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur persentase penduduk miskinnya tergolong sangat tinggi. Identifikasi pola maupun faktor penyebab kemiskinan merupakan salah satu informasi penting yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mendukung program pengurangan kemiskinan.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola kemiskinan (persentase penduduk miskin, tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan) antarkabupaten/kota dan antarwaktu di Provinsi Maluku Utara selama tahun 2005-2009?

2. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Maluku Utara tahun 2005-2009?


(5)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Memberi gambaran pola kemiskinan (persentase penduduk miskin, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan) antarkabupaten/kota dan antarwaktu di Provinsi Maluku Utara tahun 2005-2009.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Maluku Utara tahun 2005 - 2009.

1.4Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberi masukkan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang tepat

untuk mengurangi kemiskinan dari Provinsi Maluku Utara.

2. Menjadi bahan acuan dan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam tentang kemiskinan.

1.5Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penelitian hanya dibatasi di Provinsi Maluku Utara. Karena keterbatasan ketersediaan data dan adanya pemekaran wilayah, series penelitian dari tahun 2005-2009. Jumlah kabupaten/kota yang diteliti sebanyak 6 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Timur, Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan. Sedangkan Kabupaten Pulau Morotai masih tergabung dengan kabupaten induknya yaitu Kabupaten Halmahera Utara.


(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004). Hak-hak dasar antara lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).

2.1.2 Jenis-jenis Kemiskinan 2.1.2.1Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian

terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen

lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.


(7)

Dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita” (BPS, 2009).

Negara yang lebih kaya (sejahtera), cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan pengecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50 persen dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat (BPS, 2009). Jadi, garis kemiskinan relatif tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

2.1.2.2Kemiskinan Absolut

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2009).

Garis kemiskinan absolut tidak berubah dalam hal standar hidup. Sehingga dengan garis kemiskinan absolut dapat membandingkan tingkat kemiskinan antarwilayah dan antarwaktu.


(8)

Bank dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi ke dalam US$ PPP (Purchasing Power Parity/Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi. Tujuannya untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Angka konversi PPP menunjukkan banyaknya rupiah yang harus dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga US$1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasanya dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US$ 1 PPP per kapita per hari; b) US$ 2 PPP per kapita per hari. Ukuran tersebut sekarang direvisi menjadi US$ 1,25 PPP dan US$ 2 PPP per kapita per hari (BPS, 2009).

Pendapatan per kapita yang tinggi tidak menunjukkan rendahnya kemiskinan absolut. Hal ini disebabkan bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok penduduk paling miskin tidak sama antarwilayah.

2.1.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan minimum seseorang dapat hidup dengan layak.

Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan


(9)

yang diukur dari sisi pengeluaran. Jika rata-rata pengeluaran per kapita suatu penduduk di bawah garis kemiskinan maka disebut penduduk miskin. Penentuan indikator yang dapat dijadikan acuan kebutuhan dasar bersifat subyektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah dan kelompok sosial. Pengukuran kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) tidak hanya digunakan oleh BPS, tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone dan Gambia (BPS, 2007).

Menurut BPS (2009), komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein.

b. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.

c. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan air.

d. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku).

e. Kesehatan, dinyatakan dengan Indikator pegeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat-obatan.


(10)

2.1.4 Garis Kemiskinan

Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Metode yang digunakan untuk menghitung Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM). Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan.

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan mewakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Ke-52 komoditi ini merupakan komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin.

Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.


(11)

Formula dasar dalam penghitungan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah :

(2.1) Dimana :

= Garis kemiskinan makanan daerah ke-j (sebelum disetarakan dengan 2100 kilokalori) provinsi p

= Harga komoditi k di daerah j, provinsi p

= Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j, provinsi p = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j provinsi p j = Daerah (perkotaan atau perdesaan)

p = Provinsi ke-p

Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga:

(2.2)

Dimana :

= Harga rata-rata komoditi k di daerah j, provinsi p

= Kalori dari komoditi k di daerah j, provinsi p

= Kebutuhan minimum makanan di daerah j, propinsi p yang menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari (Garis Kemiskinan Makanan)


(12)

Formula dasar Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM) adalah sebagai berikut :

(2.3)

Dimana :

= Pengeluaran minimum nonmakanan atau garis kemiskinan nonmakanan

daerah j (kota/desa) dan provinsi p

= Rasio pengeluaran komoditi/subkelompok nonmakanan k menurut

daerah (hasil SPKKD 2004) dan daerah j (kota+desa)

= Nilai pengeluaran perkomoditi/subkelompok nonmakanan daerah j dan

provinsi p (dari Susenas modul konsumsi) k = Jenis komoditi nonmakanan terpilih

2.1.5 Indikator Kemiskinan

Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada tiga indikator dasar kemiskinan yang digunakan :

1. Head Count Index (HCI-P0) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan melihat seberapa miskin orang miskin itu. Semakin tinggi nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan.


(13)

3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan menunjukkan semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

Angka P1 dan P2 yang besar menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di suatu wilayah.

Foster-Greer-Thorbecke (1984) dalam BPS (2007) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu :

(2.4)

Dimana : = 0,1,2

= Garis Kemiskinan

= Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada

di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q) = Jumlah penduduk

Jika α = 0, diperoleh Head Count Index (P0), jika α = 1 diperoleh Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan jika α = 2 diperoleh Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2).

2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produksi dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan


(14)

sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan nilai PDB (Produk Domestik Bruto) riil antarwaktu. Sehingga laju pertumbuhan PDB riil (PDB atas dasar harga konstan) yang berikutnya dijadikan indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. PDB menyatakan pendapatan total atau pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa (Mankiw, 2006).

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan efek meretas ke bawah (tricke down effect). Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan merangsang penciptaan lapangan pekerjaan sehingga mampu mengurangi pengangguran, kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun proses trickle down effect ini tidak akan terjadi dengan baik apabila pertumbuhan ekonomi tidak didorong oleh sektor-sektor yang padat karya atau sektor-sektor dimana orang miskin berada seperti sektor pertanian.

Penelitian yang dilakukan Prasetyo (2010), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

Ravallion (2006) dalam penelitiannya tentang pengaruh pertumbuhan dan ketimpangan terhadap kemiskinan di China dan India tahun 1980-2000 menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan di India dan China, namun ketimpangan pendapatan akan


(15)

menghambat pengentasan kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Siregar dan Wahyuniarti (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.

2.1.7 Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan investasi bagi pembentukan modal manusia yang berkualitas. Pendidikan akan memudahkan seseorang untuk menyerap teknologi modern sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang bermanfaat bagi pembangunan.

Investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang diperlihatkan oleh meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja seseorang. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas tenaga kerja kaum miskin dapat disebabkan oleh karena rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan (Sitepu dan Sinaga, 2007).


(16)

Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tenang kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan variabel yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Pengaruh tingkat pendidikan relatif besar terhadap penurunan kemiskinan.

2.1.8 Share PDRB sektor pertanian

Siregar dan Wahyuniarti (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth in equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor padat karya). Secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal ke golongan penduduk miskin.

Suselo dan Tarsidin (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi. Di samping itu penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian langkah yang paling tepat untuk


(17)

mengurangi kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.

2.1.9 Pengangguran

Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada waktu bersamaan mereka tidak bekerja. Penganggur dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengangguran terbuka (BPS, 2007) . Selain pengangguran terbuka ada istilah setengah pengangguran, yaitu penduduk yang bekerja kurang dari jam normal (35 jam seminggu), tidak termasuk yang sementara tidak bekerja.

BPS (2009) dalam publikasi analisis kemiskinan, ketenagakerjaan dan distribusi pendapatan menyebutkan bahwa pengangguran dilihat dari penyebabnya dikelompokkan menjadi beberapa jenis:

a. Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena adanaya perubahan dalam struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga mereka menganggur. Contoh: para petani kehilangan pekerjaan karena daerahnya berubah dari daerah agraris ke daerah industri.


(18)

b. Pengangguran siklus yaitu pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian (misal terjadi resesi) sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan masyarakat (agregat demand).

c. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen. d. Pengangguran friksional yaitu pengangguran yang muncul akibat adanya

ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.

e. Pengangguran teknologi yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern menggantikan tenaga kerja manusia.

Indikator pengangguran terbuka yang digunakan oleh BPS adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).

(2.5)

Menurut Tambunan (2001), pengangguran dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas, yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka bencana pengangguran akan secara langsung mempengaruhi income poverty rate dengan consumption poverty rate.

2. Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas, yang berarti bahwa konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan


(19)

dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek.

Munandar, Kurniawan dan Santoso (2007) dalam BPS (2009) yang melakukan penelitian berdasarkan estimasi perilaku siklikal (cyclical behaviour) kemiskinan dan pengangguran, menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan turun jika pengangguran turun. Dalam jangka pendek (satu tahun) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perubahan tingkat pengangguran dengan perubahan tingkat kemiskinan, yaitu one-to-one mapping antara penurunan pengangguran dengan membaiknya tingkat kemiskinan.

Prasetyo (2010) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Propinsi Jawa Tengah tahun 2003-2007 menyimpulkan bahwa terhadap terdapat hubungan positif antara tingkat pengangguran dengan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Penurunan pengangguran berpengaruh positif terhadap penurunan kemiskinan atau sebaliknya. Hudayana (2009) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Indonesia menemukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh yang positif terhadap tingkat kemiskinan.

2.2Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan, Wijayanto (2010) dengan judul Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah 2005-2008 dengan menggunakan alat analisis regresi data panel didapat hasil bahwa tingkat pendidikan masyarakat


(20)

dan pengangguran memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan.

Penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) dengan

judul “Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin”. Tulisannya menganalisis tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia dengan analisis deskriptif dan model regresi panel data yaitu time series 1995-2005 dan cross section 26 Provinsi (sebelum pemekaran-pemekaran dan setelah disintegrasi Timur-Timur) menghasilkan kesimpulan bahwa :

1. Pertumbuhan berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.

2. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil. 3. Peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri juga

signifikan mengurangi jumlah kemiskinan.

4. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2010) dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2003-2007) menggunakan alat analisis regresi data panel menyimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan dan pengangguran.


(21)

BPS (2009) dalam penelitiannya tentang kemiskinan di Indonesia tahun 2002-2007 dengan menggunakan alat regresi data panel, menghasilkan kesimpulan bahwa:

1. PDRB dan Rasio Pengeluaran Nonmakanan mempunyai hubungan terbalik dengan kemiskinan.

2. Gini Rasio, Tingkat Pengangguran Terbuka dan Indeks Harga Konsumen Makanan mempunyai hubungan searah dengan tingkat kemiskinan.

Suselo dan Tarsidin (2008) dalam penelitiannya tentang pengaruh pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi terhadap kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan tidak saja merupakan sektor usaha yang paling tinggi tingkat kemiskinannya, tapi juga mempunyai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi paling tinggi. Di samping itu, penurunan share sektor usaha tersebut juga turut memperburuk tingkat kemiskinan Indonesia. Dengan demikian, langkah yang paling tepat untuk mengurangi kemiskinan adalah dengan memberikan perhatian lebih pada sektor pertanian, perkebunan,dan perikanan.

Hudayana (2009) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan adalah tingkat pengangguran, pendapatan, dan pendidikan.


(22)

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka penulisan dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk diagram alur sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Kemiskinan di Maluku Utara

Analisis Deskriptif

Gambaran Pola Kemiskinan  Persentase Penduduk Miskin

 Jumlah Penduduk Miskin

 Tingkat Kedalaman Kemiskinan

 Tingkat keparahan Kemiskinan

Analisis Regresi Data Panel

Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan

 Pertumbuhan Ekonomi

 Tingkat Pendidikan

 Share PDRB pertanian

 Pengangguran


(23)

2.4Hipotesis

Dengan mengacu pada kerangka pemikiran dan berdasarkan studi empiris terdahulu yang berkaitan dengan kemiskinan, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Diduga pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.

2. Diduga tingkat pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.

3. Diduga peningkatan share PDRB sektor pertanian mempunyai pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.

4. Diduga pengangguran mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Maluku Utara.


(24)

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara. Series data yang digunakan dari tahun 2005-2009.

Sumber data yang digunakan BPS untuk mendapatkan angka kemiskinan yaitu melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), sebagai tambahannya digunakan hasil survey SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar) untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok nonmakanan.

3.2 Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi data panel. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan EViews 6.0.

3.2.1 Analisis Desktiptif

Analisis Deskriptif merupakan analisis sederhana dari suatu sebaran data dengan penyajian dalam bentuk tabulasi dan grafik/gambar. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan pola kemiskinan (persentase penduduk miskin, tingkat kedalaman kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan)


(25)

antarkabupaten/kota dan antarwaktu di Provinsi Maluku Utara. Selain itu, analisis deskriptif dalam penelitian juga digunakan sebagai pendukung untuk menambah dan mempertajam analisis inferensia.

3.2.2 Analisis Regresi Data Panel

Data panel merupakan kombinasi data cross section dengan time series. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.

Menurut Gujarati (2004), keunggulan penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan diantaranya sebagai berikut:

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik. 2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section

dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan variabel (omitted variable).

3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antarvariabel.

4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak mampu dilakukan oleh data time series murni dan cross section murni.


(26)

5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Sebagai contoh, fenomena seperti skala ekonomi dan perubahan teknologi.

6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu, karena data yang diobservasi lebih banyak.

Analisis regresi data panel memiliki tiga macam model yaitu : model Common Effect, Fixed Effect dan Random Effect.

3.2.2.1Common Effect Model

Model Common Effect merupakan model sederhana yaitu menggabungkan seluruh data time series dengan cross section, selanjutnya dilakukan estimasi model dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square). Model ini menganggap bahwa intersep dan slop dari setiap variabel sama untuk setiap obyek observasi. Dengan kata lain, hasil regresi ini dianggap berlaku untuk semua kabupaten/kota pada semua waktu. Kelemahan model ini adalah ketidakseuaian model dengan keadaan sebenarnya. Kondisi tiap obyek dapat berbeda dan kondisi suatu obyek satu waktu dengan waktu yang lain dapat berbeda. Model Common Effect dapat diformulasikan sebagai berikut :

(3.1)

Dimana :

= variabel dependen di waktu t untuk unit cross section i = intersep


(27)

= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i = komponen error di waktu t untuk unit cross section i i = urutan kabupaten/kota yang diobservasi (cross section) t = periode waktu (time series)

j = urutan variabel

3.2.2.2Fixed Effect Model (FEM)

Model data panel dengan Fixed Effects Model (FEM) mengasumsikan bahwa perbedaan mendasar antarindividu dapat diakomodasikan melalui perbedaan intersepnya, namun intersep antarwaktu sama (time invariant). Fixed effect maksudnya bahwa koefisien regresi (slope) tetap antarindividu dan antarwaktu.

Intersep setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi. Pada umumnya dengan memasukkan variabel boneka (dummy variable), sehingga FEM sering disebut dengan Least Square Dummy Variable (LSDV).

(3.2) = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i

= intersep yang berubah-ubah antar-cross section unit = parameter untuk variabel ke-j

= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i = dummy variable


(28)

= komponen error di waktu t untuk unit cross section i

3.2.2.3Random Effect Model (REM)

Random Effect Model (REM) digunakan untuk mengatasi kelemahan model efek tetap yang menggunakan dummy variable, sehingga model mengalami ketidakpastian. Penggunaan dummy variable akan mengurangi derajat bebas (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. REM menggunakan residual yang diduga memiliki hubungan antawaktu dan antarindividu. Sehingga REM mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki perbedaan intersep yang merupakan variabel random.

Model REM secara umum dituliskan sebagai berikut:

(3.3)

(3.4) merupakan komponen cross-section error (3.5) merupakan komponen time series error (3.6) merupakan time series dan cross section error (3.7)

3.2.3 Metode Pemilihan Model

Keputusan untuk memilih jenis model yang digunakan dalam analisis panel didasarkan pada dua uji, yakni uji Chow dan uji Hausman. Uji Chow digunakan untuk memutuskan apakah menggunakan Common Effect atau Fixed Effect. Keputusan untuk menggunakan Fixed Effect atau Random Effect ditentukan oleh Uji Hausman.


(29)

Prosedur kedua uji adalah sebagai berikut:

1. Uji Chow (Uji Common Effect dengan Fixed Effect) Hipotesis : H0 : α1 = α2= … = αi (intercept sama)

H1 : sekurang-kurangnya ada 1 intercept yang berbeda

Statistik Uji:

(3.8) Keputusan : Tolak H0 jika atau jika nilai Probability< α. Kesimpulan : Jika H0 ditolak maka Model Fixed Effect lebih baik daripada Common Effect

2. Uji Hausman (Uji Fixed Effect dengan Random Effect)

Hipotesis : H0 : E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat

Statistik uji yang digunakan adalah uji Hausman dan keputusan menolak H0 dilakukan dengan membandingkannya dengan Chi square. Jika nilai

maka H0 ditolak sehingga model yang digunakan adalah Fixed Effect, sebaliknya jika penolakan H0 tidak signifikan maka yang digunakan adalah Random Effect.


(30)

3.2.4 Pengujian Asumsi 3.2.4.1Asumsi Normalitas

Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term mengikuti distribusi normal. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan uji-t menjadi tidak sah. Pengujian dilakukan dengan uji Jarque Bera atau dengan melihat plot dari sisaan.

Hipotesis dalam pengujian adalah

H0 : error term mengikuti distribusi normal H1 : error term tidak mengikuti distribusi normal.

Keputusan diambil dengan membandingkan nilai probabilitas Jarque Bera

dengan taraf nyata α=0,05. Jika nilai probabilitas Jarque Bera lebih dari α=0,05 maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal.

3.2.4.2Asumsi Homoskedastisitas

Heteroskedastisitas berarti bahwa variasi residual tidak sama untuk semua pengamatan. Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi homoskedastisitas yaitu variasi residual sama untuk semua pengamatan.

Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model dilakukan menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square Resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics. Jika sum square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square Resid unweighted Statistics, maka terjadi


(31)

heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, dilakukan dengan mengestimasi GLS menggunakan white-heteroscedasticity

3.2.4.3Asumsi Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Metode untuk mendeteksi adanya korelasi serial dilakukan dengan dengan membandingkan nilai Durbin Watson (DW) dari penghitungan dengan nilai DW tabel.

 jika 0 < DW < dL maka terdapat korelasi serial negatif

 jika 4-dU < DW < 4-dL atau dL < DW < dU maka hasil tidak dapat disimpulkan

 jika dU < DW < 4-dU maka tidak ada autokorelasi

 jika 4-dL < DW < 4 maka ada korelasi serial positif.

3.2.4.4Uji Multikolinieritas

Model yang dipilih harus terbebas dari multikolinieritas atau dapat dikatakan bahwa tidak ada korelasi tinggi antara variabel-variabel independen. Multikolinieritas dapat dilihat dari koefisien korelasi. Bila koefisien korelasi lebih kecil dari 0,8 maka tidak terjadi multikolinieritas.

Indikasi multikolinearitas juga tercermin dengan melihat hasil t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-F-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut diduga adanya


(32)

multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel yang tidak signifikan.

3.2.5 Pengujian Parameter Model

Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian ini meliputi koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji t) dan uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F).

3.2.5.1Uji-F

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara menyeluruh/bersamaan. Uji-F memperlihatkan ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Hipotesis dalam uji-F adalah :

Ho: β1 = β2=….. = 0 H1 : β1 ≠β2 ≠… ≠ 0

Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai F observasi > F tabel atau probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka keputusannya adalah tolak H0. Dengan menolak H0 berarti minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.


(33)

3.2.5.2Uji-t

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah : H0 : βi = 0 , H1 : βi≠ 0. Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung > t-tabel atau jika nilai

probabilitas t < α=0,05 maka tolak H0, sehingga kesimpulannya adalah variabel independen secara parsial signifikan memengaruhi variabel dependen.

3.2.5.3Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel dependen (Y) dapat diterangkan oleh variavel independen (X) atau seberapa besar keragaman variavel dependen yang mampu dijelaskan oleh model. Jika R2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali dan jika R2 = 100 berarti variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X.

3.2.6 Model Penelitian

Secara matematis dalam penelitian ini pengaruh pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan, share PDRB sektor pertanian, pengangguran terhadap tingkat kemiskinan dapat digambarkan dalam fungsi sebagai berikut :


(34)

(3.9) Keterangan :

MISKINit = Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)

PDRBit = Produk Domestik Regional Bruto Riil (dalam juta rupiah

MYSit =Mean Years School (Rata-Rata Lama Sekolah dalam tahun)

SHARE_PERTANIANit = Share PDRB Riil Sektor Pertanian (persen) PENGANGGURANit = Jumlah Pengangguran (dalam ribu jiwa)

i = urutan kabupaten/kota (i=1,2,...,8 kabupaten/kota)

t = series tahun 2005-2009

α = intersep

β1 - β4 = parameter PDRB, rata-rata lama sekolah, share PDRB sektor pertanian, jumlah pengangguran

= error term

3.3 Definisi Operasional

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa ukuran yang relevan digunakan dalam penelitian, diantaranya kemiskinan dan faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Berikut ini didefinisikan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian:

1. Jumlah Penduduk Miskin (Head Count) merupakan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.


(35)

2. Persentase Penduduk Miskin (Head Count Index-P0), yaitu persentase penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk.

3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

4. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. 5. Pertumbuhan Ekonomi (Growth) yaitu peningkatan pendapatan dari suatu

periode ke periode tertentu, yang dihitung berdasarkan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil antarwaktu. PDRB menyatakan pendapatan total atau pengeluaran total suatu wilayah atas output barang dan jasa

6. Rata-rata lama sekolah adalah nilai rata-rata bagi tiap penduduk dalam menempuh pendidikan di sekolah. Variabel rata-rata lama sekolah ini digunakan sebagai proksi tingkat pendidikan.

7. Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada waktu bersamaan mereka tidak bekerja.

8. Share PDRB sektor pertanian merupakan persentase nilai tambah sektor pertanian terhadap total nilai tambah PDRB.


(36)

4.1 Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara 4.1.1 Kondisi Geografis

Provinsi Maluku Utara secara geografis terletak antara 30 Lintang Utara – 30 Lintang Selatan dan 1240-1290 Bujur Timur. Provinsi Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan yang dibatasi oleh:

- Samudra Pasifik di sebelah utara - Laut Halmahera di sebelah timur - Laut Maluku di sebelah barat - Laut Seram di sebelah selatan

Luas wilayah Provinsi Maluku Utara secara keseluruhan tercatat 145.801,10 km2, yang terdiri dari luas daratan sebesar 45.069,66 km2 dan luas lautan sebesar 100.731,44 km2. Provinsi Maluku Utara terdiri dari 395 pulau besar dan kecil. Pulau yang dihuni sebanyak 64 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 331 buah. Wilayah Maluku Utara dengan hampir 70 persen wilayah lautan menjadikan Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi bahari yang kaya akan potensi kelautan.

Sebagian besar wilayah Maluku Utara bergunung-gunung dan berbukit-bukit yang terdiri dan pulau-pulau vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian lainnya merupakan dataran. Kondisi iklim di Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Oleh karena itu, iklimnya sangat dipengaruhi


(37)

oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah yaitu iklim Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula.

Tabel 4.1. Luas Wilayah, Luas Wilayah Daratan dan Ibukota Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009

Kabupaten/Kota Ibukota

Kabupaten/Kota

Luas Wilayah (Km2)

Luas Wilayah Daratan (Km2)

(1) (2) (3) (4)

Halmahera Barat (Halbar) Jailolo 14.235,66 2.612,24

Halmahera Tengah (Halteng) Weda 8.381,48 2.276,83

Kepulauan Sula (Kepsul) Sanana 24.082,30 9.632,92

Halmahera Selatan (Halsel) Labuha 40.263,72 8.779,32

Halmahera Utara (Halut)* Tobelo 24.983,32 5.447,30

Halmahera Timur (Haltim) Maba 14.202,02 6.506,20

Kota Ternate Ternate 5.795,40 250,85

Kota Tidore Kepulauan (Tikep) Soa Sio 13.857,20 9.564,00 Provinsi Maluku Utara

(Malut) Sofifi 145.801,10 45.069,66

*)Data masih tergabung dengan Kabupaten Pulau Morotai Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.

4.1.2 Pemerintahan

Provinsi Maluku Utara secara resmi terbentuk pada tanggal 12 Oktober 1999 melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Maluku Utara beribukota di Desa Sofifi tetapi mengingat infrastruktur yang tersedia di Desa Sofifi belum memadai, ibukota sementara berada di Kota Ternate. Namun sejak tanggal 4 Agustus 2010 Ibukota Provinsi Maluku Utara dipindahkan kembali dari Ternate ke Sofifi.


(38)

Pada awal terbentuk, Provinsi Maluku Utara hanya terdiri dari tiga kabupaten/kota (dua kabupaten dan satu kota) yaitu Kabupaten Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Tengah serta Kota Ternate. Pada tahun 2003 Maluku Utara terdiri dari delapan kabupaten/kota (enam kabupaten dan dua kota) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Maluku Utara. Sedangkan, Kabupaten Maluku Utara berubah nama menjadi Kabupaten Halmahera Barat. Pada tahun 2008 terbentuk Kabupaten Pulau Morotai yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara melalui UU No.53 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara.

Seiring dengan adanya pemekaran wilayah, saat ini Provinsi Maluku Utara terdiri dari sembilan kabupaten/kota (tujuh kabupaten dan dua kota), yaitu Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Pulau Morotai, Kota Ternate serta Kota Tidore Kepulauan. Wilayah administratif Maluku Utara terbagi dalam 113 kecamatan dan 1.070 desa/kelurahan yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.

4.1.3 Kependudukan

Dalam pembangunan, penduduk harus dijadikan sebagai titik sentral yaitu sebagai subyek pembangunan dan sebagai obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan, penduduk merupakan motor penggerak bagi proses pembangunan, sedangkan sebagai obyek pembangunan berarti hasil-hasil pembangunan harus


(39)

sepenuhnya dinikmati oleh penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan modal pembangunan apabila penduduk tersebut berkualitas, sedangkan penduduk yang besar tetapi tidak berkualitas justru akan menjadi beban bagi pembangunan. Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota (jiwa)

Kabupaten/Kota Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Halmahera Barat 95.662 96.205 96.724 97.424 97.971

Halmahera Tengah 33.159 33.289 33.410 34.410 34.821

Kepulauan Sula 128.437 128.781 129.090 129.871 130.290

Halmahera Selatan 175.966 180.383 184.860 188.156 192.312

Halmahera Utara 179.221 183.277 187.375 190.835 194.778

Halmahera Timur 58.763 61.774 64.922 66.965 69.912

Kota Ternate 162.247 164.385 166.506 170.016 172.604

Kota Tidore Kepulauan 80.671 81.040 81.389 81.921 82.302 Provinsi Maluku Utara 914.126 929.134 944.276 959.598 974.990 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.

Jumlah penduduk di Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 selalu mengalami kenaikan di tiap tahunnya, hingga mencapai 974.990 jiwa di tahun 2009. Kenaikan penduduk juga terjadi di level kabupaten/kota.

Kabupaten Halmahera Utara merupakan kabupaten dengan penduduk terbanyak yaitu 179.221 jiwa di tahun 2005 dan meningkat hingga mencapai 194.778 jiwa di tahun 2009. Kabupaten Halmahera Tengah hanya memiliki jumlah penduduk 33.159 jiwa di tahun 2005 dan meningkat menjadi 34.821 jiwa di tahun 2009 (Tabel 4.2).


(40)

Tabel 4.3. Persentase Luas Wilayah Daratan, Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009

Kabupaten/Kota Persentase Luas Wilayah Daratan

Persentase Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)

(1) (2) (3) (4)

Halmahera Barat 5,80 10,05 37,50

Halmahera Tengah 5,05 3,57 15,29

Kepulauan Sula 21,37 13,36 13,53

Halmahera Selatan 19,48 19,72 21,91

Halmahera Utara 12,09 19,98 35,76

Halmahera Timur 14,44 7,17 10,75

Kota Ternate 0,56 17,70 688,08

Kota Tidore Kepulauan 21,22 8,44 8,61

Provinsi Maluku Utara 100,00 100,00 21,63

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.

Persebaran penduduk antarkabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara terlihat belum merata. Kota Ternate yang hanya memiliki luas daratan 0,56 persen dari seluruh luas daratan Maluku Utara, dihuni oleh 17,70 persen total penduduk Maluku Utara. Hal ini dapat disebabkan karena Kota Ternate merupakan pusat perekonomian di Maluku Utara, sehingga menjadikan Kota Ternate sebagai daya tarik bagi penduduk di kabupaten lain untuk bermigrasi. Kepadatan penduduk di Ternate mencapai 688 jiwa per km2, angka ini jauh di atas kabupaten/kota lain di Maluku Utara (Tabel 4.3).

Kabupaten Halmahera Timur dengan 14,44 persen luas wilayah, hanya dihuni oleh 7,17 persen total penduduk Maluku Utara. Kota Tidore Kepulauan dengan 21,22 luas wilayah, hanya dihuni oleh 8,44 persen penduduk. Masalah persebaran penduduk yang tidak merata harus menjadi perhatian pemerintah, karena penduduk yang terlampau padat akan menimbulkan masalah-masalah


(41)

sosial seperti berkembangnya pemukiman kumuh, meningkatnya kriminalitas, pengangguran dan sebagainya.

4.1.4 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam melihat kondisi perekonomian suatu wilayah. Total PDRB Maluku Utara baik PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK)/PDRB Riil maupun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)/PDRB Nominal dari tahun 2005-2009 mengalami kenaikan. PDRB Nominal Maluku Utara pada tahun 2009 mencapai 4,69 triliun rupiah, sedangkan secara riil, dengan mengeluarkan pengaruh inflasi, PDRB Maluku Utara sebesar 2,81 triliun rupiah (Gambar 4.1).

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Gambar 4.1. PDRB ADHB dan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor penyumbang PDRB terbesar, kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta urutan ketiga di sektor industri pengolahan. Pada tahun 2009, PDRB

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

2005 2006 2007 2008 2009

2,58 2,82

3,16

3,86

4,69

2,24 2,36 2,50

2,65 2,81

Tr il y u n R u p iah Tahun


(42)

Nominal sektor pertanian sebesar Rp.1,75 triliun, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar Rp. 1,07 triliun dan sektor industri pengolahan sebesar Rp. 611 miliar. PDRB Nominal ketiga sektor tersebut sebesar Rp.3,43 triliun dari total PDRB Nominal Maluku Utara Rp.4,69 triliun.

Tabel 4.4. PDRB ADHB dan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2009 (juta rupiah)

Lapangan Usaha PDRB ADHB PDRB ADHK

2008 2009 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5)

Pertanian 1.529.507,82 1.751.392,06 951.726,34 995.698,21 Pertambangan

dan Penggalian 194.451,94 238.896,18 126.936,22 117.186,04 Industri

Pengolahan 466.869,49 610.889,28 339.297,14 352.601,54

Listrik, Gas dan

Air Bersih 24.192,68 27.892,60 12.890,03 13.163,75

Konstruksi 89.106,85 127.754,71 47.166,48 50.798,65

Perdagangan, Hotel dan Restoran

844.473,54 1.069.036,19 668.172,70 733.421,84 Pengangkutan

dan Komunikasi 323.099,53 375.106,84 209.209,85 228.831,21 Keuangan,

Persewaan dan Jasa Perusahaan

131.359,79 173.305,68 92.465,28 101.673,46

Jasa-Jasa 259.181,49 316.294,19 203.243,71 218.071,07

TOTAL 3.862.243,13 4.690.567,72 2.651.107,75 2.811.445,78 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Laju pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara dari tahun 2005-2009 juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Hanya saja pada tahun 2008 laju pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara lebih lambat dari tahun sebelumnya (Gambar 4.2). Hal ini disebabkan adanya krisis finansial di dunia yang menurunkan permintaan ekspor Maluku Utara. Adanya kondisi pilkada gubernur


(43)

yang kurang kondusif pada tahun 2008, dapat diduga menjadi penyebab penurunan laju pertumbuhan ekonomi.

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

4.1.5 Struktur Ekonomi

Struktur ekonomi ditunjukkan melalui peran setiap sektor terhadap total PDRB. Peran tersebut mencerminkan kemampuan setiap sektor dalam menciptakan barang dan jasa dalam rangka pembentukan nilai tambah. Informasi ini penting bagi perencana pembangunan untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi yang menjadi penopang utama perekonomian Maluku Utara.

Tabel 4.5 menggambarkan bahwa dalam kurun waktu 2005-2009 struktur perekonomian Maluku Utara masih didominasi tiga sektor besar yaitu sektor pertanian dengan kontribusi rata-rata sebesar 38,10 persen per tahun, sektor perdagangan hotel & restoran rata-rata sebesar 22,33 persen, dan sektor industri pengolahan 13,21 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor andalan di Provinsi Maluku Utara. Sehingga seharusnya potensi ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang propertanian.

5,10

5,48

6,01 5,99 6,05

4,60 4,80 5,00 5,20 5,40 5,60 5,80 6,00 6,20

2005 2006 2007 2008 2009

Per

sen


(44)

Tabel 4.5. Struktur Perekonomian Provinsi Maluku Utara (Persen)

Lapangan Usaha

Tahun Kontribusi

Sektor Rata-Rata

2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pertanian 38,22 37,86 37,50 39,60 37,34 38,10

Pertambangan dan

Penggalian 4,58 4,59 4,87 5,03 5,09 4,83

Industri Pengolahan 13,75 13,77 13,43 12,09 13,02 13,21 Listrik, Gas dan Air

Bersih 0,66 0,65 0,65 0,63 0,59 0,64

Konstruksi 1,93 2,10 2,16 2,31 2,72 2,24

Perdagangan, Hotel

dan Restoran 22,31 22,21 22,48 21,86 22,79 22,33

Pengangkutan dan

Komunikasi 7,83 8,25 8,50 8,37 8,00 8,19

Keuangan,

Persewaan dan Jasa Perusahaan

3,18 3,20 3,27 3,40 3,69 3,35

Jasa-Jasa 7,55 7,38 7,15 6,71 6,74 7,11

TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Bila dilihat tiap subsektor, sektor pertanian di Provinsi Maluku Utara didukung sebesar 42 persen oleh subsektor perkebunan seperti coklat (kakao), cengkeh, kelapa, pala dan sebagainya. Sedangkan sekitar 27 persen subsektor tanaman bahan makanan, 17 persen perikanan. Subsektor kehutanan dan peternakan masing-masing menyumbang sekitar 9 persen dan 5 persen terhadap nilai tambah sektor pertanian (Tabel 4.6).


(45)

Tabel 4.6. Kontribusi Subsektor terhadap PDRB Sektor Pertanian Provinsi Maluku Utara (Persen)

Subsektor

Tahun Kontribusi

Subsektor Rata-Rata

2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Tanaman Bahan

Makanan 26,95 26,79 26,48 28,12 27,05 27,08

Tanaman

Perkebunan 42,48 42,49 42,27 42,01 41,02 42,05

Peternakan dan

hasil-hasilnya 5,10 4,98 4,98 4,48 4,53 4,82

Kehutanan 9,26 9,61 9,49 8,32 8,85 9,10

Perikanan 16,22 16,13 16,78 17,07 18,55 16,95

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100.00

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

4.1.6 Kondisi Ketenagakerjaan

Jumlah pengangguran merupakan indikator penting dalam melihat kinerja pembangunan suatu wilayah. Gambar 4.3. menunjukkan jumlah pengangguran di Maluku Utara dari tahun 2005-2007 menunjukkan tren yang menurun yaitu 53,14 ribu jiwa ke 23,98 ribu jiwa. Namun, mulai tahun 2007-2009 kecenderungan jumlah pengangguran maupun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami peningkatan. Tingginya angka pengangguran pada tahun 2005 disebabkan PHK besar-besaran perusahaan industri pengolahan (PT. Taiwi di Sidangoli) pada tahun 2005. Kenaikan angka pengangguran pada tahun 2008 diduga merupakan efek kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008 serta kondisi pilkada pada tahun 2008 yang kurang kondusif.


(46)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Gambar 4.3. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Maluku Utara

Pada tahun 2009, jumlah pengangguran di Maluku Utara sebesar 28,56 ribu jiwa sedangkan TPT sebesar 6,76 persen. Hal ini berarti dari seluruh angkatan kerja di Maluku Utara masih ada 6,76 persen yang menganggur.

4.1.7 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan indikator penting untuk melihat kualitas sumberdaya manusia di suatu wilayah. Tabel 4.7 menunjukkan indikator-indikator tingkat pendidikan di Kabupaten/Kota di Maluku Utara pada tahun 2009. Rata-rata lama sekolah di Maluku Utara pada tahun 2009 sebesar 8,61 tahun. Hal ini berarti rata-rata penduduk Maluku Utara bersekolah sampai kelas 3 SMP. Bila dilihat tiap kabupaten/kota, rata-rata lama sekolah tertinggi di Kota Ternate yaitu 10,80 tahun atau sekitar kelas 2 SMA. Rata-rata penduduk di Kota Tidore Kepulauan dan Halmahera Tengah bersekolah sampai kelas 3 SMP, sedangkan penduduk di lima kabupaten lainnya rata-rata bersekolah hanya sampai kelas 2 SMP.

53,14

28,84

23,98 27,32

28,56 13,09

6,90 6,05 6,48 6,76

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00

2005 2006 2007 2008 2009

Tahun


(47)

Tabel 4.7. Indikator-Indikator Pendidikan di Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009

Kabupaten/Kota Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun) Angka Melek Huruf (%)

Penduduk 10 Tahun ke atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (persen) Tidak/

Belum Tamat SD

SD SMP SMA PT

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

Halmahera Barat 7,79 95,31 27,18 30,48 20,19 17,08 5,07 Halmahera

Tengah 8,08 96,73 33,04 29,42 20,07 12,56 4,91

Kepulauan Sula 7,80 97,34 28,27 35,82 18,78 13,31 3,81 Halmahera

Selatan 7,47 95,83 33,55 36,53 16,93 10,93 2,07

Halmahera Utara 7,33 95,91 35,08 30,85 16,40 14,87 2,80 Halmahera Timur 7,89 95,59 32,20 36,64 19,33 9,76 2,08 Kota Ternate 10,80 98,95 11,28 15,02 15,80 43,92 13,98 Kota Tidore

Kepulauan 8,66 98,04 13,58 31,65 20,53 24,41 9,83

MALUKU UTARA 8,61 95,74 26,46 29,99 17,78 20,01 5,76

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).

Jumlah penduduk 10 tahun ke atas di Maluku Utara yang mampu membaca dan menulis sebesar 95,74 persen. Angka melek huruf terbesar di Kota Ternate (98,95 persen) dan Kota Tidore (98,04 persen). Kabupaten Halmahera Barat dan Hamahera Timur memiliki angka melek huruf di bawah Provinsi Maluku Utara yaitu masing-masing 95,31 persen dan 95,59 persen.

Jumlah penduduk menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan indikator penting dalam menggambarkan mutu sumberdaya manusia di suatu wilayah. Pada tahun 2009, jumlah penduduk 10 tahun ke atas di Maluku Utara yang telah memenuhi wajib belajar sembilan tahun hanya sebesar 17,78


(48)

persen, 20 persen lulus pendidikan menengah atas dan hanya 5,76 persen yang tamat Perguruan Tinggi.

Kota Ternate memiliki kualitas pendidikan yang paling baik, dengan jumlah lulusan SMA mencapai 43,92 persen dan lulusan Perguruan Tinggi sebesar 13,98 persen. Demikian pula dengan Kota Tidore Kepulauan, penduduk lulusan SMA sebesar 24,41 persen dan lulusan Perguruan Tinggi sebesar 9,83 persen. Sedangkan di kabupaten/kota lainnya persentase lulusan SMA dan Perguruan Tinggi masih tergolong rendah. Hal ini mengindikasikan kurang meratanya pembangunan sektor pendidikan di Maluku Utara.

4.2Gambaran Pola Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 4.2.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara

Perkembangan persentase penduduk miskin di Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 mengalami penurunan, yaitu 13,23 persen pada tahun 2005, menurun menjadi 12,73 persen tahun 2006, hingga mencapai mencapai angka 10,34 persen pada tahun 2009. Demikian pula dengan jumlah penduduk miskin yang mengalami penurunan dari 118,6 ribu jiwa pada tahun 2005 menjadi 99,10 ribu jiwa pada tahun 2009 (Gambar 4.4). Hal ini mengindikasikan adanya perbaikan dalam pencapaian pembangunan ekonomi di Provinsi Maluku Utara.


(49)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Gambar 4.4. Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Maluku Utara dari tahun 2005-2009 cukup bervariasi antarkabupaten/kota. Namun secara umum dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kota Ternate memiliki persentase penduduk miskin yang paling rendah dengan tingkat pengurangan persentase penduduk miskin rata-rata per tahun sebesar 3,4 persen. Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara memiliki tingkat kemiskinan yang relatif rendah pula. Kedua kabupaten/kota tersebut mampu menurunkan persentase penduduk miskin lebih dari tujuh persen tiap tahun.

Kabupaten Halmahera Tengah memiliki persentase penduduk miskin tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yaitu di atas 25 persen. Kabupaten Halmahera Timur juga memiliki persentase penduduk miskin rata-rata di atas 20 persen. Namun, laju penurunan persentase penduduk miskin di kedua kabupaten tersebut cukup tinggi yaitu 4,3 persen di Halmahera Tengah dan 5,4 persen di Halmahera Timur. Diharapkan upaya pengentasan kemiskinan di kedua kabupaten tersebut dapat segera teratasi.

118,6 116,8

109,9 107,9

99,10

13,23 12,73 11,97 11,51 10,34

0 20 40 60 80 100 120 140

2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Jumlah Penduduk Miskin (1000 jiwa) Persentase Penduduk Miskin


(50)

Tabel 4.8. Persentase Penduduk Miskin (HCI) Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005-2009

Kabupaten/Kota

Tahun Rata-rata

pengurangan

HCI per tahun

2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Halmahera Barat 16,85 17,12 16,19 16,12 14,34 -3.8

Halmahera Tengah 31,83 31,81 30,18 28,52 26,64 -4.3

Kepulauan Sula 16,08 15,14 14,07 13,71 11,51 -7.9

Halmahera Selatan 14,09 13,36 12,95 12,54 10,97 -6.0

Halmahera Utara 11,32 10,36 9,63 8,90 7,93 -8.5

Halmahera Timur 24,48 22,68 21,54 21,13 19,55 -5.4

Kota Ternate 4,85 4,54 4,26 4,15 4,22 -3.4

Kota Tidore Kepulauan 8,32 8,31 7,43 6,54 6,01 -7.7 Provinsi Maluku Utara 13,23 12,73 11,97 11,51 10,34 -5.9 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula di tahun 2005 memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Namun, laju penurunan persentase penduduk miskin di Kabupaten Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula cukup tinggi, sehingga pada tahun 2009 kedua kabupaten tersebut mampu menurunkan angka kemiskinan hingga tinggal sekitar 11 persen. Kabupaten Halmahera Barat hanya mampu menurunkan tingkat kemiskinannya rata-rata 3,8 persen tiap tahun, sehingga di tahun 2009 penduduk miskin di Halmahera Barat masih 14,34 persen.


(51)

4.2.2 Perkembangan Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar jumlah atau persentase penduduk miskin. Namun, perlu dilihat tingkat kedalaman (poverty gap) dan keparahan kemiskinan (poverty severity). Selain memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan harus dapat mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Indeks kedalaman kemiskinan (P1) menggambarkan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, Dengan kata lain, Indeks Kedalaman Kemiskinan melihat seberapa miskin orang miskin itu. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan (P2) menggambarkan penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Angka P1 dan P2 yang besar menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di suatu wilayah.

Disaat persentase penduduk miskin di Maluku Utara yang mengalami penurunan tiap tahunnya, hal ini tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat kedalaman kemiskinan. Kedalaman kemiskinan di Maluku Utara dari tahun 2005-2009 tercatat cukup berfluktuasi. Hal ini mengindikasikan penurunan persentase penduduk miskin secara jumlah tidak selalu diikuti dengan perbaikan kualitas kehidupan penduduk miskin.

Gambar 4.5 menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 cukup berfluktuatif. Tingkat kedalaman kemiskinan dari tahun 2005-2008 cenderung mengalami kenaikan, hanya pada tahun 2006 sedikit menurun dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 2009 kedalaman kemiskinan menurun hingga sebesar 1,93. Bila dilihat pencapaian dari


(52)

tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa penduduk miskin makin mendekati garis kemiskinannya.

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Gambar 4.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009

Tingkat keparahan kemiskinan dari tahun 2005-2009 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari 0,42 pada tahun 2005 menjadi 1,00 pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin justru diikuti dengan kesenjangan pendapatan antarpenduduk miskin yang makin melebar.

4.2.2.1Perkembangan Tingkat Kedalaman Kemiskinan Kabupaten/Kota Tingkat kedalaman kemiskinan dari tahun 2005-2009 tiap kabupaten/kota mengalami kenaikan dan penurunan secara fluktuatif. Secara rata-rata kabupaten/kota yang memiliki tingkat kedalaman kemiskinan tertinggi yaitu Halmahera Tengah (6,38) dan Halmahera Timur (4,99). Hal ini berarti kesenjangan antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan relatif lebar. Dengan kata lain, jarak pendapatan orang miskin dengan batas pendapatan

2,04 2,01 2,23

2,47

1,93

0,42 0,57 0,64

0,76 1,00

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00

2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)


(53)

minimal untuk hidup layak cukup jauh. Tentu hal ini mengindikasikan kondisi kemiskinan yang buruk di kedua wilayah tersebut.

Tabel 4.9. Kedalaman Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005-2009

Kabupaten/Kota Tahun

Rata-rata Kedalaman Kemiskinan 2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Halmahera Barat 3,68 3,88 3,07 3,28 3,21 3,42

Halmahera Tengah 9,54 5,58 5,58 5,90 5,30 6,38

Kepulauan Sula 2,54 2,15 2,03 2,16 2,31 2,24

Halmahera Selatan 2,44 1,80 1,94 1,82 1,68 1,94

Halmahera Utara 1,97 1,19 1,08 2,04 1,41 1,54

Halmahera Timur 3,82 5,46 3,03 9,61 3,02 4,99

Kota Ternate 0,70 0,53 0,81 0,75 0,65 0,69

Kota Tidore Kepulauan 0,67 1,47 1,08 0,80 0,61 0,93

Provinsi Maluku Utara 2,04 2,01 2,23 2,47 1,93 2,14

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Kabupaten/kota yang memiliki rata-rata tingkat kedalaman kemiskinan yang rendah yaitu Kota Ternate (0,69) dan Kota Tidore Kepulauan (0,93). Hal ini menunjukkan kondisi orang miskin di Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan lebih baik dibandingkan dengan kondisi orang miskin di kabupaten/kota lainnya di Maluku Utara (Tabel 4.9).


(54)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Gambar 4.6. Persentase Penduduk Miskin dan Indeks Kedalaman Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009

Gambar 4.6 menunjukkan sebaran tingkat kemiskinan dan kedalaman kemiskinan menurut kabupaten/kota tahun 2009. Kabupaten Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Barat dan Kepulauan Sula memiliki tingkat kemiskinan dan kedalaman kemiskinan di atas kemiskinan Provinsi Maluku Utara. Hal ini menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di kabupaten-kabupaten tersebut, dimana persentase orang miskin yang besar dan jarak pendapatan orang miskin dengan pendapatan minimal agar tidak miskin relatif jauh. Diperlukan upaya yang lebih keras untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah tersebut.

Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara memiliki kondisi kemiskinan yang cukup baik. Tingkat kemiskinan di wilayah tersebut rendah dan kesenjangan pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan rendah pula.

Halbar Halteng Kepsul Halsel Halut Haltim Ternate Tidore 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

0,00 2,00 4,00 6,00

Pe rse n tase Pe n d u d u k M iski n ( P0 )

Kedalaman Kemiskinan (P1)

P0 Provinsi Malut 10,34


(55)

4.2.2.2Perkembangan Tingkat Keparahan Kemiskinan Kabupaten/Kota Tingkat keparahan kemiskinan dari tahun 2005-2009 tiap kabupaten/kota menunjukkan pencapaian yang fluktuatif. Kabupaten Halmahera Tengah memiliki tingkat keparahan kemiskinan yang paling besar yaitu 3,82 pada tahun 2005, kemudian menurun menjadi 1,47 pada tahun 2007, namun kembali meningkat pada tahun 2008 (1,63) dan 2009 (1,73). Hal ini menunjukkan distribusi pendapatan antarpenduduk miskin yang semakin tidak merata (Tabel 4.10). Tabel 4.10. Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Menurut

Kabupaten/Kota Tahun 2005-2009

Kabupaten/Kota Tahun

Rata-rata Keparahan Kemiskinan 2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Halmahera Barat 1,26 1,24 0,95 1,08 1,07 1,12

Halmahera Tengah 3,82 1,54 1,47 1,63 1,73 2,04

Kepulauan Sula 0,55 0,47 0,50 0,49 0,78 0,56

Halmahera Selatan 0,70 0,35 0,52 0,37 0,39 0,47

Halmahera Utara 0,48 0,21 0,20 0,52 0,42 0,37

Halmahera Timur 1,10 1,73 0,59 4,48 0,73 1,73

Kota Ternate 0,13 0,12 0,21 0,15 0,18 0,16

Kota Tidore Kepulauan 0,10 0,39 0,25 0,12 0,12 0,20

Provinsi Maluku Utara 0,42 0,57 0,64 0,76 1,00 0,68


(56)

Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).

Gambar 4.7. Persentase Penduduk Miskin dan Indeks Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2009

Berdasarkan persentase dan keparahan kemiskinan tahun 2009, Kabupaten Halmahera Tengah memiliki kondisi kemiskinan yang paling parah yaitu persentase penduduk miskin yang tinggi dan distribusi pendapatan antarpenduduk miskin yang tinggi pula. Begitu pula dengan Kabupaten Halmahera Barat walaupun tidak separah Halmahera Tengah.

Wilayah yang memiliki kondisi kemiskinan yang paling baik yaitu Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara. Kabupaten Halmahera Selatan, Halmahera Timur dan Kepulauan Sula memiliki angka persentase penduduk miskin di atas Provinsi Maluku Utara, namun kesenjangan antarpenduduk miskin relatif rendah.

Halbar Halteng Kepsul Halsel Halut Haltim Ternate Tikep 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00

Pe rse n tase Pe n d u d u k M iski n ( P0 )

Keparahan Kemiskinan (P2)

P2 Provinsi Malut 1,00


(1)

2.

Uji

Fixed Effect

dengan

Random Effect

(

Hausman Test

)

H

0

: model

Random Effect

lebih baik daripada

Fixed Effect

H

1

: model

Fixed Effect

lebih baik daripada

Random Effect

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 18.082184 4 0.0012

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

LOG(PDRB) -0.489244 -0.203844 0.006296 0.0003 LOG(MYS) -1.040229 -2.052676 0.086075 0.0006 SHARE_PERTANIAN -0.004925 -0.005554 0.000003 0.6912 LOG(PENGANGGURAN) 0.038281 0.066210 0.000094 0.0040

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LOG(MISKIN) Method: Panel Least Squares Date: 12/06/11 Time: 18:23 Sample: 2005 2009

Periods included: 5 Cross-sections included: 8

Total panel (balanced) observations: 40

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 10.98810 1.465929 7.495657 0.0000 LOG(PDRB) -0.489244 0.139912 -3.496797 0.0016 LOG(MYS) -1.040229 0.524818 -1.982073 0.0574 SHARE_PERTANIAN -0.004925 0.003915 -1.257805 0.2189 LOG(PENGANGGURAN) 0.038281 0.025106 1.524771 0.1385

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.990465 Mean dependent var 2.530722 Adjusted R-squared 0.986719 S.D. dependent var 0.459488 S.E. of regression 0.052953 Akaike info criterion -2.795490 Sum squared resid 0.078513 Schwarz criterion -2.288826 Log likelihood 67.90980 Hannan-Quinn criter. -2.612296 F-statistic 264.4081 Durbin-Watson stat 1.411928 Prob(F-statistic) 0.000000


(2)

Karena nilai probabilitas

Chi-Square

berdasarkan hasil estimasi diperoleh

probabilitas sebesar 0,0012 yang berarti tolak Ho.

Kesimpulan : model

Fixed Effect

lebih baik daripada

Random Effect

.

3.

Uji Asumsi Homoskedastisitas

Untuk medeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode

General Least Square

(

Cross section Weight

) yaitu dengan membandingkan

sum

square Residual

pada

Weighted Statistics

dengan

sum square Residual

Unweighted Statistics

. Jika

sum square Residual

pada

Weighted Statistics

lebih

kecil dari

sum square Residual Unweighted Statistics

, maka terjadi

heteroskedastisitas.

Hasil

output

memperlihatkan

adanya

indikasi

heteroskedastisitas.


(3)

Dependent Variable: LOG(MISKIN)

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 12/06/11 Time: 18:24

Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 8

Total panel (balanced) observations: 40

Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 11.38855 1.250168 9.109618 0.0000 LOG(PDRB) -0.517855 0.126073 -4.107568 0.0003 LOG(MYS) -1.091039 0.430742 -2.532929 0.0172 SHARE_PERTANIAN -0.002860 0.003038 -0.941462 0.3545 LOG(PENGANGGURAN) 0.027069 0.020699 1.307705 0.2016

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.992760 Mean dependent var 3.058640 Adjusted R-squared 0.989916 S.D. dependent var 1.521740 S.E. of regression 0.052219 Sum squared resid 0.076350 F-statistic 349.0327 Durbin-Watson stat 1.785111 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.990284 Mean dependent var 2.530722 Sum squared resid 0.080003 Durbin-Watson stat 1.332777


(4)

dengan

white-heteroscedasticity.

Berdasarkan prosedur di atas, maka hasil

estimasi

Fixed Effect

sebagai berikut:

Dependent Variable: LOG(MISKIN)

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 12/06/11 Time: 18:25

Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 8

Total panel (balanced) observations: 40

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 11.38855 1.545020 7.371135 0.0000 LOG(PDRB) -0.517855 0.089410 -5.791907 0.0000 LOG(MYS) -1.091039 0.274328 -3.977127 0.0004 SHARE_PERTANIAN -0.002860 0.001622 -1.763247 0.0888 LOG(PENGANGGURAN) 0.027069 0.007465 3.626274 0.0011

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.992760 Mean dependent var 3.058640 Adjusted R-squared 0.989916 S.D. dependent var 1.521740 S.E. of regression 0.052219 Sum squared resid 0.076350 F-statistic 349.0327 Durbin-Watson stat 1.785111 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.990284 Mean dependent var 2.530722 Sum squared resid 0.080003 Durbin-Watson stat 1.332777

4.

Uji Asumsi Autokolerasi

Hasil estimasi menunjukkan nilai statistic Durbin Watson sebesar

1,785111. Nilai Durbin Watson tersebut berada pada interval dU < DW < 4-dU

(1.721 < 1,785111 < 2.279). Hal ini menunjukkan tidak adanya autokolerasi.


(5)

5.

Uji Multikolinieritas

Berdasarkan matriks korelasi pearson antar variabel independen terlihat bahwa

korelasi antarvariabel kurang dari 0,8, sehingga dapat disimpulkan model telah

memenuhi asumsi terbebas dari multikolinieritas.

Variabel

PDRB

MYS

Share_Pertanian

Pengangguran

PDRB

1

MYS

0,347285

1

Share_Pertanian

-0,580666

-0,749964

1

Pengangguran

0,612862

0,590386

-0,698824

1

6.

Uji Normalitas.

Hasil uji normalitas pada Eviews 6.0 sebagai berikut:

Berdasarkan nilai probabilitas Jarque-Bera yang lebih besar dari taraf nyata lima

persen, dapat disimpulkan bahwa

error term

terdistribusi dengan normal.

0 1 2 3 4 5 6

-0.05 0.00 0.05 0.10

Series: Standardized Residuals Sample 2005 2009

Observations 40 Mean 9.02e-18 Median 0.002639 Maximum 0.090148 Minimum -0.085441 Std. Dev. 0.044246 Skewness 0.090564 Kurtosis 2.305704 Jarque-Bera 0.858091 Probability 0.651130


(6)

Tingkat Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 (dibimbing oleh

MUHAMMAD FINDI ALEXANDI

).

Penanggulangan kemiskinan merupakan fokus perhatian semua negara di

dunia. Bahkan dari delapan butir

Millenium Development Goals

(

MDGs

) yang

ditandatangani oleh 189 negara anggota PBB, memberantas kemiskinan dan

kelaparan merupakan butir pertama dari

MDGs

. Perhatian pemerintah Indonesia

dalam permasalahan kemiskinan dituangkan di dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang menempatkan

pengurangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Tingkat

kemiskinan ditargetkan turun hingga mencapai 8,2 persen pada tahun 2009.

Provinsi Maluku Utara merupakan contoh provinsi yang masih

mengalami permasalahan dengan tingkat kemiskinan. Pada tahun 2009 jumlah

penduduk miskin di Provinsi Maluku Utara mencapai 99,10 ribu jiwa atau 10,34

persen dari total penduduknya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa target

penurunan kemiskinan hingga 8,2 persen pada tahun 2009 masih belum tercapai.

Bila ditinjau secara spasial, penanggulangan kemiskinan antarkabupaten/kota di

Provinsi Maluku Utara tidak merata.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kemiskinan (persentase

penduduk

miskin,

tingkat

kedalaman

dan

keparahan

kemiskinan)

antarkabupaten/kota dan antarwaktu serta menganalisis faktor-faktor yang

memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Maluku Utara.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari BPS

RI dan BPS Provinsi Maluku Utara tahun 2005

2009. Analisis yang digunakan

adalah analisis deskriptif dan analisis regresi data panel.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terjadi penurunan persentase

dan jumlah penduduk miskin di Provinsi Maluku Utara selama periode tahun

2005-2009. Namun, penurunan penduduk miskin tersebut tidak diikuti oleh

perbaikan kualitas kehidupan penduduk miskin. Hal ini ditunjukkan dengan

perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan

yang tidak selalu sejalan dengan penurunan persentase penduduk miskin.

Hasil analisis regresi data panel menunjukkan faktor-faktor yang

signifikan memengaruhi kemiskinan di Provinsi Maluku Utara yaitu pertumbuhan

ekonomi, tingkat pendidikan, jumlah pengangguran dan

share

PDRB sektor

pertanian. Tingkat pendidikan merupakan variabel yang memiliki pengaruh yang

relatif besar terhadap pengurangan tingkat kemiskinan.