Konsep dan Teori Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam

⌧ ☯ …… Artinya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak”…...Q.S. an-Nisaa’4 ayat 1. Implementasi nilai persamaan dalam perspektif Piagam Madinah dan Al-Qur’an pada hakikatya bertujuan agar setiap orang atau golongan menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak. Nilai persamaan juga akan menimbulkan sifat tolong-menolong dan sikap kepedulian sosial antara sesama, serta solidaritas sosial dalam ruang lingkup sosial yang luas.

C. Konsep dan Teori Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam

Ketatanegaraan Islam Lembaga kepala Negara dan pemerintahan di adakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala Negara untuk memimpin umat Islam adalah wajib menurut Ijma. Akan tetapi, dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat? 38 Jika kepemimpinan ini wajib diadakan maka kewajibannya adalah wajib kifayah, seperti berjihad dan mencari ilmu pengetahuan, jika ada orang yang menjalankannya dari kalangan orang yang berkompeten maka kewajiban itu gugur atas orang lain, dan jika tidak ada seorang pun menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia; pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilih kepala Negara bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin Negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka untuk memangku jabatan itu. 38 Imam Al-Mawardi, Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, h. 15 Adapun orang-orang selain dua kelompok ini tidak berdosa dan tidak bersalah atas penundaan pengangkatan kepala Negara. Jika individu-individu yang bertugas melakukan pengangkatan kepala Negara dari dua kelompok ini telah diketahui maka masing-masing mereka harus memenuhi kriteria dan kredibilitas pribadi yang ditetapkan bagi orang-orang yang menjalankan tugas itu. Mereka yang berhak memilih harus mempunyai tiga syarat berikut ini: 39 1. Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan al-‘adalah memenuhi semua kriteria. 2. Ia mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala Negara dengan syarat-syaratnya. 3. Ia mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala Negara dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat. Orang yang berdomisili di wilayah yang sama dengan domisili kepala Negara tidak mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan orang-orang yang tinggal di wilayah lain, namun mereka itu biasanya dapat terlibat dalam pengangkatan kepala Negara sebelumnya, juga karena orang yang pantas memangku jabatan kepala Negara biasanya berada di wilayah itu. Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khilafah, syara’ pun ternyata telah menggariskan thariqah, metode konsep yang harus ditempuh untuk mewujudkannya. Metode ini ditegaskan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. 40 Di bawah ini merupakan beberapa konsep dan teori pengangkatan kepala Negara dalam Islam; 1. Bai’at Bai’at adalah suatu kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, sekaligus merupakan hak setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan kewajiban bai’at tersebut 39 Ibid., h.17 40 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah Empirik, Bangil Jatim: Al- Izzah, 1997, cet. I, h. 88 didasarkan pada hadits-hadits Nabi, diantaranya ialah Sabda nabi Muhammad SAW: “Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at kepada Khilafah, maka matinya dalam keadaan seperti mati jahiliyah”. H.R. Imam Muslim. 41 Secara etimologis bai’at dapat diartikan seperti pendapat Ibnul Maudzur mengemukakan, baaya’ahu, mubaaya’ah, biyaa’ berarti menawarkannya dengan penjualan. Bai’at adalah transaksi jual beli, pembaiatan, dan kesetiaan. Muchtar As- Sihah menjelaskan, secara etimologis, bai’at berkisar antara jual beli dan jaminan. Baiat berarti perjanjian, kesetiaan, jual beli dan jaminan. Dalam hal ini, Ibnu Hajar menjelaskan orang yang membaiat penguasa telah memberikan kesetiannya dan mengambil pemberian dari orang yang dibaiatnya. Ada perbedaan arti baiat dengan lafadz-lafadz lain yang artinya berdekatan seperti mitsaaq perjanjian, qasam sumpah, dan hilf perjanjiansumpah. 42 al-‘Ahd perjanjian berarti menjaga dan melestarikan sesuatu secara berkesinambungan. al-Mitsaaq perjanjian berarti akadtransaksi yang dikuasakan dengan sumpah dan perjanjian. al-Yamin sumpah berarti tangan kanan yang dipinjam sebagai arti sumpah, sebab tangan kananlah yang digunakan oleh orang yang melakukan perjanjian dan sumpah. al-Hilf perjanjian berarti perjanjian diantara kaum. al-Qasam sumpah berarti sumpah yang dilakukan oleh para kerabat orang yang terbunuh untuk menuntut darah si pembunuh, kemudian ia menjadi nama untuk semua sumpah. Sedangkan menurut istilah syara, arti bai’at sebagaimana di terangkan para ulama adalah perjanjian mu’ahadah, hal ini dijelaskan oleh Nawawi dan Ibnu Hajar. Menurut Ibnu Hazm baiat adalah transaksi akad, kepemimpinan imamah, dan kesetiaan, sedangkan menurut Ibnu Katsir dan Thabari berarti mitsaaq perjanjian. 41 Ibid, h.84 42 Dr. Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan rakyat Dalam Perspektif Sunnah , Jakarta; Gema Insani Press, Cet. Pertama, h. 152 Pelaksanaan baiat terdiri dari dua, yaitu baiat khusus dan baiat umum. Baiat khusus adalah baiat untuk tetap setia dalam kasus khusus yang tidak bisa dikuasakan kepada orang lain. 2. Ahl al-Hal wa al-‘Aqd Secara harfiyah, ahl al-hal wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Istilah ahlul hilli wal aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli dan ahli fiqih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berada di antara orang-orang yang dinamakan dengan Ash-Shahabah. Realitanya, masalah “kelompok ahlul Hilli wal Aqdi dan pemilu, adalah seperti masalah kekhilafahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya diserahkan kepada rakyat. Hal itu tidak termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah atau keyakinan, tetapi termasuk adat. 43 Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya sebutan kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi dalam turats fikih kita sejak awal Islam, yang mereka adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau Ahlul Ikhtiyar, yang para khilafah selalu merujuk kepada mereka dalam perkara- perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mereka mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khilafah juga memberhentikannya, menguatkan kekuasaan besar yang dimiliki kelompok ini ahlul Hilli wal Aqdi dan jelas menujukkan bahwa kelompok ini merupakan lembaga legislatif. Metode pemilihan kepala Negara dalam Islam termasuk masalah-masalah yang mempunyai bentuk politik konstitusional yang terpengaruh dengan kondisi dan keadaan masyarakat juga perubahan-perubahan zaman. Di dalam masalah ini adalah bahwa rakyat yang memiliki kekuasaan dalam memilih pemimpin, sementara Ahlul Hilli wal Aqdi mewakili mereka, kecil jumlahnya dari rakyat, tetapi memiliki kapabilitas untuk memikul tanggung jawab memilih pemimpin. Di dalam karangannya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 43 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 79 Al-Mawardi menjelaskan mengenai masalah ini bahwa berada di hadapan satu gambaran dari beberapa gambaran pemilu “Apabila Ahlul Hilii wal Aqdi berkumpul untuk memilih, mereka meneliti keadaan orang-orang yang berhak menjadi pemimpin yang sudah masuk kriteria, lalu mereka mengajukan orang yang terbaik dan yang paling sempurna kriterianya untuk disumpah, mengajak rakyat untuk taat kepadanya dan tidak menahan diri dari membaiatnya”. 44 Di dalam melaksanakan tugasnya, mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi Negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah. Perkara ini mendorong para pakar di bidang perbandingan antara undang- undang konstitusional modern dan fikih politik Islam untuk mengatakan bahwa dewan- dewan parlementer sama dengan Majelis Permusyawaratan atau ahli syura dalam Islam. Persyaratan yang harus dimiliki oleh Ahlu Hilli wal Aqdi, Al-Mawardi berkata di dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, mengenai ahlul ikhtiyar, syarat-syarat yang layak dipertimbangkan berkenaan dengan mereka ada tiga, kemudian Al-Mawardi menerangkannya sebagai berikut: 45 a Keadilan yang integral dengan syarat-syaratnya, yang dimaksud dengan keadilan adalah istiqamah, integritas amanah, dan sifat wara’, atau dalam istilah sekarang kita katakan ketakwaan dan akhlak yang mulia. 44 Imam Al Mawardi, Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, h. 25 45 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politk Islam, Jakarta;Gema Insani Press 2001, Cet. I, h. 177 b Kapabilitas keilmuan yang dengannya ahlul Hilli wal ‘Aqdi dapat mengetahui orang yang berhak menjadi imam dan yang sesuai dengan syarat-syarat yang menjadi bahan pertimbangan. c Memiliki sikap dan kebijaksanaan al-hikmah yang akan mendorong memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan lebih tepat dapat mewujudkan kemaslahatan umum. Itulah syarat-syarat bagi ahlul ikhtiyar, dapat dicermati bahwa dalam syarat-syarat tersebut tidak terdapat syarat material seperti seorang ahlul ikhtiyar mesti memiliki harta atau property tidak bergerak dalam jumlah tertentu. Imam An-Nawawi sempat menyinggung juga tentang ahlul hilli wal Aqdi dalam bukunya Al-Minhaj, bahwa mereka adalah para ulama, pemimpin-pemimpin, dan pemuka-pemuka rakyat, yang mudah dikumpulkan, lebih ringkas An-Nawawi memahami bahwa yang dimaksudkan ulama adalah para pemimpin umat, atau individu-individu umat yang paling menonjol, ataupun juga orang yang mewakili kepentingan umat. 46 3. Sistem Putera Mahkota Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan sistem Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khilafah. 47 Kalau khilafah hanya merupakan wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khilafah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakr kepada Umar bukan merupakan wilayatul ahdi pewarisan kepada putra mahkota, karena ia melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar di bai’at setelah beliau wafat. 46 Ibid, h. 178 47 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahalan Islam Doktrin Sejarah Empirik, h. 110 Di samping itu, Abu Bakar sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk menyelesaikan urusan tersebut sebagaimana nampak dalam khutbahnya, beliau mengantungkan pelaksanaan urusan tersebut kepada ridla kaum muslimin, ketika beliau berkhutbah di hadapan mereka, setelah menerapkan pendapatnya untuk menunjuk pengganti beliau sembari berkata; “Apakah kalian menerima orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku dalam memimpin kalian? Demi Allah, aku telah menyerahkan segenap kemampuan, dan aku tidak akan menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin”. 48 Atas dasar ini pula Umar bin Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam orang calon khilafah, dimana keenam-enamnya memiliki hak untuk memilih dan dipilih, sedangkan Abdullah hanya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih, sehingga tidak ada yang menyerupai wilayatul ahdi putera mahkota. Berbeda dengan sistem putera mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan Islam. Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas munkar tersebut yaitu melakukan wilayatul ahdi adalah : 49 a Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah sistem kerajaan, bukan sistem khilafah. b Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri. Islam telah memberikan hak pemilihan khilafah kepada umat, dan hal itu pun telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau memberikan kebebasan kepada kaum muslimin memilih orang yang lebih layak untuk memimpin urusan mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami Islam dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua Negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua Negara tersebut 48 Ibid 49 Ibid, h. 111 pemerintahannya mempergunakan sistem waris. Karena itu Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidup Mu’awiyah. c Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti problem yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum agar sesuai dengan problem-problem yang ada. Padahal semestinya, dia harus mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan cara menjadikan asasnya adalah kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan kemanfaatan materi. Dan semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai penyelesai masalah-masalah pada zamannya tersebut untuk menyelesaikan hukum Islam, sehingga akan terjadi perubahan penggantian bahkan pemutarbalikan terhadap hukum-hukum Islam. Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera mahkota banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha telah menetapkan bahwa pembolehan tercapainya keimamahan dengan cara menentukan putera mahkota dapat dijustifikasi dengan ijma ulama. Al-Mawardi berkata, “Mengenai terlaksananya keimamahan dengan penunjukkan yang dilakukan oleh khilafah atau raja adalah hal yang telah tercapai ijmakesepakatan untuk pembolehannya, dan telah disepakati keabsahannya, yaitu dengan dua perkara yang telah dilakukan oleh kaum muslimin dan mereka tidak saling berselisih. 50 Ijma yang pertama adalah bahwa Abu Bakr r.a telah menurunkan kekhilafahan kepada Umar r.a dan kaum muslimin mengakui keimamahan Umar dengan penujukkan yang dilakukan Abu Bakr. Ijma yang kedua, yaitu bahwa Umar r.a telah mewariskan keimamahan kepada tim permusyawaratan ahli syura. Para ahli 50 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politk Islam, h. 183 syura tidak menolak untuk masuk ke dalam tim ini, padahal mereka merupakan petinggi-petinggi masyarakat di kala itu.

D. Pelaksanaan Pemilu dalam Pandangan Ulama Kontemporer