Sejarah Pelaksanaan Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN PIMPINAN DALAM KETATANEGARAAN

ISLAM

A. Sejarah Pelaksanaan Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam

Penyelenggaraan negara menurut tuntutan Islam mirip dengan penyelenggaraan shalat jama’ah di mana ada peimimpin negara sebagai imam, rakyat sebagai ma’mum, warga masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan lain-lain. 13 Shalat jama’ah juga mengenal koreksi terhadap imam dan penggantian imam mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan negara dalam sistem modern. Pemilihan pemimpin atau penyelenggaraan negara juga mirip dengan pemilihan pemimpin imam shalat yang dilihat melalui prioritas 1 kefasihan bacaan, 2 kedalaman ilmu, 3 ketaqwaan dan 4 senioritas. Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dengan khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Selama 23 tahun karir kenabian Muhammad saw, kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama, Nabi Muhammad menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah. Namun hal ini tidak berarti bahwa aspek sosial diabaikan sama sekali pada periode Mekah ini. Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada masa ini justru banyak berbicara tentang kecaman terhadap ketidakadilan, praktik-praktik bisnis yang curang, penindasan oleh kelompok elit ekonomi dan politik terhadap kelompok yang lemah dan berbagai ketimpangan sosial lainnya. 14 13 Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta : Khairul Bayan, 2005, cet. I, h. 56 14 Muhalammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, cet. I, h. 31 Mengenai pengangkatan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh para Khulafaur Rasyidun, hal ini dikarenakan Muhammad tidak diangkat melalui suksesi melainkan melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam Al-Qur’an itupun sebagai realisasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah menyatu dengan tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenunya kepada Allah. 15 Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW. wafat 632 M 10 H adalah suksesi. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW. memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk tentang cara pengangkatan penggantinya khilafah. Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan permasalahan di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri ‘terlantar’ oleh seputar pembicaraan khilafah ini. Pengangkatan Khalifah Kepala Negara Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah, yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala Negara. 16 Dalam Islam penetapan Khilafah pada saat adanya Kekhilafahan melibatkan tiga unsur. Pertama: Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga dalam Kekhilafahan Islam yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi dan menetapkan perlu tidaknya penggantian Khilafah. Kedua: Majelis Umat, yakni lembaga perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Salah satu wewenangnya adalah membatasi jumlah calon khilafah. Ketiga: rakyat sebagai pemilik kekuasaan. 15 Ibid. h. 44 16 Ridwan HR, Fiqih Poliik Gagasan, Harapan dan Kenyataan, Yogyakarta: FH UII Press, 2007, cet. Pertama, h.243. Secara ringkas, prinsip umum pergantian khilafah dalam Islam dicontohkan dalam praktik para Sahabat yang berbentuk Ijma Sahabat. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 17 1. Kekuasaan ada di tangan umat. 2. Bai’at merupakan hak seluruh kaum Muslim sekaligus merupakan fardhu kifayah. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menunaikan hak mereka. Apakah mereka menggunakan haknya itu atau tidak, itu terserah mereka. 3. Syariah tidak menyaratkan jumlah tertentu dalam baiat iniqâd. Yang penting berjamaah dan dengan itu kaum Muslim ridha. Keridhaan kaum Muslim itu dapat ditunjukkan oleh diamnya mereka, ketaatan mereka, atau dengan indikasi apapun. Hanya saja, berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik dilakukan seoptimal mungkin. 4. Tidak sempurna pengangkatan kepala negara Khilafah kecuali jika dilakukan oleh sekelompok orang yang hasil pengangkatannya itu diridhai oleh mayoritas kaum Muslim. Adapun langkah-langkahnya adalah: 18 1. Penetapan kapan Khilafah harus diganti. Islam tidak menetapkan masa jabatan seorang khilafah. Khilafah kehilangan hak Kekhilafahan jika melanggar syarat-syarat utama sebagai seorang khilafah Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, dan adil atau meninggal dunia. Pelanggaran terhadap syarat-syarat ini diputuskan dalam sidang Mahkamah Mazhalim. Jika Mahkamah Mazhalim memutuskan Khilafah saatnya diganti maka dikeluarkanlah keputusan tersebut dan diumumkan kepada publik. 2. Berdasarkan keputusan tersebut, pada saat Khilafah masih hidup, dilakukanlah penjaringan bakal calon khilafah. Hal ini didasarkan pada Ijma Sahabat. Pada saat Abu Bakar dalam keadaan sakit, kaum Muslim menentukan siapa bakal pengganti beliau. Terpilihlah Umar. Akan tetapi, Umar baru dipandang sebagai khilafah setelah dibaiat oleh 17 . www.perisaidakwaha.com di akses pada tanggal 5 Februari 2008. 18 Ibid kaum Muslim paska kematian Abu Bakar. Demikian pula halnya saat terpilihnya Utsman bin Affan menggantikan Umar bin al-Khaththab. Adapun jika Khilafah meninggal tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu, dan penjaringan dilakukan setelah meninggal Khilafah, maka ditunjuk seorang amir yang mengurusi urusan masyarakat sebagai amir sementara amir muaqqah hingga dibai’atnya khilafah pengganti. Ketetapan dan teknis praktis menyangkut hal ini perlu ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak. 19 Tatacara penjaringan calon khilafah bersifat teknis yang bisa bervariasi. Pada masa Abu Bakar, calon dijaring melalui wakil dari kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu saat menentukan penggantinya, khilafah Abu Bakar yang saat itu merasa sakit keras mengumpulkan beberapa Sahabat besar seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, dan Usaid bin Hudhair untuk bermusyawarah secara rahasia. Mereka melihat calon khilafah adalah Umar dan Ali. Setelah itu, kedua calon diumumkan kepada seluruh masyarakat. Lalu masyarakat menyetujui Umar sebagai pengganti. Barulah setelah Abu Bakar wafat, para Sahabat membai’at Umar. Lain lagi kondisinya pada saat penggantian Umar. Saat beliau sakit parah, beliau meminta beberapa orang yang disebut Rasul sebagai ahli surga Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Said bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, kecuali Abdullah bin Umar, putranya. Setelah Umar wafat, mereka, selain Abu Thalhah, bermusyawarah. Abdurrahman bin Auf keliling meminta pendapat publik. Jatuhlah pilihan kepada Utsman dan Ali. Di masjid mayoritas masyarakat memilih Utsman. Beliaupun dibaiat sebagai khilafah. Pada saat pengangkatan Ali paska kematian Utsman, yang ada hanya satu calon. Mayoritas Sahabat dan kaum Muslim membaiat beliau di masjid. Lalu seluruh kaum Muslim lainnya menaatinya. Jadi, merujuk pada Ijma Sahabat tersebut, pihak yang menetapkan bakal calon dan calon itu bisa perwakilan yang mewakili kaum Muslim Majelis Umat atau kaum 19 Ibid Muslim secara umum lewat sekumpulan orang-orang, partai, atau organisasi. Teknis mana yang akan digunakan kelak, bergantung pada hasil ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak. Yang jelas, itu hanyalah teknis, yang boleh dipilih sesuai dengan keperluan dan sesuai realitas. 3. Tetapkan siapa di antara mereka yang akan dibaiat menjadi khilafah. Cara yang dicontohkan para Sahabat bermacam-macam, seperti disinggung di atas. Langkah teknis mana yang akan diambil, sama saja. Satu hal yang penting disadari adalah prinsip berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik harus dilakukan seoptimal mungkin, misalnya melalui Pemilihan Umum Khilafah untuk mengetahui pilihan umat. 4. Setelah diketahui ada calon khilafah yang mendapatkan suara mayoritas, maka dilakukan baiat terhadapnya oleh wakil kaum Muslim. Wakil kaum Muslim tersebut bisa perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan organisasi, atau Majelis Umat. Pada masa Khulafaur Rasyidin, baiat dilakukan oleh sebagian Sahabat. Ungkapan baiat tidak ditentukan. Yang penting harus mencakup pengamalan al-Quran dan Sunnah Rasulullah oleh Khilafah serta ketaatan dalam keadaan sulit maupun mudah, lapang maupun sempit, dari pihak pemberi bai’at. Setelah terjadinya bai’at iniqâd berarti khilafah baru telah terpilih. 5. Lakukan bai’at thâah. Pada masa Abu Bakar dan Umar, penegasan bagi kaum Muslim untuk menaati Khilafah dilakukan dengan pidato kenegaraan. Lalu, para Sahabat yang tidak sempat melakukan baiat iniqâd menunjukkan ketatannya kepada Khilafah terpilih. Saat sekarang, baiat thâah dapat dilakukan baik lisan maupun tertulis, atau cukup dengan menunjukkan sikap ketaatan, dan lain-lain. Tampak, hal di atas masih memiliki alternatif. Pada masa khilafah berdiri kelak, mekanisme teknis perlu ijtihad dan penetapan oleh ahli ketatanegaraan Islam. Di antara langkah teknis yang dapat ditempuh adalah: 20 20 Ibid. 1. Mahkamah mazhalim menetapkan kapan penggantian khilafah, baik karena khilafah memang layak diganti sesuai dengan hukum syara atau karena meninggal. Bila karena khilafah meninggal maka Majelis Umat menetapkan seorang Amir Sementara, sebut saja Muawin Tafwidl Pembantu Khilafah yang ditetapkan untuk itu. 2. Berdasarkan keputusan Mahkamah Mazhalim, Majelis Umat dari kalangan Muslim menjaring bakal calon khilafah. Pencalonan dapat berasal dari partai, ormas, dan lain lain. Bisa saja dibentuk tim yang menangani hal ini. Lalu, berdasarkan syarat-syarat khilafah baik syarat mutlak syurûth iniqâd maupun syarat keutamaan syurûth afdhaliyah, Majelis Umat membatasi jumlah calon khilafah. 3. Untuk mengetahui kehendak publik, dilakukan Pemilu untuk memilih Khilafah. 4. Setelah Pemilu selesai akan diperoleh calon yang mendapatkan suara terbanyak. Berikutnya: a Jika Khilafah yang sedang memimpin uzur atau tidak dapat menjalankan fungsinya, maka secara resmi Mahkamah Mazhalim menghentikan Khilafah tersebut. Keputusan tersebut dikeluarkan paling cepat dua hari sebelum pembaiatan khilafah baru. Waktu tersebut adalah waktu toleransi maksimal bagi tidak adanya khilafah pengganti. Lalu, khilafah terpilih dibai’at. b Jika Khilafah sedang sakit keras, calon khilafah tidak dibaiat dulu. Tunggu sampai meninggal. Mahkamah Mazhalim dan atau Khilafah mengumumkan ke publik bahwa orang yang mendapat suara mayoritas itu adalah calon penggantinya. Tinggal membaiat. Jika keadaan sakit kerasnya itu menyebabkan ia tidak dapat menjalankan fungsi Kekhilafahan maka Mahkamah Mazhalim menetapkan kapan kelayakan penggantian Kekhilafahan dengan pembaiatan. c Jika Khilafah sudah meninggal dunia, Mahkamah Mazhalim mengeluarkan keputusan penghentian amir sementara. Sesaat sesudah itu, dilakukanlah baiat iniqâd untuk khilafah baru. 5. Majelis Umat melakukan baiat iniqâd terhadap calon khilafah, yang ditunjukkan dengan adanya proses ijâb dan qabûl. 6. Khilafah baru sudah terpilih. 7. Keesokan harinya dilakukan semacam pidato kenegaraan dari khilafah baru untuk mengenalkan bahwa dia adalah khilafah yang wajib ditaati. 8. Berikutnya, Khilafah dapat menerima ucapan baiat thâah dari masyarakat, baik lisan maupun tulisan. Rakyat yang tidak bisa secara langsung melakukannya, bisa menunjukkannya dalam sikap dan perilaku berupa ketaatan dan ketundukan kepada Khilafah tersebut.

B. Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan Kepala Negara