Menurut Maqbool 2001, sinus paranasalis berfungsi sebagai: 1 pengatur kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk
memanaskan dan mengatur kelembaban udara yang diinspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena tidak didapati pertukaran udara yang defenitif
antara sinus dan rongga hidung; 2 membantu untuk keseimbangan kepala dengan mengurangi berat tulang muka. Namun begitu, teori menunjukkkan
bahawa jika sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberi pertambahan berat sebesar 1 dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna; dan
3 sebagai resonansi suara, sinus berfungsi sebagai rongga untuk menambahkan resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada yangberpendapat,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.
Menurut Soetjipto dan Mangunkusumo 2007, sinus paranasalis berfungsi sebagai: 1 penahan suhu buffer yang melindungi orbita dan fosa serebri dari
rongga hidung yang berubah-ubah. Namun kenyataannya sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ- organ yang dilindungi; 2 sebagai peredam
perubahan tekanan udara, bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya waktu bersin dan beringus; dan 3 untuk memproduksi mukus. Mukus
yang dihasilkan oleh sinus paranasalis sedikit jumlahnya jika dibanding mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang masuk
melalui udara.
2.3 Fisiologi sinus paranasalis
Peranan sinus paranasalis hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Namun fungsi yang paling penting dari sinus paranasalis adalah
peningkatan fungsi nasal. Fungsi sinus paranasalis antara lain fungsi ventilasi, penghangatan, humidifikasi, filtrasi, dan pertahanan tubuh. Faktor yang berperan
dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah patensi KOM, fungsi transport mukosilliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan
yang penting sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor
transport mukosilliar sangat bergantung kepada karekteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada
volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transpor mukosilliar Jackman and Kennedy, 2006.
2.4 Rinosinusitis
Menurut Lee 2008, istilah rinosinusitis mengacu pada spektrum yang luas dari gangguan inflamasi yang mempengaruhi kedua-dua sinus paranasalis
dan hidung rongga. Sejak pertengahan 1990an, istilah ini telah menggantikan istilah sinusitis kerana sinusitis jarang berlaku tanpa rinitis dan rinitis biasanya
mendahului sinusitis.
2.4.1 Definisi
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyp srinosinusitis adalah suatu proses inflamasi pada organ hidung dan sinus
paranasalis, yang karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu faktor mayor dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstuksi
nasal, nyeri di daerah wajah, nasal discharge purulence discoloured postnasal drainage. Faktor minornya pula ialah kepala, demam, halitosis, sakit gigi, batuk
dan nyeri di telinga terasa penuh pada telinga
Fokkens
, 2007. Menurut Mangunkusumo 2007, definisi rinosinusitis ialah suatu peradangan pada sinus
yang terjadi akibat dari alergi atau infeksi dari virus, jamur dan bakteri. Lee 2008, dalam Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery
mendefinisikan rinosinusitis secara klinis, yaitu; rinosinisitis akut, iaitu apabila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu; rinosinusitis subakut,
apabila gejalanya berlangsung dari 4 minggu hingga 12 minggu; dan rinosinusitis kronis, apabila gejalanya berlangsung lebih dari 12 minggu.
Terdapat 4 jenis sinus yaitu; sinus frontalis, sinus maksilaris, etmoidalis, dan sfenoidalis. Rinosinusitis yang terjadi pada beberapa sinus, maka dikenali
sebagai multisinusitis, sedangkan bila rinosinusitis terjadi pada semua sinus, dikenali sebagai pansinusitis Rosenfeld, 2007.
2.4.2 Etiologi
Terdapat beberapa etiologi yang menyebabkan infeksi pada sinus paranasalis. Antaranya ialah infeksi virus, bakteri, jamur, alergi, kelainan anatomi dan struktur
hidung dan hormonal serta lingkungan. Virus yang biasanya menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus
parainfluenza, respiratory syncitial virus RSV dan virus influenza. Tiap- tiap virus mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk
memperparah infeksi tersebut. Rhinovirus sering menginfeksi orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza sering merusakkan silia
pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi Fergurson, 2005. Bakteri patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut
ialah S. pneumoniae dan H. influenzae. S.aureus, staphylococcus koagulase negatif,
bakteri anaerob
dan bakteri
gram negative
Fergurson, 2005; Brown, 2008. Jamur yang paling banyak ditemui ialah Aspergilosis. Aspergilosis
menginfeksi sinus paranasalis dengan ciri khas yaitu sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukomikosis merupakan infeksi oportunistik yang
ganas yang dapat menjadi patogen pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Dijumpai sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan
gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Kandida bersama histoplsmosis,
koksidiomiloss, sporotrikosis,
serokosporamikosis dan
blastomikosis yang jarang mengenai hidung Adam, 1997. Alergi rinitis ialah suatu reaksi yang diperantarai oleh immunoglobulin.
Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya Ig, yang mana bagian antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya
sel mast, basofil, eosinofil, makrofag. Bagian dari antibodi ini berintereaksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran.
Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien Adam, 1997. Mediator ini menyebabkan suatu
reaksi tipe segera yang timbul, misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat dari pelepasan mediator
dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag, dan trombosit Adam, 1997. Kelainanan anatomi hidung dan sinus dapat menganggu fungsi mukosiliar
secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan berhenti. Deviasi septum, polip,
konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar Hilger, 1997.
Pengaruh hormonal juga mengakibatkan rinosinusitis. Pada penelitian Sobot et al, didapati bahwa 61 wanita yang hamil pada trimester pertama menderita
nasal congestion, namun patogenesisnya masih belum jelas Brook, 2012. Paparan dari lingkungan yang terpolusi, udara dingin dan kering akan
mengakibatkan perubahan mukosa dan kerusakan silia. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama Mungunkusumo, 2007.
2.4.3 Klasifikasi
Secara klinis rinosinusitis terbagi berdasarkan durasi penyakit yaitu, rinosinusitis akut: durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu; rinosinusitis
subakut: durasi terkena rinosinusitis dari 4 – 12 minggu; rinosinusitis kronis: durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu; dan rinosinusitis
rekuren: durasi menderita sama atau lebih dari 4 kali menderita episodik rinosinusitis,
tapi episodik
lebih kurang
durasinya 7-10
hari Mangunkusomo, 2007.
Berdasarkan penyebabnya, rinosinusitis terbagi kepada sinusitis rinogen dan sinusitis dentogen. Sinusitis rinogen penyebabnya adalah kelainan atau masalah
dihidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis dentogen penyebabnya adalah kelainan gigi
yang sering menyebabkan sinusitis seperti infeksi pada gigi geraham atas premolar dan molar Mangunkusomo, 2007.
2.4.4 Patogenesis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya “clearance” mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal
KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernapasan Hilger, 1997. Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan, maka apabila terjadi edema, mukosa
yang saling berhadapan akan bertemu sehingga menyebabkan gerakan silia terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya muncul tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang seterusnya menyebabkan terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous Mangunkusumo, 2007.
Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari
kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri
Mangunkusumo, 2007. Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip
dan kista. Pada keadaan ini mungkin dilakukan tindakan operasi Mangunkusumo, 2007.
2.4.5 Gejala dan tanda klinis
The American Academy of Otolartngology-Head and Neck Surgery AAO-HNS telah klasifikasikan gejala yang timbul kepada kriteria mayor dan
minor untuk mendiagnosis rinosinusitis. Setiap gejala rinosinusitis, keparahan serta durasinya harus didokumentasi bagi menegakkan diagnosis. Rinosinusitis
didiagnosis apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor.
Gejala mayor terdiri dari: 1 hidung tersumbatobstruksi hidung; 2 sekret pada hidungsekret belakang hidung atau lebih dikenali sebagai PND
Postnasal drip; 3 sakit kepala; 4 nyerikongestirasa tertekan pada wajah; 5 kelainan penciuman hiposmiaanosmia; 6 demam hanya pada durasi akut;
7 keluar sekret hidung yang purulendiscoloured. Gejala
minornya terdiri
dari: 1
sakit kepala;
2 demam
semua nonakut rinosinusitis; 3 halitosis nafas berbau; 4 lemah; 5 sakit gigi; 6 batuk; dan 7 sakitsensasi penuhterasa tekanan di telinga.
Menurut Rosenfeld, 2007, gejala klinis juga dapat dikategorikan kepada gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif terdiri dari: 1 nyeri; 2 sakit
kepala; 3 nyeri pada penekanan; dan 4 gangguan penciuman manakala gejala objektif terdiri dari: 1 pembengkakan serta edema; dan 2 sekret dari nasal.
2.4.6 Faktor prediposisi
Antara faktor resiko yang dapat menyebabkan rinosinusitis ialah penyakit asma,
upper respiratory
tract infection,
riwayat alergi,
merokok, ketidakseimbangan hormon kehamilan, diabetes mellitus, inhalasi bahan irritant
cocaine, iatrogenic eg. nasogastric tubes, mechanical ventilation, sakit gigi trauma, infeksi, aktiviti sukan berenang, meyelam, obstruksi mekanis variasi
anatomis, nasal polip, riwayat trauma hidung, pipi, dan immunosupresi
Rosenfeld, 2007.
2.4.7 Diagnosis
Penyakit rinosinusitis dapat didiagnosis menerusi gambaran klinis, rinoskopi anterior, endoskopi nasal, pemeriksaan mikrobiologi, foto polos kavitas
nasal dan sinus paranasalis, tomografi komputer, pencitraan magnetik resonansi. Gambaran klinis pasien rinosinusitis akut dan kronis dapat dikategorikan
menjadi pada penderita dewasa dan anak yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tab el 2.1 Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut
International Conference on Sinus Disease 1993 2004 Kennedy, 1995
No Kriteria
Rinosinusitis akut Rinosinusitiskronik
Dewasa Anak
Dewasa Anak
1 Lama gejala dan
tanda 12 minggu
12 minggu 12 minggu 12
minggu 2
Jumlah episode serangan akut,
masing-masing berlangsung
minimal 10 hari 4 kalitahun 6 kalitahun 4 kali
Tahun 6kali
tahun
3 Jumlah episode
serangan akut, masing-masing
berlangsung minimal 10 hari
Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan
medikamentosa Tidak dapat sembuh
sempurna dengan pengobatan
medikamentosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fizik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fizik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah pus di meatus medius atau di daerah
meatus superior Mangunkusumo, 2007. Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fizik yang paling
spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Pemeriksaan ini tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian
dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat
divisualisasi secara jelas Benninger, 2003. Endoskopi nasal memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosis
rinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan endoskopi nasal karena alasan yang
berikut: 1 gejala-gejala pasien saja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosis rinosinusitis; 2 endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang
lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang tidak diketemukan pada saat
anamnesis, pemeriksaan mahupun pemeriksaan pencitraan; 3 perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal; dan 4 kultur endoskopi berguna
untuk organisme yang menyebabkan rinosinusitis Rosenfeld, 2007. Pemeriksaan mikrobiologi merupakan biakan dari hasil yang berasal dari
hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan
hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Pemeriksaan ini
sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit ini Brown, 2008.
Foto polos rongga sinus dan sinus paranasalis untuk rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa: 1 penebalan mukosa; 2 opasifikasi sinus
berkurangnya pneumatisasi; 3 gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dilihat pada foto waters. Bagaimanapun juga, harus ingat
bahawa foto polos ini memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan uang meluas
Rosenfeld, 2007. Tomografi komputer adalah pemeriksaan yang dapat memberikan
gambaran yang paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi anatomi tulangnya yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis mahupun
akut. Walaupun demikian, harus ingat bahwa tomografi komputer menggunakan dosis radiasi yang sangat besar, yang berbahaya bagi mata Rosenfeld, 2007.
2.4.8 Pemeriksaan tomografi komputer
Tomografi komputer telah diterima sebagai alat diagnostik yang berharga dimana- mana. Di Indonesia, tomografi komputer mulai dipakai pada tahun 1983
di rumah sakit pusat Dr.Cipto Mangunkusumo dan rumah sakit lainnya. Sekarang alat ini mulai menyebar ke rumah sakit-rumah sakit besar di luar Jakarta
Gani dan Bambang, 2005. Pemeriksaan tomografi komputer pada saat ini sudah merupakan
kebutuhan rutin, tidak saja karena hasilnya lebih baik, tetapi juga diagnostik
penyakit lebih mudah ditegakkan sehingga penanganan pasien menjadi lebih cepat dan lebih tepat Ganidan Bambang, 2005.
Pembelian tomografi komputer harus diperhitungkan dengan cermat, jangan menjadi beban untuk rumah sakit di kemudian hari. Di samping itu, dari
segi klinis-diagnostik, alat tomografi komputer perlu sekali untuk rumah sakit kelas A dan B. Diagnostik dipertajam dan hari perawatan di rumah sakit dapat
dipersingkat. Sama seperti pemeriksaan ultrasonografi USG, maka tomografi komputer juga dapat digunakan untuk keperluan biopsi. Tomografi komputer juga
bermanfaat dalam pembuatan rencana radioterapi radiotherapy planning Gani Ilyas dan Bambang Budyatmoko, 2005.
Syarat-syarat bagian radiologi suatu rumah sakit yang merencanakan penggunaan tomografi komputer seperti yang dianjurkan oleh WHO
Technical Report Series, No 723 antara lain; 1 mengerjakan 50 000 pemeriksaan radiodiagnostik setahun; 2 sudah mengerjakan pemeriksaan
angiografi, mielografi; dan 3 sudah ada pemeriksaan ultrasonografi, terutama dibagian radiologi.
Gambar 2.4: Mesin Tomografi Komputer
2.4.9 Teknik Pemeriksaan Tomografi Komputer Sinus Paranasalis SPN
Teknik pemeriksaan tomografi komputer SPN merupakan pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasalis baik secara
aksial maupun koronal. Tomografi komputer SPN memberikan tampilan yang
memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus. Tomografi komputer SPN baik dalam memperlihatkan dekstruksi
tulang dan mempunyai peranan penting dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi. Hal- hal tersebut merupakan kelebihan tomografi
komputer SPN dibandingkan dengan foto polos SPN biasa Amstrong, 1989. Prosedur pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis terdiri dari
persiapan pasien dan persiapan alat dan bahan. Persiapan pasien untuk pemeriksaan tomografi komputer SPN adalah sebagai berikut: 1 semua benda
metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa, termasuk anting, kalung, dan jepit rambut; 2 pasien harus diinstruksikan agar mengosongkan vesika
urinarianya sebelum pemeriksaan dilakukan, karena jika menggunakan media kontras intra vena menyebabkan vesika urinaria cepat terisi penuh sehingga
pemeriksaan tidak akan terganggu oleh jeda waktu ke kamar kecil; 3 jika menggunakan media kontras, alasan penggunaannya harus dijelaskan kepada
pasien; 4 komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan sejelas-jelasnya inform consern agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan
sehingga dihasilkan kualitas gambar yang baik. Alat dan bahan untuk pemeriksaan tomografi komputer SPN ialah pesawat tomografi komputer dan alat-alat fiksasi
kepala Ballinger, 1995. Pemeriksaan tomografi komputer SPN menggunakan dua jenis potongan,
yaitu potongan aksial dan potongan koronal Ballinger, 1995. Pada teknik pemeriksaan potongan aksial, pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan.
Kedua lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas headrest bantalan kepala. Posisi pasien diatur senyaman mungkin. Kepala
diletakkan tepat di terowongan gantry, mid sagital plane segaris tengah meja. Mid aksial kepala tepat pada sumber terowongan gantry Weisberg, 1984.
Gambar 2.5: Potongan Aksial Tomografi Komputer
Potongan koronal merupakan teknik khusus dimana posisi pasien berbaring telungkup di atas meja pemeriksaan dengan bahu diganjal bantal.
Kepala digerakkan ke belakang hiperekstensi sebisa mungkin dengan membidik menuju vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang wajah. Posisi objek pula,
kepala tegak atau digerakkan ke belakang hiperekstensi sebisa mungkin dan diberi alat fiksasi agar tidak bergerak Lowge, 1989.
Gambar 2.6: Potongan Koronal Tomografi Komputer
Parameter tomografi komputer sinus paranasalis Tab el 2.2 Parameter tomografi komputer sinus paranasalis
Skanogram : cranium lateral Tebal irisan
- aksial : 5 mm
- koronal : 3 mm Seeram, 2001
Anatomi Coverage
aksial : 5 mm di bawah sinus maksilaris sampai sinus frontalis koronal : 5 mm posterior sinus sfenoidalis sampai sinus frontalis
Standar algoritma -
aksial : algorithma tulang -
koronal : algorithma standar kV : 130
mAs : 60 Seeram, 2001
Menurut Patel 2007, kegunaan tomografi komputer ialah: 1 agar setiap bagian tubuh dapat dipindai, otak, leher, abdomen, pelvis, dan tungkai; 2 staging
tumor primer seperti pada kolon dan paru untuk mengetahui adanya peyebaran sekunder, untuk menentukan kelayakan operasi atas dasar kemoterapi;
3 perencanaan radioterapi; 4 mendapatkan detail anatomis yang tepat jika tidak berhasil dengan ultrasonografi. Keuntungan mengunakan tomografi komputer
ialah bagi membantu mendiagnosis penyakit ialah: 1 tomografi komputer memiliki resolusi kontras yang baik,memberikan detail anatomis yang tepat;
2 suatu teknik pemeriksaan yang cepat, sehingga baik untuk pasien yang sakit; 3 berlawanan dengan ultrasonografi, citra diagnostik dapat diperoleh dari pasien
obes walaupun terdapat lemak yang memisahkan organ-organ abdomen Kerugian daripada penggunaan tomografi komputer ialah 1 biaya yang tinggi
untuk peralatan dan permindahan; 2 artefek tulang pada pemindahan otak, biasanya pada fosa posterior, menurunkan kualitas citra; 3 pemindaian sebagian
besar terbatas pada bidang transversal, walaupun pengulangan dapat dilakukan pada bidang lain; 4 menimbulkan radiasi ionisasi dosis tinggi pada setiap
pemeriksaan Patel, 2007.
2.4.10 Karekteristik gambaran tomografi komputer Sinus Paranasalis pada
pasien rinosinusitis
Tanda-tanda fisik yang khas yang ditemui dengan pasien rinosinusitis termasuk bilateral edema mukosa hidung, ingus, hidung sumbat dan rasa sakit
yang dirasakan seperti ketika disentuh. Namun, hal ini tidak menemukan sensitif tertentu. Lokasi sakit sinus bergantung pada sinus yang terinfeksi. Nyeri pada
palpasi dahi atas sinus frontalis dapat menunjukkan bahwa sinus frontalis terinfeksi; namun, ini juga merupakan tempat yang sangat umum untuk tension
headaches. Infeksi di sinus maksilaris dapat menyebabkan rahang atas rasa sakit dan gigi, dengan daerah malar sakit disentuh. Oleh karena sinus ethmoidalis
antara mata dan dekat saluran air mata, ethmoidalis sinusitis dapat dikaitkan dengan pembengkakan, dan rasa sakit di kelopak mata dan jaringan di sekitar
mata. Sinus sfenoidalis lebih mendalam dan tersembunyi, dan sinusitis ini timbul dengan gejala sakit telinga, sakit leher dan sakit di bagian atas kepala
Christine Radojicic, 2009. Namun, pada sebagian besar pasien yang diagnosis rinosinusitis, daerah
yang dirasakan sakit biasanya tidak jelas dan tidak menggambarkan sinus yang meradang. Oleh itu, pemeriksaan tomografi komputer diperlukan bagi
mendiagnosis sinus yang terinfeksi atau bermasalah dengan lebih tepat.
Gambar 2.7 Tomografi Komputer Sinus Paranasalis Normal Christine Radojicic, 2009.
Gambar 2.8 Sinus paranasalis tidak normal dengan penebalan perselubungan di sinus maksilaris kanan dan kiri
Christine Radojicic, 2009.
Gambar 2.9 Gambaran tomografi tomputer menunjukkan rinosinusitis akut dengan penebalan mukosa di sinus maksilaris Christine Radojicic, 2009.
Gambar 2.10 Gambaran menunjukkan rinosinusitis kronis dengan penumpukan cairan di sinus maksilaris Christine Radojicic, 2009.
Gambar 2.11 Gambaran koronal menunjukkan kompleks osteomeatal kanan yang normal terbuka dan kompleks osteomeatal kiri yang tertutup
Christine Radojicic, 2009.
Walaupun pencitraan magnetik resonansi tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasalis seperti tomografi komputer, namun Magnetic
Resonance Imaging MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik Rosenfeld, 2007.
2.4.11 Terapi
Terapi bagi rinosinusitis dapat dibagi kepada terapi rinosinusitis akut, terapi rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronis Fokkens, 2007.
Terapi rinosinusitis diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotic empirik 2x24 jam. Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau
kotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk melancarkan drainase dan analgetik untuk menghilangkan rada
nyeri. Pada pasein atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteriod topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi
10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama
7 hari
yakni amoksisilin
klavulanatampisilin sulbaktam,
sephalosporingenerasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika tidak ada perbaikan
maka dilakukan rontgen polos atau tomografi komputer dan atau endoskopi nasal. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Apabila tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni
evaluasi komprehensif
alergi dan
kultur dari
fungsi sinus
McCort 2005;
Fokkens,
2007. Terapi rinosinusitis subskut, mula-mula diberikan medikamentosa bila
perlu dibantu dengan tindakan, yakni diatermi atau pencucian sinus. Obat- obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan
resistensi kuman selama 10-4 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan.Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti-histamin dan
mukolitik. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek Ultra Short Waves Diathermy sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vakularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada
sinusitis ethmoidalis, frontalalis atau sfenoidalis yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz
Fokkens,
2007. Bagi terapi rinosinusitis kronis, jika ditemukan faktor prediposisinya,
dilakukan tatalaksana yang sesuai dan diberikan terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. Jika faktor
prediposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II dan terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan
antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan
pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi jika irigasi 5x tidak membaik. Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu bedah
sinus endoskopi fungsional BSEF atau bedah konvensional. Walau bagaimanapun, jika tidak ada obstruksi maka kembali melakukan evaluasi
diagnosis
Fokkens,
2007. Bedah sinus endoskopi fungsional BSEFFESS merupakan operasi
terkini untuk
sinusitis kronik
yang memerlukan
operasi. Indikasi
penatalaksanaannya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat, sinusitis kronik yang disertai kista, atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif,
adanya komplikasi
sinusitis serta
sinusitis akibat
jamur Mangunkusumo, 2002.
2.4.12 Komplikasi
Rinosinusitis dapat
mengakibatkan pelbagai
komplikasi. Antara komplikasinya ialah: 1 kelainan pada orbita; 2 kelainan intrakranial; 3 kelainan
tulang; 4 mukokel; 5 piokel dan 6 kelainan paru. Kelainan pada orbita utamanya disebabkan oleh sinusitis etmoidalis
karena letaknya berdekatan mata. Komplikasi dapat melalui 2 jalur, yaitu direklangsung dan retrograde tromboplebitis. Jalur direklangsung adalah melalui
dehisensi kongenital ataupun erosi pada tulang barier terutama lamina papirasea. Jalur retrograde tromboplebitis adalah melalui anyaman pembuluh darah yang
berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita. Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita Casiano, 1999;
Fokkens,
2007. Kelainan intrakranial terdiri: 1 meningitis akut;salah satu komplikasi sinusitis
yang terberat; infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau berlangsung dari sinus yang berdekatan, sepeti lewat dinding posterior
sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis; 2 abses dura; kumpulan pus diantara dura dan tabula internakranium
dan sering mengikuti sinusitis frontalis. Durasinya agak lama, dimana pasien hanya mengeluh nyeri kepala kerana pus yang berkumpul memberikan tekanan
intracranial; 3 abses subdural; kumpulan pus diantara duramater dan araknoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul ialah nyeri kepala yang membandel dan
demam tinggi dengan tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak akan timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses pecah ke
dalam ruang subaraknoid; dan 4 abses otak; sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam
otak. Namun, abses otak biasanya karena tromboflebitis yang meluas secara langsung. Lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas
menembus dura dan archnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri Casiano, 1999;
Fokkens,
2007. Kelainan tulang yang tersering ialah osteomielitis dan abses subperiosteal
pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sengat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan mengigil.
Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan
mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan, Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tualng dan hilangnya septa
intrasinus dalam sinus yang keruh Rosenfeld, 2007. Mukokel ialah suatu kista yang mengandungi mukus yang timbul dalam
sinus., paling sering ditemui di sinus maksilaris. Kista ini disebut kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etoidalis, sfenoidalis,
kista ini dapat membesar dan malalaui atrofi tekanan, mengikis struktur sekitarnya. Kista ini bermanifestsi sebagai pembengkakan pada dahi atau
fenestera nasalis dan mengeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf
didekatnya Hilger, 1997. Piokel merupakan mukokel terinfeksi. Gejala piokel sama dengan mukokel
tetapi lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase
yang baik atau obliteras sinus Brook, 2012. Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik
dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasalis disertai dengan kelainan paru yang disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya
asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan Mangunkusumo, 2010.
43
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka konsep
Dalam penelitian ini, yang diamati adalah angka kejadian rinosinusitis, jumlah pasien yang dirujuk untuk pemeriksaan tomografi komputer, umur, jenis
kelamin, lokasi sinus yang terinfeksi, jumlah sinus yang terinfeksi, dan komplikasi yang timbul akibat dari rinosinusitis. Kerangka konsep mengenai
karekteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada pasien rinosinusitis:
Gambar 3.1: Kerangka konsep karekteristik gambaran tomografi komputersinus paranasalis pada pasien rinosinusitis
. Rinosinusitis
Data klinis Data radiologis
- umur pasien - jenis kelamin
- lokasi sinus - Jumlah sisi sinus
- Komplikasi
3.2 Variabel penelitian 3.2.1 Variabel independen
Pasien yang didiagnosa rinosinusitis dan dirujuk untuk pemeriksaan tomografi
komputer.
3.2.2 Variabel dependen
Data rekam medis pasien rinosinusitis yaitu jumlah pasien rinosinusitis yang dirujuk untuk tomografi komputer sinus paranasalis, umur, jenis kelamin,
lokasi sinus yang terinfeksi, jumlah sisi sinus yang terinfeksi, dan komplikasi.
3.3 Definisi operasional
Penelitian ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu berdasarkan rekam medis alat ukur pasien. Hasil penelitian setiap rumusan masalah
hasil ukur dalam penelitian ini dikategorikan dan akan dibahaskan dan dibandingkan
dalam bentuk persentase. Penelitian dilakukan untuk mengambarkan karesteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada
pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012. Peneliti akan mengelompokan data yang diperoleh dari rekam medis kepada data klinis
dan data radiologis. Data klinis terdiri daripada jumlah pasien rinosinusitis yang dirujuk untuk tomografi komputer sinus paranasalis, umur pasien dan jenis
kelamin pasien. Data radiologis terbagi kepada lokasi sinus yang terinfeksi, jumlah sisi sinus yang terinfeksi, faktor predisposisi dan komplikasi rinosinusitis.
3.3.1Umur pasien
Umur pasien adalah jumlah tahun hidup, yaitu sejak lahir sampai didiagnosis menderita rinosinusitis yang dinyatakan dalam satuan tahun. Umur
dikelompokkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prasetyo 2013: 1 0 – 15 tahun; 2 16 – 30 tahun; 3 31 – 45 tahun; 4 46 – 60 tahun; 5 60
tahun. - Cara ukur :
membaca rekam medis - Alat ukur
: rekam medis
- Hasil ukur : Umur pasien dalam penelitian ini
dikategorikanmenjadi: 1 0 – 15 tahun
2 16 – 30 tahun 3 31 – 45 tahun
4 46 – 60 tahun 5 60 tahun
- Skala ukur : ordinal
3.3.2 Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua makluk sebagai laki-laki dan perempuan. Penilaian karekteristik ini dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu laki- laki dan perempuan. - Cara ukur
: membaca rekammedis - Alat ukur
: rekam medis -Hasil ukur
: Jenis kelamin dalam penelitian ini dikategorikan menjadi:
1. Laki-laki 2. Perempuan
- Skala ukur : nominal
3.3.3 Lokasi sinus yang terinfeksi
Lokasi sinus yang terlibat adalah rongga sinus yang mengalami kelainan pada pasein rinosinusitis. Anatomi sinus maksilaris menyebabkan ia mudah
terinfeksi. Dasar sinus maksilaris terletak lebih rendah dari ostium sehingga ia bergantung penuh kepada pergerakan silia untuk mengeluarkan kuman dan benda
asing. Selain itu, prosesus alveolaris adalah dasar sinus maksilaris, dimana ia menempatkan akar gigi premolar dan molar atas, sehingga infeksi akar gigi dapat
mengakibatkan bakteri sebar melalui pembuluh darah Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007. Sinus etmoidalis dan sfenoidalis bermuara
melalui resesus sfenoetmoidalis dan keluar melalui meatus nasi superior.
Gangguan drainase dan ventilasi pada sinus ini akan mengakibatkan rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokan seperti dibawah bagi mengetahui total sinus
yang terinfeksi kerana seorang pasien rinosinusitis bisa terinfeksi satu sinus paranasalis single rinosinsusitis, terinfeksi dua atau lebih, sinus paranasalis
multirinosinusitis atau terinfeksi seluruh sinus paranasalis pansinusitis Rosenfeld, 2007.
Pembagian lokasi sinus adalah berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Dalimunthe 2012, yaitu sinusitis maksilaris; sinusitis etmoidalis;
sinusitis sfenoidalis; sinusitis frontalis; sinusitis maksilaris serta etmoidalis; sinusitis maksilaris serta sfenoidalis; sinusitis maksilaris serta frontalis; sinusitis
etmoidalis serta sfenoidalis; sinusitis etoidalis serta frontalis; sinusitis sfenoidalis dan frontalis; sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan sfenoidalis; sinusitis
maksilaris serta etmoidalis dan frontalis; sinusitis etmoidalsi serta sfenoidalis dan frontalis; dan sinusitis maksilaris serta etmoidalis, sfenoidalis dan frontalis.
- Cara ukur : membaca rekam medis - Alat ukur : hasil tomografi komputer scan SPN
- Hasil ukur : Lokasi sinus dalam penelitian ini dikategori menjadi: 1. sinusitis maksilaris
2. sinusitis etmoidalis 3. sinusitis sfenoidalis
4. sinusitis frontalis 5. sinusitis maksilaris serta etmoidalis
6. sinusitis maksilaris serta sfenoidalis 7. sinusitis maksilaris serta frontalis
8. sinusitis etmoidalis serta sfenoidalis 9. sinusitis etoidalis serta frontalis
10. sinusitis sfenoidalis dan frontalis 11. sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan sfenoidalis
12. sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan frontalis 13. sinusitis etmoidalsi serta sfenoidalis dan frontalis
14. sinusitis maksilaris serta etmoidalis,sfenoidalis dan frontalis
- Skala ukur : norminal
3.3.4 Jumlah sisi sinus yang terinfeksi
Jumlah sisi sinus yang terlibat adalah jumlah rongga sinus yang mengalami kelainan pada pasein rinosinusitis. Penilaian dikelompokan menjadi
- Unilateral – jika ditemukan keterlibatan satu sisi sinus paranasalis - Bilateral – jika diketemukan keterlibatan pada kedua sisi sinus paranasalis
Mangunkusomo, 2007. - Cara ukur : membaca rekam medis
- Alat ukur : rekam medis - Hasil ukur : Jumlah sisi sinus yang terinfeksi dikategorikan menjadi :
1. unilateral 2. bilateal
- Skala ukur : norminal
3.3.5 Komplikasi
Penyakit lain yang bisa timbul yang diakibatkan oleh rinosinusitis. Antaranya ialah kelainan pada orbita, kelainan intrakranial, kelainan tulang,
mukokel, piokel,dan kelainan paru Rosenfeld, 2007. - Cara ukur
: membaca rekam medis
- Alat ukur :
rekam medis
- Hasil ukur : Komplikasi dalam penelitian ini dikategorikan menjadi:
1. kelainan pada orbita 2. kelainan intrakranial
3. kelainan tulang 4. mukokel
5. piokel 6. kelainan paru
- Skala ukur : nominal
48
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional untuk melihat karekteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada
pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. Besarnya sampel pada penelitian ini adalah semua pasien rinosinusitis yang telah melakukan
pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis di RSUP Haji Adam Malik total sampling.
4.2 Waktu dan tempat penelitian 4.2.1 Tempat penelitian