Rumusan Masalah Fungsi sinus paranasalis

rinosinusitis pada tahun 2012 di rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba untuk melakukan penelitian mengenai karekteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini, yaitu: bagaimana karekteristik gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui karekteristik gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui angka kejadian rinosinusitis di RSUP Adam Malik pada tahun 2012. 2. Untuk mengetahui angka pasien rinosinusitis yang dirujuk ke Departemen Radiologi untuk mengambil tomografi komputer di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. 3. Untuk mengetahui distribusi jenis kelamin pasien rinosinusitis. 4. Untuk mengetahui distribusi kelompok umur pasien rinosinusitis. 5. Untuk mengetahui distribusi pasien rinosinusitis berdasarkan lokasi sinus yang terinfeksi berdasarkan tomografi komputer sinus paranasalis. 6. Untuk mengetahui jumlah sisi sinus yang terinfeksi berdasarkan tomografi komputer sinus paranasalis. 7. Untuk mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan komplikasi yang timbul. 1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Untuk Peneliti 1. Untuk mengetahui secara lebih mendalam angka kejadian rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik. 2. Untuk mengetahui peranan tomografi komputer dalam mendiagnosis rinosinusitis dengan lebih tepat. 3. Sebagai sarana menambahkan pengalaman dalam melakukan penelitian.

1.4.2 Untuk RSUP Haji Adam Malik

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pihak RSUP Haji Adam Malik dalam mengambil kebijakan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. 2. Hasil data penelitian dapat dimanfaatkan oleh dokter untuk mendiagnosis serta melakukan penatalaksanaan yang baik.

1.4.3 Untuk Masyarakat

1. Memberikan data yang mendukung bagi penelitian lain di masa yang akan datang. 2. Diharapkan hasil karya ilmiah ini nantinya dapat menjadi sumber informasi dan bahan bacaan tambahan yang dapat memperluas wawasan pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa kedokteran tenaga kesehatan, maupun masayarakat pada umumnya. 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi hidung dan sinus paranasalis 2.1.1 Anatomi hidung Menurut Peter 1989, hidung merupakan organ penting, yang mempunyai beberapa fungsi yang penting yaitu sebagai indra penciuman menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara.

2.1.1.1.1 Hidung luar

Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas: kubah tulang yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian -bagiannya dari atas ke bawah: 1 pangkal hidung bridge; 2 batang hidung dorsum nasi; 3 puncak hidung hip; 4 ala nasi; 5 kolumela; dan 6 lubang hidung nares anterior. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1 tulang hidung os nasal; 2 prosesus frontalis os maksila; dan 3 prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1 sepasang kartilago nasalis lateralis superior; 2 sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor; dan 3 tepi anterior kartilago septum Soetjipto dan Wardani, 2007.

2.1.1.1.2 Hidung dalam

Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya pada dinding lateral hidung pula terdapat konka denggan rongga udara yang tidak teratur diantara-meatus superior, media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampak menentukan diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya, juga mengubah resistensi, dan akibatnya tekanan dan volume alian udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan badan vaskular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret mukosa Hilger, 1997. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunar dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis Hilger, 1997. Gambar 2.1 : Anatomi Hidung Netter, 2006 Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat menggangggu penciuman. Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum kuadrangularis di sebelah anterior, lamian perpendikularis tulang etmodalis di sebelah atas, vomer dan rostum sfenoidalis di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista maksial dan palatina Hilger, 1997.

2.1.2 Anatomi sinus paranasalis

Menurut Ballenger 2002, terdapat delapan buah sinus paranasalis, empat buah di setiap sisi hidung. Sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoidalis kanan dan kiri, sinus maksilaris kanan dan kiri dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga hidung tersebut merupakan kelanjutan dari mukosa hidung yang berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Sinus paranasalis pada fase embriologik berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan berkembang sejak usia fetus 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoidalis dan sinus frontalis Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007. Sinus maksilaris berkembang pada bulan ketiga masa gestasi sedangkan sinus etmoidalis berkembang pada bulan kelima masa gestasi Lee, 2008. Sinus frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior ketika berusia kurang dari 8 tahun. Sinus sfenoidalis berkembang dari usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus ini akan mencapai perkembangan maksimal pada usia 15-18 tahun Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007. Sinus paranasalis terdiri daripada sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus etmoidalis dan sinus sfenoidalis. Bentuk dan ukuran sinus frontalis sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontalis ialah: tinggi 3,0 cm, lebar 2,0-2,5 cm, dalam 1,5-2,0 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontalis hampir selalu dipliok, terutamanya pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior Benninger, 2003. Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kala kedua frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus Hilger, 1997. Gambar 2.2 : Sinus Paranasalis Adam, 1997 Pada waktu lahir, sinus maksilaris merupakan celah kecil di sebelah medial orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan sehingga pada usia delapan tahun menjadi sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan membentuk sempurna setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18- 20 x 19- 20 mm dan isinya kira-kira 15ml Ballanger, 2002. Sinus maksilaris berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus Ballanger, 2002. Yang perlu diperhatian dari anatomi sinus maksilaris adalah; dasar sinus maksilaris berdekatan dengan akar gigi rahang atas, akar gigi menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi geligi dapat naik ke atas dan menyebabkan sinusitis; sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi orbita; ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya bergantung dari gerakkan silia yang juga harus melalui infundibulum yang sempit Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007. Sinus etmoidalis pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4,0-5,0 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoidalis, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarnya letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Di daerah etmoidalis anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksilaris. Pembengkakan di resesus frontalis dapat menyebabkan sinusitis frontalis dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan menyebabkan sinusitis maksilaris Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007. Sinus sfenoidalis terletak di os sfenoidalis, di belakang sinus etmoidalis posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007. Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2.5 x 2.5 x 1.5 mm, pada usia 9 tahun 15,0 x 12,0 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5ml 0,05-30 ml Ballanger, 2002. Batas- batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterir di daerah pons Maqbool, 2001. Gambar 2.3: Kompleks Ostiomeatal KOM, Potongan Koronal Adam, 1997 Kompleks ostiomeatal KOM, terdiri dari sel-sel udara dari etmoidalis dan ostiumnya, infundibulum etmoidalis, ostium sinus maksilaris, ostium sinus frontalis dan meatus media, seperti terlihat di gambar 2.4 Kennedy, 2005. Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel agger nasi, prosessus unsinatus, bula etmoidalis, hiatus semilunaris inferior dan konka media. Secara fungsional, KOM berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi untuk sinus frontalis, maksilaris, dan etmoidalis anterior Kamel, 2003.

2.1.3 Suplai darah

Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus, dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena -vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina Hilger, 1997.

2.1.4 Sistem limfatik

Suplai limfatik hidung amat kaya di mana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan muara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini menghubung saluran limfatik untuk hampir seluruh anatomi hidung-vestibulum dan daerah prekonka Hilger, 1997. Jaringan limfatik posterior menghubung mayoritas anatomi hidung, mengabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang - saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustakius, dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustakius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna Hilger, 1997.

2.1.5 Suplai saraf

Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penciuman divisi oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik lainnya, saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada hidung luar, dan sistem saraf otonom. Yang terakhir ini terutama melalui ganglion sfenopalatina, tujuan untuk mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, dengan demikian dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembaban aliran udara Hilger, 1997.

2.2 Fungsi sinus paranasalis

Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal, namun belum ada bukti yang sesuai untuk membuktikan teori tersebut. Antara teori dikemukakan ialah: Menurut Maqbool 2001, sinus paranasalis berfungsi sebagai: 1 pengatur kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara yang diinspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung; 2 membantu untuk keseimbangan kepala dengan mengurangi berat tulang muka. Namun begitu, teori menunjukkkan bahawa jika sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberi pertambahan berat sebesar 1 dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna; dan 3 sebagai resonansi suara, sinus berfungsi sebagai rongga untuk menambahkan resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada yangberpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Menurut Soetjipto dan Mangunkusumo 2007, sinus paranasalis berfungsi sebagai: 1 penahan suhu buffer yang melindungi orbita dan fosa serebri dari rongga hidung yang berubah-ubah. Namun kenyataannya sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ- organ yang dilindungi; 2 sebagai peredam perubahan tekanan udara, bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya waktu bersin dan beringus; dan 3 untuk memproduksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasalis sedikit jumlahnya jika dibanding mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang masuk melalui udara.

2.3 Fisiologi sinus paranasalis