Latar Belakang Masalah Didong: Ekspresi Identitas Etnik Masyarakat Gayo di Medan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Seni lebih dimengerti ekspresi manusia, sebagai ungkapan bathin, sebagai upaya untuk menampilkan diri agar manusia men-dunia. Bagaimanapun manusia hidup di dunia ini senantiasa berupaya untuk bereksistensi mengekspresikan diri dalam hidupnya. Dengan senilah diri manusia dapat termanifestasi sehingga dirinya “meng-ada” di dunia ini. “Aku” meng-ada di dunia melalui aktifitas seni. Itulah upaya manusia untuk mengungkapkan dirinya, untuk memanusiakan dirinya, sebagai makhluk Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, 1993. Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia mempunyai kesenian yang mereka wujudkan dalam berbagai bentuk, seperti tarian, ukiran, lukisan dan lain sebagainya. Banyak kesenian yang sudah mulai hilang bahkan yang ada terlupakan, terutama kesenian tradisional atau kesenian alami yang belum mendapat “sentuhan” dari kesenian luar. Kurangnya kesadaran pemuda-pemudi untuk melestarikan kesenian tradisional kampung halamannya juga merupakan salah satu faktor mulai hilangnya kesenian tersebut. Seni merupakan keahlian dan keterampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan hal-hal yang indah serta bernilai bagi kehidupan baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat umum Ariyono dalam kamus Antropologi, 1985:368. Kesenian yang ada di Indonesia, adalah suatu keindahan dan keterampilan yang mempunyai fungsi dan tujuan pada suatu masyarakat. Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, sebagai satu bagian penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri Umar Kayam, 1981:38-39. Universitas Sumatera Utara “Didong” adalah suatu jenis kesenian yang dimiliki kelompok etnik Gayo. Dengan “Didong” orang-orang Gayo dapat mengekspresikan tingkah laku atau cara untuk mengatakan perasaan dari segala pikiran tentang pengalaman hidup dirinya, yang dilatar belakangi oleh kenyataan sebagai individu warga anggota kelompoknya. Jati diri seseorang anggota kelompok tersebut terbentuk sedemikian rupa karena hasil dari sebuah proses yang sangat mendasar, dan telah membentuk kepribadian, karakter sebagai akibat dari adanya interaksi, enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi di dalam kelompoknya. Mengkaji masalah ekspresi identitas diri suatu kelompok etnik merupakan masalah yang sangat penting di lingkungan masyarakat yang keadaannya plural, misalnya seperti di kota Medan. Dalam kehidupan yang serba majemuk seperti itu, biasanya masing-masing kelompok etnik berusaha mengekspresikan identitas dirinya sebagai bukti kehadirannya. Namun dalam proposal ini peneliti berupaya membatasi diri dengan memfokuskan perhatian pada seni “Didong” yang terdapat dalam kelompok masyarakat Gayo yang tinggal di kota Medan. Alasan penulis membahas seni “Didong’ sebagai upaya ekspresi identitas etnik masyarakat Gayo di kota Medan. Perantau Gayo adalah sebagai suatu masyarakat, sebagai suatu suku bangsa, mempunyai kebiasaan-kebiasaan, mempunyai adat istiadat, punya pola tingkah laku tersendiri, punya aspirasi, punya cita-cita tentang watak yang ideal, punya ciri khas, punya identitas. Dengan kata lain orang Gayo punya kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lain. Kebudayaan tersebut diekspresikan oleh masyarakat Gayo melalui berbagai, media dan diantaranya adalah melalui seni “didong”. Masing-masing kelompok etnik memiliki penanda-penanda identitas budaya yang berasal dari sebuah kekhasan sendiri. Penanda tersebut dapat berupa keyakinan Universitas Sumatera Utara seperti agama, bahasa, dan adat-istiadat tertentu. Seperti misalnya suku Melayu, mereka biasanya mengungkapkan identitasnya dengan warna kuning, pakaian adat yang khas dan lain-lain. Demikian pula bagi masyarakat gayo, mereka berupaya mengekspresikan kebudayaannya di kota Medab yang plural ini melalui kesenian “Didong”. Dalam kebudayaan Gayo sebenarnya kaya berbagai jenis kesenian misalnya yang terdapat dalam seni tari mereka, seperti tari guel, tari aman mayak turun kebelang, tari guru didong, tari bines. Seni ukir atau ragam hias, seni kerajinan, seni bangunan, seni sastra seperti bahasa bermelengkan, pepongoten. seni bahasa dalam meratap, saman Gayo, seni sa’er. M.Affan Hasan, 1980 ; 65. Semua macam jenis kesenian tersebut secara keseluruhan yang paling dikenal adalah seni ‘Didong” untuk pengembangannya tentu saja bukan hanya orang Gayo sendiri yang bertanggung jawab, tetapi juga termasuk tanggung jawab seniman, ilmuwan, pemerintah daerah dan pusat, masyarakat keseluruhannya dan juga organisasi kesenian yang ada. Didong Gayo biasanya dapat menonjolkan sifat khas atau identitas kebudayaan Gayo. Oleh karena itu, pengembangannya harus diarahkan kedirian yang karakteristik, kepribadian dan rasa kebanggaan orang Gayo tersendiri. Didong merupakan jenis kesenian yang didalamnya terdapat rangkaian perpaduan antara seni vokal, seni tari, dan sastra puisi. Ketiga unsur ini harus terjalin satu dengan yang lain. Biasanya pertunjukkannya secara berkelompok. Setiap kelompok memiliki anggota sekitar 25-30 orang. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertanding, antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Pertandingan itu berlangsung pada malam hari dan semalam suntuk, di mana masing-masing kelompok itu bermain secara bergiliran sekitar setengah jam. Permainan ini umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki saja yang sebagian besar golongan remaja. Namun sejak tahun Universitas Sumatera Utara 1970 sudah dimainkan juga oleh para gadis yang bertanding hanya sampai kira-kira pukul 24.00 saja Drs. M. Affan Hasan 1980 : 45. Didong merupakan salah satu dari sedikit gejala kebudayaan atau bentuk kesenian Gayo, yang cukup kuat bertahan, sekaligus barangkali menjadi unsur identitas terakhir yang bisa menjadi pengenal diri etnik Gayo. Eksistensi kebudayaan Gayo yang terseok-seok, namun dengan Didong justru tampil dengan suara lantang, meskipun kadang-kadang terdengar sebagai ratap nurani yang serak. Menurut catatan Prof Dr M Junus Melalatoa Dalam Prof. Drs. Gustami, 2006 : 60 fungsi seni “didong” yaitu : 1. Seni Didong berfungsi untuk mengisi kebutuhan untuk menyampaikan pesan estetika, keindahan dan juga hiburan. Ketiganya bisa ditemukan dalam seni karena disitu ada lirik, melodi dan juga gerak tari yang begitu indah dan serasi. 2. Berfungsi mempertahankan struktur social. Didong pada masa lalu sebuah perumusan adat yang menghidupkan denyut kehidupan klen belah. Sedangkan klen atau belah itu sendiri adalah merupakan struktur social yang penting bagi masyarakat Gayo. 3. Berfungsi sebagai pelestari sisitem budaya. Pudar dan berubahnya sistem budaya Gayo seperti nilai harga diri, disiplin, halus, santun kreatif tolong- menolong, ketertiban serta menghargai kualitas dan lainnya. 4. Berfungsi sebagai sumber pengumpulan dana bagi pembangunan misalnya masjid atau sarana ibadah, gedung, sekolah, jembatan dan lain. 5. Kesenian Didong menjadi sarana sebagai alat control social. Didong merupakan arena pergulatan rasa, keimanan dan pikiran “kritis”. Universitas Sumatera Utara 6. Didong menjadi wahana penerangan yang efektif bagi masyarakat terutama di pedesaan. Didong adalah seni rakyat yang sangat digemari oleh rakyat Gayo. Pertunjukannya di lakukan oleh suatu kelompok yang terdiri dari 25 hingga 30 orang yang duduk dalam suatu lingkaran dan menyanyi bersama tentang berbagai macam persoalan ; sejarah local, legenda, kejadian sekarang, penerangan pemerintah daerah, nasihat untuk anak muda, dan juga sindiran-sindiran. Umar Kayam, 1984 : 25. Seperti kebanyakan kesenian rakyat, seni “Didong” adalah kesenian yang telah lama terdapat pada masyarakat Gayo, diduga telah dikenal dan berkembang sejak sebelum masuk Islam di daerah Gayo. Populasi para perantau Gayo di kota Medan pada mulanya dapat dikatakan relative kecil, namun semakin bertambah dari masa ke masa. Berbagai komunitas orang Gayo di kota Medan berupaya membentuk suatu perkumpulan atau paguyuban, seperti paguyuban yaitu KGSU, IMTA. Keluarga Gayo Sumatera Utara, Ikatan Mahasiswa Alas Tengah. Sehubungan dengan berkembang jumlah populasi orang Gayo di kota Medan, seni “didong” pun pada masa ini merupakan hiburan yang wajib bagi masyarakat Gayo. Selalu pula diadakan pertunjukkan maupun pertandingan semalam suntuk, dan dikenal dengan nama “ Didong Jalu”. Kegiatan tersebut dipadukan pula seiring perkembangan teknologi moderen, yaitu dengan memakai teknik studio rekaman. Sehingga, banyak seniman Gayo yang muncul kepermukaan dan membuat kaset rekaman walaupun secara amatiran. Dengan kata lain belum mereka kelola secara profesional, karena belum memakai konsep studio yang mampu memberikan hasil maksimal terhadap apa yang mereka berikan kepada publik pendengar. Universitas Sumatera Utara Mengapa seni “Didong” justru dapat berkembang dan tumbuh subur pada masyarakat etnik Gayo yang tinggal di perantau? Pada hal di daerah perantau penuh dengan berbagai persaingan hidup. Berdasar latar belakang tersebutlah, peneliti berupaya mengungkap lebih dalam mengenai kehidupan komunitas etnik Gayo yang berada di kota Medan, dengan fokus perhatian terhadap seni “Didong’ sebagai media ekspresi dalam kondisi hidup dirantau.

1.2. Perumusan Masalah