Analisa Data Sejarah Suku Bangsa Gayo di Medan

dilakukan terhadap informan biasa sedang ada acara halal bihalal. Kedua wawancara diatas tadi akan di dukung pula oleh alat-alat pengumpulan data lainnya seperti alat perekam, kamera sebagai dokumentasi

1.8. Analisa Data

Pada tahap ini, peneliti memeriksa ulang kembali data untuk melihat kelengkapan data. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis secara kualitatif. Data yang dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara disusun sesuai dengan sistematika penulisan. Tahap pertama yang dilakukan di dalam menganalisis data yang sudah di dapat dilapangan adalah mengumpulkan data yang sejenis kategori-kategori yang telah di tentukan pengklasifikasian data yang sejenis. Setelah dilakukan pengelompokan maka si peneliti memeriksa kembali dan mengelompokan kedalam kategori yang lebih kecil sehingga peneliti lebih mudah menuliskan data yang sudah di dapat. Universitas Sumatera Utara BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT GAYO DI MEDAN

2.1. Sejarah Suku Bangsa Gayo di Medan

Sebagai kelompok orang yang membatasi identitas budayanya, suku Gayo pasti memiliki cara hidup yang berbeda dengan suku lainnya. Sebagai suatu pengetahuan kebudayaan itu berarti pemahaman terhadap diri sendiri dan hubungan dengan masyarakat luas berdasar pengetahuan masa lampau dan masa kini. Secara individual kebudayaan berarti segenap perwujudan dan keseluruhan dari hasil pikiran logika, kemauan etika dan perasaan estetika dalam rangka pembangunan kepribadian manusia, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Seperti dipaparkan dalam gambaran umum masyarakat gayo di Medan. Kehadiran kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, sesuai dengan berkembangnya daerah ini menjadi kota yang dinamakan “Medan” yang lahir pada 1 juli 1590, sampai saat sekarang ini usia kota Medan telah mencapai 418 tahun. Kelompok etnik Gayo daerah asal adalah di bagian tengah atau pedalaman dari wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Wilayah asal orang Gayo ini biasa disebut Dataran Tinggi Gayo, yang merupakan bagian dari tali-temali Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Pada era tahun 1950 datang merantau kehadirannya di Medan dan meninggalkan Kota Takengon, Aceh Tengah yaitu Dataran Tinggi Suku Gayo dengan tujuan adalah melanjutkan pendidikan di Kota Medan. Sekitar tahun 1953 beberapa orang diantaranya yaitu bapak Usup Rawakil sekarang pensiunan Dosen Ikip dan Universitas Sumatera Utara bapak Alm H. Daut SH, jadi begitulah seterusnya dari tahun ke tahun terus bertambah. Setelah tahun 1960-an baru nampak penambahan orang Gayo di perantauan di Kota Medan, terutama pada akhir 1960-an, 1967, 1968-an dan seterusnya. Pada tahun 1970 paling banyak orang Gayo berdatangan di Medan. Menurut informan bapak Amir, “Saya datang ke Medan dulu memang merantau untuk sekolah pada tahun 1960 di saat – saat orang kita di Takengon khususnya orang Gayo umumnya masyarakat Aceh. Di daerah Aceh sana dalam keadaan situasi perang sodara yang disebut dengan dulu adalah Derma DI itukan antara kita-kita saja bangsa Indonesia, kemudian situasi masuk DOM. Jadi situasi disana itu pada tahun 60-an memang daerah takengon dalam keadaan tidak aman, sulit keluar daerah sana. Maka waktu itu seluruh orang terutama pelajar-pelajar atau mau mahasisiwa keluar dari sana itu, seperti benang keluar dari puting jarum kesulitan terpaksa melalui dengan konvoi tidak ada kendaraan khusus untuk bisa keluar. Memang sangat sulit sekali tapi karena memang minat sangat besar untuk melanjutkan pendidikan yang direstui atas berkat doa oleh orang tua maka saya keluar dengan beasiswa dari Ajmatulsiyaah dulu di takengon dan melanjutkan aliyah di jln ismaliyah di Medan. Dalam keadaan waktu itu selain keamanan tidak mengijinkan, ekonomi pun sangat sulit. Pada waktu itu kami tamat dari sanawiyah hanya 2 orang yaitu bapak Drs. Amiruddin Ibrahim dan satu lagi M. Usup Saat dari rongah dan terus ke Medan memang pada waktu itu kalau dari takengon hitungan konvoi-konvoi bawa kopi untuk dijual oleh militer dan harus dikawal karena dari DITII itu menjaga di Km 35 untuk minta bea cukai dan takut diambil oleh DITII. Padahal Setiap hasil bumi harus ada cukai kepada mereka. Pemerintah daerah untuk jangan terganggu dan dikawal oleh Militer beberapa lebih dari 10 truk sampai ke biruen aman tidak apa-apa karena DITII tidak mengganggu hanya minta cukai km 35 batas Takengon sampai ke Bireun perbatasan dan hanya minta bea cukai. Sampai ke Biruen naek kreta api masih aktif. Akhirnya sampai datang kemedan dan sampai datang kemedan kami dapat surat dari mukim di Bintang dapat surat tidak mampu dari orang tua dan Usup Saat dapat surat tidak mampu dari orang tua. Tempat pertama langsung tempat ke asrama KGAAT sekarang, dulu dapur menjadi asrama, kantornya KGAAT Keluarga Gayo Alas Aceh Tengah organisasi orang Gayo, Takengon, Kotacane,dan belangkejeren, dulu di gabung. Orang tua dari ketiga daerah ini dulunya menjadi satu belum ada pemekaran seperti sekarang masing-masing, KotaCane menjadi kabupaten, Belangkejeren belum pemekaran. Orang tua dulu yang dapat dari sini yaitu orang tua M.Saladin, orang tua Abd Zalil Nuh, orang tua dari Gayo Lues yaitu Awan Guru Universitas Sumatera Utara Gayo, dia adalah guruh dukun besar, Alm Abdul Raub Burhan, dan kemudian yang muda-muda waktu itu dulu sekolah di UISU, USU, UNIFA, dulu UMSU belum ada. Muda muda mahasiswa yaitu mahasiswa abdul Zalil marga Bujang di takengon, Abd Latif, M.Awe, Alm Ismail Sadin waktu itu masih mahasiswa, Abd Ibrahim Ladang, M.Saleh Ariga dulu menjadi pedagang, tokoh orang Gayo yaitu Abd Rahman Toiren, Siti Maryam, Abdul Rahim Armada, lukman ini kuliah UISU aktif dan dia tinggal di asrama dari lelungi terakhir menjadi militer pengawal Istana Soekarno kebanggaan orang Gayo dan kemudian tidak ada kabarnya semenjak G30SPKI. Abd Rahim Armada sebagian tanahnya sebagian dibeli oleh Drs. Rizal adalah yang membeli tanah di asrama di KGAAT, dan kemudian abg. Ceh didong yaitu Alm. Keh Druh dulu sudah lama tinggal di medan dan sangat sulit kehidupan hanya tukang becak dan ada ahli lain adalah melukis, Mayor Sahadat yang menjadi bupati kotacane sekarang. Orang-orang tua dulu yang saya ketemu pada tahun 1960 dan mereka sangat kompak orang-orang tua ini selalu bertemu di Asrama dulu kantor tapi sekarang menjadi asrama, dan mereka suka olahraga mulai yang tua ampe yang muda. Kegiatan yaitu berkumpul, kepentingan kegiatan sosial dan menggiatkan olahraga. Pada waktu tahun 1960 saya langsung masuk Al Wasliyah di aliyah dengan Usup saat, Mas Niar dan waktu itu pada tahun 1960 dan biaya sekolah sangat sulit untuk kiriman melalui konfoi-konfoi itu 2 minggu sekali kadang sebulan, kira-kira 10 truk baru bergerak dari takengon bergerak ke Biruen jadi memang sulit transportasi dana dari sana pun sulit, maka waktu itu saya dapat beasiswa dari asnawiyah saya sendiri hanya Rp.150,000 pada waktu itu sangat bagus sekali, Rp.5 pun berguna Kemudian tahun 1960 sampai dengan tahun 1964 dan tahun 1964 tamat waktu itu saya juara no 9 dari seluruh Sumatera Utara, dan kawan saya waktu tidak lulus yaitu M.Usup saat.. Saya lulus ujian umumnya no 9 yaitu bebas pendaftaran dan untuk seterusnya saya sangat sulit ekonomi tidak mampu untuk meneruskan kuliah di UNIVA tahun 1964 dan 1965 kemudian saya diajak oleh T. Abd Latif Rusdi untuk tinggal bersama dia mulai dari kelas 2 smeali sampai tamat, sejak itu saya sebagai anak angkat tinggal bersama beliau. Dari itu saya mulai lumayan tidak perlu mikir makan, sudah tinggal tempat bersama orang tua jadi buku-buku yang kami kerja kesana-kemari cari pertama kami cari kerjanya harga buku saja yang kami cari dulu untuk mencari itu kerjanya nomor satu nanam ubi, dulu waktu itu tanah lalang, kemudian mulai berani keluar dari asrama dan menjadi kerja di industri kecil-kecilan orang membuat kuali menggoreng dibuat dari dari drum itu dulu dipinggir sungai mati pengkuburan ketepi, kami rajin dan tidak pernah mengenal lelah,dan dianggap jujur dan lama itu dulu kerja membuat kuali dari drum, kemudian diratakan dan dipukul baru digunting itulah kerja membuat kuali dari drum, kami belum diberikan mengukur kecil dan ada lebar, jadi kami betul-betul kerja kasar kira-kira tahun 1964 sampai 1965. Sebelum tahun 1964 kami masih nanam ubi di asrama. Jadi memang kehidupan dan biaya pendidikan itu memang nol dan kiriman dari maka ekonomi pun sulit dari takengon. Universitas Sumatera Utara Kami tidak mencari membuat kuali lagi dan jadi kami buat ring itu lah kerja mengupah, memburuh terakhir membuat batu bata di amplas dan itupun sesudah gali tanahnya kami pake roli dari kreta dan terus pembuatan tradisional betul-betul dan dipijak dari kerbau dan sesudah mengangkat tanah baru kami diizinkan mengambil batu bata dan sesudah siap dan dari seribu batu harga Rp.150 dan kemudian selain kami datanglah untuk ronde dari takengon amir amsar tahun ke 2 dan kebetulan belajar dikuliah. Waktu itu masih kami yang boleh masuk asrama dan tidak boleh sembarangan masuk ke sana maka kami bersih-bersih asrama itu. Pada tahun 1965 kami masuk kuliah di UNIFA kuliah itupun kulaih bukan dikirim dari sana dan waktu itu sudah banyak masuk di asrama dating tetapi kami di asrma itu dalam keadaan sekarang yaitu ekonomi. Pada tahun 1965 memang ekonomi sangat sulit sekali dari takengon dan kami dulu tidak makan nasi dan kami makan tidak semua. Ada orang bikin pecel dan sesudah makan ubi. Sudah biasa makan pecel dan ubi digoreng dan di kopek-kopek masuk dalam piring dicampur pake air panas dan itulah ganti nasi dan itulah ampe 3 bulan. Sudah aktif kuliah dan kemudian masuk organisasi HIKMA secara eksternal dan internal di sub rayon pasar merah timur sebelum meletus 30 SPKI dan sesudah meletus aktif saya mengikuti kesatuan AKSI sampai Gang kolam. Saya ketua HMI komandan pasukan untuk membersihkan PKI dan saya terus diangkat unsur HMI di cabang Medan dan kuliah menjadi tidak aktif. Berdasarkan kesatuan AKSI itu saya pergi terus ke semarang, Aceh, Padang, Jakarta kami dipercayai memegang senjata tidak sembarangan. Militer mendukung oleh Aksi kuliah maka kuliah pun tinggal karena sibuk. Alih Surahman nama organisasi partai Soekarno dan aktif terus dan waktu itu saya sudah ketuai unsur organisasi tersebut. Tengku Amin dibawah saya masuk kuliah dan akhirnya saya tingkat 2 kami menyatu gabungan dengan bawahan dan saya cepat menyelesaikan kuliah jangan aksi diluar kembali aktif dikampus kembali. Sesudah itu Tahun 1965 sampai 1968 saya belum aktif saya da mulai mengikuti semester dan 1968 , 1970 baru saya sarjana di UNIFA muda tetapi saya menunggu persetujuan oleh Menteri Agama atas nama Ujian Negara baru sarjana Muda Negeri pada tahun 1975 sarjana lengkap dan mendapatkan sertifikat 2 sebelum saya sarjana negerinya saya mulai pegawai Negeri mengikuti Testing UGA ujian guru agama itu yang diambil tamat SD pangkatpun 1 A dulu pangkat istilah BB. Cepat guru pegawai negeri guru SD dulu Ijazah gak ada dan menjadi guru agama SD. Sesampai Pada 1971 ampe 1973 saya guru. Pada tahun 1973, 1974 saya pindah menjadi pangkat 2 A tamat SMA hitung disitu tamat SMA di pengadilan Agama Sari’ah. Maka saya berkarir di pengadilan agama sebagai Panitra tahun 1975 saya ketua sampai dibuta kantor Turi. Itulah karir dalam Pegawaian sampai pensiunan tahun 2004 bulan Desember jadi Hakim. Berkarir dalam pendidikan pada tahun 1971, pindah pengadilan agama sampai seterusnya ampe panitra, sampai tingkat 1 pengadilan agama Medan belum sampai pengadilan tinggi masih ketua sampai pensiun. Itulah peristiwa zaman sebagai orang Gayo transportasi dalam perang datang ke medan pada tahun 1960 dalam keadaan sulit.” Universitas Sumatera Utara Menurut informan bapak Hasan: “Pertama-tama dari tamatan SLTA melanjutkan kuliah di Medan pada tahun 1973 pada tahun tersebut di takengon tidak ada fakultas yang tersedia di sana. Akhirnya mau melanjutkan pendidikan terpaksa merantau ke Medan dan mau meneruskan pendidikan di Medan. Tujuan pertama merantau ke Medan yaitu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Tahun 1976 memiliki bangunan rumah sendiri di medan. Pada umumnya perantau orang Gayo datang ke Medan yaitu pendidikan setelah itu melanjutkan pekerjaan sebagai Guru, Pegawai Negeri dan setelah merasakan nyaman tinggal dimedan akhirnya saya merasakan kehidupan di kota Medan aman dan hidup di sini. Kalau dulu Takengon tidak mau kembali Takengon misalnya mau kuliah di medan dibandingkan di Takengon menjadi petani. Pada waktu itu kalau melanjutkan pendidikan bukan hanya di medan saja tapi sebagian ada juga kuliah di Banda Aceh. Sebelum 1970-an ekonomi masyarakat Aceh Tengah paling-paling hanya punya 70 persen mengkuliahkan anaknya seperti membayar buku, membayar kuliah.” Menurut Informan bapak Mansuriah: “Datang ke Medan pertama-pertama bukan melanjutkan pendidikan tetapi melanjutkan usaha dan menjadi wirausaha pada tahun 1980 dan untuk mengembangkan usaha, dan melihat situasi dan kondisi perkembangan kota Medan. Perputaran kabupaten berbeda di propinsi bandingnya 10 misalnya di takengon 100 juta kalau di medan 1 M maka menetap di kota, berbagai usaha di coba seperti bidang jasa, pengurusan STNK, makelar mobil, makelar hasil bumi, coklat, kopi, dan seterusnya ampe sekarang. Stuasi dan kondisi lebih menguntungkan karena prospek naek turun dalam pendapatan. Akhirnya saya berhasil dan saya mempunyai keluarga dan menjadi keluarga medan ampe sekarang. Apabila kangen dan rindu dengan keluarga di kampong paling-paling saya kembali sekali-sekali kalo punya rezeki melihat keluarga di Takengon dan seperti itu aja pekerjaan saya sehari-hari di Medan.” Menurut Informan bapak Amin: “Pertama kali saya datang ke Medan pada tanggal 20 Maret 1962 ada 4 orang datang ke Medan sesudah dari melanjutkan pendidikan di Takengon Sanawiyah slawiyah, salah satunya abdurahman sekarang sudah pensiun di Pondok baru. Kami dari Takengon ke Medan 2 malam pake konfoi sampai Takengon jam 7 berangkat sampai Loksmawe jam 6 sore, berangkat dari Loksmawe jam 7 subuh ampe kelangsa ampe jam 8 malam dan dari langsa berangkat pagi dari langsa sampai jam 1 malam ke medan situasi datang kemedan. Langsung ke asrama ada beberapa orang tinggal di Universitas Sumatera Utara asrama kira-kira 10 orang. Langsung kami daftar sekolah di smaliyah tujuan pertama dari takengon melanjutkan pendidikan, Maklum zaman dulu sekolah gak ada dan masuk smaliyah selama 3 tahun. Keberangkatan kami ke sana situasi masih situasi di hampir konflik sampai sekarang makanya kami dijalan agak payah, pemeriksaan segala macam, situasi sekolah waktu itu tidak sama dengan sekarang kalo kami minta belanja dulu dari takengon 2 bulan baru sampai dan bergabung dengan bapak dengan pak. Amir kalo pak. Amir tahun 1961 kalo saya 1962 sama-sama sekolah di Medan. Kegiatan setahun agak penyesuaian barulah situasi ekonomi maka kami cari tempat mengajar dan pindah-pidah sampai 6 kali disamping itu karena ekonomi juga sehingga kami kadang-kadang pagi sekolah dan sore kami cari kerja bangunan kami bermalam simpang amplas bawa kelambu dan pake lampu teplok tapi kami tidak lupa bawa buku baca terus itulah situasi dulu. Waktu itu ampe kami gak makan karena waktu itu gak makan bukan apa-apa karena pembangunan Ganipo sekarang inilah Gelora Bung Karno jadi makan dikirim semua dari pusat, beras segala macam dan akhirnya orang daerah makan jagung kami gak sanggup makan jagung karena ekonomi gak ada akhirnya selama 15 hari gak makan. Kegiatan dulu kami olahraga gak ada bukan zaman sekarang dan kalo saya hanya mengikuti drama, tari. Pada tahun 1964 masih situasi politik yaitu PKI, TNI, NU segala macam kebetulan waktu itu ada wartawan namanya Pak. Amanteran dikompaki ma anak-anak asrama jadi akhirnya kami ikutlah mengadakan tarian Gayo yaitu sambrume, temasuk kak. Maryam yang terakhir kami mengadakan tarian untuk perpisahan Kolonel Jamin Ginting mau pindah kejakarta waktu itu di Gubernuran Menari diambil 3 daerah Kotacane, Belangkejeren, Takengon sampai kami kegiatan-kegiatan TNI kami m,asih ikut, situasi kurang mendukung mulai kami memisahkan sama Pak Amir tinggal 3 bulan di asrama, karena kami gabung dengan organisasi HMI, 3 bulan kami di HMI barulah kegiatan 30 SPKI pada tahun 1965 kegiatan menari, kami sering gak di asrama dan jaga di UNIVA, kalo dikampus masih enak ada hubungan dengan KOAND angkatan Bersenjata masih pada tahun 1965 pas waktu kejadian PKI dan setelah itu kami mengupas PKI mereka dibelakang dan kami di jaga. Kami memisahkan TNI diri dan gabung sama HMI pada 11 September. Jam 4 pagi ada kegiatan pusat saya sendiri sasaran untuk dibunuh PKI saya termasuk no 11 daftar yaitu pak. Amir kebetulan jam 2 malam ada Kapten Jafar kalo jam 1 malam diketuk di asrama dan keluar mengikuti pak Jafar menjaga keamanan dan jarang tidur kadang-kadang di UNIFA, rumah dosen. Pak Karim jaga labuhan kepolisian dan hampir kami kecolongan sama Gerwani bagian wanita. Kode orang itu susah mana- mana tempat tabu itulah kode gambar PKI orang itu daerah tempat menyembunyikan gambar-gambar. Sesudah kejadian waktu itu kami di terus di UNIVA tempat kami kulah berbeda dengan sekarang, kami mengambil kuliah bukan kayak sekarang seperti menyusun skripsi tapi rata-rata teman-teman tidak lulus kuliah, akhirnya kami menganggur selama 1 tahun tahun 1966 datang DEPAG Departemen Agama tidak Universitas Sumatera Utara ada testing. Pada tahun 1977 dipanggil dengan kuliah sambil ngajar dan barulah tgl pada tahun 1988 baru slesai kuliah S1. akhirnya saya melanjutkan pekerjaan dan tahun 2004 saya bermasalah dengan pegawaian dan mengurus dengan buk megawati keluar amnesti. Ternyata saya sudah diberhentikan dengan pegawaian karena tidak ada penjelasan dan sampai sekarang tidak melanjutkan pekerjaan lagi.”

2.2 Lokasi Penelitian