Didong Didong: Ekspresi Identitas Etnik Masyarakat Gayo di Medan

BAB IV Didong, Ekspresi seni masyarakat Gayo

4.1. Didong

Didong seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, maka dapat dikatakan dengan singkat bahwa Didong adalah suatu media dakwah pada awalnya yang berkembang menjadi kesenian masyarakat Gayo. Sebagai suatu bentuk kesenian yang merupakan bagian dari tujuh unsur kebudayaan sebagaimana yang dituliskan koentjaraningrat bahwa unsur kebudayaan ada tujuh bagian, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi, agama, sistem mata pencaharian, kesenian, koentjaraningrat, 1996: 80-81, maka Didong sebagai suatu bentuk kesenian memiliki suatu bentuk ekspresi seni masyarakat Gayo, ekspresi dalam tulisan ini merujuk sebagai suatu wujud kesenian yang dapat menjadi milik masyarakat Gayo secara bersama Komunal. Didong merupakan salah satu dari sedikit gejala kebudayaan atau bentuk kesenian Gayo, yang cukup kuat bertahan, sekaligus barangkali menjadi unsur identitas terakhir yang bisa menjadi pengenal dari etnik Gayo. Eksistensi kebudayaan Gayo yang terseok-seok, namun dengan Didong justru tampil dengan suara lantang, meskipun kadang-kadang terdengar sebagai ratap nurani yang serak. Kesenian Gayo sebagai salah satu unsur kebudayaan Gayo, harus dapat menonjolkan sifat khas atau identitas Gayo, pengembangannya harus diarahkan kedirian dan karakteristik, kepribadian dan rasa kebanggaan orang Gayo. Dengan demikian kesenian Gayo dapat menjadi suatu puncak kesenian daerah dan dapat merupakan sumbangan utama dalam unsur kesenian dan kebudayaan nasional. Karena itu pula kesenian daerah harus dilihat dalam kaitan kebudayaan nasional, sehingga prinsip Bhineka Tunggal Ika, menjadi jelas. Universitas Sumatera Utara Seni Didong memang telah menyusup dalam darah, daging, tulang dan seluruh tubuh anak muda dan tua, Didong telah terhujam dalam di lubuk hati setiap lelaki dan wanita, Didong telah menyelinap di relung dada setiap anak remaja. Seperti penuturan salah seorang informan yang bernama bapak Hamid 40 Tahun yang didapat dari hasil wawancara dia bercerita dalam seni Didong: ”Didong adalah termasuk seni suara, bukan seni lukis, seni pahat, karena itu syarat-syarat seni suara harus ada. Lain halnya dengan saman Gayo dan Seudati yang menampilkan unsur gerak atau tari sedang Didong lebih ditekankan pada isi syairnya. Dalam yang bertanggung jawab dalam pengembangan seni Didong adalah seluruh masyarakat Gayo. Didong kaset, Didong Di TV, dan Didong di temapt- tempat pertunjukkan umum seperti di gedung-gedung remaja, adalah wadah yang dapat mengembangkan Didong secara positif.” Koentjaraningrat 1980: 193 mengemukakan bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yaitu : ide, perilaku dan kebendaan artefak, berkaitan dengan Didong sebagai ekspresi budaya maka dalam tulisan ini Didong digolongkan dalam bentuk perilaku yang dapat dijelaskan bahwa sebagai bentuk perilaku, Didong merupakan perilaku kesenian masyarakat Gayo yang muncul sebagai dari gagasan awal untuk berdakwah yang menjadi wujud kebendaan dalam hal ini alat-alat serta perlengkapan dalam penyelenggaraan acara yang menyertakan Didong didalamnya. Perubahan yang terjadi pada kesenian Didong selalu diikuti dengan perubahan pada fungsinya. Fungsi yang berubah pada kesenian ini adalah fungsi pertunjukkan dan fungsi sosial. Begitu juga dengan kesenian Didong yang terdapat di kota Medan, dengan berjalannya waktu juga mengalami perubahan. Menurut bapak Zainuddin ”Didong merupakan salah satu kesenian yang cukup di gemari oleh masyarakat Gayo. Didong berjalan sepanjang waktu. Dari waktu ke waktu Didong membenahi dirinya tampil dalam bentuk ”menuju” atau menyesuaikan diri dengan dengan perkembangan zaman. Namun apapun kata orang, Didong merupakan aset daerah, yang sesungguhnya perlu ditampilkan di pentas-pentas nasional.” Universitas Sumatera Utara Dari penjelasan bapak Zainuddin tentang kesenian Didong pada zaman dahulu dan sekarang ini merupakan dari hari ke hari mutu Didong perlu di pertinggi. Agar ditingkatkan juga orang luar Gayo, maka ia harus ditampilkan dengan baik, indah, elok sehingga menarik para penonton. Dengan kata lain, Didong perlu terus menerus membenahi diri paling tidak dalam tiga hal yakni serasi dalam peragaan, serasi dalam irama, dapat dirasaka Didong merupakan kesenian Gayo secara tradisional, pada umumnya orang Gayo mengenal kesenian Didong sebagai wahana untuk mengekspresikan suatu ungkapan yang bersifat pendidikan, sosial dan budaya. Di samping itu kesenian Gayo tradisional sampai saat ini di lestarikan sebagai hiburan, rakyat, menceritakan rakyat yang bersifat historis. Di mana orang Gayo bisa interaksi melalui kesenian ini di adakan di pentas, gedung-gedung, adat perkawinan sinte murip. Tetapi daerah asal seperti Takengen kesenian Gayo di meriahkan meruapakan media, hiburan, untuk hari-hari besar, ulang tahun kemerdekaan, dll. Didong Jalu Didong Laga selalu dipersembahkan oleh dua penutur Guru Didong berasal dari dua kampung yang berbeda. Persembahan Didong Jalu selalu di adakan pada acara perkawinan, sunat rasul, acara hala bihalal. Persembahan di mulaikan setelah sholat isya’ dan sampai sebelum sholat shubuh lebih kurang sembilan jam. Dalam Didong Jalu terdapat lima tahap yaitu tidak boleh di pisahka-pisahkan. Ia harus dipahami secara menyeluruh, karena satu bagian dengan bagian lainnya memiliki hubungan kait. Oleh itu, dalam pemahaman pun tetap harus bersatu antara satu dengan bagian yang lainnya. Karya sastera seni satu dunia yang padu, merupakan susunan elemen-elemen, sehingga menjadi satu keseatuan yang harmonis. Universitas Sumatera Utara James Dananjaya, 1984; 3-4, berpendapat ciri-ciri folklore adalah sebagai berikut: • Penyebaran dan pewarisannya selalu di lakukan secara lisan, yakni di sebarkan melalui tutur kara daripada mulut ke mulut atau dengan contoh yang disertai dengan gerak dan alat bantu pengingat dari pada generasi ke generasi berikutnya. • Folklore bersifat tradisional, yakni penyebarannya cukup lama atau menimum berlangsung pada dua generasi • Dalam cerita folklore terdapat versi-versi dan variasi, yakni cerita yang berbeda menurut tempat dan masa. Hal ini disebabkan oleh cara penyebarannya melalui mulut ke mulut lisan, bukan melalui cetakan atau rekaman. Oleh itu, proses lupa atau interpolasi interpolation, boleh dengan mudah mengalami perubahan. Walaupun demikian, perbedaan hanya terletak pada bagian luarnya saja, manakala bentuk asasnya boleh tetap bertahan. • Folklore bersifat anonymous, yakni nama pengarang sebenar tidak boleh diketahui. • Folklore mempunyai fungsi pada masyarakat yang memilikinya secara kolektif. • Folklore bersifat pralogik, yakni mempunyai sifat yang logik sendiri yang berbeda dengan logik yang berlaku secara alami. • Folklore menjadi milik bersama daripada kolekti tertentu. Ini disebabkan oleh penciptaan pertama tidak diketahui lagi. Oleh itu, setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. Universitas Sumatera Utara • Folklore pada bersifat polos dan lugu. Oleh itu, sering sekali terasa lemah, spontan dan kasar. Ini boleh dimengerti karena folklore merupakan pengungkapan seni oleh manusia yang paling jujur. Berdasarkan uraian di atas terdapat bahwa Didong Jalu di adakan di Medan boleh disebut sebagai karya sastera tradisi lisan karena Didong Jalu mengandungi ciri- ciri tersebut. Pertama, Didong Jalu dipersembahkan secara lisan, yaitu cerita di dendangkan oleh kedua-dua Guru Didong secara bergantian. Pada bagian tertentu kedua-dua Guru Didong secara bergantian. Pada bagian tertentu kedua-dua Guru Didong melakukan gerak-gerak tertentu pula. Misalnya pada bagian batang kedua-dua Guru Didong berjalan bolak-balik di atas papan persembahan. Pada bagian niro ijin ke dua Guru Didong berdiri berhadapan dan melakukan gerak maju dan mundur. Kedua, cerita Didong Jalu tumbuh dan berkembang sudah berlangsung lama di masyarakat Gyao di perantauan. Menurut sejarah Didong Jalu sudah berkembang di dataran tinggi Gayo sejak masuknya ajaran Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Agama Islam masuk ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada abad ke 7 M. Kira-kira 40 tahun selepas Nabi Muhammad s.a.w. wafat. Ketiga, cerita Didong memiliki versi-versi dan variasi. Versi Didong Jalu ada dua macam : yaitu Didong Gayo Lut dan Gayo Lues. Kedua-dua Didong ini berisi tentang mengadu ketangkasan antara satu Guru Didong dengan Guru Didong lainnya. Namun demikian, cara dan pola persembahan berbeda. Pola persembahan Didong Jalu seperti yang telah di sebutkan, manakala Didong Jalu Gayo Lut berpola persalaman, isi dan penutup. Pada bagian persalaman, isi dan penutup Guru Didong pada keadaan duduk dan menggerakkan badan ke muka dan ke belakang atau ke kiri dan ke kanan sambil bertepuk tangan. Universitas Sumatera Utara Keempat, pencipta Didong Jalu yang sebenarnya tidak boleh diketahui, karena Didong Jalu dituturkan secara lisan oleh Guru Didong terdahulu dan diturunkan daripada generasi ke generasi berikutnya melalui lisan. Oleh itu, Didong Jalu milik bersama masyarakat Gayo Lut. Didong Jalu yang digunakan untuk objek. Kajian ini merupakan seni ulang yang dilakukan oleh kedua-dua Guru Didong. Namun seni ulang tetap memiliki seni tersendiri yang berbeda dengan seni cipta yang pertama. Kelima, cerita Jalu didendangkan oleh kedua-dua Guru Didong melalui pola yang sama. Pola Didong Jalu itu dimulaikan dengan permulaan persembahan Didong tuyuh. Pada bagian ini kedua-dua Guru Didong masih dalam keadaan duduk. Cerita masih berisi tentang penghantar atau memperkenalkan Guru Didong yang akan tampil dalam persembahan. Pada bagian persalaman tabini Didong. Kedua-dua Guru Didong berdiri berdampingan dan cerita berisi tentang persalaman kepada para penonton persembahan. Pada bagan kesepakatan batang kedua-dua Guru Didong tentang kesepakatan kedua-dua Guru Didong tentang persembahan Didong Jalu pada bagian berikutnya. Pada bagian berteka-teki itek-iteken kedua-dua Guru Didong pada keadaan berdiri berdampingan dan cerita berisi tentang teka-teki yang sudah disepakati pada bagian batang. Kemudian cerita Didong Jalu ditutup dengan bagian mohon maaf niro ijin. Kedua-dua Guru Didong berdiri berhadapan sambil antara kedua-dua Guru Didong dan kepada para penonton persembahan. Perubahan fungsi dari kesenian Didong dapat dilihat dari waktu pelaksanaan dan tema isi cerita yang dibawakan. Pada saat sekarang pertunjukkan Didong diadakan pada event peristiwa internasional yang bertujuan untuk menjadi bahan politik atau hanya hiburan semata saja. Pertunjukan Didong mengandung pengertian yang berpusat pada nasehat dan larangan sehingga menjadikan pertunjukan tersebut sebagai kerjasama, menguatkan Universitas Sumatera Utara solidaritas sosial, interaksi antar masyarakat. Hal tersebut mengalami perubahan pergeseran karena adanya modernisasi yang menyebabkan perubahan arah pandangan hidup, yang semula melakukan pertunjukkan dengan kidmat dan menghayati kandungan nilai-nilai yang dijadikan secara biasa-biasa saja. Orientasinya dalam melakukan upacara sekarang hanya untuk mendapatkan imbalan atau upah. Ini dapat dilihat dari pertunjukkan yang diadakan oleh kelompok Didong yang mengadakan pertunjukan pada acara-acara seperti halal bihalal. Radcliffe-Brown 1965:192 memberikan pengertian tentang perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, yaitu : Kehidupan tidak bersifat statis seperti sebuah bangunan, akan tetapi bersifat dinamis seperti kehidupan struktur organik suatu kehidupan. Sepanjang kehidupan suatu organisme diperbarui; demikian juga halnya dengan kehidupan sosial manusia senantiasa mengalami pembaharuan struktur sosial. Oleh karena itu, hubungan nyata diantara manusia dengan kelompoknya selalu berubah dari tahun ke tahun, atau perpindahan; anggota yang lain meninggalkan komunitasnya karena mati atau berpindah ketempat lain. Ada perkawinan atau perceraian. Sahabat mungkin jadi musuh, atau musuh mungkin berdamai dan kemudian menjadi sahabat. Dari penjelasan diatas terlihat jelas bahwa perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial atau lebih khususnya di dalam pertunjukan Didong disebabkan adanya kelahiran-kelahiran atau terjadinya interaksi atau juga pembaruan masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Sama halnya pada pertunjukan Didong memperlihatkan perubahan dari waktu disebabkan oleh watak masyarakat yang mulai berubah, dikalangan pemuda-pemudi yang memperlihatkan kehidupan yang tidak sesuai dengan adat istiadat setempat dan kurangnya regenasi pembelajaran dalam melaksanakan pertunjukan Didong, dan sedikit dari mereka yang tidak lagi mengenal Didong sebagai suatu kesenian dari Didong yang merupakan kampung halamannya sendiri Universitas Sumatera Utara

4.2. Ekspresi Seni