Sejarah Didong Didong: Ekspresi Identitas Etnik Masyarakat Gayo di Medan

BAB III SENI DIDONG

3.1. Sejarah Didong

Didong merupakan salah satu kesenian yang berasaldari Aceh Tengah dan merupakan kesenian khas bagi masyarakat Gayo. Pertunjukan seni Didong pengembangannya arah kedirian yang karakteristik, dan menunjukan kepribadian dan rasa kebanggaan orang Gayo. Masyarakat Gayo sebagai suatu masyarakat, sebagai suatu suku bangsa, mempunyai kebiasaan-kebiasaan, mempunyai adat istiadat, punya pola tingkah laku tersendiri, punya aspirasi, punya cita-cita tentang watak yang ideal, punya hobby, punya ciri khas, punya identitas. Dengan kata lain orang Gayo punya kebudayaan dan kesenian tersendiri berbeda dengan suku bangsa yang lain. Kata Didong, berasal dari bahasa Gayo yaitu dari kata dik dan dong. Dik artinya menghentakkan kaki ke papan yang berbunyi dik-dik-dik. Kemudian dong artinya berhenti di tempat, tidak berpindah. Jadi kata Didong dapat diartikan bergerak menghentakkan kaki di tempat untuk mengharapkan bunyi dik-dik-dik. Bunyi dik- dik-dik selalu digunakan untuk menyelingi persembahan Didong. Didong adalah sejenis kesenian tradisional yang dipertandingkan antara dua Guru Didong yang berasal dari dua kampung yang berbeda. Persembahan dimulai setelah shalat Isya sebelum shala Shubuh, M.J.Melalatoa, 1985:71. Kata Didong menjadi nama kesenian tradisional orang Gayo berdasarkan cerita rakyat, asal-usulnya adalah Gajah Putih yang dikumpulkan dan dianggap sebagai penjelmaan seorang sahabat yang sudah mati. Ketika Gajah Putih ini akan dibawa ke Istana Aceh oleh orang-orang yang perintah oleh raja. Gajah Putih Universitas Sumatera Utara menghentakkan kaki ke tanah, sehingga menimbulkan bunyi dik-dik-dik. Namun demikian, ketika sahabatnya yang membawa, Gajah Putih itu pun dapat berjalan dengan sendirinya dan sampailah ke Istana Raja Aceh. Gerakan Gajah Putih yang menghentakkan kaki ke tanah dan menimbulkan bunyi dik-di-dik, selalu ditirukan oleh orang-orang yang melihat kejadian itu. Akhirnya kebiasaan tersebut dijalankan dan digunakan pada masa mereka merasa gembira atau pada masa menyampaikan amanat dan nasihat orang lain kepada anak, seperti pada masyarakat atau kepada siapa saja yang dianggap perlu untuk disampaikan. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut berlangsung sehingga kini dan disebut dengan tradisi lisan Didong Gayo. Didong Gayo dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, Didong Lut Laut. Didong Lut berkembang di Kabupaten Aceh Tengah. Didong Lut berbentuk puisi terikat. Isi Didong Lut tidak berhubung secara langsung dengan bagian lain. Oleh karena itu, dapat disampaikan bahwa Didong Lut seperti puisi yang didendangkan dan setiap puisi memiliki makna tersendiri. Kedua, Didong gayo Lues. Didong Gayo Lues berkembang di Kabupaten Aceh Tenggara. Didong Gayo Lues pada awalnya berbentuk prosa bebas dan hanya pada bagian tertentu saja yang disampaikan berbentuk puisi terikat seperti pantun. Isi cerita di dalam Didong Gayo Lues terhubung kuat antara satu begian dengan bagian lainnya. Didong merupakan hasil dan milik masyarakat Gayo. Didong merupakan gambaran dan pandangan masyarakat Gayo. Di dalam Didong selalu berisi tentang makna-makna atau nilai-nilai kehidupan budaya masyarakat gayo. Dalam Didong penuh dengan cerita mengenai manusia sebagai makhluk sosial, hubungan Universitas Sumatera Utara kekerabatan, strata sosial, dan lain-lain. Masing-masing kawasan mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri dan memiliki bentuk kemasan seni yang khas. Umur Didong sudah dalam kurun waktu yang cukup lama. Diduga sebelum Islam masuk, Didong sudah ada. Masyarakat Gayo di masa lampau hidup berkelompok-kelompok. Di setiap kampung atau desa terdapat beberapa belah atau suku. Belah atau suku itu merupakan kelompok-kelompok sosial yang membentuk suatu persekutuan. Pada masa lalu Didong merupakan satu “permainan adat” yang turut memberi denyut kehidupan klen dalam arti sebagai sarana pembudayaan enkulturasi, serta internalisasi nilai-nilai dan norma-norma adat. Dalam perkembangan berikutnya, Didong telah menerabas batas klen belah dan merambat antar-kampung yang mulai merebak pada periode awal 1940-an hampir kesemua daerah. Didong dapat dibagi tiga macam yaitu, Didong Alo, Didong Jalu dan Didong Niet. Pertama Didong Alo di persembahkan untuk penyambutan tetamu. Pada Didong Alo ini terdapat ucapan selamat datang dan ucapan terima kasih kepada tetamu. Didong Alo selalunya di adakan dari pihak tetamu dan bercerita secara bergantian serta menyampaikan mohon maaf atas segala kekeliruan dan kekurangan dalam persiapan penyambutan para tetamu. Kedua, dalam Didong Jalu terdapat lima tahap dalam persembahan, yaitu permulaan persembahan Didong tuyuh, persalaman tabini Didong, kesepakatan batang, berteka-teki itek-iteken dan mohon maf niro ijin. Setiap tahap memiliki perbedaan dengan tahap yang lain. Pada bagian Didong tuyuh terdapat penghantar. Pada bagian tabini Didong terdapat persalaman. Pada bagian batang terdapat kesepakatan antara kedua-dua Guru Didong. Pada bagian itek-iteken terdapat teka- teki. Pada bagian niro ijin terdapat ucapan memohon maaf. Universitas Sumatera Utara Ketiga, dalam Didong Niet menceritakan tentang apa saja yang telah di niatkan. Contohnya, keinginan suami isteri untuk mendapat anak, sama ada anak lelaki atau perempuan. Apabila keinginan tersebut di kabulkan oleh Allah s,w,t. maka Didong Niet pun dipersembahkan. Didon Niet ini berisi cerita tentang anak yang lahir karena di niatkan. Cerita di mulai dari pertemuan kedua-dua ibu bapanya, pada masa dalam kandungan, kanak-kanak, remaja, tua, bahkan sehingga kepada akhir hidupnya. Salah satu bentuk atau wujud kebersamaan itu ialah kegiatan dalam bidang kesenian. Kehidupan orang Gayo seperti juga kehidupan manusia dalam setiap kelompok, masyarakat, bangsa manapun, mempunyai kebudayaan, mempunyai kesenian dalam mengungkapkan rasa keindahannya. Pengungkapan rasa keindahan itu oleh orang Gayo ditampilkan dalam berbagai bentuk, seperti seni Didong dan seni tari. Dalam bentuk yang awal seni Didong dan seni tari ini merupakan hiburan di tempat-tempat perhelatan, dan menurut adat, yang boleh hanya laki-laki saja yang turut dalam seni Didong dan seni tari ini, sedang bagi wanita adalah tabu. Pengungkapan rasa keindahan bagi wanita Gayo diwujudkan dalam bentuk seni kerajinan, seni ukir atau ragam hias. Namun kini baik laki-laki maupun wanita sudah dapat tampil dalam berbagai wujud kesenian termasuk seni didong, seni sa’er, seni tari, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Walaupun terdapat beberapa jenis Didong, namun dalam hal ini dipersembahkan adalah Didong Jalu saja. Didong Jalu merupakan Didong yang paling lengkap dalam bahagian-bahagiannya. Bagian-bagian Didong Jalu yaitu permulaan persembahan Didong Tuyuh, persalaman tabini Didong, kesepakatan batang, berteka-teki itek-iteken dan mohon maaf niro ijin. Didong jalu ini masih bertahan dan dipersembahkan sampai sekarang. Didong dapat menjadi alat untuk menyampaikan amanat kepada para penonton. Misalnya, teka-teki pada Didong Jalu kedua-dua Guruh Didong saling bertanya dan saling menjawab tentang teka-teki mereka masing-masing. Teka-teki Guru Didong soalan tentang agama dan ada pula soalan tentang adat. Oleh itu, penonton dapat belajar sambil menonton persembahan Didong Jalu. Didong Jalu dan Didong Niet. Pertama, Didong Alo dipersembahkan untuk penyambutan tetamu. Pada Didong Alo ini terdapat ucapan selamat datang dan ucapan terima kasih kepada tetamu. Didong Alo selalu disambut kepada pihak tetamu dan Universitas Sumatera Utara bercerita secara bergantian serta menyampaikan mohon maaf atas segala kekeliruan dan kekurangan dalam persiapan penyambutan para tetamu. Isi teka-teki selalu berkaitan dengan hukum Agama Islam dan budaya suku Gayo. Dipersembahkan di atas sekeping papan supaya waktu menari boleh menghasilkan bunyi. Disamping itu sebagai penari mecoba membandingkan Didong gayo Lues dan Didong gayo Lut dari segi persembahannya. Dalam persembahan Didong selalu berulang-ulang soalan yang sama pada bagian-bagian yang tertentu dan bersifat dinamik pada bagian yang lain. Oleh itu, Didong Jalu boleh menjadi alat untuk menyampaikan amanat kepada masyarakat Gayo. Karya seni yang diciptakan seniman atau pengarang menjadi satu dunia yang fiksyen yang tersusun secara rapi dan teratur. Di dalam dunia fiksyen ini terjadi yang berhubung kait dengan kehidupan. Pengarang merekamkan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, namun pengarang sebagai anggota masyarakat memiliki pemahaman dan kajian terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan. Dalam bentuk yang awal merupakan kelompok-kelompok yang berasal dari satu belah atau suku. Anggota kelompok itu terdiri dari pemudabebujang yang terdapat dalam satu belah atau suku. Di antara yang paling disenangi dan paling sering ditampilkan oleh orang Gayo dalam saat-saat memeriahkan upacara-upacara maupun perhelatan ialah Didong ini. Universitas Sumatera Utara Dikutip dari buku Didong oleh Melalatoa, 2001 Universitas Sumatera Utara Didong adalah suatu seni tradisional yang berbentuk seni bertutur, suatu nyanyian rakyat, suatu seni sastera, seni suara ataupun juga seni tari. Seni Didong hasil pikir dan rasa dari pencipta Didong ceh. Didong dari tahun 1920 sampai dengan sekarang sudah duduk bersela pakai bantal kampas sepanjang 1 ½ jengkal 4 persegi, kampas tersebut diisi kapas, diluarnya ada bermacam-macam warna ditengah-tengah warna hitam pinggirnya warna kuning artinya bantal tersebut musyawarah sesama mereka. Didong adalah suatu kesenian Gayo yang merupakan seni berdendang atau sejenis seni suara. Didong ini di pertunjukkan oleh dua kelompok yang dipertandingkan semalam suntuk. Masing-masing kelompok terdiri dari 25 sampai 30 orang duduk melingkar dan setiap orang memegang sebuah bantal kecil sebagai alas untuk bertepuk tangan. Setiap kelompokkelop dipimpin oleh orang yang ahli dalam menuturkan sastera Gayo dalam bentuk pantunsyair. Pemimpin itu disebut ceh dan didampingi oleh seorang pembantu ceh yang disebut apit. Tidak semua anggota dapat Universitas Sumatera Utara menjadi ceh, oleh karena dari setiap ceh dituntut kemampuan mengarang, mendendangkan lagu, keterampilan menyusun pantun dan mempunyai bakat serta suara yang empuk dan merdu. Jika petunjuk sudah dimulai, maka bantal-bantal kecil itu ditempuk serempak, diikuti oleh gerak-gerak tangan dan badan secara ritmis, sementara ceh mendendangkan lagunya. Setelah ceh mendendangkan lagunya bait demi bait, teman-teman sekelompoknya mengikuti secara bersama-sama refrain tunungen setiap lagu disertai dengan tepuk tangan yang gemuruh. Didong Jalu sebagai tradisi lisan yang selalu di persembahkan setiap acar seperi acara perkawinan, acar bersunat rasul. Setiap di persembahkan dilaksanakan, Guru Didong akan tetap mempersembahkan bagian-bagian yang sama dengan persembahan sebelumnya. Pengulangan semacam ini boleh membuat budaya Gayo menjadi lebih paham oleh masyarakat Gayo itu sendiri serta menjelaskan budaya Gayo di medan. Oleh itu, persembahan tradisi lisan Didong dapat membina kebudayaan Gayo. Dalam perkembangannya, Didong tidak hanya pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskan biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpilihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian Didong. Sebagaimana telah diuraikan, bahwa Didong Jalu hanya dipersembahkan pada peristiwa suka maupun duka. Pada masa ini mengadakan persembahan Didong Jalu, Universitas Sumatera Utara selalu menjemput mango semua keluarga yang berada di kampong lain. Setiap keluarga yang dijemput akan membawa mah atur semua masyarakat yang bergabung di dalam bagian belah di alam satu kampung. Penampilan Didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, Didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan Didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan Didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUDS 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, Didong juga digunakan untuk mengembangkan semangata gotong royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DITII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DITII. Akibat dilarangnya Didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan Didong. Perbedaan Didong dengan saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes anti kekerasan. Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh Senagai daerah Operasi Militer, sehingga menyesangsarakan rakyat. Protes anti kekerasan Universitas Sumatera Utara sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian Didong, melainkan juga pada bentuk- bentuk lain yang ada di Aceh. Dua kelompok yang diturunkan di arena pertandingan bermain secara bergantian, dan pantun pun tersusun secara spontan, dan bersahut-sahutan untuk menjawab pantunsyair pihak lawan. Di sinilah peranan seorang ceh, sedang teman- temannya hanya mengikuti saja. Lambat-laun kelompok Didong dari suatu belah atau suku itu menjadi suatu perkumpulan Didong dan menjelma menjadi satu group, dalam bahasa Gayo disebut kelop. Tradisi lisan Didong susah untuk dikelompokkan, karena dalam Didong ditemui sekaligus seni suara, seni sastera, dan seni tari. Dalam persembahan Didong ada berteka-teki, satu orang memberikan soalan orang memberikan soalan dan yang lainnya. Menjawab serta memberikan sindiran yang bersifat mendidik. Isi teka-teki selalu berkaitan dengan hukum agama Islam dan budaya suku Gayo. Didong dipersembahkan di atas sekeping papan supaya waktu menari boleh menghasilkan bunyi. Universitas Sumatera Utara Pada tahap pertama yang menjadi dasar keanggotaan dalam perkumpulan itu adalah ikatan belah atau suku, ikatan clan. Oleh karena adanya perkembangan masyarakat, pengaruh dinamika sosial, maka keanggotaan yang berdasarkan ikatan clan lambat-laun berangsur-angsur menghilang, dan timbullah keanggotaan menurut ikatan territorial, yaitu menurut daerahtempat tinggal. Sejak dari awal pertumbuhan seni Didong sampai sekarang ini telah mengalami perkembangan dan pembaruan. Perkembangan itu biasa dilihat dari segi bentuk penampilannya, dari fungsinya dan peranannya, dari tema atau isi karangan Didong. Dari bentuk dan isi pantun dan syairnya, dari segi lagu atau sintaknya.

3.2. Waktu Pertunjukan Didong