Identifikasi variabel METODOLOGI PENELITIAN

26

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Efek kontraktilitas otot polos pada pemberian karbakol

Pada penelitian ini menggunakan guinea pig dengan rerata berat 587,62 ± 14,52. Pada awal penelitian fungsi kontraktilitas otot polos kandung kemih diuji dengan menggunakan karbakol. Karbakol dapat menginduksi otot polos kandung kemih untuk berkontraksi karena karbakol merupakan agonis reseptor muskarinik yang cukup baik dan bekerja lebih tahan lama dibandingkan dengan asetilkolin. Hal ini dapat terjadi karena karbakol tidak dapat didegradasi oleh asetilkolinesterase dan dapat terus bekerja pada reseptor muskarinik tersebut. 7 Karbakol diuji mulai dari konsentrasi 0,01µM sampai 100µM untuk mendapatkan konsentrasi yang tepat sebagai penginduksi kontraksi otot polos. Dalam hasil penelitian terlihat bahwa otot polos kandung kemih memberikan respon kontraksi yang meningkat seiring dengan peningkatan pemberian konsentrasi karbakol. Hal ini membuktikan bahwa reseptor muskarinik pada otot polos kandung kemih guine pig yang masih berfungsi dengan baik. Pemberian karbakol dengan konsentrasi 0,01 µM menimbulkan efek -2,27 ± 2,66, konsentrasi 0,1 µM efeknya 7,85 ± 4,08, 1 µM efek kontraksinya 83,71 ± 15,67, konsentrasi 10 µM sebesar 97,66 ± 21,32 dan konsentrasi 100 µM menimbulkan kontraktilitas sebesar 55,99 ± 15,81. Pada pemberian karbakol 10 µM tampak otot polos berkontraksi maksimal karena efek kontraksi yang ditimbulkan lebih tinggi dari konsentrasi lainnya. Efek kafein dengan dosis yang tinggi tidak mencerminkan efek yang sesungguhnya namun dapat memberikan efek non spesifik. Pemberian karbakol dengan konsentrasi 100 µM tidak melebihi efek kontraksi otot polos kandung kemih yang ditimbulkan oleh karbakol dengan konsentrasi 10 uM. Hal ini disebabkan oleh karena efek yang ditimbulkan sudah maksimal atau dengan kata lain sudah mencapai titik jenuh saturated. Dalam penelitian ini digunakan karbakol dengan konsentrasi 1 µM untuk menginduksi kontraksi sebelum diberikan kafein karena dianggap konsentrasi 1 µM memberikan efek kontraksi setengah dari maksimal sehingga kita dapat mengevaluasi efek kafein terhadap kontraktilitas otot polos 27 kandung kemih. Setelah pengujian dengan karbakol selanjutnya strip otot polos dibuang cairannya dan diganti oleh cairan krebs henseleit yang baru kemudian diistirahatkan selama 60 menit.

4.2. Efek kontraktilitas otot polos pada pemberian kafein dan akuades

Selanjutnya otot polos kandung kemih akan diinduksi oleh karbakol 1 µM, kemudian memasukan kafein sebagai bahan uji mulai dari konsentrasi 0,01 µ M sampai 100 µM dengan durasi pemberian setiap lima menit. Untuk melihat efek tunggal kafein, peniliti melakukan pengujian terhadap pelarut kafein yaitu akuades sebagai kontrol terhadap perlakuan. Pengujian kelompok kontrol dilakukan dengan proses yang sama seperti pengujian kafein sebagai kelompok perlakuan. Pemberian larutan kafein pada strip otot polos kandung kemih terlihat pada gambar 10. Gambar tersebut memperlihatkan efek dari pemberian kafein terhadap strip otot polos kandung kemih yang telah diinduksi karbakol sebelumnya. Rerata presentasi kontraksi saat pemberian kafein dengan konsentrasi 0,01 µM adalah 101,12 ± 1,64 , konsentrasi 0,1 µM sebesar 75,85 ± 2,19, konsentrasi 1 µM menimbulkan efek sebesar 68,94 ± se 2,27, konsentrasi 10 µM rerata kontraksi nya 65,78 ± 2,21 dan konsentrasi 100 µM menimbulkan efek 64,30 ± 2,23. Gambar 10 Pemberian kafein Akuades merupakan pelarut kafein yang digunakan dalam penelitian ini. Pemberian akuades pada strip otot polos kandung kemih dilakukan sebagai kontrol dalam penelitian. Pemberian kontrol juga dilakukan lima kali sesuai dengan prosedur yan sama saat menguji kafein. Hasil penelitian menunjukan bahwa akuades tidak banyak memberikan efek. Setelah di induksi oleh karbakol,