27
kandung kemih. Setelah pengujian dengan karbakol selanjutnya strip otot polos dibuang cairannya dan diganti oleh cairan krebs henseleit yang baru kemudian
diistirahatkan selama 60 menit.
4.2. Efek kontraktilitas otot polos pada pemberian kafein dan akuades
Selanjutnya otot polos kandung kemih akan diinduksi oleh karbakol 1 µM, kemudian memasukan kafein sebagai bahan uji mulai dari konsentrasi 0,01 µ M
sampai 100 µM dengan durasi pemberian setiap lima menit. Untuk melihat efek tunggal kafein, peniliti melakukan pengujian terhadap pelarut kafein yaitu
akuades sebagai kontrol terhadap perlakuan. Pengujian kelompok kontrol dilakukan dengan proses yang sama seperti pengujian kafein sebagai kelompok
perlakuan. Pemberian larutan kafein pada strip otot polos kandung kemih terlihat pada
gambar 10. Gambar tersebut memperlihatkan efek dari pemberian kafein terhadap strip otot polos kandung kemih yang telah diinduksi karbakol sebelumnya. Rerata
presentasi kontraksi saat pemberian kafein dengan konsentrasi 0,01 µM adalah 101,12 ± 1,64 , konsentrasi 0,1 µM sebesar 75,85 ± 2,19, konsentrasi 1 µM
menimbulkan efek sebesar 68,94 ± se 2,27, konsentrasi 10 µM rerata kontraksi nya 65,78 ± 2,21 dan konsentrasi 100 µM menimbulkan efek 64,30 ± 2,23.
Gambar 10 Pemberian kafein
Akuades merupakan pelarut kafein yang digunakan dalam penelitian ini. Pemberian akuades pada strip otot polos kandung kemih dilakukan sebagai
kontrol dalam penelitian. Pemberian kontrol juga dilakukan lima kali sesuai dengan prosedur yan sama saat menguji kafein. Hasil penelitian menunjukan
bahwa akuades tidak banyak memberikan efek. Setelah di induksi oleh karbakol,
28
pemberian akuades tidak menambah atau mengurangi kontraksi secara signifikan dan rekaman kontraksi otot polos tampak datar seperti yang terlihat pada gambar
11.
Gambar 11 Pemberian akuades
Rerata persentase kontraksi otot polos kandung kemih saat pemberian kontrol 1 sebesar 84,54 ± 3,43, pemberian kontrol 2 menimbulkan efek sebesar
64,10 ± 2,64, kontrol 3 sebesar 59,50 ± 1,66, kontrol 4 rerata presentasi kontraksinya 56,96 ± 1,21 dan kontrol 5 menimbulkan efek sebesar 54,01 ±
0,81. Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tersebut dibandingkan. Data
dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang didapatkan berupa numerik. Perbandingan perlakuan dan kontrol diperlihatkan pada grafik 1 Pada gambar ini
tampak jelas perbedaan antara perlakuan dan kontrol. Pemberian kafein menimbulkan gambaran kontraksi yang lebih tinggi dari pada kontrol. Walaupun
pada gambar 10 kafein tidak memperlihatkan gambaran kontraksi yang tinggi namun setelah di bandingkan dengan kontrol pada bagan ini tampak jelas bahwa
pemberian kafein memperlihatkan kontraksi yang bermakna.
29
C
Grafik 1 Perbandingan persentase kontraksi otot polos kandung kemih kelompok perlakuan kafein dan kelompok kontrol akuades
Hasil analisis data dengan uji Independent Samples t Test pada program SPSS 16. didapatkan perbedaan bermakna p0,05 dalam peningkatan kontraksi
otot polos kandung kemih dengan pemberian kafein. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pemberian kafein saja memberikan efek dalam peningkatan kontraktilitas
otot polos kandung kemih. Akuades sebagai pelarut kafein, jika diberikan tanpa kafein, tidak memberikan efek pada kontraktilitas otot polos kandung kemih.
Hasil penelitian diatas membuktikan teori yang mengatakan bahwa pemberian kafein dapat memberikan efek kontraksi pada otot polos karena kafein
dapat menginduksi pengeluaran kalsium dari dalam retikulum sarkoplasma.
27, 28
Kafein memiliki kemampuan untuk meningkatkan afinitas kalsium dan ATP pada reseptor ryanodin sehingga dapat meningkatkan rerata waktu pembukaan reseptor
ryanodine dan meningkatkan kemungkinan reseptor ryanodin terbuka. Pemberian kafein dapat menyebabkan retikulum sarkoplasma kosong karena mengeluarkan
seluruh kalsium yang disimpan nya.
29
20 40
60 80
100 120
1 2
3 4
5 Kafein
Akuades p0.05
v v
v v
v
Ko n
traksi re
lati f
konsentrasi
101,13 ± 1,64
75,85 ± 2,19 68,94 ± ,27
65,78 ± 2,21 64,30 ± 2,23
84,54 ± 3,43 64,10 ± 2,64
59,50 ±1,66 56,96 ± 1,21
54,01 ± 0,81
30
Dengan meningkatnya kalsium di intraseluler, maka kalsium akan berikatan dengan kalmodulin, meningkatkan aktivasi MLCK sehingga menyebabkan MLC
terfosforilasi dan menimbulkan kontraksi otot polos.
18
Pada penelitian ini terlihat bahwa kafein dapat menimbulkan kontraksi otot polos kandung kemih secara bermakna. Efek yang ditimbulkan oleh kafein tidak
terlalu tinggi yang kemungkinan disebabkan oleh karena selain memiliki efek terhadap pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma, kafein juga memiliki
efek sebagai inhibisi aktivitas phosphodiesterase PDE. Inhibisi PDE dapat menyebabkan peningkatan cAMP intraseluller. cAMP dapat mengaktivasi PKA
dan MLCP, yang pada akhirnya menimbulkan relaksasi otot polos.
17
Watanabe, et al melakukan penelitian menggunakan otot polos aorta melaporkan bahwa kafein dapat menginhibisi PDE serta diketahui dapat
menurunkan kadar kalsium kembali setelah menginduksi pengeluaran kalsium dari tempat penyimpanannya.
30
Penelitian lain juga melaporkan hal yang sama. Peningkatan kalsium intraseluler yang diinduksi oleh kafein juga diiringi dengan peningkatan cAMP
sebagai efek lain dari kafein. Oleh karena itu pemberian kafein pada strip otot polos merupakan resultan dari efek kontraksi dan relaksasi.
6
Namun perlu dilakukan penelitan lebih lanjut untuk mengetahui kedua mekanisme tersebut
ditimbulkan oleh kafein pada otot polos kandung kemih. Dalam penelitian Yi C R, et al dengan menggunakan tikus yang dibuat sakit
diabetes milletus didapatkan hasil bahwa kafein merupakan agonis reseptor ryanodin sehingga menyebabkan kalsium keluar dari retikulum sarkoplasma, serta
kafein dapat meningkatkan sensitivitas miofibril dengan kalsium sehingga terjadilah kontraksi otot detrusor untuk pengosongan urin. Selain itu karena kafein
dapat menghambat PDE maka cAMP dan cGMP akan meningkat. Peningkatan cGMP karena kafein pada leher kandung kemih dan uretra menyebabkan
terjadinya relaksasi sehingga urin dapat keluar. Oleh karena itu kafein mungkin dapat memperbaiki kondisi disfungsi kandung kemih pasien dengan diabetes
milletus. Namun masih perlu uji klinis lebih lanjut tentang efek kafein terhadap tubuh.
31
31
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian membuktikan bahwa pemberian kafein pada otot polos kandung kemih secara in vitro memberikan efek kontraksi. Hal ini dapat dilihat
dari kontraksi yang ditimbulkan oleh kelompok perlakuan lebih tinggi dari pada kontraksi yang ditimbulkan oleh kelompok kontrol.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengujian efek kafein secara in vitro terhadap jaringan lain seperti otot jantung dan otot rangka. Selain
itu dapat juga dilakukan pengujian jaringan otot dalam keadaan patologis seperti hipotonia karena diabetes milletus, stroke, dan obstruksi kronik.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Freedman ND, Park Y, Abnet CC et al. Association of coffee drinking with total and cause-spesific mortality. NEJM 2012; 366: 1891-904.
2. Kershen R, Mann-Gow T, Yared J et al. Caffeine ingestion causes detrusor overactivity and afferent nerve excitation in mice. J Urol 2012; 188: 1986-
1992.
3. Garriguet, D. Bevarage consumption canadian adults. Healt report 2008; 19: 82-003-X.
4. Rieg T, Steigele H, Schnermann J et al. Requirement of intact adenosine A
1
receptors for the diuretic and natriuretic action of the methylxanthines theophylline and caffeine. JPET 2005; 313: 403-409.
5. Lohsiriwat S, Hirunsai M, Chaiyaprasithu B. Effect of cafferine on bladder function in patient with overactive bladder symptoms. Urology
annals 2011; vol. 3. Issue 1. 14-18.
6. Hockey JS, Wu C and Fry CH. The actions of metabolic inhibiton on human detrusor smooth muscle contractility from stable and unstable
bladders. BJU Int 2000; 86: 531-537.
7. Mokry J and Nosalova G. In vitro reactivity of urinary bladder smooth muscle in rabbits influenced by xanthine derivatives. Bratisl Lek Listy
2008; 109: 91-94.
8.
Ahn HY, Karaki H and Urakawa N. Inhibitory effects of caffeine on contractions and calcium movement in vascular and intestinal smooth
muscle. Br. J. Pharmacol 1988; 93: 267-274.
9. Fry CH. Experimental models to study the physiology, pathophysiology, and pharmacology of the lower urinary tract. Journal of Pharmacological
and Toxicological Methods. J Pharmacol and toxicological methods 2004; 49: 201-210.
10. Tortora GJ, Derrickson B, et al. The urinary system. In : Principles of anatomy and physiology. 12th ed. USA : John Wiley Sons, Inc. 2009. p
1018 – 1061.
11. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2006.
12. Martini FH, et al. The urinary system. In : Fundamental of anatomy dan physiology. 9th ed. USA : pearson benjamin cummings. 2012. P 953
– 996.