Efek Kafein Terhadap Kontraktilitas Otot Polos Kandung Kemih Guinea Pig In Vitro

(1)

OTOT POLOS KANDUNG KEMIH

GUINEA PIG IN VITRO

Laporan Penelitian ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Yesinta Diandra

NIM : 1110103000093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Efek Kafein Terhadap Kontraktilitas Otot Polos Kandung Kemih Guinea Pig In Vitro” dengan baik dan tepat waktu. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti telah mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki. Namun tetap ada hambatan dan kendala yang harus dilewati. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa adanya bantuan yang tulus dari berbagai pihak. Berkat doa restu, dorongan, bimbingan serta saran dari berbagai pihak akhirnya peneliti berhasil menyelesaikan penelitian ini. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, peneliti menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, SpAnd, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. Witri Ardini, M. Gizi, SpGK., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. dr. Nouval Shahab, SpU, Ph.D, FICS, FACS. dan Ibu Endah Wulandari, M.Biomed., selaku pembimbing penelitian, terima kasih atas bimbingan, waktu, serta dukungannya baik secara moril maupun materil.

4. dr. H. M. Djauhari Widjajakusumah, AIF, PFK. dan Ibu Ratna Pelawati, M.Biomed., selaku penguji sidang laporan penelitian ini.

5. Drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab riset Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2010.

6. Seluruh dosen dan civitas akademika FKIK UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada peneliti


(6)

vi

7. Almarhum Ayahanda Ir. Bambang Ismutanto tersayang, Ibunda Enny Setyawati tercinta, Mas Endru, Mas Gerry, Janice dan Azka serta tak lupa seluruh keluarga besar, peneliti ucapkan terimakasih atas segala dukungan, baik doa, materi, maupun semangat yang tak pernah henti dicurahkan.

8. Kelompok riset 13, Erwanda Desire Budiman, M. Hazmi Anzhari, M. Hafif Kusasi, M. Ichsan Pribadi terima kasih atas kerjasama nya selama ini yang selalu mendukung dan membantu satu sama lain.

9. Mba lilis, mba ai, mba sur, office boy lantai 3, bapak-bapak satpam FKIK, terima kasih atas perizinannya untuk menggunakan ruangan dan alat-alat laboratorium sehingga mempermudah kami melakukan penelitian ini.

10. Sahabat-sahabat 2010 dan seluruh warga FKIK terima kasih peneliti ucapkan karena dukungan dan doanya dalam pembuatan penelitian ini serta ilmu yang telah dibagi selama tiga tahun belajar bersama.

11. Teman-teman PSPD 2008, 2009, 2011 dan 2012 yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada peneliti.

Peneliti mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun bagi peneliti. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 10 September 2013


(7)

vii

ABSTRAK

Yesinta Diandra. Program Studi Pendidikan Dokter. Efek Kafein Terhadap Kontraktilitas Otot Polos Kandung Kemih Guinea Pig In Vitro. 2013.

Kafein, sebuah derivat methylxantine, diduga dapat menginduksi kontrasi otot polos, memiliki efek diuretik dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Namun demikian, hanya sedikit penelitian yang melaporkan efek kafein pada otot polos kandung kemih. Pada penelitian ini, kami bertujuan untuk mengetahui efek kafein dalam berbagai konsentrasi terhadap kontraktilitas otot polos kandung kemih guinea pig in vitro dengan menggunakan instrument organ bath. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kafein dengan konsentrasi 0,01 µM, 0,1 µM, 1 µM, 10 µM dan 100 µM meningkankan tegangan otot polos yang sebelumnya diinduksi oleh karbakol dengan hasil yang bermakna (p<0,05) dalam Independent sample t test.

Kata kunci : kafein, kontraksi otot polos, kandung kemih, organ bath

ABSTRACT

Yesinta Diandra. Medical Education Program. Effect of Caffeine on Bladder Smooth Muscle in Guinea Pig in Vitro.2013.

Caffeine, a methylxantine derivative, is believed to induce smooth muscle contraction, has a diuretic effect and increase neuronal excitability. However, only a few studies reported the effects of caffein on detrusor smooth muscle contraction. In this study, we aim to find out the effects of caffein at various concentration on detrusor smooth muscle contractility of guinea pig in vitro using organ bath instrument. The result demonstrated that caffein at concentration 0,01 µM, 0,1 µM, 1 µM, 10 µM and 100 µM increased tension induced by carbachol with significant result (p < 0,05) in Independent sample t test


(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL... i

LEMBAR PERNYATAAN... ii

LEMBAR PERSETUJUAN... iii

LEMBAR PENGESAHAN... iv

KATA PENGANTAR... v

ABSTRAK... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... xi xii DAFTAR SINGKATAN... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang... 1

1.2Rumusan Masalah... 2

1.3Hipotesis... 2

1.4Tujuan Penelitian... 2

1.4.1 Tujuan Umum... 2

1.4.2 Tujuan Khusus... 2

1.5Manfaat Penelitian... 3

1.5.1 Bagi Peneliti... 3

1.5.2 Bagi Institusi... 3

1.5.3 Bagi Masyarakat... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1Kandung kemih... 4

2.1.1 Anatomi... 4

2.1.2 Histologi... 6

2.1.3 Fisiologi berkemih... 7

2.1.4 Otot polos... 8

2.1.5 Mekanisme kontraksi dan relaksasi... 9

2.2Kafein... 11

2.3Organ Bath... 2.4Kerangka Teori... 2.5Kerangka Konsep... 2.6Definisi Operasional... 14 16 17 18 BAB III METODE PENELITIAN... 19

3.1 Desain Penelitian... 19

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 19

3.3 Alat dan Bahan Penelitian... 19


(9)

ix

3.4 Identifikasi Variabel... 19

3.4.1 Variabel Bebas... 19

3.4.2 Variabel Terikat... 20

3.5 Alur Penelitian... 20

3.6 Cara Kerja Penelitian... 20

3.6.1 Tahap Persiapan... 20

3.6.2 Tahap Pengujian... 23

3.7 Analisa Data... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 26

4.1 Efek kontraktilitas otot polos pada pemberian karbakol... 26

4.2 Efek kontraktilitas otot polos pada pemberian kafein dan akuades... 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…... 31

5.1 Kesimpulan... 31

5.2 Saran... 31

DAFTAR PUSTAKA... 32


(10)

x

DAFTAR TABEL


(11)

xi

Gambar 1 Kandung kemih... 4

Gambar 2.a Potongan sagital laki-laki... 5

Gambar 2.b Potongan sagital perempuan... 6

Gambar 3 Dinding kandung kemih... 7

Gambar 4 Mekanisme kontraksi dan relaksasi otot polos... 10

Gambar 5 Struktur molekular kafein... 12

Gambar 6 Alat organ bath... 15

Gambar 7 Chamber organ bath... 23

Gambar 8 Prosedur penelitian karbakol... 24

Gambar 9 Prosedur penelitian perlakuan dan kontrol... 25

Gambar 10 Pemberian kafein... 27


(12)

xii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Perbandingan persentase kontraksi otot polos kandung kemih kelompok perlakuan (kafein) dan kelompok kontrol (akuades)...


(13)

xiii A1 : adenosine 1 receptor AC : adenylate cyclase Ach : acetylcholine

AMP 5’ : adenosine monophosphate

ATP : adenosine triphosphate ATPase : adenosine triphosphatase CaM : calmodulin

cAMP : cyclic adenosine monophosphate CCh : carbachol

cGMP : cyclic guanosine monophosphate CICR : calcium induce calcium release CO2 : karbon dioksida

DAG : diacylglycerol IP3 : inositol triphosphate

IP3R : inositol triphosphate receptor Na : natrium

NE : norepinefrin NO : nitric oxide

M2 : muskarinik 2 receptor M3 : muscarinic 3 receptor MLCK : myosin light chain kinase

MLCp : phosphorylated myosin light chain MLCP : myosin light chain phosphatase O2 : oksigen

PDE : phosphodiesterase

PIP2 : phosphatidyl inositol bisphosphate PKA : protein kinase A

PKC : protein kinase C PLC : phospholipase C P2X : reseptor purinergik RyR : ryanodine reseptor


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bukti transaksi sigma aldrich... 35

Lampiran 2 Surat izin pinjem lab multiguna melakukan penelitian... 36

Lampiran 3 Data kontraksi strip otot polos dengan kafein... 37

Lampiran 4 Data kontraksi strip otot polos dengan akuades... 38

Lampiran 5 Perbandingan persentase kontraksi otot polos kandung kemih kelompok perlakuan (kafein) dan kelompok kontrol (akuades)... 39 Lampiran 6 Uji normalitas kafein... 40

Lampiran 7 Uji normalitas akuades... 41

Lampiran 8 Hasil data uji statistik independent t test... 42

Lampiran 9 Gambar proses penelitian... 44


(15)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kafein merupakan stimulan berbagai sumber antioksidan dan komponen bioaktif lainnya. Kafein banyak terkandung terutama di dalam kopi, oleh karena itu konsumsi kopi memiliki banyak pengaruh terhadap tubuh. Kafein juga dapat meningkatkan risiko penyakit jantung karena konsumsi kafein berhubungan dengan peningkatan low-density lipoptotein cholesterol dan dapat meningkatkan tekanan darah dalam jangka pendek.1 Tekanan darah dapat meningkat karena kafein dapat mempengaruhi kontraksi otot polos vaskular dan otot jantung. Selain itu kafein juga dapat menstimulasi aktivitas peristaltik pada usus.2

Kopi adalah suatu jenis tanaman yang dapat dibuat menjadi minuman. Selain rasanya yang nikmat, kopi dianggap memiliki efek menghilangkan kantuk sehingga banyak disukai masyarakat. Di Amerika dan dunia secara luas memilih kopi sebagai salah satu minuman yang paling sering di konsumsi.1 Hasil penelitian di Kanada menunjukkan bahwa kopi merupakan minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh orang dewasa diatas usia 30 tahun setelah air mineral.3

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kafein memiliki efek diuretik pada ginjal dengan cara menghambat aktivitas reseptor adenosin (A1) sehingga reabsorbsi cairan dan natrium pada tubulus proksimal dapat di halangi.4 Selain menyebabkan diuresis kafein juga dapat menurunkan ambang letup otot polos detrusor pada saat fase pengisian kandung kemih.5 Kafein diketahui dapat menstimulasi otot polos detrusor dan meningkatkan sinyal sensorik neuron kandung kemih.3 Kafein dapat mengeluarkan kalsium dari tempat penyimpanan intraselulernya, yaitu retikulum sarkoplasma, sehingga dapat menyebabkan timbulnya efek kontraksi pada otot polos.6

Penelitian lainnya menyatakan bahwa kafein dapat menghambat phosphodiesterase sehingga kafein secara efektif dapat menghambat respon kontraksi otot polos.7 Kafein dapat menurunkan sensitivitas kalsium terhadap filamen kontraktil dan menghambat pemasukan kalsium ke dalam sel sehingga dapat juga menimbulkan efek relaksasi otot polos.8


(16)

2

Organ bath adalah instrumen yang sering digunakan untuk menilai kontraktilitas otot termasuk otot polos secara in vitro. Dengan menggunakan instrumen ini jaringan otot polos yang akan dinilai kontraktilitasnya di letakkan dalam ruangan yang berisi cairan fisiologis yang diatur suhunya serta oksigenasinya sehingga jaringan otot polos dapat tetap bertahan hidup selama penelitian berlangsung. Kontraktilitas otot polos dapat direkam dengan menggunakan software dalam komputer yang terkoneksi dengan transducer.9

Tingginya konsumsi kafein dalam masyarakat mendorong para peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui efek kafein pada berbagai organ tubuh. Hingga saat ini penelitian yang melaporkan tentang efek kafein terhadap kontraktilitas otot polos kandung kemih masih terbatas. Latar belakang tersebut di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang efek kafein terhadap kontraktilitas otot polos kandung kemih secara in vitro dengan menggunakan instrumen organ bath.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana efek kafein terhadap kontraktilitas otot polos kandung kemih?

1.3 Hipotesis

Kafein dapat meningkatkan kontraksi otot polos kandung kemih secara in vitro.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kafein terhadap kontraktilitas otot polos kandung kemih secara in vitro.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Menilai efek pemberian kafein terhadap kontraktilitas otot polos kandung kemih

2. Mengukur seberapa besar kadar kafein yang dapat memberikan efek terhadap kontraktilitas otot polos kandung kemih secara in vitro.


(17)

3

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman peneliti. Selain itu penelitian ini merupakan media aplikasi dari berbagai teori pembelajaran yang telah dilakukan. Penilitian ini juga dilakukan sebagai syarat kelulusan pendidikan preklinik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.5.2 Bagi Institusi

Merupakan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu meningkatkan aspek penelitian. Peneliti berharap hasil penelitian ini mampu menjadi data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai efek kafein terhadap otot polos pada kandung kemih atau pun efek kafein lainnya.

1.5.3 Bagi Masyarakat

Dari hasil penelitian ini akan didapatkan efek kafein terhadap kontraktilitas otot kandung kemih yang nantinya dapat digunakan dalam penatalaksanaan pasien dengan difungsi berkemih, seperti hipotonia kandung kemih. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat tentang pengaruh kafein dalam tubuh.


(18)

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kandung kemih 2.1.1. Anatomi

Kandung kemih atau disebut juga vesika urinaria adalah sebuah rongga yang berfungsi sebagai alat penampungan urin sementara. Urin dari ginjal pada awalnya akan masuk ke kandung kemih melalui ureter. Selanjutnya urin akan keluar dari tubuh melalui uretra. Secara umum kandung kemih berada di abdomen bagian tengah bawah atau pada regio suprasimfisis pubis didalam rongga panggul posterior. Kandung kemih menempel pada peritoneum untuk menjaga posisinya. Pada laki-laki, kandung kemih berbatasan dengan kelenjar prostat di bagian inferior dan pada bagian posterior terdapat kelenjar vesikula seminalis yang menempel dan bersintopi dengan rektum. Pada perempuan, kandung kemih terletak pada anterior vagina dan inferior uterus.10


(19)

5

Kandung kemih dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian badan dan bagian leher. Bagian badan merupakan bentuk utama kandung kemih yang merupakan tempat penampungan urin. Bagian leher akan menghubungkan kandung kemih dengan uretra. Diatas bagian leher terdapat trigonum yang merupakan tempat masuknya kedua ureter dan terdapat lubang uretra di bawahnya.11

Pada bagian apex atau bagian paling inferior kandung kemih terdapat lubang sebagai tempat keluarnya urin. Lubang ini dilapisi oleh otot sfingter uretra interna yang akan berelaksasi ketika urin yang ditampung telah cukup banyak, sehingga urin dapat keluar dan terjadilah proses berkemih. Inervasi kandung kemih diatur oleh serabut postganglionik dari ganglia di pleksus hipogastrik dan oleh saraf parasimpatis dari intramural ganglia cabang nervus pelvis.12


(20)

6

Gambar 2.b Potongan sagital perempuan12

2.1.2. Histologi

Dilihat dari segi histologi dinding dari kandung kemih terdiri dari lapisan mukosa pada bagian paling dalam dan menempel lamina propria setelahnya. Pada lapisan mukosa bagian yang berbatasan langsung dengan lumen kandung kemih tersusun oleh epitel transisional yang dapat berubah bentuk. Rugae merupakan lipatan lapisan mukosa yang dapat meningkatkan luas permukaan kandung kemih. Selanjutnya kandung kemih memiliki lapisan muskularis ditengahnya. Lapisan muskularis terdiri dari tiga lapisan yaitu dua lapis otot polos longitudinal dan satu lapis otot polos sirkuler yang berada di antara kedua lapis otot polos longitudinal. Susunan lapisan otot pada kandung kemih ini kita kenal dengan sebutan otot detrusor. Lapisan yang paling superfisial adalah lapisan adventisia pada bagian posterior dan inferior.10


(21)

7

Gambar 3 Dinding kandung kemih12

2.1.3. Fisiologi berkemih

Urin terus diproduksi oleh ginjal dan akan memenuhi kandung kemih secara progresif sampai pada ambang letup keteregangan kandung kemih. Kemudian timbul refleks berkemih untuk mengosongkan kandung kemih. Jika tahap ini gagal maka kandung kemih akan sangat penuh dan timbul desakan yang kuat untuk berkemih.11

Proses pengosongan kandung kemih dapat terjadi melalui mekanisme refleks berkemih dan kontrol volunter. Mekanisme refleks berkemih terjadi saat reseptor regang terstimulasi. Semakin kandung kemih terisi oleh urin maka reseptor regang yang berada di dinding kandung kemih akan terangsang. Serabut saraf afferen dari reseptor regang yang aktif akan membawa impuls memasuki medula spinalis yang selanjutnya akan menstimulasi kandung kemih melalui saraf parasimpatis dan menghambat pemberian rangsang pada sfingter uretra eksterna. Saraf parasimpatis menyebabkan kandung kemih kontraksi dan perubahan bentuk kandung kemih menyebabkan sfingter uretra interna terbuka. Pada saat yang bersamaan, hambatan rangsang pada sfingter uretra eksterna menyebabkan sfingter relaksasi.13


(22)

8

Dampak peningkatan rangsang regang pada kandung kemih juga mempengaruhi sistem saraf pusat untuk menstimulasi interneuron yang menghubungkan sensasi ke talamus dan akhirnya sampai ke korteks serebri. Karena hal inilah kita akan menyadari adanya tekanan pada kandung kemih dan muncul sensasi ingin berkemih12

Keinginan untuk berkemih dapat muncul ketika kandung kemih kita terisi sebanyak 200 ml urin, namun jika belum mau dikeluarkan kandung kemih masih dapat menampungnya. Ketika volume urin dalam kandung kemih mencapai 500 ml kontraksi kandung kemih akan sangat tinggi dan akan memberikan tekanan yang cukup kuat untuk membuka sfingter uretra interna. Sfingter uretra eksterna termasuk otot yang dapat diatur secara sadar sehingga urin masih dapat ditahan dengan terus mengkontraksikan sfingter. Namun, apabila terlalu banyak volume urin semakin besar dan kandung kemih sangat teregang, maka desakan berkemih akan menjadi semakin besar. Urin masih dapat tersisa dalam kandung kemih setelah proses berkemih, normalnya volume urin yang tersisa tidak lebih dari 10 ml.12

Otot polos terdiri dari sel berbentuk gelendong yang saling berhubungan. Di dalam otot polos terdapat aktin dan miosin yang tidak tersusun dengan pola teratur. Otot polos kandung kemih mudah beradaptasi dan bisa meregang hingga 75% dari bentuk awal dan dapat mengeluarkan urin secara maksimal. Jika kandung kemih kosong akan berisi urin sisa sebanyak 10 ml dengan ukuran 8 cm sedangkan jika terisi penuh bisa sampai 400 ml dengan ukuran 30 cm.14

2.1.4. Otot polos

Otot polos secara umum dibagi menjadi otot polos viseral dan otot polos multi-unit. Otot polos viseral berbentuk lembaran yang memiliki taut celah dengan resistensi rendah sebagai penghubung antar sel otot. Otot polos viseral dapat ditemukan dalam organ berongga seperti ureter, uterus, dan usus. Sedangkan otot polos multi-unit merupakan otot yang tidak memiliki jembatan penghubung dan tidak dapat dikendalikan secara sadar. Contoh otot polos multi-unit adalah otot polos di iris mata yang dapat berkontraksi secara halus.15


(23)

9

Setiap sel otot polos memiliki bentuk gelendong dengan nukleus di tengahnya. Selain aktin dan miosin, otot polos juga memiliki filamen cytoskeletal intermediate yang berfungsi mentransmisikan gaya yang terbentuk saat otot polos sebelahnya berkontraksi dan berhubungan juga dengan jaringan ikat. Di otot polos tidak terdapat garis z tetapi digantikan dengan badan padat (dense bodies) dalam sitoplasma yang berhubungan dengan aktin dan filamen intermediate. Otot polos detrusor dapat berkontraksi dan relaksasi karena adanya interaksi antara filamen aktin dan miosin. Filamen aktin berhubungan dengan membran pada dense bands atau dalam sitoplasma pada dense bodies dan berinteraksi dengan filament miosin melalui cross bridges dengan molekul miosin.14

Otot polos memiliki retikulum sarkoplasma sebagai tempat penyimpanan kalsium. Retikulum sarkoplasma tersebut tidak berkembang baik di dalam otot polos. Untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya, otot polos lebih menggunakan proses glikolisis karena hanya mempunyai sedikit mitokondria. Di dalam otot polos tampaknya tidak memiliki troponin tetapi mengandung tropomiosin.15

Otot polos kandung kemih mendapatkan inervasi dari beberapa kelompok, yaitu dari kolinergik dengan mediator utama berupa asetilkolin, adrenergik dengan mediator epinefrin dan norepinefrin dan terakhir adalah non adrenergik dan non kolinergik dengan ATP sebagai mediatornya.16

2.1.5. Mekanisme kontraksi dan relaksasi

Kontraksi otot polos dapat terjadi karena adanya inervasi oleh sistem saraf otonom. Pada otot polos kandung kemih, inervasi utama yang paling penting berasal dari saraf parasimpatis postganglion.16 Saraf parasimpatis terminal mengeluarkan asetilkolin dan akan diterima oleh reseptor M3 yang selanjutnya akan mengaktifkan protein Gq. Protein Gq dapat mengaktifkan enzim phospholipase-C (PLC) yang bisa menghasilkan inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG) dari membran phosphoinositides (PIP2).17 IP3 dapat mengeluarkan kalsium dari tempat penyimpanan intraselulernya dalam retikulum sarkoplasma sedangkan DAG dapat menyebabkan influx kalsium melalui nifedipine-sensitive L-type Ca2+ channels dan juga dapat mengaktifkan protein


(24)

10

kinase-C. Kalsium yang masuk dari ekstrasel dapat menginduksi pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma melalui reseptor ryanodin.14

ATP dapat berperan melalui reseptor P2X purinergic yang merupakan

non selective cation channels pada membran. Reseptor P2X menyebabkan

depolarisasi sehingga voltage sensitive Ca2+ channels terbuka. Hal ini menyebabkan lebih banyak lagi kalsium keluar ke sitoplasma dan menimbulkan kontraksi otot polos.14

Peningkatan kalsium dalam sel akan berikatan dengan kalmodulin menjadi CaM sehingga dapat mengaktivasi myosin light chain kinase (MLCK) sebagai enzim spesifik untuk memfosforilasi myosin light chain (MLC) menjadi

phosphorylated myosin light chain (MLCp) yang aktif.18 MLCp dapat

mengaktivasi miosin ATPase.15 Hal ini menyebabkan miosin dapat berinteraksi dengan aktin dan menghasilkan pembentukan gaya.14

Gambar 4 Mekanisme kontraksi dan relaksasi otot polos18

Protein G yang aktif selain dapat mengaktivasi PLC, juga dapat megaktivasi Rho. Rho selanjutnya bekerja sebagai kalsium sensitization yang dapat menghambat myosin light chain phosphatase (MLCP). Sehingga tetap mempertahankan kontraksi secara tidak langsung. MLCP memiliki kemampuan


(25)

11

yang berlawanan dari MLCK, yaitu untuk melakukan defosforilasi MLCp sehingga akan terjadi relaksasi.18

Sistem saraf parasimpatis akan mengeluarkan neurotransmiter berupa asetilkolin dan akan memasuki sel otot polos melalui reseptor M2. Reseptor M2 berperan untuk mencegah otot polos relaksasi sehingga kontraksi otot polos akan bertahan. Reseptor M2 akan berikatan dengan protein Gi yang akan menghambat enzim adenilat siklase. Karena inhibisi ini menyebabkan transformasi ATP menjadi cAMP menurun. cAMP yang tersisa akan dirubah oleh PDE untuk menjadi Adenosine monophosphate (AMP 5’) yang tidak aktif.16

cAMP dalam keadaan aktif dapat mengaktifkan protein kinase-A (PKA) yang dapat menyebabkan MLCP bekerja merubah MLCp menjadi MLC sehingga akan menimbulkan efek relaksasi pada otot polos.17 Respon kontraksi otot polos lebih lambat dan bertahan lama dibandingkan otot lainnya. otot polos mampu menghidrolisis ATP selama proses kontraktil.14

Asetilkolin merupakan sebuah agonis yang dapat menempel pada reseptor muskarinik dan mengaktifkan kerja seluler, salah satunya adalah kontraksi pada otot polos. Asetilkolin pada celah sinaps dapat didegradasi oleh asetilkolinesterase. Karbakol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan reseptor muskarinik juga, namun karbakol tidak dapat di degradasi oleh asetilkolisesterase. Oleh sebab itu efek karbakol terhadap kerja seluler lebih bertahan lama16

2.2. Kafein

Nama kimia kafein 3,7-dihydro-I,3,7-trimethyl-IH-purine-2,6-dione. Kafein memiliki beberapa aksi seluler yaitu sebagai antagonis adenosine pada reseptor A2A dan A1, kafein menghambat terpecahnya cAMP karena inhibisi PDE, kafein memblokade reseptor GABA dan dapat memobilisasi depot kalsium intraseluler. Karena itulah kafein memiliki banyak efek ditubuh manusia.5

Setelah kafein di konsumsi, dengan cepat kafein di absorbsi dari saluran cerna masuk ke dalam darah. Kafein akan didistribusikan ke seluruh tubuh. Konsentrasi kafein maksimum dalam darah memerlukan waktu selama 1-1,5 jam. Kafein dapat menembus sawar darah otak, menembus plasenta sampai ke cairan


(26)

(27)

13

konsumsi kafein dapat meningkatkan resiko ketidakstabilan otot detrusor, terutama pada wanita.19

Kafein termasuk dalam golongan obat methylxanthine bersama dengan derivat lainnya seperti theophylline yang banyak terkandung dalam teh dan theobromine yang terkandung dalam kokoa. Selain didalam kopi, teh dan kokoa kafein juga terkandung dalam soda.21 Kafein dapat berpengaruh dalam meningkatkan eksitabilitas neuron dengan menurunkan ambang letup untuk eksitasi neuron. Kafein juga di percaya dapat meningkatkan performa atletik fisik dan dapat memberikan energi.11

Golongan methylxanthine seperti kafein dan theophylline yang dikonsumsi secara luas memiliki efek yang banyak bagi tubuh. Pada ginjal, golongan ini dapat menjadi diuresis dan natriuresis. Golongan methylxanthine merupakan antagonis reseptor adenosinee nonselektif. Adenosinee sangat penting untuk regulator fungsi ginjal, terlibat dalam regulasi laju filtrasi glomerulus, transport air dan elektrolit di ginjal serta masih ada pengaruh lainnya. Mekanisme efek kafein dalam diuretik dan natriuretik melalui penghambatan aktivitas reseptor adenosine (A1) sehingga reabsorbsi cairan dan natrium pada tubulus proksimal dihambat.4

Kafein sering dihubungkan dengan kejadian peningkatan resiko terjadinya gangguan berkemih. Hal ini dapat dijelaskan karena kafein dapat meningkatkan tekanan otot polos detrusor saat pengisian kandung kemih dan memiliki efek diuretik.22 Pada saat tidak terjadi kontraksi, retikulum sarkoplasma mengakumulasi kalsium yang lebih tinggi dari rata-rata yang ada di sitosol. Kalsium yang tersimpan dalam retikulum sarkoplasma akan keluar saat potensial aksi yang datang ke membran sel. Pemberian kafein juga dapat menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan kalsium ke dalam sitosol.14 Kafein pada konsentrasi tinggi dapat berperan dalam pelepasan kalsium intraseluler dari tempat penyimpanannya, sehingga menyebabkan kontraksi otot. Jika hal ini terjadi pada otot detrusor kandung kemih maka efek kafein ini pada akhirnya dapat menyebabkan kandung kemih berkontraksi.5

Kafein bersifat iritan terhadap kandung kemih sehingga dapat mendorong inkontinensia urin untuk muncul. Secara in vitro kafein dapat memberikan efek eksitasi pada otot polos detrusor manusia. Tidak hanya otot kandung kemih saja,


(28)

14

kafein juga dapat meningkatkan kontraksi otot vaskular dan otot jantung dengan cara mengeluarkan kalsium dari tempat penyimpanannya ke intraseluler. Kafein dapat meningkatkan gerakan peristaltik usus serta dapat meningkatkan sinyal kalsium dalam neuron sensorik.2

Kafein pada konsentrasi rendah dapat meningkatkan frekuensi kontraksi detrusor. Namun kafein diketahui juga merupakan inhibitor non selektif phosphodiesterase yang dapat menghambat respon kontraktilitas otot polos kandung kemih.7

2.3. Organ bath

Organ bath merupakan sebuah alat yang dapat digunakan untuk meneliti jaringan atau organ secara in vitro.9 Organ yang ingin diteliti akan dibuat menjadi strip jaringan. Strip jaringan dipersiapkan tanpa ada regangan dengan menggunakan mikroskop menjadi bentuk longitudinal.23 Lapisan mukosa dan serosa jaringan otot harus dihilangkan saat persiapan strip jaringan. Strip jaringan otot selanjutnya akan direndam dalam larutan fisiologis dengan keadaan terikat pada pengait ke transduser dan sisi lainnya terikat pada arah yang berlawanan agar otot dapat memendek. Cara tersebut untuk menilai kontraksi isotonik, sedangkan untuk menilai kontraksi isometrik harus menggunakan transduser isometrik yang dapat menilai perubahan tegangan tanpa ada pemendekan otot. Perfusi dan temperatur harus selalu dikontrol.9 Untuk menilai strip otot polos memendek dan memberikan gaya tarik, otot polos harus dipastikan tergangtung dalam kondisi tegang.24


(29)

(30)

(31)

17

2.5. Kerangka Konsep

Variabel terikat : respon besar kontraksi atau relaksasi otot polos kandung kemih guinea pig


(32)

18

2.6. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala pengukuran 1. Kontraksi Peningkatan tegangan

lapisan muskularis26

Transduser Tegangan otot (gram)

Numerik

2. Kafein Obat golongan methylxanthine26 (akan dilarutkan dengan akuades)


(33)

19

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah studi eksperimental secara in vitro. Penelitian menggunakan variasi kadar kafein pada aktivitas otot polos kandung kemih guinea pig.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitianini dilaksanakan di Ruang Multiguna lantai 3 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (FKIK UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dalam waktu sebelas bulan terhitung dari bulan September 2012 - Agustus 2013. Penelitian ini telah diajukan ke kode etik FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian 3.3.1.Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrument organ bath, water heater, kulkas, laptop, gunting cawan petri plastik, alat bedah minor, lup, papan bedah, alkohol, sendok, handscon, benang, dan pengaitnya.

3.3.2.Bahan

Penelitian ini menggunakan larutan ekstrak kafein (sigma aldrich) dan membutuhkan sampel dari sajian jaringan otot polos kandung kemih guinea pig. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan Krebs-Henseleit, akuades, karbakol, tissue, kapas, dan gas karbogen (O2 97%, CO2 3%).

3.4 Identifikasi variabel 3.4.1.Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah ekstrak kafein yang akan diatur konsentrasinya sehingga dapat menimbulkan respon dari sampel penelitian


(34)

20

3.4.2.Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah menilai respon besar kontraksi atau relaksasi otot polos kandung kemih guinea pig setelah pemberian bahan uji.

3.5 Alur penelitian

3.6 Cara kerja penelitian 3.6.1 Tahap persiapan

1. Tahap persiapan bahan uji

Penelitian ini menggunakan larutan ekstrak kafein sebagai bahan uji. Peneliti melakukan pemesanan bahan uji dari katalog Sigma Aldrich.Kemudian melarutkan serbuk kafein dengan akuades untuk membuat stock solution. Kafein dengan berat molekul sebesar 194,19 akan diambil sebanyak 0.0194 mg dan

Persiapan alat dan bahan untuk penelitian

Persiapan dan pengenceran ektrak kafein menjadi berbagai konsentrasi Membunuh hewan penelitian dengan membenturkankepalan

ya pada benda keras dan segera menyembelihnya Pembuatan strip otot

polos kandung kemih guinea pig

Melakukan penelitian ekstrak kafein dalam

oragan bath

Merekam dan mengolah data


(35)

21

ditambah kan dengan akuades sebanyak 1 ml sehingga mendapatkan larutan kafein dengan konsentrasi 100 mM.Selanjutnya stock solution kafein tersebut akan diencerkan menjadi beberapa konsentrasi menggunakan akuades mulai dari 0,01 µM sampai 100 µM. Semua variasi sampel tersebut akan diujikan pada otot polos kandung kemih guinea pig.

2. Tahap pembuatan cairan fisiologis

Cairan fisiologis yang dipakai dalam penelitian ini adalah larutan Krebs-Henseleit. Larutan Krebs-Henseleit merupakan campuran berbagai macam senyawa dalam akuades sehingga mirip dengan cairan dalam tubuh. Larutan Krebs-Henseleit dapat mensuplai kebutuhan jaringan diluar tubuhnya. Oleh karena itu, larutan Kresbs-Henseleit sangat diperlukan untuk mempertahankan hidup strip otot polos. Komposisi larutan Krebs-Henseleit adalah :

Tabel 1 Komposisi larutan krebs-henseleit

Bahan mmol/l

NaCl 121.6

KCl 4.7

NaHCO3 15.4

KH2PO4 1.2

MgCl2 1.2

Glucose 11.5

CaCl2 2.5

3. Tahap preparasi jaringan

Mempersiapkan semua alat dan bahan yang diperlukan untuk penelitian. Mengkalibrasi organ bath, melarutkan karbakol dan menyiapkan karbogen yang berisi 97% oksigen dan 3% karbondioksida.

Penelitian ini menggunakan lima ekor guinea pig dengan dua ekor jantan dan tiga ekor betina. Berat guinea pig sekitar 500-700 gram dan umur rerata enam bulan. Sebelum hewan uji dibunuh dan diambil kandung kemihnya, peneliti harus menyiapkan cawan petri yang berisi larutan Krebs Henseleit dengan suhu


(36)

22

4oC.Selain itu peneliti sudah harus siap dengan semua alat yang diperlukan seperti handscon, gunting dan papan diseksi.

Hewan uji dibunuh dengan membenturkan kepala pada tempat yang keras dan segera menyembelihnya. Kandung kemih harus diambil secepat mungkin melalui insisi secara longitudinal pada bagian tengah abdomen bawah. Kandung kemih langsung dimasukan ke dalam larutan Krebs Henseleit yang dingin tersebut.

Selanjutnya kandung kemih akan dibagi menjadi dua bagian, pemotongan tersebut dilakukan dengan prinsip tidak memberikan regangan pada jaringan. Ambil bagian anterolateralnya kemudian pisahkan lapisan otot dari lapisan mukosa dan serosa kandung kemih dengan menggunakan alat bedah minor dan dibantu dengan kaca pembesar. Kandung kemih dipotong dan dibentuk strip otot polos sebanyak 3-5 strip dengan ukuran 0,5 cm x 1 cm. Ujung strip otot polos diikat dengan tali pada kedua sisinya.

Kandung kemih digantung secara vertikal dalam chamber organ bath. Ujung tali bagian atas dihubungkan ke transducer yang tersambung dengan amplifier serta komputer, sedangkan ujung tali lainnya difiksasi pada bagian bawah chamber. Preparat menggantung dan tidak menempel pada dinding chamber. Preparat direndam dalam larutan Krebs Hanseleit sebanyak 50cc dengan suhu 37oC dan dioksigenasi dengan karbogen (97% O2 dan 3% CO2). Selanjutnya strip otot polos diberikan tegangan istirahat sebesar 0,5g dan ditunggu selama 60 menit. Transducer tersebut dihubungkan dengan komputer yang memiliki piranti lunak labchart dari ADInstrumen untuk menilai kontraktilitas strip otot polos.


(37)

(38)

24

Gambar 8 Prosedur penelitian karbakol

2. Tahap pengujian bahan ekstrak

Kemudian setelah ditunggu 60 menit lanjutkan penelitian dengan menilai bahan uji (kafein). Sebelum kafein dimasukan, terlebih dahulu masukan karbakol sebagai penginduksi awal kontraktilitas otot polos. Kontraksi otot polos yang meningkat oleh karbakol tersebut dianggap sebagai kontraksi maksimal otot polos. Ketika memperlihatkan gambaran kontraksi yang sudah datar/ plateu ini merupakan saat yang tepat untuk memasukan bahan uji (kafein). Bahan uji di berikan bertahap mulai dari 0,01 µM sampai 100 µM dengan selang waktu lima menit. Melihat rekaman hasil kontraktilitas otot polos kandung kemih yang dipengaruhi oleh pemberian bahan uji pada Labchart.

Sebagai kontrol maka kita harus menguji juga bahan pelarut kafein yang di gunakan untuk melarutkan kafein. Bahan pelarut kafein tersebut adalah akuades. Hal ini dilakukan untuk menilai apakah pelarut tersebut juga memiliki efek kontraktilitas terhadap otot polos kandung kemih atau tidak. Prosedur yang sama seperti penilaian bahan uji diterapkan dalam pengujian bahan pelarut. Prosedur penelitian dapat dilihat pada gambar 9.


(39)

25

Gambar 9 Prosedur penelitian perlakuan dan kontrol

3.7 Analisis data

Hasil yang telah terekam oleh transduser dan program LabChart v 7.1 akan diambil. Hasil kontraktilitas yang di induksi oleh karbakol dianggap 100% sebagai patokan maksimal kontraksi. Nilai besar efek kontraktilitas yang diberikan oleh perlakuan atau pun kontrol merupakan persentase relatif terhadap kontraksi maksimal yang diinduksi oleh 1 µ M CCh. Data numerik tersebut akan dimasukan dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS16.0 untuk ditentukan apakah pengujian yang dilakukan tersebut bermakna atau tidak.

Analisis data dilakukan uji Independent Samples t Test bila distribusi sampel dan kelompok normal, dan Mann-Whitney bila distribusi sampel dan kelompok tidak normal.


(40)

26

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Efek kontraktilitas otot polos pada pemberian karbakol

Pada penelitian ini menggunakan guinea pig dengan rerata berat 587,62 ± 14,52. Pada awal penelitian fungsi kontraktilitas otot polos kandung kemih diuji dengan menggunakan karbakol. Karbakol dapat menginduksi otot polos kandung kemih untuk berkontraksi karena karbakol merupakan agonis reseptor muskarinik yang cukup baik dan bekerja lebih tahan lama dibandingkan dengan asetilkolin. Hal ini dapat terjadi karena karbakol tidak dapat didegradasi oleh asetilkolinesterase dan dapat terus bekerja pada reseptor muskarinik tersebut.7

Karbakol diuji mulai dari konsentrasi 0,01µM sampai 100µM untuk mendapatkan konsentrasi yang tepat sebagai penginduksi kontraksi otot polos. Dalam hasil penelitian terlihat bahwa otot polos kandung kemih memberikan respon kontraksi yang meningkat seiring dengan peningkatan pemberian konsentrasi karbakol. Hal ini membuktikan bahwa reseptor muskarinik pada otot polos kandung kemih guine pig yang masih berfungsi dengan baik. Pemberian karbakol dengan konsentrasi 0,01 µM menimbulkan efek -2,27 ± 2,66, konsentrasi 0,1 µM efeknya 7,85 ± 4,08, 1 µM efek kontraksinya 83,71 ± 15,67, konsentrasi 10 µM sebesar 97,66 ± 21,32 dan konsentrasi 100 µM menimbulkan kontraktilitas sebesar 55,99 ± 15,81.

Pada pemberian karbakol 10 µM tampak otot polos berkontraksi maksimal karena efek kontraksi yang ditimbulkan lebih tinggi dari konsentrasi lainnya. Efek kafein dengan dosis yang tinggi tidak mencerminkan efek yang sesungguhnya namun dapat memberikan efek non spesifik. Pemberian karbakol dengan konsentrasi 100 µM tidak melebihi efek kontraksi otot polos kandung kemih yang ditimbulkan oleh karbakol dengan konsentrasi 10 uM. Hal ini disebabkan oleh karena efek yang ditimbulkan sudah maksimal atau dengan kata lain sudah mencapai titik jenuh (saturated). Dalam penelitian ini digunakan karbakol dengan konsentrasi 1 µM untuk menginduksi kontraksi sebelum diberikan kafein karena dianggap konsentrasi 1 µM memberikan efek kontraksi setengah dari maksimal sehingga kita dapat mengevaluasi efek kafein terhadap kontraktilitas otot polos


(41)

27

kandung kemih. Setelah pengujian dengan karbakol selanjutnya strip otot polos dibuang cairannya dan diganti oleh cairan krebs henseleit yang baru kemudian diistirahatkan selama 60 menit.

4.2. Efek kontraktilitas otot polos pada pemberian kafein dan akuades Selanjutnya otot polos kandung kemih akan diinduksi oleh karbakol 1 µM, kemudian memasukan kafein sebagai bahan uji mulai dari konsentrasi 0,01 µ M sampai 100 µM dengan durasi pemberian setiap lima menit. Untuk melihat efek tunggal kafein, peniliti melakukan pengujian terhadap pelarut kafein yaitu akuades sebagai kontrol terhadap perlakuan. Pengujian kelompok kontrol dilakukan dengan proses yang sama seperti pengujian kafein sebagai kelompok perlakuan.

Pemberian larutan kafein pada strip otot polos kandung kemih terlihat pada gambar 10. Gambar tersebut memperlihatkan efek dari pemberian kafein terhadap strip otot polos kandung kemih yang telah diinduksi karbakol sebelumnya. Rerata presentasi kontraksi saat pemberian kafein dengan konsentrasi 0,01 µM adalah 101,12 ± 1,64 %, konsentrasi 0,1 µM sebesar 75,85 ± 2,19%, konsentrasi 1 µM menimbulkan efek sebesar 68,94 ± se 2,27%, konsentrasi 10 µM rerata kontraksi nya 65,78 ± 2,21% dan konsentrasi 100 µM menimbulkan efek 64,30 ± 2,23%.

Gambar 10 Pemberian kafein

Akuades merupakan pelarut kafein yang digunakan dalam penelitian ini. Pemberian akuades pada strip otot polos kandung kemih dilakukan sebagai kontrol dalam penelitian. Pemberian kontrol juga dilakukan lima kali sesuai dengan prosedur yan sama saat menguji kafein. Hasil penelitian menunjukan bahwa akuades tidak banyak memberikan efek. Setelah di induksi oleh karbakol,


(42)

28

pemberian akuades tidak menambah atau mengurangi kontraksi secara signifikan dan rekaman kontraksi otot polos tampak datar seperti yang terlihat pada gambar 11.

Gambar 11 Pemberian akuades

Rerata persentase kontraksi otot polos kandung kemih saat pemberian kontrol 1 sebesar 84,54 ± 3,43%, pemberian kontrol 2 menimbulkan efek sebesar 64,10 ± 2,64%, kontrol 3 sebesar 59,50 ± 1,66%, kontrol 4 rerata presentasi kontraksinya 56,96 ± 1,21% dan kontrol 5 menimbulkan efek sebesar 54,01 ± 0,81.

Kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tersebut dibandingkan. Data dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang didapatkan berupa numerik. Perbandingan perlakuan dan kontrol diperlihatkan pada grafik 1 Pada gambar ini tampak jelas perbedaan antara perlakuan dan kontrol. Pemberian kafein menimbulkan gambaran kontraksi yang lebih tinggi dari pada kontrol. Walaupun pada gambar 10 kafein tidak memperlihatkan gambaran kontraksi yang tinggi namun setelah di bandingkan dengan kontrol pada bagan ini tampak jelas bahwa pemberian kafein memperlihatkan kontraksi yang bermakna.


(43)

29

C

Grafik 1 Perbandingan persentase kontraksi otot polos kandung kemih kelompok perlakuan (kafein) dan kelompok kontrol (akuades)

Hasil analisis data dengan uji Independent Samples t Test pada program SPSS 16. didapatkan perbedaan bermakna (p<0,05) dalam peningkatan kontraksi otot polos kandung kemih dengan pemberian kafein. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pemberian kafein saja memberikan efek dalam peningkatan kontraktilitas otot polos kandung kemih. Akuades sebagai pelarut kafein, jika diberikan tanpa kafein, tidak memberikan efek pada kontraktilitas otot polos kandung kemih.

Hasil penelitian diatas membuktikan teori yang mengatakan bahwa pemberian kafein dapat memberikan efek kontraksi pada otot polos karena kafein dapat menginduksi pengeluaran kalsium dari dalam retikulum sarkoplasma.27, 28 Kafein memiliki kemampuan untuk meningkatkan afinitas kalsium dan ATP pada reseptor ryanodin sehingga dapat meningkatkan rerata waktu pembukaan reseptor ryanodine dan meningkatkan kemungkinan reseptor ryanodin terbuka. Pemberian kafein dapat menyebabkan retikulum sarkoplasma kosong karena mengeluarkan seluruh kalsium yang disimpan nya.29

0 20 40 60 80 100 120

1 2 3 4 5

Kafein Akuades p<0.05 v v v v v

Ko

n

traksi

re

lati

f

(%

)

konsentrasi

101,13 ± 1,64%

75,85 ± 2,19%

68,94 ± ,27%

65,78 ± 2,21% 64,30 ± 2,23% 84,54 ± 3,43%

64,10 ± 2,64%

59,50 ±1,66%


(44)

30

Dengan meningkatnya kalsium di intraseluler, maka kalsium akan berikatan dengan kalmodulin, meningkatkan aktivasi MLCK sehingga menyebabkan MLC terfosforilasi dan menimbulkan kontraksi otot polos.18

Pada penelitian ini terlihat bahwa kafein dapat menimbulkan kontraksi otot polos kandung kemih secara bermakna. Efek yang ditimbulkan oleh kafein tidak terlalu tinggi yang kemungkinan disebabkan oleh karena selain memiliki efek terhadap pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma, kafein juga memiliki efek sebagai inhibisi aktivitas phosphodiesterase (PDE). Inhibisi PDE dapat menyebabkan peningkatan cAMP intraseluller. cAMP dapat mengaktivasi PKA dan MLCP, yang pada akhirnya menimbulkan relaksasi otot polos.17

Watanabe, et al melakukan penelitian menggunakan otot polos aorta melaporkan bahwa kafein dapat menginhibisi PDE serta diketahui dapat menurunkan kadar kalsium kembali setelah menginduksi pengeluaran kalsium dari tempat penyimpanannya.30

Penelitian lain juga melaporkan hal yang sama. Peningkatan kalsium intraseluler yang diinduksi oleh kafein juga diiringi dengan peningkatan cAMP sebagai efek lain dari kafein. Oleh karena itu pemberian kafein pada strip otot polos merupakan resultan dari efek kontraksi dan relaksasi.6 Namun perlu dilakukan penelitan lebih lanjut untuk mengetahui kedua mekanisme tersebut ditimbulkan oleh kafein pada otot polos kandung kemih.

Dalam penelitian Yi C R, et al dengan menggunakan tikus yang dibuat sakit diabetes milletus didapatkan hasil bahwa kafein merupakan agonis reseptor ryanodin sehingga menyebabkan kalsium keluar dari retikulum sarkoplasma, serta kafein dapat meningkatkan sensitivitas miofibril dengan kalsium sehingga terjadilah kontraksi otot detrusor untuk pengosongan urin. Selain itu karena kafein dapat menghambat PDE maka cAMP dan cGMP akan meningkat. Peningkatan cGMP karena kafein pada leher kandung kemih dan uretra menyebabkan terjadinya relaksasi sehingga urin dapat keluar. Oleh karena itu kafein mungkin dapat memperbaiki kondisi disfungsi kandung kemih pasien dengan diabetes milletus. Namun masih perlu uji klinis lebih lanjut tentang efek kafein terhadap tubuh.31


(45)

31

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian membuktikan bahwa pemberian kafein pada otot polos kandung kemih secara in vitro memberikan efek kontraksi. Hal ini dapat dilihat dari kontraksi yang ditimbulkan oleh kelompok perlakuan lebih tinggi dari pada kontraksi yang ditimbulkan oleh kelompok kontrol.

5.2 Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengujian efek kafein secara in vitro terhadap jaringan lain seperti otot jantung dan otot rangka. Selain itu dapat juga dilakukan pengujian jaringan otot dalam keadaan patologis seperti hipotonia karena diabetes milletus, stroke, dan obstruksi kronik.


(46)

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Freedman ND, Park Y, Abnet CC et al. Association of coffee drinking with total and cause-spesific mortality. NEJM 2012; 366: 1891-904. 2. Kershen R, Mann-Gow T, Yared J et al. Caffeine ingestion causes detrusor

overactivity and afferent nerve excitation in mice. J Urol 2012; 188: 1986-1992.

3. Garriguet, D. Bevarage consumption canadian adults. Healt report 2008; 19: 82-003-X.

4. Rieg T, Steigele H, Schnermann J et al. Requirement of intact adenosine A1 receptors for the diuretic and natriuretic action of the methylxanthines theophylline and caffeine. JPET 2005; 313: 403-409.

5. Lohsiriwat S, Hirunsai M, Chaiyaprasithu B. Effect of cafferine on bladder function in patient with overactive bladder symptoms. Urology annals 2011; vol. 3. Issue 1. 14-18.

6. Hockey JS, Wu C and Fry CH. The actions of metabolic inhibiton on human detrusor smooth muscle contractility from stable and unstable bladders. BJU Int 2000; 86: 531-537.

7. Mokry J and Nosalova G. In vitro reactivity of urinary bladder smooth muscle in rabbits influenced by xanthine derivatives. Bratisl Lek Listy 2008; 109: 91-94.

8. Ahn HY, Karaki H and Urakawa N. Inhibitory effects of caffeine on contractions and calcium movement in vascular and intestinal smooth muscle. Br. J. Pharmacol 1988; 93: 267-274.

9. Fry CH. Experimental models to study the physiology, pathophysiology, and pharmacology of the lower urinary tract. Journal of Pharmacological and Toxicological Methods. J Pharmacol and toxicological methods 2004; 49: 201-210.

10.Tortora GJ, Derrickson B, et al. The urinary system. In : Principles of anatomy and physiology. 12th ed. USA : John Wiley & Sons, Inc. 2009. p 1018 – 1061.

11.Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2006.

12.Martini FH, et al. The urinary system. In : Fundamental of anatomy dan physiology. 9th ed. USA : pearson benjamin cummings. 2012. P 953 – 996.


(47)

13.Sherwood L. The urinary system. In : Human Physiology : From cells to systems. 7th ed. USA : Brooks/Cole. 2010. P 511 – 556.

14.Yoshimura N and Chancellor MB. Physiology and pharmacology of the bladder and urethra. Chapter 60. In : Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Elsevier. 2011. P 1786 – 1833.

15.Barrett KE et al. Excitable tissue : muscle. In : Ganong’s review of medical physiology. 23rd ed. USA : Mc Graw Hill. 2010.

16.Mokry J, Jakubesova M, Svihra J et al. Reactivity of urinary bladder smooth muscle in guinea pigs to acetylcholine and carbachol : participation of acetylcholinesterase. Physiol 2005; 54: 453-458.

17.Fry CH, Meng E, Young JS. The physiological function of lower urinary tract smooth muscle. Autonomic Neuroscience 2010; 154: 3-13.

18.Puetz S, Tubomirov LT and Pfitzer G. Regulation of smooth muscle contraction by small GTPases. Physiol 2009; 24: 342-356.

19.Nawrot P, Jordan S, Eastwood J et al. Effects of caffeine on human health. Food additives and contaminants 2003; 20: 1-30.

20.Hardman JG, Limbird LE et al. Goodman and gilman, Dasar Farmakologiterapi. Volume 1. Edisi 10. Jakarta ; EGC ; 2007.

21.Armstrong LE, Pumerantz AC, Roti MW et al. Fluid, electrolyte, and renal indices of hydration during 11 days of controlled caffeine consumption. Int J sport nutrition and exercise metabolism 2005; 15: 252-265.

22.Hirayama F and Lee AH. Is caffeine intake associated with urinary incontinence in japanese adult. J preventive medicine and public health 2012; 45: 204-208.

23.Sibley GN. A comparison of spontaneous and nerve-mediated activity in bladder muscle from man, pig and rabbit. J Physiol 1984; 354: 431-443. 24.Uvelius B. Length-tension relations of in vitro urinary bladder smooth

muscle strips. J pharmacol and toxicology methods, Elsevier. 2001; 45: 87-90.

25.Fastjer FN and Reid CSW. Constant flow organ-bath techniques. Brit J Pharmacol 1949; 4: 109-110.

26.Segen JC. Concise dictionary of modern medicine.USA : Mc Graw-Hill. 2006. 110, 163.


(48)

34

27.Lee JG, Wein AJ and Levin RM. The effect of caffeine on the contractile response of the rabbit urinary bladder to field stimulation. Gen Pharmacol 1993; 24: 1007-1011.

28.Sato K, Ozaki H and Karaki H. Multiple effects of caffeine on contraction and cytosolic free Ca2+ levels in vascular smooth muscle of rat aorta. Naunyn-Schmiedeberg’s Arch Pharmacol 1988; vol 338. Issue 4: 443-448. 29.Zalk R, Lehnart SE and Marks AR. Modulation of the Ryanodine

Receptor and Intracellular Calcium. Annu. Rev. Biochem 2007; 76: 367-385.

30.Watanabe C, Yamamoto H, Hirano K et al. Mechanisms of caffeine-induced contraction and relaxation of rat aortic smooth muscle. J Physiol 1992; 456: 193-213.

31.Yi CR, Wei ZQ, Deng XL et al : Effect of coffee and caffeine on baldder dysfunction in streptozotocin-induced diabetic rats. Acta Pharmacol Sin 2006; 27: 1037-1043.


(49)

(50)

(51)

37

Lampiran 3 Data kontraksi strip otot polos dengan kafein

CCh caff0,01 caff0,1 caff1 caff10 caff100

100 103,27621 64,2579 59,80971 54,30546 53,66291 100 96,663784 63,63771 56,99288 56,00371 53,23883 100 96,507676 82,26759 84,45399 77,05797 77,19446 100 92,14823 67,2327 66,47326 66,45742 64,55089 100 100,10304 72,98709 62,98832 64,99674 63,92675 100 107,02719 75,08358 64,4729 59,50185 59,38739 100 100,23724 84,75194 72,2666 68,44434 60,93825 100 107,16158 75,84696 73,90168 58,10967 63,32613 100 112,47761 85,68767 78,07367 76,52308 76,15974 100 102,69759 76,85445 64,68624 65,11747 61,37573 100 98,597803 79,8737 72,69306 73,04594 65,04909 100 96,635761 81,74291 70,48632 69,85579 72,83964

mean 100 101,12781 75,85202 68,94155 65,78495 64,30415


(52)

38

Lampiran 4 Data kontraksi strip otot polos dengan akuades

Carbachol 1uM

Kontrol 1

Kontrol 2

Kontrol 3

Kontrol 4

Kontrol 5

100 96,46991 60,61861 59,57022 59,87191 54,74308 100 82,26797 63,37473 61,05027 59,92523 57,90759 100 71,55237 58,39367 56,34776 54,5264 51,8268 100 89,2151 67,5284 67,5284 60,2043 54,11573 100 89,85269 66,60301 60,29509 57,60647 54,65933 100 73,92541 76,65304 58,32557 53,8673 51,44442 100 88,52322 55,52009 53,36903 52,73469 53,36548

mean 100 84,54381 64,09879 59,49805 56,96233 54,00892


(53)

39

Lampiran 5 Perbandingan persentase kontraksi otot polos kandung kemih kelompok

perlakuan (kafein) dan kelompok kontrol (akuades)

Konsentrasi kafein (µM)

Rerata persentase kontraksi otot polos dengan pemberian kafein

Rerata persentase kontraksi otot polos dengan pemberian akuades

Nilai p

0,01 101,13 ± se 1,64 % 84,54 ± se 3,43% 0.002

0,1 75,85 ± se 2,19% 64,10 ± se 2,64% 0.004 1 68,94 ± se 2,27% 59,50 ± se 1,66% 0.004 10 65,78 ± se 2,21% 56,96 ± se 1,21% 0.003 100 64,30 ± se 2,23% 54,01 ± se 0,81% 0.001


(54)

40

Lampiran 6 Uji normalitas kafein

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

caff0.01 .145 12 .200* .962 12 .811

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

caff0.1 .126 12 .200* .927 12 .351

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

caff1 .123 12 .200* .976 12 .961

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

caff10 .127 12 .200* .951 12 .650

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

caff100 .212 12 .144 .924 12 .322

a. Lilliefors Significance Correction


(55)

41

Lampiran 7 Uji normalitas akuades

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua1 .241 7 .200* .920 7 .468

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua2 .169 7 .200* .956 7 .787

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua3 .219 7 .200* .952 7 .746

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua4 .247 7 .200* .853 7 .130

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua5 .224 7 .200* .929 7 .543

a. Lilliefors Significance Correction


(56)

42

Lampiran 8 Hasil data uji statistik independent t test

Group Statistics

Jenisdata N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

caff0.01 perlakuan 12 1.01127810E2 5.700362970 1.645553048

kontrol 7 8.45438109E1 9.080933641 3.432270298

caff0.1 perlakuan 12 7.58520171E1 7.601993514 2.194506501

kontrol 7 6.40987933E1 7.005006491 2.647643587

caff1 perlakuan 12 6.89415522E1 7.873556334 2.272899934

kontrol 7 5.94980472E1 4.404548574 1.664762881

caff10 perlakuan 12 6.57849550E1 7.664037083 2.212416937

kontrol 7 5.69623285E1 3.203009541 1.210623813

caff100 perlakuan 12 6.43041507E1 7.752074183 2.237831058


(57)

43

(lanjutan)

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

caff 0.01

Equal variances

assumed 2.785 .113 4.925 17 .000

1.6583999 14E1 3.3673437 28 9.4795 24890 2.368847 340E1 Equal variances

not assumed 4.357

8.82

1 .002

1.6583999 14E1 3.8063531 41 7.9467 36227 2.522126 206E1 caff 0.1 Equal variances

assumed .133 .720 3.341 17 .004

1.1753223 84E1 3.5178782 12 4.3311 49588 1.917529 809E1 Equal variances

not assumed 3.418

13.5

80 .004

1.1753223 84E1 3.4388770 47 4.3560 98543 1.915034 914E1 caff 1 Equal variances

assumed 3.461 .080 2.898 17 .010

9.4435049 96 3.2591306 09 2.5673 40468 1.631966 953E1 Equal variances

not assumed 3.352

16.9

99 .004

9.4435049 96 2.8173586 14 3.4993 69508 1.538764 048E1 caff 10 Equal variances

assumed 4.053 .060 2.875 17 .010

8.8226264 85 3.0685089 37 2.3486 38528 1.529661 444E1 Equal variances

not assumed 3.498

15.9

52 .003

8.8226264 85 2.5219830 92 3.4749 42398 1.417031 057E1 caff 100 Equal variances

assumed 4.659 .045 3.400 17 .003

1.0295231 52E1 3.0276926 34 3.9073 58436 1.668310 460E1 Equal variances

not assumed 4.323

13.6

73 .001

1.0295231 52E1 2.3817595 75 5.1753 77875 1.541508 516E1


(58)

44

Lampiran 9 Gambar proses penelitian


(59)

45


(60)

46

Kampiran 10 Daftar riwayat hidup

Identitas

Nama : Yesinta Diandra

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 20 Agustus 1991

Agama : Islam

Alamat : Jl. Pertanian II no. 60 Lebak Bulus Jakarta Selatan

e-Mail : yesintadiandra@yahoo.com

Riwayat Pendidikan

 1996-1998 : TKI Al-Izhar Pondok Labu  1998-2004 : SDI Al-Izhar Pondok Labu  2004-2007 : SMPI Al-Izhar Pondok Labu  2007-2010 : SMAI Al-Izhar Pondok Labu  2010-sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(1)

41

Lampiran 7

Uji normalitas akuades

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua1 .241 7 .200* .920 7 .468

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua2 .169 7 .200* .956 7 .787

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua3 .219 7 .200* .952 7 .746

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua4 .247 7 .200* .853 7 .130

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

aqua5 .224 7 .200* .929 7 .543

a. Lilliefors Significance Correction


(2)

42

Lampiran 8

Hasil data uji statistik independent t test

Group Statistics

Jenisdata N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

caff0.01 perlakuan 12 1.01127810E2 5.700362970 1.645553048

kontrol 7 8.45438109E1 9.080933641 3.432270298

caff0.1 perlakuan 12 7.58520171E1 7.601993514 2.194506501

kontrol 7 6.40987933E1 7.005006491 2.647643587

caff1 perlakuan 12 6.89415522E1 7.873556334 2.272899934

kontrol 7 5.94980472E1 4.404548574 1.664762881

caff10 perlakuan 12 6.57849550E1 7.664037083 2.212416937

kontrol 7 5.69623285E1 3.203009541 1.210623813

caff100 perlakuan 12 6.43041507E1 7.752074183 2.237831058


(3)

43

(lanjutan)

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper caff

0.01

Equal variances

assumed 2.785 .113 4.925 17 .000

1.6583999 14E1 3.3673437 28 9.4795 24890 2.368847 340E1 Equal variances

not assumed 4.357

8.82 1 .002

1.6583999 14E1 3.8063531 41 7.9467 36227 2.522126 206E1 caff 0.1 Equal variances

assumed .133 .720 3.341 17 .004

1.1753223 84E1 3.5178782 12 4.3311 49588 1.917529 809E1 Equal variances

not assumed 3.418

13.5 80 .004

1.1753223 84E1 3.4388770 47 4.3560 98543 1.915034 914E1 caff 1 Equal variances

assumed 3.461 .080 2.898 17 .010

9.4435049 96 3.2591306 09 2.5673 40468 1.631966 953E1 Equal variances

not assumed 3.352

16.9 99 .004

9.4435049 96 2.8173586 14 3.4993 69508 1.538764 048E1 caff 10 Equal variances

assumed 4.053 .060 2.875 17 .010

8.8226264 85 3.0685089 37 2.3486 38528 1.529661 444E1 Equal variances

not assumed 3.498

15.9 52 .003

8.8226264 85 2.5219830 92 3.4749 42398 1.417031 057E1 caff 100 Equal variances

assumed 4.659 .045 3.400 17 .003

1.0295231 52E1 3.0276926 34 3.9073 58436 1.668310 460E1 Equal variances

not assumed 4.323

13.6 73 .001

1.0295231 52E1 2.3817595 75 5.1753 77875 1.541508 516E1


(4)

44

Lampiran 9

Gambar proses penelitian


(5)

45


(6)

46

Kampiran 10

Daftar riwayat hidup

Identitas

Nama

: Yesinta Diandra

Jenis Kelamin

: Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir

: Jakarta, 20 Agustus 1991

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Pertanian II no. 60 Lebak Bulus Jakarta

Selatan

e-Mail

: yesintadiandra@yahoo.com

Riwayat Pendidikan

1996-1998

: TKI Al-Izhar Pondok Labu

1998-2004

: SDI Al-Izhar Pondok Labu

2004-2007

: SMPI Al-Izhar Pondok Labu

2007-2010

: SMAI Al-Izhar Pondok Labu

2010-sekarang

: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta