BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah membuktikan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia  yang hanya mengedepankan cara-cara represif tidaklah sanggup menghilangkan korupsi
sampai ke akar-akarnya. Dibutuhkan juga langkah preventif yang berfungsi untuk mencegah tumbuhnya kembali korupsi dan perilaku koruptif di masa mendatang.
Sinergi antara upaya represif dan preventif merupakan hal yang mutlak jika ingin memberantas  korupsi hingga tuntas.  Selain memberantas korupsi dengan  cara
represif, KPK juga diamanatkan  oleh Undang-undang untuk  melakukan langkah preventif. Langkah  KPK dalam menjalankan fungsi  preventif meliputi:
pendaftaran  dan pemeriksaan LHKPN, gratifikasi,  pendidikan dan pelayanan masyarakat, penelitian dan pengembangan, monitor, dan pengembangan jaringan
kerja sama. Strategi pencegahan yang dilakukan KPK, beranjak dari aktor yang
berperan dalam terjadinya korupsi, yang kemudian aktor itu yang menjadi pilar pencegahan KPK. Terdapat tiga pilar pencegahan yang menjadi objek sasaran
program pencegahan KPK ini yaitu :
A. Pemerintah
Dari segi pemerintahan, KPK mencoba memperbaiki dan memberi saran kepada instansi pemerintah untuk tercapainya tat kelola pemerintahan yang baik
dengan melakukan monitoring  kajian sistem dan peraturan yang berpotensi korupsi  yang fungsinya untuk melakukan perbaikan belitan kusut dan merevisi
peraturan  untuk mendukung tercapainya reformasi birokrasi. Cara ini  dilakukan
Universitas Sumatera Utara
dengan mengkaji kemudian mengusulkannya kepada instansilembaga pemerintah yang bersangkutan untuk dilakukan perbaikan.
Dalam memperkuat kapasitas anggota DPRD, KPK membuat modul yang digunakan dalam pelatihan dan workshop tentang kedudukan peran dan
kelembagaan DPRD dalam konteks good governance, meningkatkan kapasitas legislasi dan penganggaran untuk membantu dalam proses pencegahan korupsi.
Sistem penggajian yang lama menjadi salah satu kendala bagi keberlangsungan proses reformasi birokrasi  dan terwujudnya asas keadilan di
antara aparatur pemerintahan sendiri. KPK menilai semestinya pemerintah menerapkan sistem penggajian dan remunerasi yang mengacu pada kinerja time
shift  yang mengakibatkan  pemborosan keuangan negara  dan menciptakan mentalitas etos kerja yang menjadikan pelayanan terhadap publik kerap
terbengkalai. Dalam menerapkan fungsi koordinasinya, KPK mendorong Departemen
Keuangan Depkeu, Badan Pemeriksa Keuangan BPK, dan Mahkamah Agung MA untuk menerapkan sistem penggajian berdasarkan kinerja apatur di masing-
masing institusinya. Pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN yang dilakukan KPK berfungsi
untuk mengubah sifat penyelenggara negara yang tertutup sehingga sifat-sifat transparansi tercipta untuk mengurangi peluang terjadinya korupsi serta menjadi
bahan pendeteksi adanya sindikat korupsi. Dengan adanya LHKPN ini, publik bisa melakukan pengawasan akan kekayaan PN sehingga menciptakan rasa takut
untuk memperkaya dirinya dengan tindakan yang koruptif. Peningkatan integritas penyelenggara negara dan efektifitas pengawasan, KPK mengadakan program di
Universitas Sumatera Utara
tahun 2008 dengan melakukan upaya-upaya untuk membangun akuntabilitas Penyelenggara Negara PN melalui transparansi PN kepada publik dan
pemeriksaan LHKPN yang efektif  menganalisis, mengevaluasi, serta menilai atas seluruh jumlah, jenis dan nilai Harta Kekayaan yang dilaporkan, secara benar,
cepat, tepat, akurat dan bertanggung jawab oleh KPK  yang mendeteksi dimana terjadinya perbuatan korupsi yang nantinya akan ditindak lanjuti untuk menangkal
hulu masalah korupsi tersebut. Gratifikasi yang bersifat koruptif dapat diminimalisir dengan adanya unsur
paksaan bagi PN untuk melaporkan segala bentuk gratifikasi. KPK dalam programnya lebih memfokuskan kepada sosialisasinya dalam bentuk pemaparan
jenis-jenis gratifikasi yang bersifat koruptif yang dimana dalam sosialisasi itu juga menanamkan jiwa anti gratifikasi.  strategi pencegahan korupsi melakukan
pelaporan gratifikasi agar dikalangan PN tidak sembarangan menerima pemberian dalam bentuk apapun  dan dari manapun. Dengan berperan aktif mengamati dan
mencegah gejala-gejala praktik korupsi sehingga kebiasaan-kebiasaan yang cenderung menumbuhkan praktik kolusi dan korupsi menghilang.
B. Swasta