Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

keadaan dan faktor-faktor yang nyata, sehingga tercapai harmoni antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan baik daerah itu sendiri maupun dengan pemerintah pusat. Sistem yang sama, yaitu otonomi riil yang seluas-luasnya juga ditemukan dalam Penpres Nomor 6 tahun 1959. 23 Ketentuan Undang-undang ini berlaku di Indonesia selama 2 dua tahun.

4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada tahun 1965, pemerintah baru mengeluarkan Undang-undang sebagai pengganti Penpres Nomor 6 Tahun 1959, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Undang-undang ini mencoba merangkum pokok-pokok pikiran cita-cita desentralisasi dari perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju kearah tercapainya desentralisasi teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah. Sejalan dengan pembentukan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, dibenntuk pula Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudanya Daerah Tingkat III di seluruh tanah air. Namun sayang Undang-undang ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dan Undang-undang ini hanya berjalan beberapa bulan di Indonesia. 23 Nurul Aini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Op.Cit, hlm 139 Wita Siswani : Problema Yuridis Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. USU e-Repository © 2008.

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

Pergantian rezim dari Demokrasi Terpimpin ke Rezim Orde Baru, kebijakan otonomi daerah juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politk desentralisasi menjadi terhambat. Melalui kebijakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 selain menerapkan asas desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam mengatur urusan-urusan yang dikelolanya di daerah lewat asas dekonsentrasi. Dalam praktek kebijakan yang dilakukan lebih mencerminkan pelimpahan wewenang ketimbang penyerahan wewenang. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih memfokuskan pada penyerahan tanggungjawab dan kewajiban daerah atas bidang-bidang pemerintahan tertentu, sementara kewenangannya masih terletak pada pemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya. Dengan perkataan lain semangat yang terkandung dalam Undang- undang ini sebenarnya bukanlah desentralisasi atau otonomi yang luas, akan tetapi justru dekonsentrasi atau sentralisasi kewenangan pada pemerintah pusat atau pusatnya daerah propinsi Meskipun dalam Undang-undang menyebutkan bahwa pemerintah mencanangkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, namun dalam operasional prinsip tersebut menimbulkan perubahan, yaitu dari desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Hal ini berdampak daerah tidak memiliki ruang gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan yang bertalian dengan urusan Wita Siswani : Problema Yuridis Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. USU e-Repository © 2008. yang diembannya. Kenyataan lain adalah terbatasnya wewenang daerah dalam bidang keuangan. Sistem yang terpusat juga dijumpai dalam bidang kepegawaian. Kebijakan desentralisasi pada masa Orde Baru dalam praktek cenderung ke bandul sentralisasi. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa hingga terjadi seperti itu: 1. sejak awal pemerintah orde baru dalam menciptakan otonomi daerah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan dan stabilitas. 2. pemerintah orde baru menganut formula setengah resmi dalam strategi pembangunan. Dalam strategi ini pada para ahli ekonomi berfungsi sebagai pembuat kebijakan, militer sebagai stabilitator, dan birokrasi sipil sebagai pelaku pelaksana. 3. pemerintah ingin selalu memusatkan sumber daya yang tetap langka untuk keperluan pembangunan, sehingga distribusi dan penggunaannya memenuhi kriteria keadilan dan efisiensi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut pemahaman otonomi daerah lebih sebagai kewajiban daerah untuk melaksanakan pengaturan dan pengurusan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat di atasnya, namun kurang memberi fokus pada keleluasaan dan kemandirian daerah otonom untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga. Apapaun yang akan dilakukan oleh daerah tidak lepas dari kendali dan intervensi pemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya. Wita Siswani : Problema Yuridis Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. USU e-Repository © 2008. Prinsip penggunaan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dituangkan dalam undang-undang ini, dan berlaku di Indonesia selama kurang lebih 25 dua puluh lima tahun. Dalam penjelasan umum angka 1 huruf e dinyatakan dengan tegas bahwa prinsip yang dipakai bukan lagi otonomi yang seluas-luasnya, tetapi otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Menururt Undang-undang ini, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri atau disebut sebagai penyelenggara “self government”. Adapun penyelenggaraan pemerintah di daerah didasarkan pada 5 prinsip, yaitu: 24 a. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang perjuangan rakyat, yaitu memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat indonesia seluruhnya b. Merupakan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab c. Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan memberikan kemungkinan juga bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan d. Mengutamakan aspek keserasian dan pendemokrasian e. Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat untuk meningkatkan pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dari uraian 5 prinsip di atas, kelihatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah masih membatasi kewenangan daerah oleh pusat dengan penerapan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 24 . Ibid, hlm 141 Wita Siswani : Problema Yuridis Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. USU e-Repository © 2008. Ketentuan tentang pembentukan daerah dalam Undang-undang ini diatur dalam Pasal 3, dinyatakan bahwa daerah dibentuk dan disusun atas Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, dan perkembangannya didasarkan pada kondisi politik,ekonomi, sosial-budaya serta pertahanan dan keamanan nasional. Dalam Pasal 4 disebutkan daerah dibentuk dengan memperhatiakn syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk,luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional, dan syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan Bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab.

6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999