Tinjauan Lokalitas

F. Tinjauan Lokalitas

Lokalitas berasal dari kata dasar lokal dan serapan dari kata locus yang berarti setempat. Kelokalan diartikan sebagai memiliki kekhasan akan sesuatau yang hanya terdapat di daerah tersebut yang patut untuk ditonjolkan. Sehingga diperlukan sebuah upaya untuk menginvestasikan dan merekam segenap bangunan, lingkungan atau kawasan tertentu di daerah atau kota masing-masing yang memiliki nilai kesejahrahan, nilai tradisional, atau nilai arsitektonis yang unik, yang pantas untuk ditelusuri sebagai warisan budaya, merupakan salah satu upaya dala mewujudkan pembangunan berwawasan identitas.

Ada beberapa teori yang cenderung mirip meski bisa dibedakan, yaitu Lokalitas, Vernakular dan Tradisional. Ketiganya sering muncul dalam sebuah bangunan secara bersamaan dan sering kali dianggap tidak ada bedanya. Arsitektur lokalitas memiliki pendekatan tentang spirit nilai kesetempatan, bisa memiliki bentuk bermacam-macam. Arsitektur tradisional cenderung memiliki bentuk dan tata cara yang sama sesuai tata cara yang diterrima secara turun-temurun. Sedangkan arsitektur vernakular cenderung pada

commit to user

46

penggunaan material yang ada di sekitarnya untuk menyelesaikan permasalahan desain pada bangunan.

Potensi lokal tidak terbatas pada arsitektur tradisional yang secara fisik berupa bangunan arsitektur tradisional saja. Dalam masyarakat heterogen, potensi lokal mencakup seluruh kekayaan yang memiliki kekhasan, keunikan, kesejarahan, ataupun peran sebagai penanda di kawasan, kota dan daerahnya.

Lokalitas adalah sebuah jawaban atas permasalahan dari sebuah cakupan yang meliputi sebuah kawasan, nilai kearifan lokal, material, budaya bahkan tingkat peradaban masyarakat dalam suatu kawasan.

Lokalitas menjadi isu menarik akhir-akhir ini seiring upaya manusia dalam menggali dan menemukan jati dirinya. Jati diri seseorang dan sebuah tempat tetap diperlukan meskipun dinamika pembangunan begitu cepat. Pernyataan ini membawa kepada sebuah pandangan bahwa kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi tidak akan

komunitas untuk

mendapatkan/membangun jati dirinya dalam proses rancang bangun yang berbudaya.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung mendorong pembangunan bangunan berasitektur lokal terasa lebih ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan asal. Desain bangunan (green building) hemat energi, membatasi lahan terbangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisiensi

lahan dan material ramah lingkungan (green product). 10

F.1. Memaknai Lokalitas dalam Arsitektur 11

Marak diskusi lokalitas dalam arsitektur boleh jadi adalah sebuah bentuk `protes` atau `gerakan` terhadap kemapanan dari langgam modern – post modern – atau pun pemikiran dekonstruksi sampai pada generative process dalam dunia arsitektur.

10 Fathony Muchtar Harris, ”Sangiran Sculture Sebagai Wadah Promosi Pariwisata Dan Kerajinan Kab. Sragen Dengan Pendekatan Arsitektur Lokalitas”, UNS, Surakarta, 2011

11 http://archnetwork.wordpress.com/category/architect/page/6/

commit to user

47

Lokalitas bukanlah sebuah `gerakan` baru dalam dunia arsitektur – kemunculannya menjadi terasa seiring gencarnya gerakan modernitas dalam dunia ini. Lokalitas telah dianggap sebagai senjata yang tepat untuk menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang telah menyusup dalam kehidupan manusia di dunia modern ini. Alexanander Tzonis mengungkapkan bahwa seharusnya lokalitas bukanlah sebuah Tema Gerakan tetapi lebih kepada conceptual device yang kita pilih sebagai alat untuk melakukan analisis dan sintesis. Lokalitas membantu kita untuk menempatkan identitas sebagai prioritas ketimbang intervensi internasional atau pun dogma yang bersifat universal.

Meminjam Vitruvius yang mengatakan: “unsur alam dan raisonalitas manusia membangun sebuah bentuk arsitektur”. Vitruvius percaya bahwa perbedaan dari bangunan-bangunan yang ada di muka bumi ini adalah akibat dari dialog bolak-balik dari manusia dengan lingkungannya = “There is an in-between `temperate` kind of environment that creates temperate architecture and temperate people.

Lokalitas dalam hal ini adalah juga sebuah `perbedaan` yang secara spatiality memang terbentuk dari dimana lokalitas itu tumbuh atau ditumbuhkan. Ini membawa pengertian bahwa ada perbedaan antara lokalitas yang satu dengan yang lain. Lalu, Apakah lokalitas hanya sekedar penampilan dari sebuah identitas ? Apakah lokalitas hanya sekedar sebuah bentuk perlawanan gerakan global ?

Meminjam Lewis Mumford, maka ada lima point dalam kita memandang nilai Ke-Lokalitas- an :

1. Lokalitas bukan hanya terpaku dari kebesaran sejarah, seperti misalnya banyak bangunan bersejarah yang diidentifikasikan sebagai `vernacular brick tradition`. Bagi Mumford bahwa bentuk-bentuk yang digunakan masyarakat sepanjang peradabannya telah membentuk struktur koheren yang melekat dalam kehidupannya. Sebuah kekeliruan ketika mencoba meminjam sejarah dari sebuah tradisi yang langsung ditranfer dalam sebuah ruang yang kosong – ruang yang dihasilkan adalah ruang yang tidak memiliki jiwa. Mumford menekankan bahwa tugas kita tidak hanya membuat imitasi sebuah masa lampau tetapi mencoba mengerti dan memahaminya, lalu

commit to user

48

mungkin suatu saat kita berhadapan dan menyetujuinya dalam kesamaaan semangat kekreatifan. Tugas kita bukan hanya meminjam material atau meng-copy sebuah contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi seharus mulai mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.

2. Lokalitas adalah tentang bagaimana melihat bahwa seharus sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak terduga. Yang terpenting dari semua yang kita lakukan adalah membuat orang-orang merasa seperti dirumah dalam lingkungannya. Lokalitas harus dimunculkan karena memang dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan manusia. Ada kebutuhan social – ekonomi bahkan politik serta lingkungan dalam jiwa Lokalitas itu sendiri.

3. Lokalitas dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun sebuah tradisi baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini, sebuah tradisi harus selalu ditempatkan dalam konteks tentang hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal kenangan apabila tradisi itu tidak dapat bernegosiasi dengan mesin-mesin teknologi yang memang menebarkan candu. Membuat lokalitas menjadi pintar adalah membuat lokalitas yang dapat berkelanjutan dalam teknologi yang tepat guna.

4. Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap penggunanya, modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji dalam nilai keteraturannya, kooperatif, kekuatannya, kesensifitasannya, juga terhadap karakter dari komunitas dimana Lokalitas ingin ditempatkan.

5. Global dan lokalitas bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan tetapi mereka saling melengkapi, Mumford menekankan perlu ada keseimbangan diantara mereka. Keseimbangan dimana global menge-print mesin-mesin kapitalis sedang lokal menge- print komunitas. Lokalitas perlu menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang utama dalam nilai keuniversalan. Memaknai lokalitas artinya memaknai tentang bagaimana

commit to user

49

kita melakukan pembelajaran tentang sejarah bangunan, material, latar belakang social, isu-isu konservasi, konstruksi bangunan yang pada akhirnya keunikan sebuah lokalitas dalam arsitektur adalah tentang bagaimana material lokal – teknologi dan formasi sosial dapat ditranfer dalam bahasa arsitektur yang segar.

Berdasarkan uraian di atas maka lokalitas menurut Mumford adalah sesuatu yang dinamis dan akan selalu berkembang sesuai dengan perubahan jaman. Mewujudkan lokalitas tidak hanya melalui fisik sebuah bangunan saja karena yang terjadi adalah imitasi dari masa lampau. Lokalitas dapat diwujudkan dengan mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal. Menurut Mumford, lokalitas tidak harus statis dan bersifat kaku karena lokalitas harus beradaptasi dengan kondisi jaman dan berkembang seiring perkembangan teknologi.

Pada fenomena lokalitas atau kesetempatan yang memuat konsep kekinian, ada universalitas atau kesemestaan. Di sisi lain, pada universalitas atau kesemestaan yang mengandung konsep kelanggengan, ada fenomena lokalitas atau kesetempatan. Nilai-nilai kesemestaan tak dapat diterapkan tanpa penjabaran pada fenomena kesetempatan. Dalam kesepasangan prosesnya, fenomena kesetempatan tak akan punya arah penumbuh-kembangan yang tepat-bijak-pasti, tanpa pengkristalan pada nilai-nilai kesemestaan. Sama persis pada kehidupan manusia: tanpa spiritualitas, kehidupan intelektualnya keras-kasar-kering mengerontang; tanpa intelektualitas, kehidupan spiritualnya hanyalah hitam-khayal-imajinasi panjang.

Lokalitas Indonesia dengan keberagaman tradisi arsitektural di berbagai tataran, mulai dari filosofi, paradigma, teori, dan metoda, adalah sebuah modal-kekuatan yang luar biasa. Lokalitas itu bukan mesti didapat dengan mengedepan-utamakan “grand

architecture“ , arsitektur masyarakat kalangan atas seperti misalnya kraton —yang sudah terlanjur dianggap sebagai “ikon budaya Jawa“ sebagai satu-satunya pustaka bahan pelajaran.

Ada perpustakaan yang jauh lebih kaya koleksinya dan tak memerlukan kartu anggota apalagi membayar biaya meminjam bacaan: Arsitektur Nusantara. Dalam tradisi

commit to user

50

belajar orang Jawa, ada istilah buku garing (kering) dan buku teles (basah). Buku garing ialah tulisan (harafiah, cetakan-analog-digital) untuk manusia, buku teles adalah fenomena alam-semesta termasuk lingkungan binaan manusia. Jika ditinjau lebih dalam, pada buku garing dan buku teles, masih ada ranah meta-empirik. Ada aksara dari suara, ada aksara

dari bunyi. Suara berbeda dengan bunyi. 12

Arsitektur dewasa ini memiliki kecenderungan untuk menciptakan moumen visual. Bentuk distint (beda) secara tidak langsung akan mendapatkan pengakuan publik menyangkut penghargaan terhadap karyanya. Dengan pola pikir arsitektur yang berkiblat pada arsitektur kontemporer yang cenderung barat akhirnya akan melahirkan bangunan- bangunan kotak.

Eksplorasi terhadap bentuk lokal sudah layaknya menjadi prioritas pertama sebelum kita mulai mengambil bentuk-bentuk baru dari luar yang pada gilirannya tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi alam daerah setempat. Bukanlah suatu yang sulit apabila kita mau mengolah bentuk arsitektur tradisional untuk menciptakan fungsi baru di dalamnya. Memperlihatkan kesederhanaan dan kejujuran bahan bangunan, sebagaimana yang dialami melalui pengalaman dalam bangunan-bangunan vernakuler. Material yang digunakan dalam tradisi vernakuler dapat mengatasi iklim dengan baik.

Namun perlu dicatat bahwa penggunaan elemen-elemen arsitektur lokal ini hendaknya tidak sekedar “tempelen yang dipaksakan” pada bangunan-bangunan baru, melainkan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan desain bangunan. Inovasi seperti ditunjukkan oleh Maclaine Pont atau Karsten hampir seabad yang lalu seyogyanya menjadi rujukan bagi para arsitek kita masa kini.

12 http://ruang17.wordpress.com/page/19/

commit to user

51

Kekayaan arsitektur Nusantara sungguh tiada bandingannya. Tidak ada negara lain di dunia ini yang mempunyai ragam arsitektur tradisional sebanyak dan seindah yang kita miliki. Apabila kita mampu mengolah kekayaan itu, kita dapat menghadirkan wajah- wajah kota yang khas dan menampilkan identitas daerahnya secara elegan. Elemen- elemen arsitektur tradisional pun akan berkembang dengan dinamis seiring dengan perubahan jaman, bukan sekedar merupakan “ragam hias” yang statis dan dijadikan

barang pajangan. 13

F.2. Arsitektur Nusantara

Dalam menghadapi krisis identitas arsitektur bangsa kita, pencarian jati diri ke- nusantara-an membutuhkan nalar yang menerawang masa purba, ketika orang mulai memikirkan untuk merekayasa elemen alam menjadi sebuah tempat. Tempat paling purba untuk sebuah ruang yang dibutuhkan agar dapat beristirahat sejenak dari kegiatan berbudi dan berdaya bagi sebuah perjalanan kehidupan. Contoh kasus yang digunakan dalam tulisan ini adalah karya masyarakat pulau Madura, khususnya pada wilayah yang terpencil dan sulit terjangkau sistem transportasi.

Setiap lokasi di muka bumi pasti memiliki spesifikasi tertentu, penyelesaian masalah desain arsitektur juga spesifik untuk setiap lokasi. Contoh di Pulau Madura adalah salah satu penyelesaian masalah desain arsitektur di daerah pesisir. Tentunya

13 Danang Priadmodjo, Arsitektur Tradisional dan Identitas Kota

Gambar 2. Elemen arsitektur tradisional yang “dipaksakan”.

Kiri: Atap Minangkabau di gedung bank di kota Padang; Kanan: Atap Toraja di bangunan rumah sakit di kota Makale Sumber : Foto Danang Priadmodjo, Arsitektur Tradisional dan Identitas Kota

commit to user

52

penyelesaian ini akan berbeda jika terjadi di daerah hutan datar, daerah pegunungan kering, daerah pegunungan subur, daerah di kaki gunung, daerah di lereng gunung, dan sebagainya. Sketsa berikut memperlihatkan evolusi serupa yang terjadi untuk arsitektur Jawa.

Arsitektur nusantara yang sangat dipengaruhi iklim tropis lembab memiliki kesamaan dalam proses dan memiliki perbedaan dalam produk. Tanah nusantara yang selalu labil oleh gempa dan banjir adalah hal yang paling diantisipasi, banyak rumah- rumah tradisional nusantara yang berbentuk panggung. Semakin rawan bencana, semakin tinggi pula bentuk panggungnya. Di bawah panggung adalah ruang negatif yang dipergunakan untuk hal-hal tidak penting, seperti menyimpan barang dan hewan. Hampir seluruh rumah nusantara kuno selalu mengutamakan ruang luar bagi bangunannya. Ruang luar itulah ruang keluarga bagi mereka, gugusan bangunan adalah kamar- kamarnya.

Gambar 3. Evolusi arsitektur Jawa, dari vernakular ke tradisional

Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

commit to user

53

Gambar 4. Evolusi bangunan jawa dari panggung menjadi menapak di tanah Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

Gambar 5. Evolusi bangunan jawa karena kebutuhan luas ruang Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

Gambar 6. Dua contoh evolusi rumah joglo hasil tradisi Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

commit to user

54

Gambar 7. Contoh gambar denah dari tradisi perubahan ruang dalam ruang untuk bangunan joglo Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

Gambar 8. Berbagai contoh perubahan bangunan joglo dengan pertimbangan teknologi bahan masa kini. Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

commit to user

55

Gambar 10. Sebuah gubuk (di tambak garam) yang berevolusi menjadi bentuk lain (di tepi pantai terpencil) yang lebih besar dengan teknik pencerminan. Sebuah bentuk atap satu sisi yang berevolusi menjadi bentuk atap pelana.

Sumber : http://www.putumahendra.com/?m=200812

Gambar 9. Analisis bentuk arsitektur dari relief candi di Jawa Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

commit to user

56

Gambar 11. Sebuah gubuk beratap pelana ditambah teritis untuk memperluas ruang, berevolusi menjadi rumah dengan memperbesar skala, menapakkan ke tanah dan menutupi dengan lebih banyak dinding

Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

Gambar 12. Sebuah rumah yang mengalami evolusi dengan lebih memperhatikan kualitas bahan dinding, berevolusi lagi dengan menambah teritis di sisi lainnya, dipercantik dengan ornamentasi pagar rumah (bukan pagar halaman)

Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

Gambar 13. Pemikiran terhadap kualitas bahan yang lebih tahan cuaca membuat bentuk atap pelana menjadi perisai, evolusi yang lebih tinggi menyentuhkan budaya manusia dengan ornamentasi dan warna

Sumber : http://www.putumahendra.com/?cat=5&paged=2

commit to user

57

Mencari aspek intangible arsitektur nusantara dapat ditelusuri dengan memahami karakteristik manusianya. Dari caranya berbudaya, baik sebagai makhluk individu maupun sosial dapat menjawab rasa bentuk apa yang seharusnya tampil. Masyarakat nusantara sendiri sudah memahami aspek intangible dengan menghormati hal-hal yang bersifat spiritual. Tidak semua yang bersifat logika materi boleh dilakukan, ke-materi-an akan selalu dihubungkan dengan ke-spiritual-an. Sudilah kiranya melihat bagaimana bentuk kuno nusantara selalu menampilkan refleksi rasa sukur terhadap pencipta yang demikian murah hati memberikan alam yang cukup kaya.

Selayaknya alam yang cukup kaya digali bersama untuk kepentingan bersama pula. Materi kayu/bambu yang akan selalu diproduksi oleh pabrik yang bernama tanah adalah bahan yang paling baik digunakan untuk arsitektur. Namun demikian, sudilah kiranya tetap bijaksana, bahwa dalam kasus tertentu ada bentuk arsitektur yang tidak bisa diwujudkan dengan kayu dan hanya bisa dengan bahan baja/beton. Sudilah kiranya tetap bijak menggunakan bahan non-kayu agar tidak terlalu banyak merusak alam. Semangat mengenai kata cukup dan secukupnya selayaknya mewarnai setiap

konsep rancangan arsitektur nusantara. 14