Developing of criteria and classification of land degradation level on dryland (Case Study Dryland in Bogor Regency)

(1)

(Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten Bogor)

BAMBANG SUSANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Kriteria Dan Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan pada Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Desember 2010 Bambang Susanto NRP A151080031


(3)

ABSTRACT

Bambang Susanto. Developing of Criteria and Classification of Land Degradation Level on Dryland (Case Study : Dryland in Bogor Regency). Under Supervision of OTENG HARIDJAJA and SANTUN R.P. SITORUS.

Optimizing the utilization of dry land in Indonesia are still many challenges. One reason is the threat of land degradation. Meanwhile, the data distribution of degraded land area is still uncertain, because the criteria and priorities for handling still differs across agencies. The objectives of the study were to develop criteria (class interval) and the classification level of land degradation in dryland for the reconnaissance and semi-detailed scales, and to analyze the relationship between the level of land degradation with the erosion. Data collection method is survey method. The data analysis technique are: cluster analysis, stepwise multiple discriminant analysis, simple regression analysis and prediction of erosion equation MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation). This study resulted three criteria (class interval) to five critical variables of land degradation at reconnaissance and eight critical variables of land degradation at semi-detailed scale. The eight of critical variables of land degradation are: the type of parent material, slope, soil conservation measures (P value), texture fraction of silt, type of land use / vegetation (C value), P-available, Al-dd, and H-dd. This research also resulted in three class of the land degradation classification for the reconnaissance and semi-detailed scales. Classification of land degradation level at reconnaissance scale, namely: 1) light (score <16), 2), moderate (score 16-39), and 3) severe (score> 39). The classification of land degradation level at semi-detailed scale are: 1) light (score <15), 2) moderate (score 15-38), and 3) severe (score> 38). Based on simple regression analysis, showing the relationship between the erosion that occurred at the site of research to score of land degradation level, although the correlation is still low.


(4)

RINGKASAN

Bambang Susanto. Pengembangan Kriteria Dan Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan pada Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering Di Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA dan SANTUN R.P. SITORUS.

Optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Indonesia termasuk di Kabupaten Bogor masih banyak menghadapi tantangan, terutama karena adanya ancaman degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi. Sementara itu proses identifikasi lahan-lahan terdegradasi masih sangat beragam hasilnya. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya data yang akurat mengenai lahan-lahan yang terdegradasi karena belum tersedia kriteria dan klasifikasi tingkat degradsi lahan yang baku. Walaupun sudah ada akan tetapi sifatnya masih sektoral tergantung dari tujuan dan kepentingan dari instansi yang menghasilkannya, dimana metode yang dihasilkan tersebut hanya didasarkan pada judgement professional semata dengan bias yang cukup besar. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yang terpadu antara pendekatan statistik dengan judgement professional sehingga diperoleh hasil kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kriteria (selang pengkelasan) dan klasifikasi tingkat degradasi lahan untuk skala tinjau dan semi-detil berdasarkan variabel-variabel penentu degradasi lahan, serta untuk mengetahui hubungan keterkaitan antara tingkat degradasi lahan dengan besarnya erosi yang terjadi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei melalui studi kasus menggunaka metode analisis antara lain : Analisis Discriminat Berganda dengan metode Stepwise untuk menentukan variabel penentu tingkat degradasi lahan dan klasifikasinya, analisis gerombol (Cluster Analysis) untuk menyusun kriteria (selang pengkelasan), Analisis Regresi Sederhana untuk mengetahui keterkaitan tingkat degradasi lahan dengan erosi yang mana besarnya erosi yang terjadi dihitung menggunakan persamaan MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation).

Berdasarkan hasil analisis diskriminan berganda metode stepwise dengan tingkat kepercayaan 80%, untuk skala tinjau diperoleh 5 variabel penentu tingkat degradasi lahan yang berperan terhadap fungsi diskriminan yaitu bahan induk, tekstur fraksi debu, penggunaan lahan/vegetasi (nilai C), tindakan konservasi tanah (nilai P) dan lereng. Untuk skala semi-detil diperoleh 8 variabel penentu tingkat degradasi lahan yang berperan terhadap fungsi diskriminan dengan tingkat signifikasi 0,10 atau tingkat kepercayaan 90% yaitu bahan induk, tekstur fraksi debu, penggunaan lahan/vegetasi (nilai C), tindakan konservasi tanah (nilai P), lereng, P-tersedia, Al-dd dan H-dd.

Hasil analisis klaster menunjukkan bahwa baik untuk sklala tinjau maupun skala semi-detil diperoleh tiga kriteria (selang pengkelasan) untuk masing-masing variabel penentu tingkat degradasi lahan. Pertimbangan yang dilakukan dalam menentukan kriteria ini adalah dengan melihat hasil analisis gerombol terutama pada skedul aglomerasi dan sisi Rescaled Distance Cluster Combine berupa dendogram yang menguatkan jika keputusan tiga klaster adalah yang terbaik.


(5)

Kriteria bahan induk yang digunakan dalam klasifikasi tingkat degradasi lahan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu : 1) peka dengan skor 1 terdiri dari batuapung, abu volkanik, pasir volkanik, batupasir, napal (marl), batuliat, kapur, tuf berkapur, shale, kerakal, kerikil, pasir aluvium, dan debu aluvium, 2) agak tahan dengan skor 3 terdiri dari : sedimen/kalkareus kasar, batuliat, batulumpur, batulanau, diatomit, serpih, konglomerat, batu kapur, batukapur kerang, breksi batu kapur, liat aluvium, batusabak, filit, horenfels, kuarsit, batupualam/marmer, gneis, skis, amfibolit, dan zeolit, 3) tahan dengan skor 5 terdiri dari : granit, kuarsa profir, pegmatit, sienit, porfirit berkapur, tonalit, granodiorit berkapur, diorit sedimen, gabro, dolorit, diabas aluvium, norit aluvium, serpentin, peridorit, piroksenit, riolit, liparit, dasit, obsidian, andesit, tefrit, basalt, dan leucirit. Kriteria untuk lereng yaitu : 1) curam dengan nilai > 25%, 2) miring – agak curam dengan nilai 15-25%, dan 3) landai – agak miring dengan nilai < 15%. Kriteria untuk tindakan konservasi tanah yaitu : 1) pengolahan tanah dan penanaman kontur dengan lereng > 20% dengan nilai P > 0,60; 2) pengolahan tanah dan penanaman kontur dengan lereng < 20% dengan nilai P berkisar antara 0,40-0,60; dan 3) teras tradisional dengan nilai P < 0,40. Kriteria untuk tekstur fraksi debu yaitu : 1) tinggi dengan nilai > 40%, 2) sedang dengan nilai 20-40%, dan 3) rendah dengan nilai < 20%. Kriteria untuk jenis penggunaan lahan/vegetasi yaitu : 1) pola tanam tumpang gilir dengan nilai C > 0,40; 2) perladangan dengan nilai C berkisar 0,30-0,40; dan semak belukar/padang rumput dengan nilai C < 0,30. Kriteria untuk P-tersedia ada tiga yaitu : 1) rendah dengan nilai < 3 ppm, 2) sedang dengan nilai 3-6 ppm, dan 3) tinggi dengan nilai > 6 ppm. Kriteria untuk Al-dd dibedakan menjadi tiga yaitu : 1) tinggi dengan nilai > 5 meq/100g, 2) sedang dengan nilai 3-5 meq/100g, dan 3) rendah dengan nilai < 3 meq/100g. Kriteria untuk H-dd dibedakan menjadi tiga yaitu : 1) tinggi dengan nilai > 0,4 meq/100g, 2) sedang dengan nilai 0,2-0,4 meq/100g, dan 3) rendah dengan nilai < 0,2 meq/100g.

Dari tiga klaster yang terbentuk pada skala tinjau, berdasarkan analisis diskriminan diperoleh dua fungsi diskriminan yang dapat menerangkan total persen keragaman sampai 100%. Fungsi 1 dengan nilai eigenvalue sebesar 1,436 mampu menjelaskan keragaman 82,5% dan fungsi 2 dengan nilai eigenvalue 0,305 mampu mnejelaskan keragaman 17,5%. Dengan demikian fungsi diskriminan 1 mampu mendiskriminasikan klaster/grup dengan lebih baik dibanding fungsi diskriminan 2. Kedua fungsi diskriminan secara statistik sangat signifikan dengan alfa 0,00 dan 0,01 dilihat dari nilai Wilks’ Lambdanya. Fungai diskriminan 1, dengan nilai Wilks’ Lambda 0,315 yang apabila ditransfer menjadi nilai chi-square sebesar 62,58 memiliki tingkat signifikasi 0,00. Tingkat signifikasi ini tentunya jauh di atas 0,05 yang umumnya diterima sebagai batas maksimal tingkat kesalahan. Demikian juga untuk fungsi 2 dengan nilai Wilks’ Lambda 0,767 , yang kalau dalam chi-square 14,62 memiliki tingkat signifikasi 0,01. Klasifikasi tingkat degradasi lahan ditentukan berdasarkan fungsi diskriminan yang diperoleh. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan fungsi diskriminan 1 yang mampu menjelaskan keragaman sampai 82,5%, maka tingkat degradasi lahan skala tinjau di lokasi penelitian dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu : 1) lahan terdegradasi ringan (skor < 16); 2) lahan terdegradasi sedang (skor 16 – 39); dan 3) lahan terdegradasi berat (skor > 39).


(6)

Pada skala semi-detil, dua fungsi diskriminan yang diperoleh juga dapat menjelaskan total persen keragaman sampai 100%. Fungsi 1 dengan nilai eigenvalue 2,083 mampu menjelaskan keragaman sampai 78,0%, fungsi 2 dengan nilai eigenvalue 0,587 mampu menjelaskan keragaman sebesar 22,0%. Dengan demikian fungsi diskriminan 1 mampu mendiskriminasikan klaster/grup dengan lebih baik. Berdasarkan nilai Wilks’ Lambda, maka kedua fungsi diskriminan secara statistik sangat signifikan dalam mendiskriminasikan tiga klaster yang dihasilkan. Fungsi 1 dengan nilai Wilks’ Lambda 0,204 yang apabila ditransfer menjadi nilai chi-square sebesar 84,931 memiliki tingkat signifikasi 0,000. Tingkat signifikasi ini tentunya jauh di atas 0,05 yang umumnya diterima sebagai batas maksimal tingkat kesalahan. Demikian juga untuk fungsi 2, dengan nilai Wilks’ Lambda 0,630, yang kalau ditransfer menjadi nilai chi-square 24,692 memiliki tingkat signifikasi 0,001. Berdasarkan hasil perhitungan dengan fungsi diskriminan 1, maka tingkat degradasi lahan skala semi-detil di lokasi penelitian dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu : 1) lahan terdegradasi ringan (skor < 15); 2) lahan terdegradasi sedang (skor 15-38); dan 3) lahan terdegradasi berat (skor > 38.

Untuk melihat keterandalan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan yang diperoleh, maka dilakukan analisis regresi sederhana dengan menghubungkan hasil klasifikasi tingkat degradasi lahan baik skala tinjau maupun skala semi-detil dengan besarnya erosi yang terjadi di lokasi penelitian dalam ton/ha/tahun dimana besarnya erosi dihitung mrnggunakan persamaan MUSLE. Dengan melakukan regresi linier sederhana dengan variabel tergantung (Y) adalah skor tingkat degradasi lahan dan variabel bebasnya (X) erosi, diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : 1) skala tinjau persamaannya : Y = 0,003x +26,87 dengan r = 0,347, dan 2) skala semidetil persamaannya : Y = 0,002x + 24,17 dengan r = 0,393. Berdasarkan persamaan regresi tersebut, dapat dijelaskan bahwa ada kecenderungan dengan meningkatnya erosi maka meningkat pula tingkat degradasi lahannya meskipun tingkat korelasinya rendah.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengkutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

PENGEMBANGAN KRITERIA DAN KLASIFIKASI TINGKAT

DEGRADASI LAHAN PADA LAHAN KERING

(Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten Bogor)

BAMBANG SUSANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(9)

Penguji luar komisi : Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si


(10)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : PENGEMBANGAN KRITERIA DAN KLASIFIKASI TINGKAT DEGRADASI LAHAN PADA LAHAN KERING (Studi Kasus: Lahan Kering Di Kabupaten Bogor)

Nama : Bambang Susanto

NRP : A151080031

Program Studi : Ilmu Tanah

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Tanah

Dr. Ir. Atang Sutandi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 21 September 2010 Tanggal Lulus: Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc

Anggota


(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan ijin dan petunjuk-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2009 ini adalah degradasi lahan, dengan judul Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan pada Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten Bogor). Kegiatan penelitian ini dibiayai oleh kegiatan penelitian DIKTI BATCH III susuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Kompetitif Nomor : 540/SP2H/PP/DP2M/VII/2009 tanggal 21 Juli 2009 yang diketuai Prof Dr Ir. Santun R.P. Sitorus. Adapun isi dari tesis ini adalah membahas mengenai variabel penentu tingkat degradasi lahan di lahan kering, kriteria (selang pengkelasan) dari masing-masing variabel penentu degradasi lahan, klasifikasi tingkat degradasi lahan, dan keterkaitan antara tingkat degradasi lahan dengan erosi. Penelitian pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan ini dilakukan pada skala tinjau dan semi-detil, dimana baik pada skala tinjau maupun semi-detil dihasilkan tiga kelas tingkat degradasi.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan sarannya yang sangat berharga untuk penyempurnaan tesis ini.

Kepada Dr. Ir. Atang Sutandi, MS selaku ketua Program Studi Tanah yang telah memfasilitasi kelancaran proses penyelesaian tesis ini, saya sampaikan terimakasih. Kepada keluarga dan teman-teman yang telah membantu, mendukung dan memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini juga saya ucapkan terima kasih.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Desember 2010


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 30 Mei 1972 sebagai anak ketujuh dari pasangan Sunardi dan Sutirah.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, lulus tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pertanian Republik Indonesia melalui Badan Litbang Pertanian.

Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat sejak tahun 2003, dimana sebelumnya bekerja sebagai staf peneliti pada Kelompok Peneliti (Kelti) Konservasi Tanah dan Air di PUSLITTANAK Bogor dari tahun 1999 sampai 2003. Bidang penelitian yang menjadi tanggungjawab peneliti adalah Sistem Usaha Pertanian dibawah Kelompok Pengkaji (Kelji) Sumberdaya.

Selama menjadi peneliti, penulis telah menulis beberapa karya ilmiah dan diterbitkan dalam bentuk prosiding maupun jurnal di dalam negeri. Dari pernikahannya dengan Een Sunarti, S.Ag pada tahun 2000, penulis dikaruniai dua orang anak yaitu Muhamad Alfian Susanto dan Nur Fitri Ramadhani.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.4. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Lahan Kering (Drylands) ... 7

2.2. Degradasi Lahan ... 9

2.3. Faktor-faktor Penyebab dan Dampak Degradasi Lahan ... 12

2.4. Klasifikasi Degradasi Lahan... 17

2.5. Metode Pengukuran Degradasi Lahan ... 20

2.6. Erosi Tanah ... 21

2.7. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Degradasi Lahan 24 III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 31

3.2.1. Bahan Penelitian ... 31

3.2.2. Alat Penelitian ... 32

3.3. Metode Penelitian ... 32

3.3.1. Prosedur Penelitian ... 32

3.3.2. Metode Pengumpulan Data dan Variabel yang diamati.. 32

3.3.3. Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data... 33

3.4. Analisis Data ... 34

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN... 41

4.1. Lokasi ... 41

4.2. Karakteristik Fisik Lingkungan ... 43


(14)

Halaman

V HASIL DAN PEMBAHASAN... 73

5.1. Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradsi Lahan Skala Tinjau... 73

5.1.1. Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan ... 73

5.1.2. Kriteria atau Selang Pengkelasan Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan ... 79

5.1.3. Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan di Lahan Kering 83 5.2. Pengembangan Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradsi Lahan Skala Semi-detil... 88

5.2.1. Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan ... 88

5.2.2. Kriteria atau Selang Pengkelasan Variabel Penentu Tingkat Degradasi Lahan ... 91

5.2.3. Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan di Lahan Kering 94 5.3. Keterkaitan Tingkat Degradasi Lahan dengan erosi ... 99

5.4. Pembahasan Umum ………. 104

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

6.1. Kesimpulan ... 107

6.2. Saran... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(15)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997...

17 2. Parameter-parameter lahan terdegradasi dan kriteria lahan

terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah tahun 2007 ...

19

3. Tujuan, sumber data dan teknik pengumpulan data ... 33

4. Penilaian struktur tanah... 37

5. Penilaian permeabilitas tanah ... 37

6. Penilaian kelas kelerengan (LS) ... 37

7. Klasifikasi indeks bahaya erosi ... 38

8. Interpretasi dari nilai r ... 39

9. Luas lahan kritis tiap kategori di lokasi penelitian... 43

10. Kondisi temperatur di wilayah kabupaten bogor ... 44

11. Data komponen iklim di lokasi penelitian ... 46

12. Penyebaran bahan induk di lokasi penelitian ... 47

13. Kondisi topografi di lokasi penelitian ... 50

14. Penyebaran jenis tanah di lokasi penelitian ... 51

15. Karakteristik fisik dan kimia di lokasi penelitian ……… 56

16. Jumlah penduduk, luas kecamatan, dan kepadatannya di lokasi penelitian tahun 2009... 61

17. Sebaran jumlah penduduk menurut usia di lokasi penelitian tahun 2008-2009 ... 62

18. Sebaran jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di lokasi penelitian tahun 2008-2009 ………... 63

19. Sebaran jumlah penduduk menurut mata pencaharian di lokasi penelitian tahun 2008-2009 ………... 64

20. Penggunaan lahan dan vegetasi di lokasi penelitian ... 66

21. Luas panen (ha), hasil per hektar (ton/ha) dan produksi (ton) padi sawah dan padi ladang di Kecamatan Sukamakmur, Babakan Madang, dan Cigudeg tahun 2008 ... 69

22. Produksi buah-buahan dan sayuran Kecamatan Babakan Madang, Cigudeg, dan Sukamakmur... 70


(16)

No. Halaman

23. Variabel penentu tingkat degradasi lahan skala tinjau di lokasi penelitian berdasarkan analisis diskriminan berganda

metode stepwise ... 75 24. Jumlah anggota pada masing-masing klaster hasil analisis

gerombol skala tinjau ……….. 80 25. Kriteria dan selang pengkelasan variabel penentu tingkat

degradasi lahan di lahan kering Kabupaten Bogor pada skala

tinjau ……… 81

26. Persen keragaman masing-masing fungsi diskriminan skala

tinjau ………..…... 84

27. Uji signifikasi fungsi diskriminan dengan Wilks’ Lambda

skala tinjau ………... 84 28. Kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan

kering Kabupaten Bogor pada skala tinjau ………. 85 29. Hasil pengujian ketepatan klasifikasi terhadap fungsi

diskriminan skala tinjau ……….. 88 30. Variabel penentu tingkat degradasi lahan skala semi-detil di

lokasi penelitian berdasarkan analisis diskriminan berganda

metode stepwise ... 89 31. Jumlah anggota pada masing-masing klaster hasil analisis

gerombol skala semi-detil ………... 92 32. Kriteria dan selang pengkelasan variabel penentu tingkat

degradasi lahan di lahan kering Kabupaten Bogor pada skala

semi-detil ………. 93

33. Persen keragaman masing-masing fungsi diskriminan skala

semi-detil ………... 94

34. Uji signifikasi fungsi diskriminan denagn Wilks’ Lambda

skala semi-detil ……… 95

35. Kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan

kering Kabupaten Bogor pada skala semi-detil ………... 96 36. Hasil pengujian ketepatan klasifikasi terhadap fungsi

diskriminan skala tinjau ……….. 99 37. Hasil perhitungan erosi di lokasi penelitian menggunakan


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka pikir pengembangan kriteria dan klasifikasi

tingkat degradasi lahan di lahan kering ... 6

2. Skema persamaan MUSLE ... 23

3. Lokasi penelitian di Kabupaten Bogor ... 41

4. Grafik rata-rata curah hujan bulanan di lokasi penelitian ... 45

5. Singkapan batuan, bentuk erosi alur dan erosi parit di lokasi penelitian pada lahan dengan topografi bergelombang ……... 50

6. Beberapa jenis penggunaan lahan di lokasi penelitian ... 65

7. Keragaan komoditas ubikayu dan produksinya di lokasi penelitian ... 68

8. Grafik koefisien dari skedul aglomerasi hasil analisis gerombol skala tinjau ... 79

9. Dendrogram hasil analisis gerombol skala tinjau ... 80

10. Gambaran lahan dengan berbagai tingkat degradasi lahan di lokasi penelitian pada skala tinjau ... 87

11. Grafik koefisien dari skedul aglomerasi hasil analisis gerombol skala semi-detil ... 91

12. Dendrogram hasil analisis gerombol skala semi-detil ... 92

13. Gambaran lahan dengan berbagai tingkat degradasi di lokasi penelitian di lokasi penelitian pada skala semi-detil ... 98

14. Gambaran erosi lembar, erosi alur, erosi parit pada lahan dengan berbagai tingkat degradasi lahan di lokasi penelitian 102 15. Grafik hubungan antara jumlah erosi dengan tingkat degradasi lahan pada skala tinjau ………... 103

16. Grafik hubungan antara jumlah erosi dengan tingkat degradasi lahan pada skala semi-detil ……… 103


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kelompok batuan bahan induk tanah berdasarkan tingkat

ketahanannya terhadap degradasi lahan ……….. 117 2. Bentuk wilayah dan kelas kemiringan lereng ………. 117 3. Nilai faktor C (pengelolaan tanaman) ... 118 4. Nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi tanah

khusus ... 119 5. Variabel sifat fisik dan kimia di lokasi penelitian ... 121 6. Hasil perhitungan erosi di lokasi penelitian menggunakan

model prediksi Erosi MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation) ... 129


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha (Adimihardja dan Sutono, 2005). Dari luas lahan kering tersebut, 225.309,14 ha berada di Kabupaten Bogor atau sekitar 75 % dari luas total Kabupaten Bogor (299.428,15 ha), digunakan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, padang penggembalaan dan lahan kosong (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2008).

Optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Indonesia termasuk di Kabupaten Bogor masih banyak menghadapi tantangan, terutama karena adanya ancaman degradasi lahan yang dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi (Lal, 2000). Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya lahan-lahan yang tidak produktif yang dikenal dengan lahan kritis (Dariah, et al., 2004). Luas lahan kritis di Indonesia sudah mencapai 21,08 juta ha, dimana 17,35 juta ha lahan kritis tersebut berada di areal pertanian (Kurnia, et al., 2000). Luas lahan kritis tersebut meningkat terus tiap tahunnya dan pada tahun 2006 sudah mencapai 77,80 juta ha (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2006). Sementara itu luas lahan kritis di Kabupaten Bogor pada akhir tahun 2008, sudah mencapai 25.229,98 ha (8,4%) di mana tiap tahunnya menunjukkan adanya peningkatan (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2008).

Menurut Dariah, et al. (2004), penyebab utama degradasi lahan di Indonesia adalah erosi air sebagai akibat curah hujan dengan jumlah dan intensitas yang tinggi, disamping pengelolaan lahan kering berlereng yang tidak memperhatikan aspek konservasi tanah dan kelestarian lingkungan, serta pencemaran bahan kimia (Kurnia, et al., 2000; Syam, 2003; Singer dan Munns, 2006; Tan, 2009). Proses degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi air dikategorikan sebagai degradasi erosif yaitu proses degradasi yang berhubungan dengan pemindahan bahan atau material tanah oleh kekuatan air (Sitorus, 2009).


(20)

Dalam rangka mendukung rencana pemerintah mendayagunakan lahan kering terdegradasi khususnya pada lahan-lahan terlantar atau yang ditelantarkan serta lahan-lahan marjinal untuk pengembangan pertanian, maka perlu dilakukan identifikasi dan inventarisasi tingkat degradasi lahannya, sehingga rencana penggunaan dan tindakan rehabilitasinya dapat disusun dengan lebih terarah dan tepat sasaran. Beberapa instansi pemerintah menggunakan berbagai pendekatan dalam upaya penanggulangan lahan terdegradasi, diantaranya adalah kriteria lahan kritis. Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan menggunakan pendekatan untuk kepentingan reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis yang berada di dalam kawasan hutan di daerah aliran sungai/DAS. Selanjutnya Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan, DITJEN Tanaman Pangan DEPTAN, juga memiliki kriteria lahan kritis dengan parameter-parameternya yang berbeda. Pusat Penelitian Tanah menggunakan penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan, dan kedalaman tanah (solum) untuk menentukan tingkat kekritisan lahan. Parameter-parameter tersebut umumnya dinilai secara kualitatif, sehingga untuk kegunaan praktis agak sukar diaplikasikan, khususnya bagi pelaksana di lapangan. Dengan berbagai macam kriteria dan parameter sumberdaya lahan yang digunakan sebagai parameter penentu kriteria lahan kritis, dapat dipahami terdapat perbedaan data luas dan penyebaran lahan kritis di Indonesia yang menyebabkan prioritas penanganan dan penanggulangannyapun berbeda-beda (Kurnia, et al., 2007).

Pada tahun 2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat telah meneliti dan membuat rancang bangun kriteria lahan terdegradasi, disebut SODEG (Kurnia, 2001) dengan menggunakan pendekatan penilaian parameter-parameter sumberdaya lahan yang bersifat alami (natural assessment), dan paramater-parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (antrophogenic assessment). Model tersebut belum diuji dan divalidasi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda dengan kriteria Pusat Penelitian Tanah tahun 1997. Untuk keperluan perencanaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara nasional, masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Tahun 2007, Balai Penelitian Tanah melakukan penelitian lanjutan dan melakukan perubahan serta perbaikan kriteria degradasi lahan


(21)

sebelumnya terutama terhadap parameter curah hujan, kedalaman tanah, vegetasi, dan teknik konservasi tanah (Kurnia et al., 2007). Hasil dari penelitian tersebut adalah penetapan baku mutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan terdegradasi yang dimaksudkan untuk perencanaan konservasi tanah dan rehabilitasi lahan pertanian pada skala 1:250.000.

Menurut Kurnia, et al. (2007), masih diperlukan perbaikan terhadap kriteria degradasi lahan yang telah dihasilkan terutama parameter curah hujan, kedalaman tanah, serta vegetasi dan penutupannya. Selain itu, karena skala penelitiannya baru pada taraf perencanaan, sehingga dalam aplikasinya masih banyak mengalami hambatan dan kesalahan, maka diperlukan penelitian pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan untuk skala operasional (lebih detil) melalui penelitian yang lebih sistematis.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas secara garis besar dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang terkait dengan penelitian yang dilakukan yaitu :

(1) Lahan kering di Indonesia telah mengalami degradasi yang ditunjukkan oleh semakin bertambahnya lahan kritis setiap tahunnya, dimana pada tahun 2001 sebesar 21,08 juta ha dan pada tahun 2006 sudah mencapai 77,80 juta ha. (2) Dalam upaya mendayagunakan lahan kering terdegradasi khususnya lahan

terlantar atau ditelantarkan (lahan marjinal) untuk pengembangan pertanian di Indonesia diperlukan adanya identifikasi dan inventarisasi tingkat degradasi lahan, sehingga rencana penggunaan dan tindakan rehabilitasi yang disusun lebih terarah dan tepat sasaran. Sementara itu, kriteria dan klasifikasi yang digunakan untuk menilai tingkat degradasi lahan pada lahan kering di Indonesia masih banyak kelemahan dan masih perlu dikembangkan lebih sistematis dan mendalam (lebih detil).

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah :


(22)

1. Menghasilkan kriteria untuk tiap variabel penentu tingkat degradasi lahan di lahan kering pada skala tinjau dan semi-detil.

2. Menghasilkan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan kering pada skala tinjau dan semi-detil.

3. Mengetahui keterkaitan tingkat degradasi lahan dengan erosi. 1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Dapat digunakan untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi tingkat degradasi lahan di lahan kering.

2. Dapat dijadikan dasar dalam perencanaan penggunaan lahan dan tindakan rehabilitasinya

1.5. Kerangka Pemikiran

Degradasi lahan merupakan masalah serius yang melintasi perbatasan negara, zona ekologi dan tingkat sosial-ekonomi. Hal ini sangat membahayakan bagi masyarakat miskin di dunia yang tinggal di lahan kering. Degradasi lahan berdampak pada penurunan produktivitas pertanian dan pada akhirnya menurunkan tingkat pendapatan masyarakat. Adanya ancaman degradasi lahan yang semakin serius, dimana Proyek GLASOD menghitung, sudah 22,5 % dari total lahan produktif di dunia terdegradasi sejak tahun 1945, dan kondisi sampai saat ini bertambah dengan sangat cepat (Stocking dan Murnaghan, 2000). Penyebab utama degradasi lahan di dunia adalah akibat erosi baik oleh agensia air ataupun angin, kemudian degradasi kimia dan degradasi fisik. Secara global, dari total luas lahan terdegradasi sebesar 19,65 juta km2, 10,94 juta km2

Penyebab utama degradasi lahan di Indonesia juga disebabkan oleh erosi air, khususnya di wilayah Indonesia bagian barat dengan curah hujan yang tinggi baik jumlah maupun intensitasnya. Oleh karena itu, berdasarkan prosesnya dikenal degradasi yang bersifat erosif dan non-erosif (Barrow, 1991; Sitorus, 2009). Degradasi erosif berhubungan dengan pemindahan bahan atau mineral tanah oleh erosi air dan angin, sedangkan degradasi non-erosif merupakan

(55,7%) disebabkan oleh erosi air dan sisanya adalah erosi angin, degradasi kimia dan degradasi fisik (Eswaran et al., 2001).


(23)

deteriorasi (kerusakan) in-situ yang dapat merupakan proses degradasi kimia tanah atau fisika tanah.

Ruang lingkup dari penelitian ini dibatasi pada degradasi yang bersifat erosif yang meliputi faktor-faktor penyebabnya sebagai parameter-parameter yang akan digunakan dalam penyusunan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan dengan menggunakan metode statistik sebagai alat analisisnya. Menurut Lal, et al. (1998), metode yang dikembangkan untuk penilaian tingkat degradasi lahan harus sederhana, murah, mudah digunakan, dan dapat menghubungkan antara tingkat degradasi lahan dengan produktivitas dan tindakan pengelolaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam mengembangkan metodologi identifikasi tingkat degradasi lahan perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: (i) kualitas lahan (ii) resiliensi tanah, (iii) iklim, dan (iv) pengelolaan termasuk penggunaan lahan dan sistem usahatani.

Erosi sebagai penyebab utama proses degradasi lahan yang bersifat erosif merupakan interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi dan manusia terhadap tanah. Oleh karena itu dalam pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan harus dapat melibatkan kelima faktor tersebut. Untuk memudahkan dalam melakukan pengkriteriaan dan pengklasifikasian tingkat degradasi lahan, maka faktor-faktor tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi faktor biofisik (faktor alami) dan faktor penggunaan lahan serta manajemennya (faktor yang dipengaruhi aktivitas manusia). Faktor biofisik meliputi : kondisi erosi tanah, tanah, kemiringan lereng, ketinggian tempat, dan curah hujan. Faktor pengunaan lahan dan manajemen dapat dikelompokkan menjadi : penggunaan lahan dengan vegetasi alam, penggunaan lahan dengan campur tangan manusia, dan tindakan konservasi.

Secara ringkas kerangka pikir penelitian pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan kering yang didasarkan pada parameter biofisik dan penggunaan lahan serta manajemennya dapat digambarkan seperti tertera pada Gambar 1.


(24)

Gambar 1. Kerangka pikir pengembangan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan pada lahan kering

KRITERIA DAN KLASIFIKASI TINGKAT DEGRADASI LAHAN SKALA TINJAU

Variabel Penentu Degradasi Skala Tinjau

Analisis Regresi Sederhana - Prediksi Erosi MUSLE

Variabel Penentu Degradasi Skala Semi-Detil

Penyusunan Kriteria (Selang Pengkelasan)

Penyusunan Kriteria (Selang Pengkelasan)

KRITERIA DAN KLASIFIKASI TINGKAT DEGRADASI LAHAN SKALA SEMI-DETIL

Analisis Regresi Sederhana - Prediksi Erosi MUSLE ANALISIS STATISTIK

Analisis Gerombol Analisis Diskriminan Berganda

dengan Metode Stepwise

FAKTOR ALAMI PENGARUH MANUSIA

DEGRADASI EROSIF DEGRADASI NON-EROSIF

EROSI AIR

Erosi Lembar Erosi Alur Erosi Parit

- Iklim (Curah Hujan) - Topografi

(Kemiringan Lereng) - Tanah

- Penggunaan Lahan (Vegetasi)

- Manajemen

(Pengelolaan Lahan)

SURVEI LAPANG PETA DASAR

PETA TEMATIK

DEGRADASI LAHAN

ANALISIS LABORATORIUM


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Kering (Drylands)

Menurut Notohadiprawiro (1989), penggunaan istilah “lahan kering” di Indonesia belum disepakati dengan benar. Ada yang menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau unirrigated land. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu diperhatikan tiga hal berikut, yaitu :

1) Iklim kering dalam istilah Bahasa Inggris adalah arid land yang artinya : (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang daripada 250 mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi meskipun jumlahnya sedikit, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk dilakukannya pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan aktual. 2) Keadaan lahan yang berkaitan dengan drainase alamiah lancar (bukan rawa,

dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah alamiah lain). 3) Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.

Untuk rujukan pertama dapat digunakan istilah “daerah kering” atau “kawasan iklim kering”. Untuk rujukan kedua dapat dipilih istilah “lahan atasan” (upland). Untuk rujukan ketiga dapat diterapkan istilah “lahan kering”. Jadi, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan.

Barrow (1991), mendefinisikan lahan kering sebagai kondisi lingkungan dimana terdapat defisiensi kelembaban secara permanen, musiman maupun periodik. Dariah et al. (2004) mendefinisikan lahan kering sebagai hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun atau sepanjang waktu. Kondisi seperti ini dapat dijumpai di daerah tropis, subtropis, temperate, maupun kutub. Vegetasi penutup di lahan kering sangat mudah rusak dan jika hal ini terjadi, maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya. Tanah di lahan kering sering mengalami kekurangan humus ataupun unsur hara, diantaranya pospat, dan ketersediaannya berkurang dengan cepat (Barrow, 1991).


(26)

Luas lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan kering di dunia kurang lebih 35% dari luas total atau sekitar 30 – 40 juta km2, dan diantaranya : 14% tergolong semi-arid (21,2 juta km2), dan 4% (5,8 juta km2

Banyak permasalahan yang dijumpai di lahan kering diantaranya : drainase yang sangat cepat, adanya pengkerakan tanah (soil crusting), kandungan garam atau basa yang sangat tinggi, rendahnya hara, dan kapasitas infiltrasi yang lambat, disamping faktor hama dan penyakit yang menjadi kendala atau pembatas bagi pertumbuhan tanaman.

) merupakan daerah yang sangat kering (extreemely arid) (Barrow, 1991). Menurut Heathcote (1983) dalam Barrow (1991), diperkirakan 37% lahan kering berada di Afrika, 34% di Asia, 13% di Australia, 8% di Amerika Utara, 6% di Amerika Selatan, dan 2% di Spanyol. Pada daerah tersebut terdapat 500 juta sampai 850 juta penduduk yang tinggal menetap dan kehidupannya sangat tergantung pada daerah tersebut.

Jenis tanah utama lahan kering di Indonesia adalah Podsolik Merah-Kuning (yang meliputi : Ultisol dan Inceptisol) seluas 23,3 juta ha atau 21 persen dari luas seluruh lahan kering, dan Latosol (meliputi : Oxisol, Ultisol dan Inceptisol) seluas 16,4 juta ha atau 15 persen dari luas seluruh lahan kering. Komplek tanah seluas 54,7 juta ha atau 49,1 persen dari luas seluruh lahan kering kebanyakan mencakup Ultisol (Muljadi dan Arsyad, 1967; Sudjadi, 1984). Jadi, lahan kering didominasi oleh Ultisol dan urutan berikutnya adalah Inceptisol dan Oxisol. Dilihat dari jenis tanahnya, lahan kering dengan jenis tanah Ultisol dan Oxisol berpotensi rendah, contohnya yang paling banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Ultisol dan Oxisol termasuk tanah bermasalah (problem soils). Inceptisol yang berasosiasi dengan Ultisol atau Oxisol memiliki sifat-sifat mirip Ultisol atau Oxisol.

Kendala tanah Ultisol dapat diringkas sebagai berikut : 1) Kejenuhan Al tinggi

2) Sering mengandung Mn dalam jumlah yang banyak sehingga meracuni 3) Sangat miskin hara

4) Kejenuhan basa, kadar bahan organik dan pH rendah 5) Daya mengikat P dan anion lain kuat


(27)

6) Mudah mengalami penurunan kadar air karena kapasitas menyimpan air rendah sekali, yaitu 0,10 – 0,15 fraksi volum, bahkan dapat hanya 85 mm/m. 7) Peka terhadap erosi karena lapisan permukaan mudah mengalami pemadatan

oleh tekanan beban yang menyebabkan laju infiltrasi lambat dan permeabilitas rendah.

Kendala tanah oxisol antara lain : 1) Kejenuhan Al tinggi

2) KTK (Kapasitas Tukar Kation) rendah sekali

3) Sangat miskin hara dan cadangan mineral mudah lapuk rendah 4) Sering kahat S, B dan Mo

5) Daya mengikat P dan anion lain kuat

6) Tekstur yang sangat porous menyebabkan kelembaban tanah rendah dan pencucian kuat.

Meskipun potensi tanahnya rendah, tetapi karena potensi luasnya sangat besar, lahan kering harus dipandang sebagai suatu aset nasional yang perlu diperhatikan dan dimanfaatkan. Perhatian dan pemanfaatannya lebih perlu lagi kalau diingat bahwa lahan sawah (lowland) yang berpotensi baik sudah semakin banyak pemanfaatannya, tidak hanya untuk pertanian tetapi juga untuk keperluan non-pertanian.

2.2. Degradasi Lahan

Degradasi lahan merupakan salah satu masalah yang paling krusial saat sekarang, dan masalahnya terus meningkat di seluruh dunia, terutama di negara-negara tropis yang masih berkembang (Kertez, 2009). Sementara itu, masalah degradasi lahan baru mendapat perhatian yang sangat sedikit dari pemerintah dan masyarakat. Apabila pemerintah dan masyarakat kurang peduli terhadap kelestarian sumberdaya lahan, khususnya dalam pengelolaannya maka proses degradasi lahan akan terus meningkat dan mgancam kelestarian sumberdaya alam sebagai alat pemenuhan kebutuhan huidup. Menurut Ballayan (2000), pengelolaan tanah yang berkelanjutan dengan menerapkan tindakan konservasi tanah yang baik merupakan kunci pengelolaan lahan berkelanjutan diantaranya dapat melindungi sumberdaya tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan yang sangat penting dapat mengurangi efek kekeringan di daerah semi-arid.


(28)

Degradasi lahan didefinisikan sebagai berkurangnya kemampuan tanah untuk berproduksi jangka panjang yaitu dalam kaitannya dengan kuantitas, kualitas dan penghasil barang atau jasa pada masa sekarang dan masa yang akan datang (Sitorus, 2009), termasuk berkurangnya atau hilangnya produktivitas biologis dan fungsi tanah sebagai ekosistem (Hudson dan Ayala, 2006; Acharya dan Kafle, 2009). Degradasi lahan secara kuantitatif meliputi : kehilangan tanah karena erosi, gerakan massa tanah dan larutan tanah, atau secara kualitatif meliputi : penurunan kesuburan tanah, berkurangnya hara tanaman; perubahan struktur; perubahan aerasi/kadar kelembaban tanah; berubahnya unsur mikro, seperti kadar garam dan senyawa alkalin; polusi beberapa campuran bahan kimia; perubahan flora dan fauna tanah (Sitorus, 2009).

Degradasi lahan dapat terjadi secara alami, seperti: penghanyutan tanah/erosi, pembentukan fragipan, pembentukan laterit/plintit, atau pun karena pengaruh manusia (anthropogenic) (Haridjaja, 2008). Proses degradasi lahan secara alami sering dipercepat oleh aktivitas manusia seperti deforestasi (penggurunan), pengolahan tanah, penggunaan lahan yang intensif, dan lain-lain (Las et al., 2006). Tingkat degradasi lahan tergantung pada kecepatan proses degradasi lahan, penggunaan lahan, lamanya penggunaan lahan, dan tindakan pengelolaan (management) (Acharya dan Kafle, 2009).

Proses degradasi lahan menurut Kertez (2009) dan Tan (2009) dapat dikelompokkan atas lima kelompok, yaitu : (1) soil sealing, yang terjadi akibat kegiatan pembuatan konstruksi jalan, kereta api, ataupun bangunan sehingga permukaan tanah menjadi padat dan tidak dapat berfungsi dengan benar apalagi tanpa vegetasi di atasnya ; (2) erosi tanah, termasuk proses-proses seperti erosi percikan, erosi permukaan, erosi parit, dan macam-macam bentuk bergeraknya massa tanah (longsor dan banjir lumpur); (3) pencemaran tanah, terjadi akibat penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk, pestisida, dan limbah pertanian/industri) menyebabkan asidifikasi dan eutrofikasi; (4) Salinisasi, yaitu adanya akumulasi garam dipermukaan tanah terjadi melalui evaporasi terutama di daerah kering dan dekat pantai; (5) pemadatan tanah, terjadi pada daerah pertanian yang pengolahan tanahnya, budidaya, dan pasca panennya menggunakan mesin/alat berat..


(29)

Degradasi lahan dapat terjadi akibat dari bencana alam atau karena penggunaan lahan tidak sesuai dan praktek-praktek pengelolaan lahan yang tidak tepat, serta faktor-faktor bencana alam mencakup iklim dan topografi tanah seperti lereng yang curam, sering banjir, bertiupnya angin berkecepatan tinggi, hujan dengan intensitas tinggi, pencucian kuat di daerah lembab dan kondisi kekeringan di daerah arid. Deforestasi yang parah, penebangan vegetasi yang berlebihan, perladangan berpindah, ladang penggembalaan yang berlebihan, penggunaan pupuk yang tidak seimbang dan tidak adanya adopsi teknik konservasi tanah dan air, pemompaan/pengambilan air tanah berlebihan (yang melebihi kapasitas untuk mengisi ulang) adalah beberapa faktor-faktor yang datang karena campur tangan manusia yang menyebabkan erosi tanah yang berujung pada degradasi lahan (Ballayan, 2000).

Salah satu bentuk degradasi lahan adalah lahan kritis. Lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Pada lahan ini terdapat satu atau lebih faktor penghambat yang kurang mendukung dalam usaha-usaha pemanfaatan kegiatan pertanian (Sitorus, 2004).

Lahan dapat dikategorikan lahan kritis apabila lahan tersebut mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi secara fisik kimia, hidroorologi, dan sosial ekonomi. Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan/toksisitasnya tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman bila lahan tersebut diusahakan sebagai areal pertanian.

Fungsi hidroorologi lahan berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap, dan menyimpan air. Lahan kritis secara hidroorologi berkaitan dengan berkurangnya kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari ketiga kemampuannya tadi.

Lahan kritis secara ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik,


(30)

tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi (misalnya sengketa pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi sangat rendah), maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar.

Degradasi lahan kering di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan, terutama di Indonesia bagian Barat (Dariah et al., 2004). Oleh karena itu, Sitorus (2009) menggolongkan proses degradasi lahan menjadi dua yaitu : degradasi erosif dan degradasi non-erosif. Degradasi erosif berhubungan dengan pemindahan bahan atau material tanah oleh air dan angin. Hasil penelitian Kurnia et al. (2000), menunjukkan bahwa besarnya erosi pada Ultisol Lampung berlereng 3% berkisar antara 97,7-144,5 ton/ha/tahun atau rata-rata 1,5 cm/tahun, sedangkan erosi pada Ultisol Sumatera Selatan dengan lereng 15% sebesar 423,6 ton/ha/tahun atau rata-rata 5 cm/tahun. Hilangnya tanah lapisan atas setebal 1,5-5,0 cm tersebut akan mempercepat penurunan produktivitas tanah, karena dalam waktu relatif singkat lapisan tanah atas yang tebalnya terbatas akan cepat hilang. 2.3. Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak Degradasi Lahan

Banyak faktor penyebab degradasi lahan, diantaranya adalah adanya tekanan jumlah penduduk, meningkatnya urbanisasi, dan perubahan iklim. Selanjutnya faktor-faktor penyebab degradasi lahan dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu : (1) faktor jangka panjang, antara lain terlihat dalam sistem usaha pertanian, pertambangan dan praktek-praktek produksi lainnya yang telah menyebabkan erosi tanah, pengurasan unsur hara tanah, polusi sungai dan air tanah, dan penggurunan yang timbul akibat deforestasi; (2) faktor jangka pendek meliputi faktor-faktor fisik alam dan karakteristik lain dari tanah, yang mempengaruhi erodibilitas tanah dan kemampuannya untuk menyimpan, mengalirkan air dan memegang nutrisi; topografi dan kondisi iklim (Diao dan Daniel, 2007).

Menurut Atmojo (2006), bahwa degradasi lahan yang terjadi di Indonesia setelah 30 tahun mulai nampak dan terus mengalami peningkatan. Beberapa indikator yang menunjukkan adanya degradasi lahan, diantaranya adalah: (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) tingkat kesuburan lahan merosot, (3)


(31)

konversi lahan pertanian semakin meningkat, (4) lahan kritis semakin meluas, (5) tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, dan (6) daya dukung lingkungan merosot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi lahan berupa penurunan daya dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1) erosi, 2) pencemaran agrokimia, 3) pencemaran industri, 4) pertambangan dan 5) galian C, serta alih fungsi lahan.

1. Erosi. Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat

produktivitas lahan DAS bagian hulu, yang berakibat terhadap luas lahan kritis semakin meningkat. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering akan menyebabkan degradasi lahan. Misalnya, lahan didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor. Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan bentuk degradasi lahan yang sangat dominan.

Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen (hutan) menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforestration) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS). Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak terjadi deforestration atau penebangan hutan secara liar, baik di hutan produksi maupun di hutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Pada tahun 2000, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha, sedangkan tahun 2002 mengindikasikan meningkat menjadi 94,17 juta ha, atau meningkat 65,5 % selama 2 tahun. Kerusakan yang disebabkan erosi tidak hanya dirasakan dibagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh dibagian hilir (off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya lahan kritis. Dibagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan di musim kemarau.


(32)

Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak-berlanjutan kegiatan usahatani di wilayah hulu suatu DAS. Erosi yang intensif di lahan pertanian menyebabkan semakin menurunnya produktivitas usahatani karena hilangnya lapisan tanah bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas yang keras. Penurunan produktivitas usahatani secara langsung akan diikuti oleh penurunan pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Selain menyebabkan ketidak-berlanjutan usahatani di wilayah hulu, kegiatan usahatani tersebut juga menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan di wilayah hilir, yang akan menyebabkan ketidak-berlanjutan beberapa kegiatan usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat terjadinya pengendapan sedimen, kerusakan sarana irigasi, bahaya banjir dimusim penghujan dan kekeringan dimusim kemarau.

2. Pencemaran Agrokimia. Tingkat pencemaran dan kerusakan

lingkungan di lingkungan pertanian dapat disebabkan karena penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak proporsional. Pada tahun enampuluhan terjadi biorevolusi di bidang pertanian, yang dikenal dengan revolusi hijau dan telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara spektakuler, yaitu dengan diperkenalkannya penggunaan agrokimia, baik berupa pupuk anorganik, maupun obat-obatan (insektisida). Dengan revolusi hijau tersebut, produksi pangan dunia meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis pangan. Namun demikian, dampak penggunaan agrokimia mulai dirasakan saat ini. Dampak negatif dari penggunaan agrokimia antara lain berupa pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunnya keanekaragaman hayati, ketidak berdayaan petani dalam pengadaan bibit, pupuk dan dalam menentukan komoditas yang akan ditanam.

Penggunaan pestisida yang berlebihan dalam kurun waktu yang panjang, akan berdampak pada kehidupan dan keberadaan musuh alami hama dan penyakit, dan juga berdampak pada kehidupan biota tanah. Hal ini menyebabkan terjadinya ledakan hama penyakit dan degradasi biota tanah. Sementara itu, pada saat ini residu pestisida akan menjadi faktor penentu daya saing produk-produk


(33)

pertanian yang akan memasuki pasar global sehingga penggunaan pestisida secara berlebihan perlu dihindari

Penggunaan pupuk anorganik yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah. Misalnya petani menggunakan urea (hanya mengandung hara N) saja dalam dosis tinggi secara terus menerus, sementara tanaman mengambil unsur hara tidak hanya N (nitrogen) dalam jumlah yang banyak, maka akan terjadi pengurasan hara lainnya. Unsur hara pokok yang dibutuhkan tanaman semuanya ada 16 unsur, sehingga apabila tidak ditambahkan akan terjadi pengurasan hara lainnya (15 hara) dan pada saatnya akan terjadi kemerosotan kesuburan karena terjadi kekurangan hara lain.

Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sementara itu, sistem pertanian bisa menjadi berkelanjutan (sustainable) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %. Bahan organik tanah disamping memberikan unsur hara tanaman yang lengkap juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah. Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang kesuburan fisiknya akan semakin menurun.

3. Pencemaran Industri. Pencemaran dan kerusakan lingkungan di

lingkungan pertanian dapat juga disebabkan karena kegiatan industri. Pengembangan sektor industri akan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan pertanian, dikarenakan adanya limbah cair, gas dan padatan yang asing bagi lingkungan pertanian. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa gas buang seperti belerang dioksida (SO2) akan menyebabkan terjadinya hujan asam dan akan merusak lahan pertanian. Selain itu, adanya limbah cair dengan kandungan logam berat beracun (Pb, Ni, Cd, Hg) akan menyebabkan degradasi lahan pertanian dan terjadinya pencemaran air. Limbah cair ini apabila masuk ke


(34)

badan air pengairan, dampak negatifnya akan menyebar secara luas. Penggalakan terhadap program kali bersih dan langit biru perlu dilakukan, dan penerapan sangsi bagi pengusaha yang mengotori tanah, air dan udara.

4. Pertambangan dan galian C. Usaha pertambangan besar sering

dilakukan di atas lahan yang subur atau hutan yang permanen. Dampak negatif pertambangan dapat berupa rusaknya permukaan bekas penambangan yang tidak teratur, hilangnya lapisan tanah yang subur, dan sisa ekstraksi (tailing) yang akan berpengaruh pada reaksi tanah dan komposisi tanah. Sisa ektraksi ini bisa bereaksi sangat asam atau sangat basa, sehingga akan berpengaruh pada degradasi kesuburan tanah.

Demikian juga semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bangunan terutama batu bata dan genteng, akan menyebabkan kebutuhan tanah galian juga semakin banyak (galian C). Tanah untuk pembuatan batu bata dan genteng lebih cocok pada tanah tanah yang subur yang produktif. Dengan dipicu dari rendahnya tingkat keuntungan berusaha tani dan besarnya resiko kegagalan, menyebabkan lahan-lahan pertanian banyak digunakan untuk pembuatan batu bata, genteng dan tembikar. Penggalian tanah sawah untuk galian C disamping akan merusak tata air pengairan (irigasi dan drainase) juga akan terjadi kehilangan lapisan tanah bagian atas (top soil) yang relatif lebih subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawahan (sub soil) yang kurang subur, sehingga lahan sawah akan menjadi tidak produktif.

5. Alih fungsi lahan. Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat

akhir-akhir ini merupakan salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya insentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam periode tahun 1981-1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa, dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih penggunaan ke non-pertanian, terutama ke areal industri dan perumahan.


(35)

2.4. Klasifikasi Degradasi Lahan

Pada umumya untuk mengetahui tingkat degradasi lahan disusun klasifikasi degradasi lahan. Pengklasifikasian degradasi lahan dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu tingkat global (GLASOD), tingkat regional (ASSOD) dan tingkat nasional di masing-masing negara. Klasifikasi degradasi lahan tingkat global dan regional lebih menekankan pada faktor eksternal erosi, serta faktor internal memburuknya sifat kimia dan sifat fisik tanah akibat ulah manusia (FAO, 1979; Oldeman, 1991). Klasifikasi degradasi lahan di Indonesia beragam (Firmansyah et al., 2008). Menurut Suwardjo et al. (1996), klasifikasi degradasi lahan di sektor kehutanan menekankan aspek hidrologi lahan, sektor transmigrasi melihatnya sebagai tanah marjinal, dan sektor pertanian mengartikannya sebagai tanah kritis, sedangkan PP No. 150/2000 menyebutnya sebagai tanah rusak.

Klasifikasi degradasi lahan menurut Direktorat RKT (1997), disusun berdasarkan tingkat kekritisan lahan yang dapat digolongkan ke dalam lima kelompok yaitu : (1) sangat kritis, (2) kritis, (3) agak kritis, (4) potensial kritis, (5) tidak kritis. Kriteria pengelompokkan ini didasarkan pada faktor-faktor : penutupan lahan, kemiringan lereng, erosi, penutupan oleh batuan, dan tingkat pengelolaan (manajemen).

Sementara itu menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) pengklasifikasian tingkat kekritisan lahan didasarkan pada parameter kondisi penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan dan kedalaman tanah. Parameter-parameter tersebut selanjutnya digunakan untuk membedakan lahan kritis ke dalam empat tingkat kekritisan yaitu : potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997.

Parameter Potensial Kritis Semi Kritis Kritis Sangat Kritis

Penutupan vegetasi > 75% 50 - 75% 25 - 50% < 25% Tingkat torehan/

Kerapatan drainase

Agak tertoreh s/d Cukup tertoreh

Cukup tertoreh s/d Sangat tertoreh

Sangat tertoreh s/d Sangat teroreh sekali

Sangat tertoreh sekali

Penggunaan lahan/ Hutan, Kebun campuran, Pertanian lahan kering, Pertanian lahan kering, Gundul, Rumput, Semak

Vegetasi Belukar, Perkebunan Semak belukar, Alang- alang

Rumput, Semak

Kedalaman tanah Dalam (>100 cm)

Sedang (60 - 100 cm)

Dangkal (30 - 60 cm)

Sangat Dangkal (< 30 cm)


(36)

Secara rinci ciri-ciri kondisi lapang setiap kriteria dan parameter lahan kritis di atas menurut Kurnia et al. (2002) adalah sebagai berikut :

1) Lahan yang potensial kritis adalah lahan-lahan yang (a) masih tertutup vegetasi lebih 75%, tetapi karena topografi dan sifat-sifat litologinya sedemikian rupa atau keadaan lereng yang curam maka bila vegetasi dibuka lahan akan mudah longsor dan terjadi erosi yang kuat serta lahan cepat menjadi kritis, (b) keadaan tanah masih cukup dalam dan (c) lahan masih mempunyai fungsi produksi dan hidrologi yang cukup baik tetapi bahaya erosi untuk menjadi kritis sangat besar bila lahan tersebut dibuka.

2) Lahan semi kritis adalah lahan dengan : (a) presentasi penutupan lahan 50% sampai 75%, (b) tumbuhan atau vegetasi umumnya alang-alang, rumput dan semak belukar, (c) lahan telah mengalami erosi ringan sampai sedang, tetapi produktivitasnya rendah, (d) lahan masih produktif tetapi tingkat erosinya tinggi sehingga secara hidrologis tidak berfungsi. Bila tidak diadakan upaya perbaikan maka dalam waktu relatif singkat akan menjadi kritis, (e) kedalaman tanah sedang sampai agak dalam.

3) Lahan kritis adalah lahan dengan : (a) vegetasi penutupan lahan 25% sampai 50% dengan tumbuhan rerumputan dan alang-alang dimana pertumbuhannya sangat kerdil, (b) erosi sedang sampai berat, (c) lahan tidak produktif dengan bahaya erosi cukup tinggi dan (d) lereng 3 – 45%.

4) Lahan sangat kritis mempunyai ciri-ciri : (a) persentase penutupan lahan kurang dari 25% atau gundul, (b) tanah dangkal, (c) lahan dengan bahaya erosi sangat tinggi umumnya pada lereng > 8%.

Dengan pertimbangan bahwa : (a) tanah sebagai salah satu sumberdaya alam, tempat tumbuh, media lingkungan, dan faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestariannya; (b) meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumberdaya alam lainnya yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu dan fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa yaitu No. 150 tahun 2000. Dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini dijelaskan tentang kriteria kerusakan tanah untuk produksi biomassa.


(37)

Pada tahun 2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat telah meneliti dan membuat rancang bangun kriteria lahan terdegradasi, disebut SODEG (Kurnia, 2001) dengan menggunakan pendekatan penilaian parameter-parameter sumberdaya lahan yang bersifat alami (natural assessment), dan paramater-parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (antrophogenic assessment). Model tersebut belum diuji dan divalidasi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda dengan kriteria Pusat Penelitian Tanah tahun 1997.

Balai Penelitian Tanah pada tahun 2007 melakukan penelitian lanjutan dan melakukan perubahan dan perbaikan kriteria degradasi lahan sebelumnya terutama terhadap parameter curah hujan, kedalaman tanah, vegetasi, dan teknik konservasi tanah (Kurnia et al., 2007). Hasil dari penelitian tersebut adalah penetapan baku mutu parameter degradasi lahan dan kriteria lahan terdegradasi yang dimaksudkan untuk perencanaan konservasi tanah dan rehabilitasi lahan pertanian pada skala 1:250.000. Parameter dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter-parameter lahan terdegradasi dan kriteria lahan terdegradasi menurut Balai Penelitian Tanah tahun 2007 .

Parameter Kriteria Skor Input/keterangan

Natural assessment

1. Curah hujan 1. Rendah 5 < 1.000 mm/tahun 2. Agak rendah 4 1.000-2.000 mm/tahun 3. Sedang 3 2.000-3.000 mm/tahun 4. Agak tinggi 2 3.000-4.000 mm/tahun 3. Tinggi 1 > 4.000 mm/tahun 2. Bahan induk 1. Tahan 5 Tabel Lampiran 1 2. Agak tahan 3 Tabel Lampiran 1 3. Peka 1 Tabel Lampiran 1 3. Bentuk wilayah 1. Datar 5 Tabel Lampiran 2

2. Berombak 4 Tabel Lampiran 2 3. Bergelombang 3 Tabel Lampiran 2 4. Berbukit 2 Tabel Lampiran 2 5. Bergunung 1 Tabel Lampiran 2 4. Kedalaman tanah 1. Dalam 5 > 50 cm


(38)

Tabel 2. (Lanjutan)

Parameter Kriteria Skor Input/keterangan

Antrophogenic assessment

5. Jenis vegetasi 1. Hutan/tanaman ta- hunan/agroforestry

5 Jenis tanaman

2. Semak belukar 4 Semak, kebun campuran 3. Padang rumput,

alang-alang

3 Rumput-rumputan

4. Tanaman semusim 2 Jenis tanaman 5. Tanpa vegetasi 1 Non-tanaman 6. Penutupan vegetasi 1. Rapat sekali 5 >75%

2. Rapat 4 50-75% 3. Cukup rapat 3 25-<50% 4. Jarang 2 15-<25 % 5. Tanpa/bera 1 < 15% 7. Penerapan teknik

konservasi tanah

1. Baik 5 Terasering terpelihara,

alley cropping, sistem

kontur

2. Sedang 3 Ada, tetapi tidak terpelihara

3. Jelek 1 Tak ada atau tidak sesuai kontur

Kelas lahan terdegradasi

Kelas lahan terdegradasi Total skor Ringan >25 Sedang 15 – 25 Berat < 15

2.5. Metode Pengukuran Degradasi Lahan

Metode untuk penelitian degradasi lahan tergantung pada tipe degradasi lahannya yaitu degradasi fisik, kimia, atau biologi. Penelitian degradasi lahan membutuhkan penelitian dari masing-masing komponen proses. Pendekatan degradasi lahan mulai dari observasi kualitatif sederhana di lapangan sampai menggunakan model simulasi komputer dengan proses yang kompleks/rumit.

Menurut Herndanez (1999), metode penelitian degradasi lahan yang sudah diadopsi adalah menggunakan pendekatan parametrik semi-kuantitatif, dengan alasan antara lain : (1) metode ini relatif cepat dan tidak mahal serta tidak memerlukan desain penelitian lapangan yang memerlukan waktu yang lama dan penggunaan model simulasi komputer yang canggih; (2) tujuan utama dari penelitian degradasi lahan ini adalah untuk menjelaskan mengenai gambaran tentang status degradasi lahan secara cepat, murah, dan efisien dengan sedikit membutuhkan keahlian khusus dalam proses permodelan ataupun data yang sangat spesifik.


(39)

Metode yang paling fundamental untuk pengukuran degradasi lahan adalah bahwa degradasi lahan (D) merupakan fungsi dari iklim (C), resistensi tanah (S), faktor topografi (T), vegetasi alami (V), penggunaan lahan (L), dan Manajemen (M). Oleh karena itu, pada penggunaan lahan yang aktual, D = f(C, S, T, V, L, M).

Namun demikian metode untuk mengukur tingkat degradasi lahan masih terus dikembangkan dan terus diperbaharui, karena memang belum didapatkan suatu metode yang dapat digunakan untuk menilai tingkat degradasi lahan di suatu wilayah yang didasarkan pada hasil penelitian dan data-data yang akurat, sehingga kriteria yang digunakan masih kasar.

Menurut Ballayan (2000), metode pengukuran degradasi lahan dapat didekati menggunakan metode prediksi erosi, dimana metode ini telah dikembangkan oleh Cook pada tahun 1936 dan kemudian diadopsi oleh Wischmeier tahun 1978. GLASSOD mengembangkan metode degradasi lahan di lahan kering untuk skala global yang bersifat umum mulai tahun 1990 dan didasarkan pada estimasi-estimasi para pakar secara kualitatif (Sitorus, 2009).

2.6. Erosi Tanah

Erosi tanah merupakan suatu proses yang terdiri dari dua fase, yaitu: penghancuran atau pelepasan partikel secara individual dari masa tanah dan fase pengangkutan oleh suatu agen (air) (Gardiner dan Miller, 2004). Apabila energi untuk mengangkut tersebut telah cukup menurun, maka akan terjadi proses berikutnya, yaitu deposisi. Terjadinya endapan lumpur di sungai-sungai dapat digunakan sebagai indikator erosi tanah yang semakin meningkat.

Menurut Arsyad (2006) dan Sitorus (2009) secara umum erosi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu erosi geologi (geologic erosion) dan erosi dipercepat (accelerated erosion). Erosi geologi merupakan ukuran besarnya tanah hilang yang masih dapat diperkenankan, sedangkan erosi dipercepat merupakan tingkatan erosi yang merusak. Erosi dipercepat pada saat ini merupakan masalah serius, dan erosi tersebut telah terjadi semenjak manusia mulai mengusahakan lahan.

Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah antara lain: curah hujan, aliran permukaan, angin, tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah. Arsyad (2006) mengemukakan bahwa


(40)

faktor-faktor yang mempengaruhi erosi adalah iklim (i), topografi (r), tumbuh-tumbuhan (v), tanah (t) dan manusia (m). Lebih lanjut dinyatakan dalam persamaan deskriptif sebagai berikut :

E = f(i, r, v, t, m)

Faktor-faktor yang mempengaruhi E (erosi) tersebut dapat digunakan sebagai indikator ada tidaknya kerusakan tanah di suatu wilayah. Faktor-faktor dalam persamaan di atas dapat dikelompokkan menjadi dua peubah, yaitu : (1) peubah yang dapat dipengaruhi manusia (jenis tumbuhan di atas tanah), sebagian dari sifat tanah diantaranya adalah kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi, serta unsur topografi yaitu panjang lereng; (2) peubah yang tidak dapat dipengaruhi oleh manusia (iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng atau kemiringan lereng), sedangkan faktor manusia sendiri tergantung dari aktivitasnya di atas tanah, yaitu berupa tata guna atau penggunaan lahan.

Secara aktual, peristiwa erosi pada permukaan tanah yang berlereng tidak dapat dihindarkan. Atau dengan kata lain bahwa laju erosi tidak dapat diturunkan menjadi nol (zero erosion) pada lahan usahatani. Namun penilaian erosi tanah yang ada sampai saat ini kebanyakan masih kualitatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan prediksi dengan model erosi yang telah tersedia. Salah satu diantaranya adalah model erosi yang biasa digunakan di daerah tropis, yaitu metode MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation) yang dikemukakan oleh Kinnel dan Risse (1998) dalam Arsyad (2006), dimana model ini dapat digunakan lebih baik dalam model AGNPS (Agricultural Non Point Source of Pollution). Model persamaan tersebut dinyatakan dalam suatu hubungan matematis sebagai berikut :

Ae = RUMe x KUMe x L x S x CUMe x P dimana A

UMe

e adalah besarnya erosi (ton/ha/th), RUMe adalah indeks erosivitas hujan, KUMe adalah nilai erodibilitas tanah, L adalah panjang lereng, S adalah faktor kemiringan lereng, CUMe adalah faktor pengelolaan tanaman, dan PUMe

R

adalah faktor pengelolaan tanah (tindakan konservasi tanah). Pada model MUSLE faktor curah hujan ditetapkan dengan menggunakan persamaan berikut:

Ume = Qr.EI

yang menyatakan Qr adalah rasio aliran permukaan kejadian hujan (Qe) terhadap besarnya curah hujan pada kejadian tersebut (Be). Sesuai dengan perubahan


(41)

persamaan R nilai K yang menjadi KUMe

MUSLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk meprediksi erosi rata-rata jangka panjang dari erosi lembar atau alur di bawah keadaan tertentu dengan memperhitungkan besarnya aliran permukaan pada setiap kejadian hujan (Arsyad, 2006). Hasil prediksi erosi dapat digunakan untuk perencanaan pengelolaan lahan atau tindakan konservasi tanah yang mungkin akan dilakukan pada suatu bidang tanah tertentu. Secara skematis persaman MUSLE disajikan pada Gambar 2.

pada tanah terbuka tanpa tanaman dan tindakan konservasi, dengan panjang lereng 22 m dan kecuraman lereng 9%, dihitung menggunakan persamaan berikut :

MUSLE merupakan modifikasi dari permasaaan erosi USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier sejak tahun 1965 sampai 1978 (Renard et al., 1996). MUSLE dikembangkan oleh Kinnel dan Risse pada tahun 1998 dimana pada tahun 1990 sudah dikuantifikasi ketidak pastiannya menggunakan model linier klasik atau analisis regresi Bayesian untuk menyempurnakan persamaan USLE yang dianggap masih terdapat kelemahan dalam memprediksi besarnya erosi di lapangan. Hal ini sesuai pendapat

Gambar 2. Skema persamaan MUSLE BESARNYA EROSI

YANG AKAN TERJADI ADALAH FUNGSI:

HUJAN

ENERGI

Ae = RUMe KUMe LS PUMe CUMe

KEKUATAN PERUSAK HUJAN

EI30 dan Qr

SIFAT TANAH

KEMUNGKINAN EROSI TANAH

PENGELOLAAN

PENGELOLAAN LAHAN

PENGELOLAAN TANAMAN


(42)

Wischmeier (1976) yang menyatakan bahwa tingkat akurasi dari persamaan USLE baru sekitar 84%. Sumber kesalahan dalam model erosi adalah pemilihan nilai dari suatu faktor secara tidak tepat. Lebih spesifik lagi Renard et al. (1994) dalam Parysow et al. (2001) menyatakan bahwa faktor K yang disajikan pada peta satuan lahan secara substansi berbeda dengan nilai aktual di lapangan. Menurut Risse et al. (1993), secara umum persamaan USLE, hasil prediksinya cenderung lebih tinggi pada plot erosi yang tingkat erosinya lebih rendah, dan hasil prediksinya lebih rendah pada plot erosi yang tingkat erosinya lebih tinggi.

2.7. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Degradasi Lahan

Menurut Lal (1993), degradasi lahan adalah hilangnya produktivitas aktual atau potensial dan kegunaannya akibat faktor alami atau campur tangan manusia. Proses degradasi lahan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan tanah untuk menghasilkan barang secara ekonomi dan kemampuan menjalankan fungsi ekologisnya. Degradasi lahan adalah hasil bersih dari proses degradasi dan proses restoratif yang diatur oleh faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Proses degradasi alami sering dipercepat oleh faktor manusia misalnya deforestasi, pengolahan tanah, intensitas pertanaman, penggembalaan dan lain-lain. Tingkat degradasi lahan tergantung pada kerentanan tanah terhadap proses degradatif, penggunaan lahan, lamanya penggunaan lahan, dan tindakan pengelolaan.

Berbagai penelitian yang berhubungan dengan degradasi lahan telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di negara lain. Penelitian degradasi lahan meliputi: pengembangan metode menyangkut penyusunan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan, faktor penyebab dan dampak degradasi lahan baik fisik, kimia, biologi dan ekonomi, serta hubungan degradasi lahan dengan produktivitas dan pendapatan masyarakat, serta upaya rehabilitasi terhadap lahan-lahan terdegradasi baik secara fisik, kimia dan biologi.

Penelitian kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan sudah dilakukan sejak tahun 1979 oleh FAO dan 1991 oleh Oldeman. Di Indonesia penentuan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan dilakukan melalui pendekatan lahan kritis sejak tahun 1985 oleh Departemen Kehutanan RI, tahun 1991 oleh Departemen Pertanian RI, dan tahun 1994 dan 1997 oleh Pusat Peneltian Tanah


(43)

dan Agroklimat. Karena parameter-parameter yang digunakan dalam penentuan kriteria umumnya bersifat kualitatif dan beragam, maka tahun 2001, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat mulai mengembangkan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan yang lebih operasional dengan menggunakan pendekatan parameter yang bersifat alami (natural assessment) dan parameter-parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (antrophogenic assessment). Namun untuk keperluan perencnaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara nasional, masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

Sehubungan dengan bentuk degradasi tanah yang terpenting di kawasan Asia antara lain adalah erosi tanah oleh air dan degradasi sifat kimia berupa penurunan kadar bahan organik tanah dan pencucian hara (Firmansyah, 2003), maka banyak penelitian degradasi lahan yang dikaitkan dengan erosi air baik secara alami maupun adanya campur tangan manusia.

Faktor alami penyebab degradasi lahan antara lain: areal berlereng curam, tanah yang peka erosi, curah hujan yang tinggi, dan lain-lain (Firmansyah, 2003). Faktor degradasi lahan akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain: marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat (Barrow, 1991). Lal (2000) menyebutkan, lima faktor penyebab degradasi lahan akibat campur tangan manusia secara langsung yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, serta adanya aktivitas industri dan bioindustri. Faktor penyebab lahan terdegradasi dan rendahnya produktivitas antara lain: deforestasi, mekanisme dalam usaha tani, kebakaran penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur.

Kaitannya dengan erosi sebagai penyebab utama degradasi lahan, maka banyak penelitian mengenai model prediksi erosi dan kejadian erosi di lapangan yang telah dilakukan. Wischmeier pada tahun 1965 sampai tahun 1978 mnegembangkan model prediksi erosi USLE (Universal Soil Loss Equation) dan pada tahun 1976 melakukan penelitian tentang penggunaan dan salah penggunaan


(1)

121

Lampiran 5. (Lanjutan)

No Curah Hujan Skore Lereng Batuan di Singkapan Tingkat erosi Nilai Tekstur Fraksi Kedalaman Tutupan Nilai C (mm/th) Bahan Induk (%) Permukaan (%) Batuan (%) (% hingnya lap atas) P debu (%) efektif (cm) Vegetasi (%)

31 2394 1 25 0 2 100 1.00 40 80 80 0.20

32 2804 1 18 0 0 10 0.40 24 70 80 0.20

33 2394 1 28 0 2 100 1.00 40 55 75 0.70

34 2394 1 30 0 0 100 0.40 41 110 80 0.70

35 2804 1 20 0 0 120 0.40 28 80 80 0.20

36 2394 1 18 0 0 100 0.40 50 55 75 0.70

37 2394 1 16 15 2 120 1.00 50 50 80 0.70

38 2394 3 16 15 2 120 1.00 50 55 80 0.50

39 4443 1 20 75 75 100 1.00 27 55 80 0.50

40 2394 1 8 15 15 120 0.40 40 50 80 0.50

41 4443 3 14 15 75 100 1.00 48 40 35 0.70

42 2394 1 10 0 2 120 1.00 38 55 75 0.50

43 2804 5 8 0 0 25 1.00 49 110 80 0.70

44 2394 1 25 15 15 25 0.40 52 60 80 0.10

45 2804 5 12 0 0 10 0.06 16 110 95 0.10

46 2394 5 23 15 75 25 0.40 49 55 80 0.10

47 2804 5 8 15 0 25 1.00 52 20 75 0.70

48 2804 5 9 0 0 25 0.40 13 55 80 0.01

49 2804 5 10 75 75 100 0.40 21 30 57 0.50

50 2394 5 30 75 15 120 0.40 44 55 40 0.50

51 2804 5 15 15 75 120 1.00 35 55 20 0.50

52 2394 5 29 15 75 120 0.40 40 10 35 0.50

53 2804 5 28 75 75 120 1.00 37 20 15 0.70

54 2394 1 21 75 75 120 1.00 24 50 15 0.70

55 2394 1 30 0 0 10 0.40 28 120 95 0.10

56 2394 5 10 15 2 10 0.04 35 90 95 0.10

57 4443 3 24 0 0 10 0.15 27 80 95 0.10

58 2394 1 34 0 0 10 0.04 4 120 90 0.10

59 2394 1 20 15 0 10 0.15 35 120 90 0.10

60 2804 5 24 0 0 10 0.04 20 100 85 0.10


(2)

Lampiran 5. (Lanjutan)

No pH (H20) C-org (walkley&black) N-tot (kjeldhal) P205 (bray I) Al H Ca Mg K Na KTK KB

1:1 (%) (%) ppm (me/100 g) %

1 5.2 2.71 0.25 4.60 1.18 0.30 0.87 0.70 0.15 0.19 13 15

2 5.0 1.11 0.12 2.00 1.38 0.27 1.14 0.83 0.14 0.21 14 16

3 5.1 2.63 0.24 3.40 2.70 0.26 0.53 0.40 0.28 0.33 19 8

4 5.1 2.39 0.22 2.60 3.02 0.37 2.40 1.94 0.18 0.23 18 26

5 4.9 3.19 0.29 9.10 3.82 0.42 0.78 0.70 0.17 0.18 20 9

6 4.6 1.67 0.16 6.80 7.16 0.44 0.46 0.36 0.18 0.27 21 6

7 5.1 1.27 0.13 1.70 1.87 0.29 1.42 0.98 0.18 0.21 14 20

8 4.8 1.60 0.16 2.50 7.56 0.37 3.06 1.68 0.21 0.31 24 22

9 5.6 2.23 0.21 1.90 2.80 0.12 3.05 2.36 0.33 0.37 16 39

10 5.9 2.15 0.20 1.70 2.60 0.08 2.28 1.84 0.22 0.29 16 29

11 5.6 3.11 0.28 8.90 2.70 0.12 6.05 1.81 0.67 0.29 15 58

12 5.2 0.71 0.07 7.30 2.14 0.28 1.41 1.05 0.34 0.18 14 21

13 5.0 0.95 0.10 2.50 1.74 0.31 2.10 1.70 0.22 0.23 18 24

14 4.9 1.75 0.16 2.50 2.25 0.34 1.66 1.23 0.24 0.30 13 27

15 5.2 2.07 0.19 2.50 1.56 0.24 2.69 1.58 0.33 0.46 9 58

16 5.1 2.55 0.23 2.00 2.86 0.29 1.09 0.75 0.22 0.37 12 20

17 4.9 5.10 0.44 12.40 3.20 0.47 0.75 0.60 0.43 0.27 16 12

18 4.8 1.75 0.17 7.50 4.48 0.36 0.79 0.66 0.12 0.26 20 9

19 4.9 1.51 0.15 3.20 2.86 0.34 1.49 1.23 0.26 0.22 16 19

20 4.9 1.27 0.14 2.90 2.48 0.36 0.87 0.61 0.12 0.17 15 12

21 5.5 1.51 0.14 2.20 0.18 0.21 3.13 2.42 0.31 0.39 14 44

22 5.9 2.47 0.22 2.90 2.70 0.12 2.37 2.31 0.95 0.51 8 80

23 5.7 0.40 0.05 6.10 2.80 0.12 4.43 1.33 0.64 0.35 19 36

24 5.3 2.71 0.26 11.60 2.60 0.16 2.43 1.48 0.23 0.21 20 22

25 5.1 2.15 0.18 3.00 1.65 0.33 1.09 0.97 0.34 0.14 14 18

26 5.2 1.43 0.15 5.40 1.06 0.25 2.24 1.42 0.32 0.28 12 35

27 5.4 1.75 0.16 2.50 0.32 0.24 2.04 1.83 0.25 0.30 19 23

28 5.0 0.08 0.03 1.90 3.28 0.30 0.45 0.40 0.21 0.33 15 9

29 4.8 2.71 0.24 6.10 4.32 0.39 0.29 0.21 0.14 0.21 21 4

30 5.2 0.63 0.06 6.80 2.96 0.30 0.45 0.33 0.12 0.18 16 7


(3)

123

Lampiran 5. (Lanjutan)

No pH (H20) C-org (walkley&black) N-tot (kjeldhal) P205 (bray I) Al H Ca Mg K Na KTK KB

1:1 (%) (%) ppm (me/100 g) %

31 4.5 1.10 0.12 2.50 11.37 0.42 18.08 1.67 0.26 0.17 45 44

32 4.4 2.12 0.24 0.50 17.01 0.26 1.32 0.30 0.15 0.17 35 6

33 4.9 1.29 0.13 0.90 0.81 0.54 7.38 5.55 0.15 0.17 21 62

34 4.3 0.98 0.10 0.80 5.42 0.20 1.90 0.60 0.26 0.09 18 16

35 4.4 1.78 0.22 1.40 11.82 0.24 10.75 3.25 0.26 0.17 36 40

36 3.9 2.27 0.22 0.90 15.56 0.34 3.13 0.66 0.21 0.26 31 14

37 4.5 2.84 0.26 0.60 7.55 0.20 5.34 1.95 0.26 0.26 37 21

38 4.7 2.31 0.20 0.60 1.16 0.38 8.61 2.23 0.26 0.35 34 33

39 4.3 1.97 0.18 0.50 6.35 0.28 2.40 0.75 0.21 0.26 19 19

40 4.3 1.93 0.17 2.30 8.24 0.46 1.42 0.27 0.15 0.09 17 11

41 5.1 1.23 0.13 0.30 0.89 0.04 10.64 2.45 0.15 0.17 19 71

42 4.4 0.29 0.13 2.30 3.11 0.28 1.58 0.27 0.15 0.17 14 16

43 4.8 1.55 0.16 0.80 2.43 0.36 3.47 4.82 0.21 0.35 16 55

44 4.8 1.48 0.15 1.80 2.10 0.26 4.88 3.52 0.36 0.35 17 53

45 4.7 2.01 0.19 1.10 3.04 0.22 4.63 2.84 0.21 0.09 19 41

46 4.7 2.01 0.19 1.40 2.76 0.24 5.71 3.23 0.21 0.09 17 53

47 5.0 1.82 0.19 4.80 2.49 0.32 5.66 1.15 0.15 0.30 15 48

48 4.5 1.59 0.18 6.70 5.16 0.24 1.61 0.38 0.21 0.17 19 12

49 4.8 1.29 0.20 6.20 3.37 0.42 5.02 1.88 0.20 0.26 16 45

50 4.8 1.66 0.14 7.70 1.47 0.66 4.49 1.58 0.21 0.22 14 45

51 4.4 1.89 0.17 3.40 0.42 0.48 0.78 0.32 0.05 0.20 15 9

52 4.6 1.97 0.19 3.60 2.51 0.47 0.58 0.23 0.10 0.17 19 6

53 4.4 1.10 0.17 7.00 4.80 0.40 1.35 0.12 0.08 0.17 11 15

54 4.4 1.55 0.18 3.90 3.72 0.72 2.37 0.60 0.05 0.12 17 18

55 5.0 1.82 0.19 4.80 2.49 0.26 5.66 1.15 0.15 0.30 15 48

56 4.5 1.70 0.17 3.90 4.38 0.39 2.68 0.97 0.05 0.20 21 19

57 4.8 1.49 0.19 6.90 5.36 0.34 4.64 1.88 0.26 0.30 20 36

58 4.8 1.29 0.20 6.20 3.37 0.30 5.02 1.88 0.20 0.26 16 45

59 4.8 1.66 0.14 7.70 1.47 0.47 4.49 1.58 0.21 0.22 14 45

60 4.2 3.05 0.55 5.40 1.79 0.38 3.68 1.28 0.15 0.20 16 33


(4)

(5)

129

Lampiran 6. Hasil perhitungan erosi di lokasi penelitian menggunakan model

prediksi Erosi MUSLE (

Modified Universal Soil Loss Equation

)

No EI30 QR RUME K LS C P

Erosi (t/ha/th)

Nilai T

(t/ha/th) IBE 1 3866 4,6 17785 0,17 4,25 0,70 0,40 3628,6 11.2 ST 2 3866 4,5 17398 0,12 1,20 0,30 0,40 288,9 27.3 ST

3 1829 4,5 8231 0,19 1,20 0,70 0,06 81,1 24.8 ST

4 1829 4,6 8413 0,06 4,25 0,70 1,00 1446,8 21.5 ST 5 2215 4,6 10187 0,04 4,25 0,20 0,40 142,5 21.3 ST 6 2215 4,6 10187 0,03 4,25 0,20 0,40 118,6 22.8 ST 7 3866 4,5 17398 0,02 1,20 0,70 0,40 106,1 11.0 ST 8 3866 4,6 17785 0,09 4,25 0,70 0,40 1915,3 11.9 ST 9 1829 4,6 8413 0,25 4,25 0,30 1,00 2640,5 14.9 ST 10 1829 4,6 8413 0,19 4,25 0,70 0,40 1872,2 10.9 ST 11 2215 4,6 10187 0,15 4,25 0,30 1,00 1980,3 4.2 ST

12 2215 4,5 9965 0,13 1,20 0,30 1,00 469,5 9.1 ST

13 3866 4,2 16238 0,04 0,25 0,70 0,40 41,6 13.0 ST 14 3866 4,6 17785 0,04 1,20 0,70 0,04 24,7 24.5 ST

15 1829 4,1 7499 0,28 0,25 0,01 0,04 0,2 12.0 ST

16 1829 4,1 7499 0,17 1,20 0,30 1,00 470,3 12,6 ST 17 2215 4,6 10187 0,05 4,25 0,10 0,40 87,1 21,0 ST

18 2215 4,6 10187 0,02 4,25 0,10 0,04 3,2 23,8 ST

19 3866 4,6 17785 0,18 4,25 0,70 0,40 3912,9 10,8 ST 20 3866 4,6 17785 0,04 4,25 0,70 0,40 858,1 6,6 ST

21 1829 4,6 8413 0,24 4,25 0,30 0,04 103,3 5,5 ST

22 1829 4,6 8413 0,23 4,25 0,50 1,00 4027,2 3,4 ST 23 2215 4,6 10187 0,19 4,25 0,30 1,00 2454,5 5,2 ST 24 2215 4,6 10187 0,11 4,25 0,30 1,00 1480,3 4,6 ST

25 3866 4,1 15852 0,18 0,25 0,10 0,04 2,9 24,8 ST

26 3866 4,1 15852 0,18 0,25 0,70 0,04 19,7 17,5 ST

27 1829 4,5 8231 0,19 1,20 0,10 0,40 75,5 21,5 ST

28 1829 4,1 7499 0,12 0,25 0,10 1,00 22,7 30,8 T

29 2215 4,5 9965 0,02 1,20 0,10 0,40 8,7 22,8 T

30 2215 4,1 9080 0,12 0,25 0,70 0,40 78,8 27,8 T

31 1829 4,6 8413 0,23 4,25 0,20 1,00 1663,4 10,4 ST 32 2215 4,6 10187 0,17 4,25 0,20 0,40 578,5 12,6 ST 33 1829 4,6 8413 0,23 4,25 0,70 1,00 5792,3 7,8 ST 34 1829 4,6 8413 0,27 4,25 0,70 0,40 2654,2 20,5 ST 35 2215 4,6 10187 0,18 4,25 0,20 0,40 628,9 10,0 ST 36 1829 4,6 8413 0,25 4,25 0,70 0,40 2536,2 7,4 ST 37 1829 4,6 8413 0,17 4,25 0,70 1,00 4131,9 7,7 ST 38 1829 4,6 8413 0,16 4,25 0,50 1,00 2931,6 7,6 ST 39 3866 4,6 17785 0,17 4,25 0,50 1,00 6534,2 9,2 ST

40 1829 4,1 7499 0,21 1,20 0,50 0,40 373,1 9,9 ST

41 3866 4,5 17398 0,27 1,20 0,70 1,00 3952,0 9,5 ST

42 1829 4,5 8231 0,20 1,20 0,50 1,00 964,8 9,4 ST

43 2215 4,1 9080 0,26 1,20 0,70 1,00 2010,8 15,3 ST 44 1829 4,6 8413 0,26 4,25 0,10 0,40 378,0 10,0 ST

45 2215 4,5 9965 0,15 1,20 0,10 0,06 11,4 27,3 ST


(6)

Lampiran 6. (Lanjutan)

No EI30 QR RUME K LS C P Erosi

(t/ha/th)

Nilai T

(t/ha/th) IBE 47 2215 4,1 9080 0,28 1,20 0,70 1,00 2121,8 6,9 ST

48 2215 4,5 9965 0,15 1,20 0,01 0,40 7,1 10,8 ST

49 2215 4,5 9965 0,13 1,20 0,50 0,40 313,8 9,8 ST 50 1829 4,6 8413 0,27 4,25 0,50 0,40 1913,6 7,9 ST 51 2215 4,5 9965 0,20 1,20 0,50 1,00 1189,8 4,7 ST 52 1829 4,6 8413 0,26 4,25 0,50 0,40 1841,8 4,0 ST 53 2215 4,6 10187 0,23 4,25 0,70 1,00 6880,4 5,3 ST 54 1829 4,6 8413 0,20 4,25 0,70 1,00 5003,1 9,5 ST 55 1829 4,6 8413 0,20 4,25 0,10 0,40 285,4 23,0 ST

56 1829 4,5 8231 0,12 1,20 0,10 0,04 4,6 28,3 ST

57 3866 4,6 17785 0,15 4,25 0,10 0,15 173,4 23,0 ST

58 1829 4,6 8413 0,17 4,25 0,10 0,04 23,9 24,5 ST

59 1829 4,6 8413 0,22 4,25 0,10 0,15 118,5 23,5 ST 60 2215 4,6 10187 0,15 4,25 0,10 0,04 26,8 26,5 ST Keterangan : IBE = Indeks Bahaya Erosi, ST = Sangat Tinggi, T = Tinggi, QR = Persen aliran permukaan