Wischmeier 1976 yang menyatakan bahwa tingkat akurasi dari persamaan USLE baru sekitar 84. Sumber kesalahan dalam model erosi adalah pemilihan
nilai dari suatu faktor secara tidak tepat. Lebih spesifik lagi Renard et al. 1994 dalam Parysow et al. 2001 menyatakan bahwa faktor K yang disajikan pada peta
satuan lahan secara substansi berbeda dengan nilai aktual di lapangan. Menurut Risse et al. 1993, secara umum persamaan USLE, hasil prediksinya cenderung
lebih tinggi pada plot erosi yang tingkat erosinya lebih rendah, dan hasil prediksinya lebih rendah pada plot erosi yang tingkat erosinya lebih tinggi.
2.7. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Degradasi Lahan
Menurut Lal 1993, degradasi lahan adalah hilangnya produktivitas aktual atau potensial dan kegunaannya akibat faktor alami atau campur tangan manusia.
Proses degradasi lahan ditunjukkan oleh penurunan kemampuan tanah untuk menghasilkan barang secara ekonomi dan kemampuan menjalankan fungsi
ekologisnya. Degradasi lahan adalah hasil bersih dari proses degradasi dan proses restoratif yang diatur oleh faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Proses
degradasi alami sering dipercepat oleh faktor manusia misalnya deforestasi, pengolahan tanah, intensitas pertanaman, penggembalaan dan lain-lain. Tingkat
degradasi lahan tergantung pada kerentanan tanah terhadap proses degradatif, penggunaan lahan, lamanya penggunaan lahan, dan tindakan pengelolaan.
Berbagai penelitian yang berhubungan dengan degradasi lahan telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di negara lain. Penelitian degradasi
lahan meliputi: pengembangan metode menyangkut penyusunan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan, faktor penyebab dan dampak degradasi lahan
baik fisik, kimia, biologi dan ekonomi, serta hubungan degradasi lahan dengan produktivitas dan pendapatan masyarakat, serta upaya rehabilitasi terhadap lahan-
lahan terdegradasi baik secara fisik, kimia dan biologi. Penelitian kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan sudah dilakukan
sejak tahun 1979 oleh FAO dan 1991 oleh Oldeman. Di Indonesia penentuan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan dilakukan melalui pendekatan
lahan kritis sejak tahun 1985 oleh Departemen Kehutanan RI, tahun 1991 oleh Departemen Pertanian RI, dan tahun 1994 dan 1997 oleh Pusat Peneltian Tanah
dan Agroklimat. Karena parameter-parameter yang digunakan dalam penentuan kriteria umumnya bersifat kualitatif dan beragam, maka tahun 2001, Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat mulai mengembangkan kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan yang lebih operasional dengan menggunakan pendekatan
parameter-parameter yang bersifat alami natural assessment dan parameter- parameter sumberdaya lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia
antrophogenic assessment. Namun untuk keperluan perencnaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara nasional, masih diperlukan penelitian lebih
lanjut. Sehubungan dengan bentuk degradasi tanah yang terpenting di kawasan
Asia antara lain adalah erosi tanah oleh air dan degradasi sifat kimia berupa penurunan kadar bahan organik tanah dan pencucian hara Firmansyah, 2003,
maka banyak penelitian degradasi lahan yang dikaitkan dengan erosi air baik secara alami maupun adanya campur tangan manusia.
Faktor alami penyebab degradasi lahan antara lain: areal berlereng curam, tanah yang peka erosi, curah hujan yang tinggi, dan lain-lain Firmansyah, 2003.
Faktor degradasi lahan akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain:
marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial ekonomi,
masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat Barrow, 1991. Lal 2000 menyebutkan, lima faktor penyebab degradasi lahan akibat campur
tangan manusia secara langsung yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, serta adanya aktivitas industri dan bioindustri.
Faktor penyebab lahan terdegradasi dan rendahnya produktivitas antara lain: deforestasi, mekanisme dalam usaha tani, kebakaran penggunaan bahan kimia
pertanian, dan penanaman secara monokultur. Kaitannya dengan erosi sebagai penyebab utama degradasi lahan, maka
banyak penelitian mengenai model prediksi erosi dan kejadian erosi di lapangan yang telah dilakukan. Wischmeier pada tahun 1965 sampai tahun 1978
mnegembangkan model prediksi erosi USLE Universal Soil Loss Equation dan pada tahun 1976 melakukan penelitian tentang penggunaan dan salah penggunaan
dari model persamaan USLE. Menurut Wischmeier 1976 bahwa sumber kesalahan terbesar dalam prediksi erosi adalah dalam pemilihan nilai faktor,
disamping kesalahan yang lain seperti menentukan panjang lereng dan mengevaluasi lereng yang tidak teratur. Risse et al. 1993 melanjutkan
penelitian terhadap model prediksi erosi USLE yaitu meneliti tentang kesalahan dari persamaan USLE, dimana secara umum hasil prediksi erosi USLE
menunjukkan bahwa kehilangan tanah lebih besar pada plot erosi dengan tingkat erosi rendah dan hasilnya lebih rendah pada plot erosi yang tingkat erosinya
tinggi. Sejalan dengan pengembangan model USLE, maka pada tahun 1975, Wiliam memodifikasi persamaan USLE yang dikenal dengan MUSLE Modified
Universal Soil Loss Equation, dimana kalau USLE menggunakan curah hujan sebagai indikator energi perusak, sedangkan MUSLE menggunakan jumlah aliran
permukaan untuk mensimulasi erosi dan hasil sedimen. Edward pada tahun 1990 melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian persamaan erosi MUSLE. Pada
tahun 1998 Kinnel dan Risse mengembangkan model persamaan MUSLE untuk digunakan dalam model AGNPS Agricultural Non Point Source Pollution yang
digunakan untuk memprediksi besarnya erosi pada suatu kejadian hujan dari suatu DAS karena persamaan USLE tidak cocok untuk maksud tersebut.
Selain USLE dan MUSLE, model prediksi erosi yang lain juga dikembangkan yaitu RUSLE Revised Universal Soil Loss Equation. RUSLE
dikembangkan oleh Renard et al. pada tahun 1991, merupakan model erosi yang didesain untuk memprediksi besarnya erosi tahunan oleh aliran permukaan dari
suatu bentang lahan berlereng dengan tanaman dan sistem pengelolaan tertentu. RUSLE juga telah digunakan untuk memprediksi besarnya erosi dari padang
rumput dan lahan non-pertanian bangunan. Pemilihan yang tepat mengenai nilai faktor yang digunakan, RUSLE dapat menghitung erosi rata-rata untuk suatu
sistem pergiliran tanaman dalam suatu tahun atau untuk fase pertumbuhan tanaman. Bartsch et al. 2002 menggunakan model erosi RUSLE yang
dikombinasikan dengan GIS Geographic Information System untuk menentukan besarnya erosi pada pangkalan militer di Utah, Malaysia, akan tetapi hasilnya
tidak tepat karena data yang digunakan terlalu sedikit, sehingga prediksi erosi yang dihasilkan terlalu besar.
Umumnya faktor-faktor penyebab degradasi lahan baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan penurunan
produktivitas tanah. Pada sistem usahatani tebas dan bakar atau perladangan berpindah masih tergantung pada lama waktu bera sehingga tergolong sistem
usaha yang berkelanjutan secara ekologis. Sistem tersebut pada beberapa daerah marjinal dan tekanan populasi terhadap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi
makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sehingga merusak dan menyebabkan degradasi lahan dan lingkungan. Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi, dan persentase kejenuhan rendah di subsoil setelah
2-5 tahun kebakaran. Tanah yang tererosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya
kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman Firmansyah, 2003. Pengaruh antrophogenic terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi
apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Akibat
penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba
dan arthropoda tanah, dan merubah iklim mikro Hidayati, 2000. Karakteristik tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan
dengan tanah yang tidak terdegradasi yaitu tanah hutan. Perbandingan tanah hutan sebagai tanah yang tidak terdegradasi karena memiliki siklus tertutup
artinya semua unsur hara di dalam sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit yang hilang atau keluar dari sistem siklus hutan. Tanah di luar hutan merupakan
sistem terbuka demana siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut. Penurunan sifat pada tanah untuk penggunaan bukan hutan akan menunjukkan memburuknya
sifat-sifat dari tanah tersebut Firmansyah, 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah Ultisol Bengkulu dengan
vegetasi hutan habis tebang empat bulan dan tanah pertanian yang diusahakan tiga tahun terjadi penurunan kemampuan menyediakan N anorganik sebesar 12-13
dibdaningkan tanah hutan. Selain itu, terjadi penurunan intensitas mineralisasi N pada lahan pertanian sebesar 39 pada kedalaman tanah 0-10 cm. Hal ini
menunjukkan bahwa tanah hutan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pertanian. Konversi penggunaan lahan hutan ke lahan
pertanian menyebabkan degradasi pada siklus N Hdanayani, 1999. Hubungan degradasi lahan dengan produktivitas menunjukkan bahwa
degradasi lahan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah yang mengalami degradasi baik sifat fisik,
kimia dan biologi berpengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai sekitar 22 pada lahan semi kritis, 32 pada lahan kritis dan 38 pada lahan
sangat kritis. Kacang tanah mengalami penurunan produksi sekitar 9, 46 dan 58 masing-masing pada lahan semi kritis, kritis dan sangat kritis Sudirman dan
Vadari, 2000. Kaitannya dengan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi, banyak penelitian
yang sudah dilakukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Menurut Suprayogo et al. 2001, degradasi sifat fisik tanah pada umumnya
disebabkan karena memburuknya struktur tanah. Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan
dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kdanungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran dan
mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat tanah tersebut, selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah juga menyebabkan terbentuknya
kerak di permukaan tanah soil crusting yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Pada saat hujan turun, kerak yang terbentuk di permukaan tanah juga
menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini, porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan
air mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat. Upaya perbaikan degradasi sifat fisik tanah mengarah terhadap perbaikan struktur
tersebut. Firmansyah 2003 menyatakan bahwa penggunaan gambut terhumifikasi
rendah dengan BD 0,10 Mg m
-3
memiliki pengaruh lebih besar daripada gambut terhumifikasi tinggi dengan BD 0,29 Mg m
-3
dalam menurunkan kekompakan tanah. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bahan organik lebih efektif
untuk tanah dengan kekompakan tinggi, ketahanan penetrasi maksimum tanah liat
menurun dari 0,64 menjadi 0,30 Mpa, dan pada tanah berpasir meningkat dari 0,64 menjadi 1,08 Mpa. Pemberian bahan tersebut dapat memperbaiki sifat fisik
tanah berupa peningkatan total ruang pori, perbaikan aerasi tanah, pori air tersedia, permeabilitas tanah dan menurunnya ketahanan penetrasi. Pemberian
dosis 20 Mgha dapat meningkatkan aerasi diatas 12, sedangkan pada takaran 10 Mgha dapat memperbaiki ketahanan penetrasi.
Rehabilitasi pada tanah terdegradasi yang dicirikan dengan penurunan sifat kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas dari penurunan kandungan bahan
organik tanah, sehingga amelioran yang umum digunakan berupa bahan organik sebagai agen resiliensi. Pemberian bahan organik jerami atau mucuna sebanyak
10 tonha dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, yaitu meningkatkan aktivitas mikroba, meningkatkan pH H
2
0, meningkatkan selisih pH, meningkatkan pH NaF mendorong pembentukan bahan anorganik tanah yang bersifat amorf,
meningkatkan pH 8,2 atau KTK variabel yang tergantung pH, menurunkan Al
dd
dan meningkatkan C-organik tanah. Penurunan Al
dd
Lal 2000 menyatakan bahwa dalam pertanian tradisional maka pemanfaatan cover crop pada masa bera dapat meningkatkan produktivitas tanah
berliat aktivitas rendah di tropika basah diperkirakan dapat memfiksasi 172 kgN dari atmosfir selama siklus 2 tahun. Penelitian lainnya yang menggunakan
tanaman penutup tanah tinggi yaitu Leucochepphala dan Acacia leptocarpa merupakan spesies yang menjanjikan untuk ditanam saat masa bera dengan tujuan
regenerasi tanah di tropika basah. Tingginya polifenol yang dihasilkan dari serasah daun mampu mengikat protein selama dekomposisi daun, sehingga terjadi
immobilisasi N, hal tersebut merupakan peranan utama polifenol dalam bahan organik tanah dan peningkatan N pada tanah terdegradasi.
selain disebabkan oleh kenaikan pH dan pengikatan oleh bahan-bahan tanah bermuatan negatif, juga
disebabkan karena pengkhelatan senyawa humik. Peranan asam fulvik dalam mengkhelat Al jauh lebih tinggi dibdaningkan asam humik sekitar tiga kalinya
Widjaja, 2002.
Bahan organik sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah, terutama limbah industri kelapa sawit yang banyak diluar pulau Jawa. Manik
2002 menyatakan bahwa tdanan kosong kelapa sawit sebanyak 95 Mgha
mampu meningkatkan pH tanah, kdanungan P, K, Mg, dan KTK tanah, serta meningkatkan produksi tdanan buah segar 16,3. Widhiastuti 2002
pemanfaatan limbah cair kelapa sawit atau POME Palm Oil Mill Effluent meningkatkan karbon mikroorganisme C-mic, dengan kecenderungan makin lama
limbah diaplikasikan kdanungan C-mic makin meningkat. Amelioran lain yang umum digunakan pada tanah-tanah tropika adalah
kapur. Pengapuran umumnya ditujukan untuk menetralkan Al
dd
terutama pada tanaman yang peka terhadap keracunan Al dan meningkatkan pH tanah hingga
5,5, sedangkan bila keracunan Mn, maka pH perlu dinaikkan hingga 6,0 Firmansyah, 2003. Penggunaan tanaman penutup tanah yang dikombinasikan
dengan penggunaan gypsum dapat mengurangi erosi sampai 86 dan meningkatkan kapasitas infiltrasi 26-132 pada tanah Cecil sandy loam Zhang et
al., 1996
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian tersebar di tiga kecamatan yaitu : 1 Kecamatan Sukamakmur, 2
Kecamatan Babakan Madang, dan 3 Kecamatan Cigudeg. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan pertimbangan sebagai
berikut: 1 Lokasi penelitian merupakan daerah lahan kering yang dikategorikan lahan
kritis menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor. 2 Kondisi lahan di lokasi penelitian telah mengalami proses degradasi lahan
yang serius akibat lahan diterlantarkan atau yang telah beralih fungsi ke non- pertanian.
3 Lokasi penelitian memiliki areal cukup luas, karakteristik, dan penggunaan lahannya cukup beragam.
4 Aksesibilitas menuju lokasi penelitian mudah dijangkau dengan infrastruktur jalan sebagian besar sudah diaspal.
Pelaksanaan penelitian memerlukan waktu sekitar 6 bulan, dimulai pada bulan November 2009 sampai dengan Maret 2010.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: 1 Peta dasar, yaitu: Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000, peta tanah, peta
arahan penggunaan lahan, peta penyebaran lahan kritis. 2 Peta pendukung, yaitu: peta administrasi dan peta RTRW Kabupaten Bogor.
3 Bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium.
4 Daftar isian form lapang yang akan digunakan untuk pencatatan data primer karakteristik sumberdaya lahan yang meliputi: data biofisik
lingkungan dan manajemen.